059. Kamu Bahkan Tidak Cemburu

1102 Words
Langkah kaki Laras tertatih-tatih keluar dari gerbang sekolah, jika Rena tidak mendukungnya, maka dia mungkin sudah lama akan tepar di tanah. Gadis itu biasanya akan terus mempertahankan citranya yang anggun dan menawan di depan umum. Namun untuk kali ini, dia berjalan dengan langkah diseret dan kepala menunduk bersandar ke bahu Rena saat dia membuang sebagian besar berat badannya ke temannya itu. Sesampainya halte bus depan sekolah, mobil yang familiar telah terparkir tak jauh dari sana. Rena menarik beban di punggungnya untuk masuk ke dalam mobil tersebut dengan usaha yang keras. Laras membuang napas lega ketika sampai di dalam mobil, menyandarkan dirinya ke kursi dan pendingin ruangan yang sejuk membuang hawa panas dari tubuhnya. "Kenapa?" tanya Randi ketika melihat adiknya itu tampak sekarat. Laras terdiam lama seolah sedang mengumpulkan energinya untuk bicara, setelah untuk waktu yang tidak diketahui, dia akhirnya membuka mulutnya. "Setiap hari Senin, aku selalu mati," katanya perlahan, tampaknya membutuhkan banyak usaha baginya hanya untuk berbicara satu kalimat saja. Randi terkekeh, menatap wajah kelelahan adiknya itu dan menyerahkan sebotol air. "Basahi tenggorokanmu," katanya. Laras mengerutkan kening, melirik ke botol air yang ada di tangan kakak sepupunya namun enggan mengambilnya. Dia sangat haus, namun terlalu malas menggerakkan tubuhnya untuk mengangkat tangan meraih botol lalu bergerak untuk minum. Itu terlalu melelahkan. Mengerti sifat mager adik sepupunya, Randi membuka tutup botol, lalu menyerahkan mulut botol tepat di bawah bibir adiknya itu. Laras langsung minum mengambil banyak tegukan hingga dia puas dan akhirnya memalingkan wajahnya tanda dia tidak ingin minum lagi. Rena, "..." Meski sudah sering melihat kebersamaan kakak adik sepupu itu, tetapi dia tetap tidak bisa terbiasa dengannya. Dia disodorkan adegan romantis seolah mengejeknya karena telah menjomblo dari lahir. "Randi, aku sangat menderita hari ini." Laras yang energinya telah dipulihkan sedikit, segera mengeluh tentang kekejaman yang baru diterimanya. Randi menutup tutup botol dan meletakkannya kembali ke tempatnya. "Ada apa?" tanyanya tenang, menjalankan mesin mobil dan bergerak maju bergabung dengan kesibukan jalan raya. "Pagi ini aku harus berdiri lama di bawah serangan sinar matahari langsung ketika upacara bendera. Matahari sangat panas dan silau, bahkan sun block-ku hampir dikalahkan olehnya. Lalu setelah itu aku mendapatkan serangan berturut-turut di kelas. Ingin rasanya aku menuntut guru yang membuat jadwal mata pelajaran mengerikan ini. Bayangin, hari ini aku harus belajar Kimia, Biologi, dan Fisika. Tiga kombo sekaligus menghajarku setelah energiku terkuras dari serangan matahari. Tidak cukup sampai situ, kami langsung les Matematika. Aku bahkan tidak mengerti bahasa apa yang dikatakan guru dan itu harus aku dengarkan dengan seksama. Aku membaringkan kepala di meja sebentar saja langsung ditegur." Laras mengumpulkan semua kekuatannya untuk mengeluh, suaranya berapi-api penuh amarah dan kekesalan, merasa sangat teraniaya. Kemudian dia akhirnya kempes lagi tepar di kursi. "Kenapa aku harus menghadapi semua ini?" gumamnya dengan pelan, menutup matanya beberapa saat sebelum kembali membukanya. Gadis itu melihat ke sekelompok anak kecil yang bermain riang dan tertawa keras dari jendela mobil. Dia menghela napas panjang. "Ada begitu banyak orang bahagia di dunia ini, kenapa aku tidak bisa menjadi salah satu dari mereka juga?" katanya dengan emosional. Jika mereka tidak tahu dengan jelas, mereka akan berpikir gadis itu sangat sengsara seolah telah ditinggalkan oleh dunia. Rena memutar matanya, menahan dirinya agar tidak berdecak lidah karena sifat temannya yang sangat berlebihan itu. Padahal dia satu kelas dengan Laras, dia juga ikut dalam upacara bendera, belajar tiga mata pelajaran yang dikatakan Laras, dan ikut les, tetapi dia merasa baik-baik saja. Jelas saja gadis itu hanya ingin melebih-lebihkan keadaan. "Tidak apa-apa, apakah kamu ingin es krim?" tawar Randi. Laras mengangguk, "Ya, rasa stroberi." Randi menepi mobil di depan minimarket, dia berbalik untuk melihat ke arah Rena. "Rasa coklat?" tanyanya. Rena segera mengangguk, "Ya, terima kasih Kak." Randi mengangguk, keluar dari mobil dan segera masuk ke minimarket untuk membeli es krim untuk kedua gadis SMA itu. Laras menyalakan lagu-lagu dari speaker mobil, memilih lagu barat yang nyaman didengar untuk waktu yang lama sebelum merasa puas. "Oh iya, nanti kita akan menyiapkan drama, kamu harus ikut serta di dalamnya. Jangan cuman asal ambil naskah saja," kata Rena mengingatkan temannya itu. Laras mengerutkan keningnya, merasa terlalu malas untuk mengurus hal-hal seperti itu. Tetapi memikirkan pertunjukan mewah di mana dia menjadi peran utama dan pusat perhatian, rasa tertariknya muncul dan dia mengangguk. "Kapan kita akan berlatih?" tanyanya. Rena mengangkat bahunya, "Tiara yang akan membuat naskahnya, tunggu dia selesai dulu sebelum kita bisa menentukannya. Nanti masalah properti yang lain akan mengurusnya, jika kamu merasa tidak ada gunanya maka kamu bisa menyumbangkan uang untuk kelas kami memesan beberapa kostum." Memikirkannya, Laras merasa ide Rena ada bagusnya juga. Dia tidak bisa menyumbangkan tenaganya untuk latar belakang drama ini, karena dia memiliki kelebihan uang, maka tak masalah baginya menyumbangkan beberapa untuk kelas. "Ya, kamu pesankan saja, kirimkan tagihannya ke rekeningku." Laras berkata dengan santai. Rena mengangguk, dia kemudian mengambil ponselnya dan masuk ke grup kelas untuk memberitahukan teman-teman mereka bahwa dia berhasil menyedot sedikit uang tuan putri untuk kelas. Teman-teman sekelas mereka bersorak bahagia, memuji Rena dan Laras secara bergantian. Tak lama Randi datang dengan sekantong besar bermerek minimarket. Dia menyerahkannya ke Laras, membiarkan gadis itu memeriksanya. Laras langsung mencari es krim rasa stroberi miliknya dan menyerahkan yang rasa coklat untuk Rena. "Randi, nanti ketika festival tahun baru di sekolahku, kamu datang ya. Aku akan jadi Snow White," katanya dengan bangga. Randi mengangguk, menjalankan mobil kembali lalu bertanya dengan nada santai, "Siapa yang menjadi pangerannya?" "Ah?" Laras mengerjapkan matanya, menoleh untuk menatap ke arah Rena. "Siapa yang akan menjadi pangerannya?" "Ketua Kelas kita," jawab Rena yang sedang fokus menjilati es krimnya. Laras mengangguk, kemudian dia termenung dan akhirnya matanya melebar. "Tunggu tunggu, bukankah dalam cerita Snow White ada adegan Snow White pingsan karena makan apel beracun dan akhirnya dicium pangeran untuk sadar kembali?" Dia bertanya dengan tatapan tak percaya, penuh rasa ngeri dan merinding. Tatapannya segera tertuju kepada Randi yang kini tertawa geli akan reaksinya. "Kenapa tertawa? Bukankah kamu menyukaiku, seharusnya kamu cemburu." Laras menyipitkan matanya curiga. Randi segera terdiam, dia sudah tahu adiknya itu sangat terus terang, namun dia belum terbiasa dengan adiknya yang tiba-tiba mengungkit perasaannya setiap waktu, membuatnya terperangah tak tahu bagaimana harus bereaksi. Namun Laras tidak menyadarinya, dia malah semakin mengeluh dengan ketidakpuasan. "Sepertinya perasaanmu tidak sedalam itu, kamu bahkan tidak marah aku akan memiliki adegan mesra dengan pria lain. Laki-laki mana coba di dunia ini yang tertawa ketika mendengar seseorang yang disukainya akan dicium orang lain?" Rena menggertakkan giginya, "Laras Filandari, ini hanya drama, tidak mungkin ada adegan seperti itu. Jika ada, maka setiap murid di kelas kita akan mendapatkan masalah karena itu. Jangankan adegan cium, bahkan adegan pelukan dilarang keras, jangan masukan imajinasi berlebihan di otakmu," kata Rena dengan geram. "Oh," gumam Laras pelan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD