041. Taman Hiburan

1080 Words
Keesokan harinya Laras bangun sangat pagi oleh alarm. Ini adalah hari Minggu yang cerah, yang seharusnya digunakan dengan baik untuk tidur hingga siang hari. Tetapi karena telah memiliki rencana sejak awal, Laras harus bangun dengan sangat terpaksa. Gadis itu memiliki rambut yang berantakan seperti sarang burung, dengan wajah yang masih sembab bekas bangun tidur. Dengan lesu, gadis itu beranjak dari tempat tidur dan pergi untuk mencuci muka serta sikat gigi. Kemudian dia akan pergi ke dapur untuk mengambil air. "Sudah bangun?" Laras menoleh, melihat kakak sepupu kini berada di dapur entah sejak kapan. Dia berjalan malas ke arah Randi, bersandar ke punggung pemuda itu tanpa energi. "Hm, aku sangat mengantuk," gumamnya penuh keluhan. "Tidur beberapa saat lagi," kata Randi pelan, merasakan beban di punggung belakangnya namun tetap tenang menyiapkan sarapan untuk tuan putrinya. "Tidak," Laras langsung menolak. Dia berusaha menghilangkan rasa kantuknya dan bangkit untuk pergi ke dispenser. Dia tidak lupa bahwa dia sedang haus saat ini. "Kita akan pergi ke taman hiburan sebentar," katanya dengan santai, matanya mengamati bagaimana air mengalir ke dalam gelas kaca yang ada digenggamnya. "Kita?" Randi menoleh, mengangkat alisnya untuk melihat gadis lesu itu. "Ya, kita," Laras menjawab dengan pasti dan tegas, sama sekali tidak menerima penolakan. Randi melihat sikap gadis itu, dia akhirnya tersenyum kecil dan tidak membantahnya. "Pergi ke meja makan untuk sarapan," ujarnya, membawa nampan yang berisi semangkok bubur ayam dan segelas s**u putih. "Hm," Laras dengan langkah malas mengikuti di belakang Randi. Dia duduk di kursi depan meja makan, menunggu Randi menyiapkan makanannya di hadapannya. "Buatan Ibu Rani?" tanyanya. Aroma bubur yang wangi dan menggoda masuk ke dalam penciumannya dengan rasa yang familiar. Sebelum Randi menjawab, Laras sudah tahu jawaban pastinya. "Ya, makanlah yang banyak. Ibu membuatkannya untukmu," kata Randi, mengulurkan tangan mengacak rambut Laras. Membuat rambut yang berantakan bekas bangun tidur menjadi semakin berantakan. Laras mengerutkan keningnya, menatap Randi dengan kesal. "Kenapa kalian sangat suka menganiaya rambutku," gerutunya. "Terlihat manis," jawab Randi, tersenyum geli menghadapi rasa kesal gadis itu. Tangan Laras yang memegang sendok membeku. Dia menoleh ke arah Randi yang duduk di sampingnya menemaninya, pemuda terus menatapnya dengan tenang. Ketika Laras menoleh, Randi mengangkat alisnya yang merupakan pertanyaan tanpa suara. "Apakah kamu menyukaiku karena terlihat manis?" tanya Laras penasaran. Raut wajah gadis itu memperlihatkan seperti seorang anak kecil yang penasaran dengan berbagai hal di sekitarnya, tampak polos dan tak berdosa. Bertanya dengan nada seolah itu adalah hal yang sangat wajar. Randi terdiam oleh pertanyaan itu. Memperhatikan ekspresi gadis itu tidak memiliki keluhan atau amarah sama sekali, barulah dia memikirkan jawabannya. "Mungkin," katanya samar. "Apa sih mungkin mungkin, jawab yang pasti saja apa susahnya." Laras menggerutu tidak puas, makan bubur di depannya dan melupakan kekesalannya saat rasa gurih yang hangat menyentuh panca indera perasanya. Setelah selesai sarapan, Laras bangkit berdiri. "Cepatlah siap-siap, kita akan pergi bermain!" serunya, menatap kakak sepupunya dengan antusias. Randi mengambil mangkok dan gelas kotor di atas meja, mengangguk tenang kepada gadis yang baru memulihkan energinya itu. "Ya, apakah aku akan berperan sebagai sopir pribadimu lagi?" Dia sering kali berperan sebagai sopir pribadi Laras, jadi ketika gadis itu tiba-tiba mengajaknya ke suatu tempat, maka itulah pemikiran pertama Randi. "Tidak," Laras menggelengkan kepalanya, dia mengulurkan tangannya untuk meremas daging di pipi Randi. Tertawa terbahak-bahak setelah berhasil membuat wajah tampan kakak sepupunya menjadi sangat jelek. "Kamu akan berperan sebagai partnerku." Setelah mengatakan itu, Laras berbalik dan lari ke kamarnya dengan sangat lincah, bahkan hampir menabrak ujung meja karena saking energiknya. "Jangan berlarian," tegur Randi, mengamati sosok lincah itu berlari dan menghilang dari pandangannya. Dia tidak mengalihkan pandangannya sebentar, memikirkan apa yang baru saja Laras katakan. Namun berpikir gadis itu selalu mengatakan hal absurd dengan santai, Randi menggelengkan kepala dan pergi ke dapur dengan peralatan makan kotor di tangannya. Rena menekan bel berkali-kali, meluapkan semua kekesalannya pada bel pintu yang tak bersalah. Ketika pintu yang tertutup rapat akhirnya terbuka, sosok gadis dengan rambut basah habis mandi terlihat. "Apaan sih, berisik tahu. Kalau mau masuk, tinggal masuk saja. Tidak usah sok sopan gitu. Lagian orang sopan mana yang tekan bel seperti kamu," gerutu Laras kesal, tangan kanannya memegang pengering rambut. Rena melihat penampilan Laras dan merasa bahwa seluruh kesabarannya pasti dihabiskan hanya untuk gadis ini. Dia masuk ke dalam, mengikuti gadis itu ke arah kamar. "Kamu kan yang setel alarm di ponselku," kata Rena dengan curiga. Tadi subuh dia terbangun kaget oleh alarm ponselnya. Dia tidak pernah mengatur alarm di hari Minggu, jadi itu pasti ulah gadis jail ini. Namun hal yang menyebalkannya adalah setelah Rena mematikan alarm, alarm berikutnya berdering. Hal itu terus berlanjut hingga Rena akhirnya tidak bisa lagi tertidur. Hari Minggunya yang indah kini rusak karena sering alarm itu. Laras terkikik, tidak mengelak sama sekali. "Kalau tidak seperti itu, aku harus meneleponmu untuk membangunkanmu." "Kenapa aku harus ikut di acara kencanmu? Apakah kamu ingin aku menjadi udara lagi?" Rena sama sekali tidak mengerti isi pikiran Laras. Apa gunanya membawanya ketika kencan? Bukankah itu malah menghancurkan rencananya sendiri. Lagi pula kencan adalah kegiatan dua orang, jadi orang ketiga seperti Rena seharusnya tidak hadir. "Tenang saja, aku sudah meminta Randi membawa teman-temannya, jadi kamu tidak akan kesepian." Laras menunjukkan jempolnya, mengatakan kepada temannya itu untuk tidak khawatir. Masuk ke dalam kamar, Laras memasang colokan kabel pengering rambut ke stop kontrak. Suara dering ringan dari pengering rambut terdengar, angin panas segera keluar tertuju ke rambut lurus Laras yang setengah basah. Rena duduk di ujung tempat tidur, tangannya memegang toples kue yang ditemukannya di meja yang dia lalui tadi. Segera mengisi mulutnya dengan kue, dia menatap malas ke sosok temannya. "Kamu tahu kencan tidak? Kenapa malah mengajak banyak orang, bagaimana bisa kamu disebut kencan kalau begitu?" "Ck kamu cerewet," kata Laras kesal, tidak sabar mendengar berbagai pertanyaan yang keluar dari mulut temannya itu. "Yang intinya aku akan kencan." Ketika gadis itu keluar dari rumah, Randi telah siap di depan dengan mobilnya yang baru dicuci bersih dan mengkilat seperti baru lagi. Laras bertepuk tangan, "Kakakku memang yang terbaik," katanya dengan santai tanpa ketulusan sama sekali. Kemudian dia langsung membuka pintu depan dan masuk dengan riang. "Ayo ke taman hiburan, kita akan bermain di sana." Randi bergumam rendah, membiarkan kedua gadis itu duduk dengan aman sebelum menjalankan mobil. "Apakah kamu juga mengajak temanmu?" tanya Laras segera, tangannya bergerak memasang sabuk pengaman dengan lancar. Randi mengangguk tenang, "Ya, aku mengajak mereka, belum tentu mereka akan pergi." Namun pemikiran Randi salah. Teman-temannya sangat terkejut dengan ajakan samar Randi ke taman hiburan, mereka dengan antusias bergegas dan berkumpul di taman hiburan, bahkan telah tiba sebelum sang pengajak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD