Pintu asrama terbuka, Fito masuk dengan membawa kantong plastik yang penuh dengan makanan. "Aku membawakan kalian bakso di depan gerbang, masing-masing satu bungkus, jangan berebutan."
Suara Fito selalu pelan dan ringan, namun dapat terdengar jelas oleh Rehan dan Faldi yang kini sedang bermain game dengan headset yang menutupi telinga mereka.
"Bakso? Astaga, Fito, Dewa penyelamatku!" Rehan langsung membuka headset, mengabaikan permainan yang sedang berlangsung di layar komputernya, dia langsung menyerbu ke arah Fito.
"Eh eh, kampret, kita akan kalah!" Faldi di sisi lain masih memiliki rasa tanggung jawab yang besar dalam menghadapi musuh besar. Tangannya masih berkutat dengan papan ketik, meski pikirannya telah teralihkan oleh kelezatan daging bakso yang membuat perutnya keroncongan.
Lama dia bertahan, namun setelah melihat Rehan makan dengan nikmat, Faldi akhirnya menyerah akan integritas tim dalam menyerang bos game dan bergabung dengan penikmat bakso.
Fito tertawa rendah, dia meletakkan tas hitamnya di atas meja dan kebetulan melewati salah satu anggota asrama yang kini tampak tenggelam dengan pikirannya sendiri di depan meja belajar. Di hadapan orang tersebut ada bank soal yang hampir terjawab penuh dengan sebuah buku coretan yang digunakan untuk menghitung rumus dalam soal.
"Kamu tidak mau makan dulu?" kata Fito dengan santai, melirik ke arah soal-soal yang jelas tidak ada hubungannya dengan mata kuliah mereka.
Namun tidak ada jawaban dari orang tersebut, nanti Fito bertanya untuk kedua kali barulah Randi tersadar.
Tangan pemuda itu bergerak tenang di atas lembar kertas, mengerjakan soal-soal dengan mudah dan cepat tanpa halangan sedikit pun. Menanggapi pertanyaan Fito, Randi bergumam pelan tanpa mengangkat kepalanya sedikit.
"Jangan ganggu dia, sejak dia tiba, dia telah tenggelam dalam soal-soal itu. Apakah jurusan kalian begitu mengerikan?" Rehan berdecak lidah, dia berbicara sambil makan sehingga suaranya tampak kacau.
Fito menggelengkan kepala, "Tidak juga, tidak ada tugas dari matkul Matematika."
Mendengar itu, Rehan dan Faldi hanya bisa menghela napas tentang Randi yang terlalu rajin dalam belajar.
Bahkan ketika malam berada di puncaknya, Randi tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti mengerjakan soal-soal yang memenuhi buku tebal bank soal miliknya. Tangannya seolah terbuat dari robot tanpa rasa lelah sama sekali bahkan setelah berjam-jam bergerak menjawab setiap soal yang memiliki rumus yang rumit.
Randi selalu suka belajar, dari kecil dia akan tenggelam dalam buku dan bisa saja mengabaikan sekitarnya dengan ini. Semua soal Matematika yang orang lain anggap sulit dan menyiksa dapat dengan mudah dia pecahkan dalam waktu singkat. Orang lain selalu memujinya cerdas, terlebih lagi dia sering meraih juara sejak kecil hingga sekarang. Bahkan Randi sendiri merasa bahwa dia memiliki logika yang baik dan dapat dengan mudah memecahkan masalah apa pun. Namun begitu terkait dengan seseorang tertentu, Randi sama sekali tidak tahu harus melakukan apa, berbuat apa, dan berpikir seperti apa.
Bagi Randi, Laras adalah soal yang sangat sulit yang pernah dia temukan. Rumus apa pun tidak akan bisa menyelesaikannya.
Ketika Fito bangun di tengah malam untuk pergi ke kamar mandi, dia melihat Randi tertidur di meja belajarnya. Tangan kanannya masih memegang pena, tampaknya dia tertidur ketika mengerjakan soal.
Fito mengernyit, dia mendekati Randi dan menepuk bahu temannya itu. "Randi, bangun."
Randi hanya setengah tertidur, dia segera sadar setelah namanya disebut. Matanya terbuka dengan tenang, dia bangkit dari meja belajarnya dan mengatakan terima kasih kepada Fito.
"Jangan buat otakmu lelah sendiri," kata Fito dengan santai sebelum berjalan menuju kamar mandi.
Tidak ada jawaban dari Randi, pemuda itu telah mengatur buku-buku di atas meja belajarnya dengan tenang tanpa suara. Jari-jarinya yang panjang meletakkan pena di tempat pensil dengan rapi. Meja belajarnya kini kembali bersih, menjadi meja yang paling tertata di antara empat meja belajar yang ada di asrama ini.
Setelah itu, Randi pergi berbaring di tempat tidurnya, namun dia telah terbangun dan tidak bisa tidur kembali.
Pemuda itu meraih ponselnya, membuka sosial media dan memeriksa akun adik sepupunya.
Suara Laras yang berteriak bahwa perasaan yang diembannya itu menjijikan terus bergema di telinganya, tampak berusaha ingin menggerogoti hatinya, membuat Randi tidak bisa melupakannya.
Tidak ada pembaharuan di akun Laras, Randi hanya menggulirkan layar untuk melihat-lihat postingan sebelumnya gadis itu.
Laras selalu suka bermain sosial media, hal apa pun akan dia bagikan di sana sehingga akunnya tampak sangat hidup. Karena Laras termasuk murid yang populer di sekolahnya, banyak murid lainnya mengikuti dan berkomentar di bawah postingannya.
Randi mengamati setiap gambar yang Laras unggah, mengamati gambar gadis cantik itu yang tersenyum sangat cerah hingga membuat sinar matahari menjadi minder di depannya. Terlebih lagi tatapannya yang seolah telah merebut bintang-bintang, sangat indah dan memukau.
Seberapa besar pun usaha Randi untuk melepaskan perasaannya, dia tidak bisa. Gadis itu terlalu berarti baginya, terlalu penting sehingga Randi ingin memiliki, merangkul, dan menjaganya di sisinya setiap saat.
Hingga akhirnya Randi masih terbangun di dini hari tanpa rasa kantuk sama sekali. Karena dia memiliki matkul pagi ini, Randi tidak ingin melanjutkan tidur dan terlambat nantinya. Jadi Randi bangkit dari atas tempat tidur dan keluar untuk jogging.
Ketika dia kembali ke asrama, ponselnya menyala dengan nada dering yang pelan. Seharusnya Randi tahu bahwa itu bukan nada dering khusus yang diberikannya untuk kontak Laras, namun Randi masih dengan sigap meraih ponselnya berharap bahwa Laras-lah yang memanggilnya. Dan harapannya tidak terkabulkan, karena yang meneleponnya adalah Rena— teman dari adik sepupunya.
Randi langsung menjawab tanpa penundaan karena sebagian besar panggilan dari Rena pasti berkaitan dengan Laras.
"Halo," kata Randi dengan suara rendah, suasana hatinya tidak baik sejak semalam.
Suara Rena bahkan lebih buruk, tampak mendesak dan frustrasi. "Apakah Kak Randi tahu dimana Laras? Dia tidak datang sekolah, aku pergi ke rumahnya dan tidak menemukannya. Dia dimana?"
Kelopak mata Randi tersentak, "Aku akan mencarinya," katanya sebelum memutuskan panggilan.
Tanpa penundaan, Randi langsung berjalan meriah jaketnya dengan tangan bergerak cepat menghubungi nomor adik sepupunya. Sama seperti yang dia pikirkan, ponsel Laras mati dan tidak ada nada dering terhubung sama sekali. Namun Randi seolah tidak mengenal akal, dia terus menghubungi nomor itu meski tahu akan gagal.
"Aku akan turun membeli sarapan, apakah kalian ingin pesan?" tanya Fito kepada teman sekamarnya.
Rehan dan Faldi langsung menyebutkan nama makanan yang mereka inginkan.
Fito mengangguk lalu menoleh ke arah Randi, "Kamu—"
"Tidak," tolak Randi cepat, dia mengambil kunci mobilnya dan keluar dengan langkah panjang dari asrama.
Randi seharusnya sangat mengenal sifat impulsif adik sepupunya itu yang dapat melakukan berbagai hal ketika emosional. Dalam beberapa pengalaman, Randi sering mendapati Laras mendapat masalah karena kecerobohannya. Randi seharusnya sangat paham, namun karena pikirannya sendiri dia lupa akan sifat Laras dan pergi meninggalkan gadis itu seorang diri.
Randi bersumpah, jika terjadi sesuatu pada Laras, maka dia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.