042. Gulali

1372 Words
Ketika mereka sampai di taman hiburan, ada lima teman Randi yang hadir. Laras menatap kelima mahasiswa dan menoleh ke kakak sepupunya. "Ternyata ketika menjadi mahasiswa, kamu akan tahu bergaul dengan orang lain," kata Laras, merasa sedikit terharu. Pasalnya, ketika sekolah dulu, Randi benar-benar sangat menyendiri dengan kumpulan buku-buku tebal. Bahkan setelah menjadi ketua OSIS, pemuda itu hanya mengikuti kegiatan dan tidak bergaul lebih dengan teman sekelas atau anggota organisasinya. Hal itu membuat Laras terkadang merasa kasihan dengan kakak sepupunya, ketika dia mengadakan kegiatan hiburan, dia pasti akan mengajak Randi. Bagaimana pun, tidak baik untuk menjadi sangat menyendiri. Randi mendengar ucapan Laras dan tersenyum kecil. "Ketika kuliah nanti, kamu akan mendapatkan banyak teman juga. Lebih banyak dariku." "Tentu saja," kata Laras, menerima ucapan Randi begitu saja. Sekarang pun dia memiliki teman lebih banyak dari Randi, meski bukan teman dekat seperti Rena, semua teman sekelasnya adalah teman baiknya. "Randi!" Teman-teman Randi melambai ketika melihat mereka untuk menunjukkan keberadaan mereka. Randi mengajak Laras dan Rena untuk mendekat, lalu memperkenal kedua siswa itu ke lima mahasiswa. "Oh oh oh, ini adik Randi? Sangat cantik," seorang pemuda yang memakai topi bisbol berkata dengan berlebihan. Laras menjentikkan rambutnya, tersenyum kecil ketika mendengar itu. Dia sendiri mengakui bahwa dirinya cantik, jadi itu bukan hal yang aneh. Berbeda dengan Laras yang bersikap angkuh, Rena langsung tersenyum ramah. "Halo, saya Rena." Dia segera memperkenalkan dirinya di hadapan senior-senior itu. Di antara lima teman Randi tersebut, hanya Fito yang dikenalnya. Untungnya kelimanya memang sangat ramah dan menanggapinya, mereka mulai mengajak Rena mengobrol. Laras selalu malas berinteraksi ramah dengan orang lain yang masih asing baginya. Biasanya ketika bertemu orang baru, Rena lah yang bertugas bersikap ramah dengan orang tersebut. "Tumben Ndi kamu manggil kami untuk bermain, aku merasa terharu sampai hampir menangis di jalan tadi," kata seorang pemuda dengan topi bisbol— Indra, tampaknya dia sangat suka mendramatisir keadaan. Dia bahkan mengusap air mata khayalan di pipinya untuk menunjukkan bahwa dia benar-benar terharu. Yang lainnya tertawa karena tingkahnya. "Tetapi serius aku juga merasa kaget, sayangnya tiga lainnya sudah pulang, mereka tidak bisa ikut." Seorang gadis menimpali, dia adalah Amelia, Laras dan Rena telah melihatnya beberapa kali sebelumnya. Tatapan Laras entah bagaimana langsung menyoroti dua gadis yang datang. Kedua gadis itu sangat kasual dan santai, melihat wajah mereka, itu memiliki poin kecantikan tersendiri. Entah apa yang dipikirkan Laras, gadis itu tiba-tiba merasakan alarm berbahaya. Dia melihat ke arah kakak sepupunya, berpikir bahwa Randi bergaul dengan banyak gadis, apakah mungkin kakak sepupunya itu mulai menyukai orang lain? Taman hiburan sangat padat di hari libur. Banyak keluarga dan anak muda datang untuk menikmati liburan mereka dan bersenang-senang dengan orang terdekat mereka. Kedelapan anak muda itu segera menentukan tujuan mereka, karena ada delapan otak, maka masing-masing memiliki pilihan untuk memilih wahana yang berbeda. Ketika pertengkaran hampir tercipta, seseorang segera maju menengah. "Kita akan melakukan semuanya, tidak perlu berdebat. Mari mulai dari yang terdekat." Fito berkata dengan tenang, tampak terbiasa menjadi penengah di antara orang lain. Yang lain juga tampaknya setuju dengan saran Fito, mereka mengangguk dan mulai memainkan wahana yang paling dekat dengan mereka. "Aku tidak akan ikut naik," kata Laras tiba-tiba yang menarik perhatian. Di hadapan mereka adalah roller coaster yang sangat besar, berliku, dan menantang. Laras melihat ketika sekelompok orang meluncur dan menjerit keras. Gadis itu langsung membuang wahana permainan itu dari daftar pilihan wahana yang akan dia mainkan. "Kenapa?" tanya Fito tanpa sadar. Entah kenapa Randi dan Rena tidak bertanya, mereka berdua mungkin sudah tahu jawabannya. Laras menutup mulutnya rapat. Dia tidak mungkin mengatakan kepada semua orang bahwa dia tidak ingin naik karena dia takut rambut dan gaunnya berantakan. Dia telah berdandan untuk waktu yang lama, itu semata-mata agar dia terlihat yang paling indah di antara orang lain. Jadi Laras sangat enggan menunjukkan penampilan memalukan dirinya di hadapan orang lain. "Apakah adik Randi takut?" Seorang gadis yang memiliki rambut pirang coklat, Sofia berkata main-main dan tampak menggoda. Namun di telinga Laras itu tampak seperti ejekan. "Tidak mungkin aku takut, hanya saja itu permainan anak kecil, aku tidak akan naik. Jadi kalian saja yang pergi," kata Laras dengan nada suara angkuh. Dia berbalik dan menemukan tempat duduk panjang yang kosong, menatap mereka dengan tatapan menantang. "Aku akan menunggu kalian di sini," dia bahkan membuat sedikit senyum di bibirnya yang terlihat sangat sinis. Para mahasiswa tiba-tiba merasa canggung. Jika mereka memainkan wahana yang dikatakan untuk anak kecil oleh anak SMA, bukankah itu akan melukai harga diri mereka? Rena ingin memukul dahinya dan menutupi wajahnya, dia melirik ke arah kakak-kakak mahasiswa dengan senyum canggung. "Maafkan dia, dia memang seperti ini, kalian tidak perlu mengambil hati setiap ucapannya." Fito langsung mengangguk, membantu Rena menghadapi situasi ini. "Ya, sifatnya memang sedikit unik, kalian maklumi saja." Indra langsung tertawa. "Randi, adikmu sangat unik, benar-benar berbeda denganmu," katanya meredamkan suasana canggung sebelumnya. Randi mengangguk, "Kalian bermain saja, aku akan menemaninya." Mereka semua terbiasa dengan sikap Randi yang tenang dan tidak begitu akrab dengan orang lain. Jadi mereka semua setuju untuk naik wahana dan meninggalkan dua orang itu tanpa beban hati. "Kamu takut rambutmu akan berantakan jika naik itu, bukan?" tanya Randi menggunakan nada penuh kepastian kepada adik sepupunya. Laras menengadahkan kepalanya, mengulurkan tangan untuk menarik Randi agar duduk di sampingnya. "Hum, aku sudah memperbaikinya selama setengah jam, jika rusak, aku akan menangis di sini dan kamu harus menghiburku." Randi tertawa ringan mendengar ucapan Laras, baginya adik sepupunya itu terlihat sangat manis ketika bersikap manja seperti ini. Dia mengulurkan tangannya, dengan hati-hati menyentuh kepala Laras. "Baiklah, ketika kamu menangis nanti, aku akan membujukmu. Apakah kamu ingin sesuatu?" Tatapan Laras tertuju pada tangan Randi yang terulur ke arahnya, dia menggerakkan kepalanya untuk menghilangkan tangan besar di kepalanya dan berkata cemberut. "Aku ingin gulali, belikan untukku," katanya, dia menunjuk ke penjual gulali yang dikelilingi oleh banyak orang yang ingin membeli. Randi melirik dan mengangguk setuju, "Jangan makan banyak-banyak," katanya lalu bangkit dan pergi untuk membeli gulali. Laras terkikik, dia melihat sosok kakaknya yang berbaur ke kerumunan dan merasa sangat senang. Gadis itu duduk seorang diri, bersiul menyenangkan hatinya dan melihat sekitar dengan asal. Di antara banyak orang yang memakai pakaian kasual, penampilan Laras yang cantik dan berdandan rapi sangat mencolok, tampak seperti sinar rembulan di malam hari. Dua pria berhenti tepat di depan gadis itu, mengeluarkan senyum ramah mereka dan menyapa, "Hai cantik, sendiri ya?" Laras mengangkat kepalanya, mengernyit tidak suka dan menoleh tanpa memedulikan kedua pria itu. "Kok diam, Cantik? Mau ditemani kami?" tanya salah satunya. Suara mereka sengaja dibuat menggoda dan dibuat-buat. Ketika salah satu pria itu akan duduk di samping Laras, Laras langsung bangkit berdiri. Dia melebarkan matanya, melotot tajam. "Jangan menggangguku, siapa yang mau ditemani kalian. Tidak usah sok kenal denganku." "Wuih, galak benar. Gadis cantik tidak boleh marah-marah, nanti cepat tua." Pria yang menggunakan jaket berwarna cokelat berkata dengan main-main. Laras memutar matanya, dia melihat sekitar dan kebetulan mendapati sosok kakak sepupunya yang berjalan ke arahnya dengan membawa gulali di tangannya. "Randi!" seru Laras, segera berlari dan meraih lengan kakak sepupunya. Dia kemudian menatap menantang ke dua pria yang berani mengganggunya. "Siapa yang sendiri? Lihatlah wajah kalian sebelum ingin mendekatiku. Jika saja kalian sepersepuluh tampannya seperti dia, aku mungkin bisa memikirkannya lagi." Kedua pria itu hanya bercanda dan bermain dengan seorang gadis cantik, ketika menemukan bahwa gadis itu ternyata memiliki seorang pria di sisinya, mereka tidak lagi memiliki minat untuk mengganggu. Menghadapi tatapan tajam yang diberikan Randi, kedua pria itu langsung pergi begitu saja, enggan menimbulkan kekacauan. "Apa katamu tadi?" tanya Randi pada Laras. Gadis itu merasa puas dengan kepergian kedua pria itu, merasakan kemenangan tersendiri. Dia mengambil gulali dari Randi, memakannya sedikit demi sedikit ketika menanggapi ucapan Randi dengan santai, "Um... apa?" "Jika mereka tampannya sepersepuluh sepertiku, kamu akan memikirkannya lagi?" Randi mengangkat alisnya, menunggu dengan sabar Laras menjawab pertanyaannya. Laras melirik kakak sepupunya, kemudian dia mengeluarkan senyum manis. "Hanya bercanda, kamu juga tahu betapa lancarnya aku berbicara tanpa berpikir. Sebagian besar kata-kataku tidak boleh dipercaya." Randi mengetahui itu, namun dia tetap memperingati adiknya dengan tegas seperti biasanya. "Kamu sudah kelas dua belas, sudah saatnya kamu fokus dengan pelajaranmu. Jangan pikirkan hal-hal aneh lagi, terlebih lagi perasaan cinta-cinta monyet masa sekolah." "Iya iya aku tahu," jawab Laras cemberut. Kemudian dia seolah mengingat sesuatu, matanya menatap Randi dengan tatapan menuduh, "Tapi kamu cinta sama aku ketika masih sekolah, bukan?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD