057. Festival Tahun Baru

1074 Words
Suasana di kelas sedang kacau dan penuh pertentangan. Bahkan wali kelas yang berdiri di depan telah menyerah untuk menghentikan mereka dan membiarkan para muridnya terus berdebat dengan penuh semangat. Karena akan diadakannya acara festival tahun baru, tiap kelas harus membuat satu aktivitas untuk ditawarkan. Sayangnya perbedaan pendapat terjadi sehingga para murid yang gembira langsung terpecah menjadi beberapa faksi dan keras kepala mendukung ide mereka sendiri. "Drama sepertinya yang paling baik, kita bisa membuat kostum sendiri, merancang jalan cerita, dan membuat tiket untuk penonton. Lagi pula bukankah drama sangat umum di festival?" kata Rita, seorang gadis yang tinggi dan kuat, bangkit berdiri untuk mengutarakan keinginannya. Yang lain segera berdiri juga untuk menolak, "Tidak! Kami berpikir lebih baik membuka kafe kucing." Para lelaki langsung bersorak setuju. "Ya ya, buat para pelayan memakai telinga kucing, itu pasti sangat bagus." Halim berkata dengan penuh persetujuan. Rahmat memukul meja, "Yang terbaik buat mereka memakai ekor yang panjang!" "Kalian para lelaki hanya mengisi otak kalian dengan hal-hal yang memalukan," Kidar berkata dengan ekspresi jijik. Dia baru saja putus dengan Rahmat dan sekarang dalam masa ingin menentang mantannya dalam segala hal. "Aku pikir membuat rumah hantu sangat bagus. Bukankah acaranya malam? Di malam hari sangat baik menakuti seseorang." Seorang memberikan ide lagi. Dan mulailah pertentangan tiga faksi dengan masing-masing memegang ide di kepala mereka tanpa ada yang berniat mundur. Laras membuka mulutnya, setiap kali seseorang memberi ide, dia merasa itu bagus dan ingin mendukung, namun ide baru muncul dan membuatnya ingin mendukung yang baru. Terjebak dalam dilema, dia akhirnya hanya bisa membuka menutup bibirnya tanpa tahu akan mendukung yang mana. "Menurutmu yang bagus yang mana?" tanya Laras dengan bingung. Dia menoleh untuk melihat Rena dan melihat temannya itu sedang makan keripik dengan santai dan menonton perdebatan dengan wajah penuh minat. Tampaknya sangat menyukai keributan saat ini dan menyaksikannya seolah sedang menonton drama kesukaannya. "Hum? Entah, aku akan mendukung yang menang dalam perdebatan," kata Rena bahkan tanpa melihat ke Laras. "Sekarang kelas, tidakkah kamu takut guru menegurmu makan di kelas?" Laras berdecak lidah, melirik ke wali kelas mereka yang kini menyerah mengatur kelas dan hanya duduk diam menunggu murid-muridnya memiliki pendapat yang sama. Rena segera melipat bungkus keripiknya dan memasukkannya ke laci. "Aku sejenak lupa," katanya dengan hampa. Ketika dia sedang asik, dia terbiasa memakan keripik, sejenak lupa bahwa sekarang sedang waktu kelas. Setelah setengah jam kemudian, kelas akan berakhir namum belum ada titik terang akan masalah ini. Wali kelas akhirnya berada di titik akhir kesabarannya dan memukul meja dengan keras. Suara gebukan yang tak kecil masuk ke setiap gendang telinga setiap murid, membuat para murid segera terdiam dan memfokuskan tatapan ke wali kelas. Wali kelas, "Kita akan melakukan voting untuk menentukannya. Rena, maju ke depan dan tulis di papan tulis semua kegiatan yang diinginkan teman-temanmu." Biasanya yang maju untuk menulis di papan tulis adalah Tiara selaku sekretaris kelas, namun kali ini karena Tiara merupakan salah satu anggota faksi, jadi guru memanggil Rena yang terlihat berada di sisi tengah, tanpa mendukung siapa pun. Rena menyeka tangannya bekas bumbu balado ke seragam Laras dan bangkit berdiri melangkah ke papan tulis sesuai keinginan guru. Laras mendelik jijik, menatap bekas merah transparant di lengan bajunya dan mengutuk Rena berulang kali dengan mata melotot marah ke temannya itu. Jadi kelas mulai damai ketika pemilihan suara dilaksanakan. "Dan drama yang menang," kata Laras, menatap ke arah kakak sepupunya ketika menceritakan apa yang terjadi di sekolah tadi. Randi mengangguk, dia membelokkan mobil di pertigaan dengan stabil, kemudian melirik kilas ke adik sepupunya. "Kamu memilih apa tadi?" tanyanya. Laras membuka mulutnya, bingung bagaimana akan menjawabnya. "Dia golput," kata Rena yang duduk di kursi penumpang belakang, membantu Laras menjawab. "Golput?" Randi mengangkat alisnya sedikit. Laras melebarkan matanya, "Tidak! Aku memilih," elaknya. Rena yang saat ini memakan keripiknya memutar matanya ketika mendengar itu, "Kamu memilih tiga sekaligus, itu tidak terhitung dan disebut golput, oke?" "Siapa yang tahu aku tidak bisa memilih tiga... Tunggu, darimana kamu tahu aku memilih tiga? Bukankah itu pemilihan dengan jujur tanpa diketahui nama sama sekali." Laras berbalik, menyipitkan matanya dengan curiga. Rena tertawa mengejek, "Siapa lagi yang punya tulis mengerikan seperti kamu. Aku memerlukan waktu lama untuk membaca apa yang kamu pilih, tetapi pada akhirnya kertasmu masuk kategori golput, apakah kamu bercanda?" "Tulisanmu yang mengerikan!" balas Laras, tidak terima tulisannya difitnah seperti itu. Dia mendengar tawa rendah yang datang dari sampingnya, merupakan suara familiar kakak sepupunya. "Kamu menertawaiku?" tanya Laras dengan ekspresi tak percaya, tidak menyangka kakak sepupunya akan menganiayanya seperti itu. "Tidak," jawab Randi. "Aku jelas-jelas mendengarmu tertawa. Meski tulisanmu sangat bagus, tetapi kamu tidak punya hak sama sekali untuk menertawaiku, oke?" Gadis itu menggembungkan pipinya, menjadi dua bentuk yang menonjol. Jika saja Randi tidak sedang menyetir saat ini, dia ingin menyodok pipi yang mengembung itu. "Baiklah, tulisanmu sebenarnya baik." Randi segera berbicara untuk memuji adik sepupunya, suaranya sangat tulus dan penuh kepastian, sehingga tidak diketahui apakah dia benar-benar tulus atau hanya mencoba menghibur Laras. "Benarkah? Tetapi banyak yang mengatakan tulisanku tidak bisa dibaca," kata Laras cemberut. Bukannya dia tidak ingin memiliki tulisan yang baik dan indah seperti Randi dan Rena, hanya saja dia telah mencobanya namun gagal. Jika dia ingin tulisannya rapi, dia membutuhkan banyak waktu hanya untuk menulis satu kata saja, dan Laras tidak termasuk orang yang sabar. "Aku sudah belajar menulis indah, tetapi kenapa tulisanku tidak pernah bagus?" gumamnya tidak puas. Randi seketika mengingat ketika mereka masih kecil, Laras sangat kesal dikatai memiliki tulisan yang buruk. Dia menangis di rumah dan kebetulan Randi berkunjung dan mendengar keluhan gadis itu. Sejak saat itu Laras mulai belajar menulis dengan rapi dan membeli banyak buku untuk belajar menulis. Karena dia tidak suka mengerjakan sesuatu sendiri, dia menarik Randi untuk belajar menulis indah bersamanya. Hasilnya Laras akhirnya mengendur malas dan menyerah, membuang semua bukunya ke Randi dan mengatakan dengan tulus bahwa dia akan membiarkan tugas mulia itu jatuh di tabgan Randi saja. Gadis itu mudah merasa bosan akan sesuatu, sama sekali tidak bisa tahan melakukan aktivitas yang berulang. "Tidak apa-apa, aku bisa membaca tulisanmu," kata Randi. Rena yang duduk seorang diri di kursi belakang menatap bolak balik kedua kakak beradik sepupu di depan. Dia berdecak lidah dalam hati, merasa dirinya sepertinya sangat berlebihan di dalam mobil ini. "Tentu saja, Randi yang terbaik, apa yang tidak bisa kamu lakukan?" kata Laras dengan bahagia, tidak ragu menyanjung kakak sepupunya dengan gembira dan semangat. Rena menggelengkan kepalanya, menatap ke luar jendela dan mulai mengabaikan percakapan dua orang itu yang tampaknya memiliki perisai sehingga dia tidak bisa menerobos masuk ke dalamnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD