058. Misalnya...

1273 Words
Laras menjepit ponsel antara telinga dan bahunya ketika kedua tangannya sibuk mengikat tali sepatu. "Lalu, apakah ayah baik-baik saja?" Mendengar jawaban yang memuaskan dari kakaknya, Laras tersenyum lebar. "Aku ingin bicara dengan ayah, berikan ponsel kepadanya." Namun sayangnya ayahnya tidak ingin mengobrol dengannya. Memikirkan karakter ayahnya yang sedikit unik, Laras akhirnya menyerah dan memutuskan panggilan dengan kakaknya setelah beberapa percakapan. Ayahnya telah pulang dari rumah sakit, menurut Rifaldi, dia sudah sangat sehat dan bahkan bisa berjalan berkeliling rumah yang luas itu. Setelah mengikat tali sepatunya membentuk pita yang umum, dia bangkit dengan tangan berkutat pada ponsel untuk membuka aplikasi memesan taksi, kakinya melangkah menuju pintu utama. Randi sudah memberitahunya bahwa dia tidak bisa mengantarnya ke sekolah hari ini karena sangat sibuk mengerjakan tugas. Laras juga mulai memakluminya dan hanya bisa bergantung pada aplikasi taksi online yang populer. Matahari terbit tepat berhadapan dengan pintu utama rumahnya sehingga ketika Laras keluar, matanya menyipit karena silau akan cahaya matahari yang jatuh menyerangnya. Gadis itu mengangkat tangannya menghadang cahaya tersebut dan melangkah dengan santai ke gerbang depan. Dulunya halaman rumahnya penuh dengan bunga-bunga yang memiliki warna beragam, terlihat segar dan indah. Namun karena tidak ada yang merawat lagi, bunga-bunga yang lemah dan manja itu akhirnya layu satu persatu dan harus disingkirkan, menyisakan pohon-pohon kecil dan tanaman yang penuh warna hijau yang akan tetap hidup bahkan jika ditinggalkan begitu saja. Melewati taman serba hijau itu, Laras berdiri di depan gerbang rumahnya menunggu taksi yang telah dia pesan. "Ibu Rani!" panggil Laras ketika melihat sosok bibinya yang berjalan dengan memegang keranjang penuh sayuran, tampaknya baru saja membeli sayuran dan sekarang akan pulang. Rani menghentikan langkah kakinya, senyuman lembut muncul di wajahnya ketika melihat keponakannya itu. "Baru pergi sekolah? Dimana Randi, kenapa tidak datang mengantarmu?" Laras terkikik, merasa sedikit lucu dengan pertanyaan Rani. Randi adalah anak Rani, namun wanita itu malah bertanya keberadaan anaknya padanya. "Randi sibuk, dia harus mengerjakan tugas kuliahnya yang tak ada habisnya," jawabnya dengan helaan napas. "Sepertinya tugasnya itu tidak akan ada habisnya," lanjutnya. Randi masih tinggal di asrama kampusnya yang memudahkannya untuk mengerjakan tugas dan masuk kelas. Hanya ketika di akhir pekan dia akan pulang tinggal di rumahnya, namun meski begitu dia tidak meninggalkan pandangannya pada Laras. Setiap ada waktu, dia pasti akan merawat adiknya itu, menganggapnya sebagai tanggung jawabnya. Mendengar jawaban Laras, Rani mengangguk. "Kalau begitu Ibu Rani masuk dulu ke dalam, mau buat sarapan untuk Ayah Raka-mu." Laras mengangguk, "Sampaikan salamku untuk Ayah Raka." Melihat Rani masuk ke dalam pekarangan rumah tepat di sebelah rumahnya, Laras tersenyum kecil. Namun seolah memikirkan sesuatu, dia mulai termenung dengan pikiran yang berkelebatan jauh. Dia bahkan sampai tidak menyadari taksi yang dipesannya sudah berhenti tepat di depannya, ketika sopir menekan klakson, baru saat itulah Laras tersadar dan cepat-cepat masuk ke dalam mobil. Laras tipe orang yang datang sekolah tepat waktu, artinya dia tidak suka datang sebelum waktu yang ditetapkan, atau berdiam diri lama di sekolah tanpa kegiatan. Jadi ketika dia datang ke sekolah, itu biasanya lima menit sebelum bel masuk berbunyi, tidak heran terkadang juga dia terlambat sedikit karena keras kepalanya ingin tiba tepat waktu. Pada periode ini, gerbang ramai dengan kedatangan para murid. Banyak murid yang bersemangat, dengan tubuh segar dan penuh wajah cerah datang ke sekolah. Ada banyak juga yang lesu, langkah kaki berat dengan sesekali menguap karena tidak cukup tidur, wajah mereka tampak seolah bisa terjatuh kapan saja karena saking lemahnya. Di depan gerbang ada OSIS yang setia mengawasi para murid, menjadi satpam yang berdiri kokoh menjaga ketertiban. Banyak juga anggota OSIS yang ditempati di tempat parkir dan mengurus parkiran. Laras baru saja melangkah masuk ke gerbang sekolah, melihat para OSIS yang menjadi sosok paling sibuk di pagi hari, Laras tidak bisa tidak berpikir bahwa kata-kata 'OSIS adalah b***k sekolah' adalah benar. "Kemarilah," Laras dengan angkuh mengangkat tangannya membuat isyarat memanggil ke salah seorang murid yang ada di tempat parkir yang merupakan salah satu b***k sekolah. Tidak ada yang tidak mengenal Laras di sekolah ini, mereka semua mengetahui tentang gadis yang sangat mendominasi itu. Terlebih lagi keluarga Laras memiliki cabang perusahaan hampir di tiap kota dan sangat berpengaruh di negara ini. Salah seorang anggota OSIS yang masih kelas 11 datang menghampiri Laras dengan gugup, tidak tahu apa yang diinginkan tuan putri ini. Laras mengeluarkan beberapa lembaran merah dari saku seragamnya, "Beli minuman dan makanan lalu berbagilah." Setelah menyumbangkan beberapa gelintir duitnya, dia mengangguk dan melangkah menuju ke kelasnya dengan langkah anggun. Anggota OSIS itu langsung kegirangan, memberitahu anggota OSIS lainnya dan mereka semua merencanakan akan digunakan beli apa uang itu. Laras berdecak lidah, baru saja dia kepikiran membawa uang tunai, dan segera lenyap begitu saja. Inilah salah satu alasan dia selalu kekurangan uang tunai, itu karena tangannya gatal jika tidak menggunakannya. Ketika dia masuk ke kelas, dia melihat teman-teman sekelasnya berkumpul di satu meja dan tampak memulai diskusi yang serius. "Ada apa?" tanyanya, merasa sedikit gugup. Dia mulai berpikir apakah hari ini ada tugas rumah yang dia lupakan lagi? Waktu sudah hampir habis, jika ada, maka tamat riwayatnya. "Kami membahas drama untuk festival tahun baru nanti," jawab Rena. Laras mengangguk, tidak begitu peduli. "Oh, jadi drama apa yang akan dipentaskan?" tanyanya. "Snow White," Tiara yang menjawab, menunjukkan tulisan yang ada dalam buku di depannya kepada Laras. "Kami telah berdiskusi dan setuju kamu yang akan menjadi Snow White." "Oh? Tentu saja," Laras terkikik, merasa bahwa dia pantas mendapatkan peran utama. Murid-murid di kelas mengangguk setuju, hanya saja tidak diketahui bahwa dipikiran mereka Laras lebih cocok menjadi ibu tiri Snow White yang kejam dan sombong. Hanya saja demi kesejahteraan kelas dan pribadi, tidak ada yang akan mengungkapkan hal itu. Tentu saja itu berbeda dengan sahabat yang tidak diakuinya, Rena. Rena tertawa, duduk kembali di tempatnya dan menarik temannya itu untuk duduk juga. "Sebenarnya aku merasa kamu lebih cocok jadi ibu tiri Snow White. Lihatlah sifatmu yang selalu menganggap diri sendiri yang paling cantik di dunia dan mudah menyimpan kebencian dengan orang lain, bukankah sangat cocok?" katanya dengan sangat tulus. "Kamu yang ibu tiri!" Laras melotot, tidak mau mengakui apa yang dikatakan Rena. Rena tertawa, tidak membantahnya. "Nah, aku memang berperan sebagai ibu tirimu, maka baik-baiklah padaku atau kamu akan kusiksa dengan kejam." Dia mengambil sebungkus keripik ingin membukanya, namun berpikir bel akan berbunyi sebentar lagi, dia mengurungkan niatnya itu. Laras memutar matanya, tidak begitu peduli dengan ucapan temannya itu. Dia baru saja ingin bermain ponsel dan teringat sesuatu, "Ren, aku sedang kepikiran sesuatu," kata Laras dengan gumaman. Rena mengangkat alisnya, "Hum? Apa?" Laras meletakkan ponselnya ke dalam laci meja, menoleh untuk menatap temannya itu. "Kalau misalnya aku sama Randi, jadi keluargaku kira-kira bagaimana?" Mata Rena melebar ketika mendengarnya, "Kamu sudah bersama Kak Randi?" tanyanya dengan suara pelan, berbisik agar tidak didengar orang lain. Laras menggelengkan kepalanya, dibanding Rena, suaranya terdengar santai dan tidak peduli dengan orang lain akan mendengar atau tidak. "Randi tidak mengakui," katanya cemberut. "Oh," Rena mengangguk. "Kamu gimana sih? Tidak mendukung sama sekali," Laras gemas dengan reaksi temannya itu, kesal karena tidak mendukungnya. Rena tidak memedulikannya, dia memikirkan kembali pertanyaan Laras kepadanya. "Kalau kamu bersama Kak Randi, maka tentu harus mengalami masalah keluarga dulu." Terlebih lagi Laras dan Randi termasuk keluarga dekat, sepupu sekali dari ibu mereka. Sebagian besar orang pasti akan menentangnya, dan terlebih lagi untuk keluarga besar seperti Laras dan Randi, tak terelakkan harus mengalami banyak masalah. "Tidak ada harapan sama sekali?" tanya Laras dengan ragu. Rena melihat ke arah temannya yang tampaknya energi paginya terserap begitu saja dengan masalah ini dan merasa lumayan sedikit kasihan. Dia akan menghiburnya dengan beberapa kata, namun bel telah berbunyi keras menghentikan aktivitas santai para murid dan segera mereka semua bergegas bangkit menuju lapangan utama untuk kegiatan upacara bendera yang selalu dilaksanakan setiap hari Senin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD