044. Es Krim

1257 Words
Semua pandangan tertuju ke arah Laras, menatap gadis yang kini tersenyum lebar menatap kakak sepupunya, menunggu jawaban darinya. "Hum, benarkan?" ulangnya, menarik lengan Randi untuk mendesaknya agar menjawab. Randi memperhatikan raut wajah gadis itu, dia tidak tahu tahu hal aneh apa lagi yang singgah di kepala adik sepupunya namun dia tetap kooperatif mengangguk membenarkan, "Ya." Senyum Laras semakin melebar, bahkan terkikik bahagia. Dia menoleh dan menatap langsung ke Amelia, menunjukkan senyum penuh kemenangan seperti anak kecil yang baru saja berhasil memperoleh sesuatu dengan mudah yang tidak bisa digapai oleh orang lain. "Tentu saja, kamu kan adik Randi, tentu Randi menyukaimu." Sofia berkata dengan lugas, mengutarakan dukungannya. Rehan mengangguk, "Ya, aku dengar Randi anak tunggal, jadi kamu satu-satunya adiknya. Dia pasti sangat menyukaimu." Senyum Laras berangsur-angsur menghilang, melihat para mahasiswa itu tampak mendukungnya nyatanya menjadi jarum yang menusuk jantungnya. Dia segera diingatkan bahwa dia adalah adik Randi, membuat Laras tidak dapat lagi mengembangkan senyum yang cerah seperti semula. Sinar matahari yang hangat menjadi menyengat, membakar Laras hingga membuat dadanya naik turun frustrasi. "Aku ingin main sendiri dengan Rena," katanya ketus. Menarik pergelangan tangan temannya dan pergi langsung dari tempat itu, meninggalkan para mahasiswa itu dalam kondisi bingung. "Apakah aku mengatakan sesuatu yang tidak boleh dikatakan?" tanya Rehan sembari menunjuk dirinya sendiri dengan canggung. Sofia mengangguk, "Ya, semua salahmu." Dia melemparkan semua kesalahan kepada Rehan, lalu tertawa lucu. "Ya, kamu selalu yang paling sering mengacaukan situasi," dukung Indra yang juga ikut tertawa. "Sial kalian, aku tidak mengatakan apa-apa." Rehan ingin sekali mendapatkan sesuatu untuk melempari wajah teman-temannya itu. Saat mereka mengobrol penuh lelucon, Randi mengerutkan keningnya. Dia melirik ke arah teman-temannya dan berbicara dengan tenang, "Aku akan menyusul mereka, kalian bermain saja dulu." Setelah mengatakan itu, dia mengambil langkah lebar untuk mengejar Laras dan Rena yang sudah berbaur dengan kerumunan dan tak terlihat lagi. Di langit ada sebuah balon gas dengan bentuk kartun melayang bebas, terdengar suara tangisan anak kecil dengan tangan menggapai-gapai langit menatap penuh cemas balon gas miliknya yang tanpa sengaja terlepas dari genggaman kecilnya. Ada beberapa anak kecil lainnya menjadi heboh, menunjuk-nunjuk ke langit, memberitahu teman mereka tentang balon yang melayang dengan girang, menarik wali mereka untuk mendapatkan balon yang sama. Setelah mendapatkan persetujuan, anak-anak itu bergegas lari menuju ke penjual balon, sangat riang hingga hampir menabrak Laras yang berjalan cepat tanpa jeda. "Apaan sih anak-anak ini," gerutunya kesal, segera menghindari anak-anak kecil yang berlarian di sekitarnya. Rena melepaskan tangannya dari genggaman Laras, berjalan santai dan hati-hati menghindar menabrak orang lain, "Kamu kenapa lagi sih? Tiba-tiba marah tidak jelas gitu," katanya tidak tertarik. Matanya kini telah tertuju ke kios-kios kecil, bahkan langkah kakinya telah tertuju ke sana bersiap membeli dua bungkus keripik pisang yang terlihat jelas dari kejauhan. Ketika ditanya, Laras pun bingung. Jadi dia hanya diam saja, dengan tenang mengikuti langkah kaki Rena, terlalu malas untuk berpikir akan pergi kemana. "Aku mau beli keripik, kamu mau beli apa?" tanya Rena, berdiri di depan kios mengambil dua keripik pisang dengan rasa yang berbeda. "Tidak, aku mau makan es krim," tolak Laras. Kini dia merasa dadanya sangat panas dan pikirannya tampak korslet, dia butuh sesuatu yang menyejukkan hati dan pikirannya, dan es krim segera muncul begitu saja di kepalanya. Rena mengangguk, membayar dua bungkus keripik yang diambilnya. "Oke, kita akan cari. Sepertinya ada penjual es krim bagian sana, dekat roller coaster tadi." Ketika Rena berbalik, dia melihat Randi berjalan mendekati mereka, jadi dia diam-diam segera menghentikan suaranya, menatap dengan penuh minat ke arah Laras, tiba-tiba mengambil peran sebagai penonton. "Laras, kamu kenapa?" tanya Randi segera, tangannya menggapai pundak adik sepupunya, membaliknya agar menghadap ke arahnya. Laras melihat sekitar, mendapati hanya Randi yang mengikuti mereka sehingga dia sedikit lega. Namun dia tidak sepenuhnya baik-baik saja, hatinya masih terasa gerah, terlebih lagi melihat keberadaan kakak sepupunya. "Bukan urusanmu," jawabnya dengan cemberut, memalingkan wajahnya menatap segala arah secara acak. "Jika ada sesuatu yang salah, katakan padaku." Randi mengangkat tangannya dari pundak Laras ke kepala gadis itu, mengelus pelan rambut lembut dan halus adik sepupunya seperti sedang menenangkan seekor kucing. "Apa yang membuatmu marah kali ini?" Laras tetap diam, tidak berniat untuk menjawabnya. Lagi pula dia tidak tahu harus mengatakan apa, jadi dia hanya terus diam seolah tidak mendengar pertanyaan yang dilontarkan kakak sepupunya. Taman hiburan sangat ramai, namun Laras merasa sangat tenang dan santai, terlebih lagi setiap elusan lembut yang terasa samar di kepalanya tampak memiliki efek penenang yang kuat membuat sifat agresif Laras menghilang seketika. "Aku ingin es krim," kata Laras tiba-tiba, "rasa stroberi." Randi tersenyum kecil, jika adik sepupunya telah mengutarakan keinginannya seperti ini, berarti sebagian besar amarahnya telah hilang. Dia mengangguk pelan, "Aku akan membelikan es krim untukmu, cari tempat duduk yang teduh dengan Rena, jangan lari secara acak lagi." "Siapa yang lari ..." Laras mengelak. Randi hanya tersenyum sebelum berbalik untuk pergi membeli es krim. Di antara kerumunan orang, sosok Randi yang tinggi dengan punggung tegap sangat mencolok. Tatapan Laras terus mengejar punggung kakak sepupunya yang kian menjauh, seolah tersihir dan tak bisa mengalihkan pandangan dari hal tersebut. Ketika sosok kakak sepupunya tenggelam dalam lautan orang, Laras menundukkan kepalanya, merenung dengan pikiran yang kosong. Rena sedari tadi telah membuka dan memakan keripiknya, menonton dari samping dengan penuh minat. Setelah beberapa saat, dia menjentikkan jari-jarinya di depan Laras untuk menyadarkan gadis itu. "Ayo cari tempat teduh," ajaknya. Laras mengangguk, mengikuti Rena mencari tempat meneduh dan duduk di bangku panjang menunggu kakak sepupunya. "Nanti kamu mau main apa?" tanya Rena, menengadah kepalanya untuk melihat berbagai wahana yang sedang berjalan. Aktivitas yang aktif depan matanya membuat kakinya gatal ingin bergabung juga. "Perahu perahu itu kayaknya seru," tunjuknya. Laras mengikuti arah yang Rena tunjuk, melihat wahana permainan berbentuk perahu raksasa yang berayun maju mundur dengan kecepatan tinggi. Memikirkan dirinya naik ke atas dengan rambut serta wajahnya diterpa angin kencang membuatnya merasa pusing bahkan sebelum mencobanya. "Tidak," tolak Laras langsung. Rena melirik ke arah temannya itu, wajahnya penuh kehampaan. "Kamu datang ke sini sebenarnya untuk apa? Kamu tidak mau bermain satu wahana pun, jadi kenapa kemari?" Laras mengerutkan keningnya, "Di internet dikatakan taman hiburan menjadi tempat terbaik ketika kencan ..." Suaranya menjadi semakin kecil seolah tidak percaya diri dengan apa yang dikatakannya. Niat awalnya telah hancur dan dia tidak ingin lagi untuk memikirkan hal itu. Bahkan jika dia mengujinya dan malah mendapatkan jawaban yang tak terpikirkan, apa yang harus dilakukannya? Laras menjadi ngeri tiba-tiba, bangkit berdiri dan akan berjalan pergi namun suara Randi menghentikan langkahnya. "Bukankah aku bilang untuk tidak lari secara acak lagi?" Laras menoleh, melihat Randi membawa dua es krim dengan rasa yang berbeda. Es krim dengan rasa coklat Randi berikan kepada Rena yang masih duduk dengan nyaman di bangku panjang. "Terima kasih, Kak." Rena tersenyum ramah, menerima es krim tersebut dan mencicipinya bersama keripik. Kemudian tetap duduk menonton dengan santai menikmati drama yang akan terjadi di depan matanya. "Siapa yang lari secara acak?" kata Laras menolak mengakui hal tersebut. Randi mengangguk, menyerahkan es krim rasa stroberi kepada Laras, "Es krimmu." Tatapan Laras tertuju kepada es krim yang ada di depannya, tangan Randi yang memegang es krim tersebut terlihat jelas di pandangannya. Laras mengulurkan tangannya ke depan melewati es krim dan meraih tangan kakak sepupunya. Suaranya penuh keluhan ketika berbicara kepada Randi, "Kenapa kamu harus menjadi kakak sepupuku?" Panasnya sinar matahari tertuju langsung ke krim dingin di atas wafer berbentuk cone, setelah beberapa saat setetes cairan berwarna merah muda akhirnya meluncur dan jatuh ke lengan putih salju milik Laras. Gadis itu mengabaikannya, matanya yang berkabut tertuju lurus ke pemuda di depannya, bibir atas dan bawahnya saling menekan untuk menahan dirinya mengatakan lebih banyak dari seharusnya yang bisa dia katakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD