056. Hukuman

1068 Words
"Jangan menanyakan hal aneh seperti itu," tegur Randi. Dengan membawa dua piring berisi makanan di tangannya, dia melangkah menuju meja makan. Laras termenung, berdiri diam menatap kakak sepupunya diselimuti cahaya dari lampu rumah yang terang benderang. Dengan kemeja putihnya yang bersih dan cerah, sosok kakak sepupunya tampak seperti malaikat yang bersinar. Akhir-akhir ini, karena perasaan yang terlarang yang bersifat kasat mata, Laras menjadi lebih sering memperhatikan kakak sepupunya. Dan dia sedikit banyak mulai menyadari betapa hebatnya kakak sepupunya itu dibandingkan laki-laki di luar sana. Laras sangat enggan sosok yang hebat di sekitarnya pergi ke orang lain. Dia sangat ingin memilikinya seorang diri, memonopoli setiap kebaikan orang itu hanya untuknya. "Apa yang kamu lakukan mengkhayal di sana? Cepat kemari dan makan," panggil Randi, muncul kembali di pintu dapur untuk melihat sosok Laras. Laras mengangguk, tersenyum lebar dan maju menuju kakak sepupunya. "Apakah saat itu kamu benar-benar sakit hati?" tanyanya lagi. Berpikir bahwa seseorang yang disukainya menyukai orang lain dan bahkan meminta bantuannya untuk mendapatkan orang tersebut. Memikirkan hal tersebut membuat Laras merasa semakin bersalah. Dia bahkan mengutuk dirinya sendiri karena tidak begitu berperikemanusiaan. Randi mengangkat alisnya satu, tidak menjawab sama sekali dan hanya menatap adik sepupunya. "Makan atau tidak?" "Kamu pasti sangat terluka," kata Laras, masih tenggelam dalam menyalahkan dirinya sendiri. "Apakah kamu diam-diam menangis di kamar?" Dia bertanya dengan tampang kaget, merasa terkejut dengan ide yang dia pikirkan itu. Namun semakin dia memikirkannya semakin dia merasa bahwa apa yang dikatakannya tepat sasaran. "Kamu pasti menangis! Apakah kamu diam-diam menyalahkanku?" Tatapan gadis itu berkelebatan, kecemasan bisa terlihat jelas di wajahnya. Randi menarik Laras dengan lembut, menuntun gadis itu menuju meja makan. "Hal aneh apa yang kamu isi di kepalamu sehingga memikirkan hal-hal absurd tiap saat," katanya dengan nada tak berdaya. Laras membiarkan dirinya dituntun, terus merasa bersalah. Dia bahkan mulai mengatai dirinya sebagai wanita yang jahat, kejam, dan tak berperasaan. Memikirkan dirinya yang dulu meminta bantuan Randi agar bisa dekat dengan Kevin setiap saat, Laras menghela napas. Pasti Randi sangat teraniaya, diam-diam terluka namun tidak pernah menyuarakan keluhan itu. Dia bahkan mulai membayangkan kakak sepupunya menangis sendirian di kamar, meski hal itu sangat tak terbayangkan namun dengan imajinasi Laras yang luas, dia berhasil membayangkannya. "Aku bersalah, aku seharusnya tidak melakukan hal seperti itu padamu," katanya. Dia meraih pergelangan tangan kakak sepupunya, matanya yang besar menatap Randi dengan embun yang menyelimuti. Melihatnya, Randi memikirkan kucing kecil yang pernah dilihatnya. Saat ini tatapan Laras tampak sama dengan kucing tersebut, membuat Randi tak kuasa menahan diri untuk mengulurkan tangan dan mengusap kepala gadis itu. "Jadi makan yang banyak," katanya. Laras melebarkan matanya. Randi tidak mengelak sama sekali, bukankah itu berarti dia benar-benar terluka! Rasa bersalah meningkat lagi. Laras bahkan ingin menangis mengingat telah menganiaya kakak sepupunya. "Itu salahmu, tidak memberitahuku perasaanmu lebih awal sehingga aku tanpa sadar terus menyakitimu." Setelah dia mengatakan itu, dia kembali teringat bagaimana tindakannya setelah mengetahui perasaan Randi, Laras merasa bahwa dia pasti gadis nakal yang sadis, benar-benar tak tertolong. "Jangan pikirkan itu, aku tidak masalah sama sekali." Randi sangat tak berdaya di hadapan adiknya yang satu ini. Dia menarik kursi dan menempati Laras di atasnya, menyeret makanan ke depan gadis itu. "Makan yang banyak, jangan terus memikirkan hal aneh di otakmu." Laras diam, dia menatap makanan di depannya dan merasa lebih sedih. "Aku ingin diet dan kamu terus memberiku makanan yang sebenarnya harus aku hindari." Setelah mengeluh, dia menyipitkan matanya curiga. "Kamu balas dendam padaku? Ingin membuatku gemuk karena telah menyakitimu?" Matanya melebar, menatap Randi dengan pandangan tak percaya seolah mengatakan bahwa dia tidak percaya kakak sepupunya bisa melakukan hal keji seperti ini. Namun dia tidak mengeluh lagi, "Baiklah, demi menghukum diri sendiri, aku akan menghabiskannya," katanya pasrah. Laras menutup matanya dramatis dan makan dengan lahap, merelakan berat badannya bertambah demi membalas kejahatannya. Randi ingin tertawa melihat tingkah lucu adik sepupunya. Karena tadi siang Laras tidak makan banyak, Randi membawa makanan favorit gadis itu malam ini. Namun siapa sangka gadis itu jelas makan dengan lahap dan puas, namun masih berpikir itu adalah hukuman. Setelah selesai makan, Randi akan pergi. Laras merasa enggan melihat kakak sepupunya itu pergi. Matanya yang lebar terus menatap punggung kakak sepupunya yang kian menjauh. Kemudian dia seolah teringat sesuatu, dia mengangkat tangannya untuk berada di sisi mulutnya sebelum berteriak. "Randi, maafkan aku! Aku pasti tidak akan mengulangi kesalahan yang sama!" Suaranya keras dan lantang. Untungnya halaman rumah Laras sangat luas sehingga tidak terdengar oleh orang lain. Randi membalikan diri, melihat adik sepupunya mengangkat tangan tinggi-tinggi dan melambai antusias ke arahnya. Dia juga mengangkat tangan, melambai santai menanggapi adik sepupunya itu. "Jadi, kamu tidak diet lagi?" Rena melihat temannya makan bakso dengan nikmat dan mulai merasa lapar juga. Dia mengangkat tangannya untuk memesan bakso yang sama yang dimakan Laras. Laras makan banyak, menggelengkan kepala. "Tidak, aku sedang masa menghukum diri sendiri." Rena mengeluarkan ekspresi ragu, menatap Laras dengan aneh, lalu ke mangkok bakso yang hampir habis. "Hukuman apa yang begitu menyenangkan?" "Menyenangkan apa? Aku tersiksa!" elak Laras, merasa sakit hati setiap menggigit daging bakso, namun kelezatan yang tinggal di dalam mulutnya menetralisasi kan sakit hatinya akan berat badannya yang bertambah. "Biarkan Randi puas," katanya menghela napas, tampak seolah tak berdaya. Rena menjadi semakin bingung, namun mengingat sirkuit otak Laras yang berbeda dengan orang pada umumnya, dia tidak mempermasalahkannya lagi. "Oh iya, aku dengar akan ada festival nanti. Kelas kita ikut," kata Rena mulai mengatakan topik baru kepada Laras. Mereka berdua ada di kantin sekolah, kantin yang baru saja dibuka hari ini. Sebagai anak muda, mereka suka menjelajahi hal baru. Jadi setelah kantin ini dibuka, banyak murid mengkhianati kantin lama dan dengan penuh antusias dan penasaran masuk ke kantin baru untuk membandingkan rasa dengan kantin lama. Laras dan Rena termasuk dalam murid-murid tersebut. Karena masih baru, operasinya masih berantakan. Tetapi hal baiknya, kantin baru ini memiliki pelayan yang siap sedia mencatat menu pesanan para murid, tampak seperti di restoran. "Festival?" Laras meminum jus stroberi miliknya, dia berpikir lama dan tidak ingat tentang hal itu. "Kapan?" "Masih rumor sih, Farid yang memberitahuku. Mungkin masih dalam tahap diskusi," kata Rena yang memiliki banyak sumber informasi. Laras merasa sedikit iri dengan Rena yang mampu memiliki banyak teman. "Kamu memiliki banyak teman cowok, kapan kamu akan memiliki pacar dari salah satu temanmu itu?" tanyanya. Rena mengangkat alisnya, berpikir lama dan tersenyum misterius. "Kapan-kapan, saat ini apa yang lebih baik dari bersama keripik kesayanganku." Laras sudah menduga jawaban itu, dia memutar matanya dan makan dengan sakit hati dan penuh bahagia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD