045. Semuanya

1293 Words
Randi menurunkan tatapannya, melihat ke tangan Laras yang menggenggam pergelangan tangannya. Dia menenangkan dirinya dengan cepat, menyerahkan es krim agar gadis itu menggenggamnya dan membersihkan noda krim di pergelangan tangan gadis itu. "Kenapa berkata seperti itu? Kamu tidak senang aku menjadi kakakmu selama ini?" tanya Randi dengan tenang, tangannya memegang sapu tangan yang digunakan untuk menyeka pergelangan tangan adik sepupunya. Pergelangan tangan Laras sangat ramping membuat Randi tidak tega mengerahkan kekuatan ketika menggenggamnya, seolah takut menatakan jika dia menekannya sedikit saja. "Kakakku cuman satu, namanya Rifaldi. Kapan kamu lahir dari rahim ibuku?" Laras mendengus kesal, mengalihkan pandangannya ke sebuah topi kecil yang dijatuhkan anak kecil di tanah tidak lagi memandang pemuda itu. Randi menghembuskan napas berat, namun tidak membantah apa yang dikatakan Laras. Sebelumnya, gadis itu yang selalu dengan terbuka mengatakan bahwa Randi adalah kakaknya. Ketika dia bahagia, dia terus memanggil Randi dengan sebutan 'kakak' diikuti oleh pujian-pujian yang berlebihan. Terkadang kata-kata itulah yang menyadarkan Randi tentang posisinya dan menghancurkan harapannya. Namun sekarang gadis itu menolak mengakuinya, dengan wajah indah dan tidak berbahaya miliknya, gadis itu mengelak dengan semua hal yang dilakukan dan dikatakannya. Tetapi Randi tidak bisa menyalahkannya. Gadis itu terlalu istimewa baginya, membuatnya ingin terus memanjakan dan menjaganya dengan hati-hati. Apa pun yang diinginkan Laras, Randi berharap bisa mengabulkan semuanya. Karena itu juga, ketika Laras sangat menolak perasaannya, Randi rela untuk menguburnya. Lagi pula dia sangat realistis dan tahu bahwa perasaan yang diembannya tidak akan membuahkan hasil yang baik. "Em, karena Kak Randi sudah ada di sini untuk menjaga Laras... Aku mau pergi bermain dulu, aku sangat ingin mencoba perahu raksasa itu." Rena dengan hati-hati menyela, mencoba mencari cara agar bisa pergi dari sini dan bersenang-senang seorang diri. Melihat Randi mengangguk setuju, Rena langsung pergi dengan langkah besar, takut jika Laras tiba-tiba memanggilnya kembali. Laras memakan es krim di tangannya, melihat kesunyian dari kakak sepupunya, dia tidak bersuara lagi dan kembali duduk di bangku panjang. Gadis itu duduk di posisi paling ujung, tampaknya sengaja menyisakan banyak tempat untuk orang lain. Randi dengan tenang duduk di sampingnya, mengawasi gadis itu dalam diam seperti yang selalu dia lakukan selama ini. Tatapan Laras tertuju pada sepasang kekasih yang berjalan melaluinya, kedua orang tersebut sangat dekat tidak meninggalkan jarak di antara mereka. Melihat sang wanita sangat bergantung kepada sang pria dengan setiap interaksi penuh aura merah muda, entah kenapa suasana hati Laras menurun drastis. Suara tawa di sekitarnya saat ini tampak terdengar mengejeknya, meskipun Laras tahu bahwa orang-orang di sekitar sini bahkan tidak melihat ke arahnya. Namun melihat orang lain bahagia ketika dia merasa tertekan membuat menjadi kesal dan ingin menangis. "Kamu kenapa?" Suara yang lembut dari seorang pemuda yang terbiasa menggunakan nada datar terdengar di telinganya. Laras menarik napas kuat dari hidungnya, memakan es krimnya sekaligus banyak hingga membuat area bibirnya penuh noda krim. "Aku hanya merasa penasaran, apa yang kamu sukai dariku? Kenapa bisa kamu jatuh cinta kepadaku?" Setelah beberapa saat, tidak ada jawaban apa pun dari Randi. Laras menoleh ke samping, melihat kakak sepupunya dengan kening berkerut. "Kenapa diam?" tanyanya kesal. Randi menggelengkan kepalanya, "Itu bukan sesuatu yang baik untuk diketahui," katanya. Kemudian dia bangkit berdiri, menatap gadis itu dengan tenang. "Kenapa?" tanya Laras tidak puas, dia juga bangkit berdiri mengikuti kakak sepupunya, lalu berjalan beriringan tanpa tujuan bersama. Melihat beberapa pasangan di sekitarnya, Laras menjadi semakin kesal, dia mengangkat tangannya dan memeluk lengan kakak sepupunya, tidak ingin kalah dari yang lainnya. Gerakan kecil tersebut telah biasa Laras lakukan sehingga Randi membiarkan begitu saja. Randi dengan langkah perlahan menuntun gadis tersebut berjalan dengan aman. Sering kali Laras tidak akan melihat ke depan ketika jalan bersama Randi, membuat dirinya hampir menabrak atau mengalami kecelakaan berulang kali. Karena itulah, Randi selalu mengawasi gadis itu, menariknya ketika Laras hampir menabrak orang atau tiang tanpa sadar. "Kenapa tidak jawab?" ulang Laras, kali ini suaranya menjadi lebih tinggi, tidak senang dengan diamnya Randi. "Kamu serius tidak ingin naik wahana apa pun?" tanya Randi, menatap gadis itu dengan alis terangkat satu. Laras melihat keliling, memperhatikan aktivitas yang sangat ramai dan bising di sekitarnya, dia menggelengkan kepalanya. "Tidak mau, semuanya sangat berbahaya untukku. Rambut, gaun, dan bahkan make-up yang telah aku siapkan untuk waktu lama terancam dengan semua wahan itu," katanya. Dia hanya perlu mendengar jeritan dari kejauhan orang-orang yang bermain suatu wahana menguji nyali dan segera menolak gagasan untuk ikut bergabung. Laras bukan tipe orang yang akan menguji nyali dirinya sendiri. Dia sangat menghargai dirinya dan tidak ingin menakuti diri sendiri. Karena dia tahu betapa mengerikan berbagai wahana itu, lalu kenapa membuang waktu dan mencobanya hanya untuk menderita? "Bagaimana dengan yang itu?" Randi menunjuk ke atas ke sebuah wahana berbentuk kincir angin raksasa. "Bianglala?" Laras bergumam, tampaknya memikirkan hal tersebut dengan cermat sebelum mengangguk. "Ayo naik itu, sepertinya aman." Randi tersenyum kecil, menuntun gadis itu ke wahana bianglala dan mengantri untuk membeli tiket. Ketika mereka masuk ke salah satu kabin bianglala, Laras segera melihat ke jendela dengan penuh minat, menyaksikan pemandangan di bawah semakin menjauh darinya. "Ya, ini sangat aman," katanya senang. "Biasanya kamu selalu memainkan setiap wahana ketika datang ke taman hiburan, kenapa kali ini tidak?" tanya Randi. Laras mengerucutkan bibirnya, "Bukankah itu agar aku tidak membuat diriku terlihat konyol di depan teman-temanmu? Biasanya kan aku tidak berdandan sangat rapi ketika ke taman hiburan." "Kamu baik-baik saja dengan apa pun," kata Randi dengan suara lembut yang menenangkan. Pandangan Laras teralihkan dari luar jendela ke kakak sepupunya yang duduk di hadapannya. Dia tampak termenung sesaat sebelum tersentak, "Oh iya, di internet disebutkan bianglala adalah salah satu wahana yang cocok untuk berkencan." "Kencan?" Randi mengerutkan keningnya tidak yakin dengan yang didengarnya. Laras langsung menggigit bibir bawahnya, segera mengalihkan pandangannya kembali ke luar jendela, berpura-pura tidak mendengar apa-apa. "Aku sepertinya bisa melihat Rena, lihat itu, dia sedang mengobrol dengan orang asing." Laras menunjuk ke kerumunan orang di bawah, wajahnya hampir menempel di jendela. Randi mengikuti tatapan Laras, melihat ke bawah dan segera melihat sosok Rena yang dikatakan adik sepupunya. Laras menghela napas, "Jika suatu saat dia diculik, aku tidak akan heran. Lihatlah, dia selalu mengakrabkan diri dengan orang asing, entah apa manfaatnya." "Dia sedang bicara dengan Indra," kata Randi, mencoba mengingatkan adik sepupunya. "Oh," Laras mengangguk, memperhatikan lebih jelas dan akhirnya menyadari bahwa sosok asing yang memakai topi bisbol di dekat Rena ternyata salah satu teman Randi. Dia juga bisa melihat teman-teman Randi lainnya di sekitar itu. "Dia memakai topi, jadi aku tidak mengenalinya," katanya mencoba membela diri. Randi tersenyum, "Ya." Ketika sampai di puncak ketinggian, bianglala berhenti bergerak, Laras menikmati pemandangan dari atas, menyaksikan kumpulan orang-orang yang terlihat kecil dengan penuh minat. Dia meraih ponselnya, menyalakan kamera dan mengambil gambar beberapa kali. Dia bahkan mengajak Randi untuk berfoto bersama beberapa kali sebelum merasa puas. Saat dia menyimpan ponselnya kembali, Laras tertegun, baru mengingat sesuatu. "Kamu belum menjawab pertanyaan!" Randi mengangkat alisnya, "Pertanyaan apa?" tanyanya dengan sedikit nada tak berdaya, dia pikir dia telah berhasil mengalihkan perhatian adik sepupunya itu. Siapa yang tahu bahwa Laras yang selalu mudah teralihkan kini terus terpancing dengan persoalan yang sama untuk beberapa waktu. Laras menatap lurus ke Randi dengan tatapan keras kepala, tidak menyerah sebelum mendapatkan jawaban yang diinginkannya. "Apa yang kamu sukai dariku?" Randi merendahkan pandangannya, tampak sedang merenung ketika menjawab, "Semuanya." Secara perlahan dia mengangkat pandangannya hingga sejajar dan bertemu dengan pandangan tegas Laras. Dia suka tatapan angkuh yang selalu ditunjukan Laras, senyuman licik dan berbahayanya sangat menggelitik hatinya. Dia suka tindakan konyol Laras, melakukan sesuatu tanpa berpikir dan impulsif. Dia suka emosi meledak-ledak Laras, mengatakan kejujuran dari hatinya tanpa topeng palsu. Dia suka mendengar keluhan Laras, suaranya yang penuh amarah dan arogan membuatnya merasa bisa menyerahkan segalanya untuk menyenangkan hati gadis itu. Dia suka pikiran absurd Laras, semua kelakuannya yang tidak jelas dan datang tiba-tiba membuat Randi merasa telah mempelajari hal baru yang berharga. Semuanya. Dia suka semuanya dari gadis itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD