021. Menjijikan

1592 Words
Laras menatap waspada ke arah pintu yang masih tertutup, dia memastikan bahwa dia tidak lupa mengunci pintu tadi dan menjadi sedikit tenang. Namun ketukan pintu yang dibuat Randi membuat jantungnya seolah terikat di setiap ketukan tersebut. "Laras, kamu di dalam, kan? Ayo buka pintunya, aku mau masuk." Suara Randi selalu tenang dan stabil, memiliki ketegasan dan penekanan yang pas sehingga orang lain tidak mudah mengajaknya untuk membuat lelucon. Namun tipe suara tersebut sering membuat orang bergantungan dan memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap pemiliknya. "Laras? Kenapa diam saja?" Namun kini, Laras tampak merasa sangat tegang ketika mendengar suara yang familiar itu. Matanya kelabakan, melihat sekitar untuk mencari sesuatu yang bisa membantunya. Ketika Randi memanggil namanya lagi, Laras tampak tidak tahan dan berteriak dengan keras. "Berhenti! Jangan memanggilku!" Untuk sesaat suara ketukan pintu dan panggilan dari Randi berhenti, namun itu hanya sesaat sebelum Randi kembali bersuara lagi. Kali ini dengan nada yang lebih lembut dan pelan, dia bertanya, "Kamu melihatnya?" Hati Laras bergetar dengan pertanyaan sederhana itu. Dia menggigit bibir bawahnya, tiba-tiba otaknya menjadi kosong tanpa tahu harus berpikir apa. Namun yang pasti dia tahu bahwa dia tidak boleh bertemu dengan Randi, kakak sepupunya yang sudah dianggap selayaknya kakak kandungnya yang kini menyimpan perasaan untuknya. "Kamu sialan Randi! Kamu sialan!" seru Laras histeris, mengambil album biru muda di tangannya dan melemparkannya ke pintu dengan kuat hingga mengeluarkan suara teredam yang jelas. Lama Randi terdiam, dia akhirnya kembali bersuara dengan nada tenang khas miliknya. "Laras? Buka pintunya dulu dan aku akan menjelaskannya." Suaranya begitu tenang, sehingga Laras sendiri merasa heran apakah kakak sepupunya itu tidak menganggap kemarahannya nyata atau meremehkannya? Sebanyak apa pun Randi meminta membuka pintu, Laras tidak ingin membukanya. Dia tiba-tiba mengemban perasaan takut untuk bertemu kakak sepupunya, memikirkan apa yang dirasakan pemuda itu padanya dan apa yang diinginkannya, itu membuat tubuh Laras bergetar. Mata gadis itu menangkap jendela di sekitar ruangan. Laras segera bangkit berjalan ke arah jendela dan membukanya penuh. Dia sama sekali tidak ragu-ragu ketika naik ke bingkai jendela dan melompat ke bawah. Setelah keluar dari rumah keluarga tantenya, Laras langsung berlari menuju rumahnya, takut Randi menyadari kepergiannya dan mengejarnya sehingga gadis itu tidak berani untuk bersantai. Beberapa kali Laras tersandung oleh batu dan terjatuh, namun dia segera bangkit dan lanjut berlari lurus ke rumahnya. Dia tidak berani untuk melihat ke belakang sama sekali, takut bahwa ada Randi di sana sedang mengejarnya. Jadi gadis itu segera masuk ke dalam rumah, mengunci pintu dan menuju ke kamarnya untuk mengurung diri di dalam. Randi membuka kamarnya dengan kunci cadangan, sosok gadis itu telah menghilang. Matanya tertuju pada album foto yang dikenalnya kini terbaring di lantai. Dengan perlahan dia menunduk mengambil album itu, foto-foto di dalamnya telah berhamburan di atas tempat tidur miliknya. Catatan yang pernah ditulisnya untuk mengungkapkan perasaannya yang dikunci erat kini terbuka dan terlihat jelas, bahkan telah tersampaikan kepada seorang gadis yang diimpikannya. Jika dikatakan tenang, Randi tidak sepenuhnya tenang. Tangannya mengepal, dengan kelopak mata bergetar menatap setiap tulisan di belakang foto, yang dia tulis ketika dia impulsif namun tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaannya. Sekarang gadis itu telah melihatnya, Randi tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya kepada Laras. Dia akhirnya menghembuskan napas berat, berbalik dan keluar dari kamarnya, secara kebetulan melihat ibunya saat ini datang menemuinya. "Kamu datang? Tadi kenapa aku mendengar suara Laras berteriak, apakah kamu membuatnya marah?" tanya Rani pada putranya. Randi menggelengkan kepalanya, "Aku akan menemuinya," katanya sebelum berjalan langsung keluar rumah untuk menuju ke rumah sebelah, rumah besar dan luas yang hanya ditinggali oleh seorang gadis kecil saja. Sebelumnya saat Randi ada di asrama dia melihat-lihat sosial media sebentar. Itu hanya kebiasaan kecilnya untuk memantau sosial media Laras ketika dia punya waktu. Saat itu kebetulan Laras baru saja membuat postingan baru dan itu adalah gambar album yang telah dikenalinya. Tanpa berpikir panjang, Randi langsung bangkit, mengambil kunci mobilnya, dan berjalan keluar asrama. Saat itu Randi memiliki harapan yang kontradiksi, berharap Laras tidak melihat perasaannya yang tersembunyi di album itu, agar gadis itu tetap nyaman di sisinya dan selalu bertingkah seperti biasanya dengan senyum lebarnya. Namun sisi kecil Randi juga berharap bahwa Laras melihatnya, mengetahui perasaan dan semua keinginannya untuk memilikinya. Randi berharap gadis itu tahu betapa berartinya dirinya di hati Randi, dan Randi pun ingin melihat reaksinya. Dua keinginan yang kontradiksi itu menemani Randi dalam perjalanan menuju ke rumahnya. Sampai dia tahu Laras telah melihat segalanya, Randi merasa tidak pernah sepanik ini. Laras memegang sudut selimutnya, mencengkeramnya dengan kuat ketika dia duduk bersandar di atas tempat tidur. "Apa sih yang sedang terjadi," katanya dengan linglung. Randi adalah kakak sepupunya, anak dari saudari ibunya, bagaimana mungkin dia bisa menyimpan perasaan untuknya? Gadis itu belum pernah menemui hal ini, sehingga dia tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Lagi pula semua masalahnya sebagian besar diselesaikan oleh Randi, jika Randi penyebab utama masalahnya terjadi, maka siapa yang bisa membantunya menyelesaikannya. Lama Laras menatap kosong ke depan, suara ketukan yang tidak asing lagi terdengar di pintu kamarnya, itu membuat Laras terkejut sehingga dia mencengkram selimutnya dengan erat. "Laras, buka pintunya, mari bicara." Kakak sepupunya berdiri di balik pintu, masih dengan nada tenang ketika berbicara kepadanya. Laras menggelengkan kepala dengan kuat, matanya bergetar ketika menatap waspada pintu kamarnya. "Kenapa kamu ada di sini? Aku sudah mengunci pintu depan!" "Aku memiliki kunci cadangan rumahmu, kamu ingat?" Randi berkata lembut, berusaha menenangkan gadis itu. "Ayo buka pintunya dulu," lanjutnya memberi instruksi. "Tidak! Kamu sialan, apa sih yang ada di kepalamu!" Mata Laras telah menumpuk air mata yang siap untuk turun kapan saja. "Aku adik sepupumu, apa yang jelasnya kamu pikirkan tentangku? Kenapa kamu seperti ini Randi? Kenapa, hah?" Randi membuang napas, inilah yang dia takuti jika Laras mengetahui perasaannya. Gadis itu akan takut sendiri dan menjauhinya. "Jangan menangis, buka pintunya dulu." "Tidak, aku tidak akan keluar. Apa yang akan kamu lakukan jika aku keluar? Pikiran buruk apa yang kamu miliki padaku? Aku pikir kamu cerdas dan pintar, dengan pikiran hanya dipenuhi dengan pelajaran. Siapa yang tahu hal buruk apa yang bersemayam di kepalamu?" Tubuh Laras bergetar hebat, dia meringkuk di atas tempat tidur dengan selimut menyebar lebar menutupi tubuh mungilnya. Suara isakan mulai terdengar dari gadis itu yang mengiris hati Randi sedikit demi sedikit. Rasa bersalah menjalar, membuat pemuda yang selalu dapat mengambil keputusan dengan tenang kini tak bisa berkutik. "Maaf Laras," gumamnya pelan, "jangan menangis." "Siapa yang menangis?! Pergi dari sini, jangan datang menemuiku lagi. Apa yang akan dikatakan orang tuaku dan orang tuamu jika mereka tahu? Apakah kamu tidak bisa memikirkannya? Berhenti menyukaiku, itu menyebalkan, menjijikan, pergi sana!" Bulu mata Randi bergetar, "Menjijikan?" tanyanya dengan suara tegang. "Sangat menjijikan. Kamu kakakku! Bagaimana seorang kakak bisa mengembankan perasaan menjijikan seperti itu untuk adiknya?" Suara Laras sangat keras dan lantang, menusuk langsung ke jantung Randi. Meski Randi mengetahui sifat impulsif Laras yang bisa mengatakan apa pun tanpa berpikir sama sekali, namun tetap saja terasa sangat menyesakkan untuk mendengar dari orang yang disukainya bahwa perasaannya itu menjijikan. Bahkan Randi yang selalu tenang tida bisa tenang ketika mendengar itu. Randi terdiam sejenak, mungkin itu hanya sesaat, tetapi bagaikan ribuan tahun untuknya. "Bukankah aku pernah mengatakan kamu akan takut jika mengetahui siapa yang aku sukai, sekarang kamu tahu dan kamu benar-benar takut." Ada sedikit senyuman mengejek diri sendiri ketika dia mengatakan itu. Namun Laras tidak bisa menemui makna dan maksud dari kata-kata Randi. Pikirannya tidak mampu memproses segalanya dengan hati-hati. Dia menjawab ucapan kakak sepupunya dengan impulsif dan tanpa berpikir sama sekali. "Ya, aku takut! Aku sangat takut sehingga aku tidak ingin melihatmu lagi, aku sangat takut sehingga aku tidak ingin bicara denganmu lagi. Hanya memikirkan apa yang kamu inginkan tentangku sudah membuatku merinding dan takut. Sungguh Randi, kenapa kamu bisa begitu mengerikan?" "Aku sudah berusaha menjauh darimu," kata Randi pelan. "Maka terus menjauh dariku, pergi menjauh sana! Pergi! Aku tidak akan meneleponmu lagi, tidak akan mencarimu, bahkan membutuhkanmu! Pergi sekarang juga!" Suara Laras menjadi serak dan dia batuk dengan keras setelah mengatakan itu. Randi melepaskan tangannya dari pintu, dia menatap beberapa saat ke pintu yang telah tertutup untuknya, lalu berbalik dan berjalan menjauh dengan langkah berat. Laras bisa mendengar suara langkah yang kian menjauh dari sisinya. Itu semakin menjauh dan semakin samar hingga sulit bagi telinganya untuk menangkap suara langkah tersebut. Namun bukannya lega, Laras merasa dadanya semakin sesak dengan kepergian Randi. Ketika ayah, ibu, dan kakaknya pergi dari rumah ini, hanya Laras yang tersisa. Gadis yang masih berumur 13 tahun dan terbiasa dimanja oleh sekitarnya tidak akan bisa hidup mandiri di rumah yang besar dan luas ini seorang diri. Bahkan Laras sendiri pernah berpikir akan mati di dalam rumah dan keluarganya kembali hanya untuk menemukan bahwa dia telah tersisa kerangka saja. Namun Randi datang, ada di setiap langkahnya, mengatur dan mengurusnya dengan sabar, dan menggantikan keluarganya untuk memanjakannya. Bagi Laras, Randi adalah cahaya yang menuntunnya, menyinari hatinya yang kesepian dan sunyi. Namun kakak sepupunya yang dia anggap selalu benar dan hebat itu kini menyimpan perasaan yang salah untuknya. Laras sangat takut, dia takut sampai tubuhnya bergetar hebat dan air mata terus jatuh dari ujung matanya. Dia sangat takut sampai dia memiliki keinginan untuk pergi jauh dan menghindar. Dan dia sangat takut hingga berharap bahwa dia bisa mengulangi semuanya beberapa jam yang lalu. Jika saja dia tidak pergi ke kamar Randi, membuka album foto itu, dan membaca semua catatan kecil di setiap belakang foto. Dengan begitu, dia tidak akan tahu perasaan Randi untuknya dan semua bisa tetap sama. Randi masih bisa tetap menjadi kakak sepupunya yang baik dan dapat diandalkan, dan perasaan itu tetap menjadi ilusi yang terkunci rapat. Sayangnya tidak ada 'jika saja', Laras telah mengetahui semuanya dan dia tidak bisa mengabaikan apa yang dia telah ketahui.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD