020. Tulisan Perasaan Randi

1124 Words
Di belakang foto tersebut memiliki sederet tulisan yang familiar. Hanya satu lirikan, Laras bisa mengetahui bahwa itu adalah tulisan Randi. Rapi, tegas, dan tegak, sama seperti orangnya. Laras sering melihat Randi menulis, bahkan sering mengambil buku catatannya yang berisi tulisan rapi seolah tanpa jejak kesalahan. Jika Laras tidak mengetahui dengan baik, dia mungkin akan mengira bahwa tulisan itu ditulis oleh sistem dengan teknologi baru yang tidak diketahuinya. Namun gaya tulisan itu bukanlah hal penting, yang menarik perhatian Laras adalah yang sedang tertulis di sana. Sederet kata itu membentuk satu kalimat, tidak panjang dan juga padat. [Dia pemilik hatiku.] Laras mengerjap, dia menutup dan membuka matanya lagi untuk memastikan bahwa dia tidak salah lihat. Setelah memastikan tulisan itu masih di sana dengan huruf dan kata yang sama, Laras masuk ke perenungan yang dalam. Dia mengerutkan keningnya. Meletakkan foto tersebut ke samping dan meraih foto selanjutnya. Itu masih fotonya memakai gaun putih selutut, Laras berpikir dan ingat bahwa ini adalah ketika dia pergi ke pesta ulang tahun Rena. Dia membalik foto tersebut dan benar saja, masih ada tulisan tangan Randi di sana. [Tuan Putri ingin aku menjadi sopirnya lagi.] Laras sangat suka meminta Randi bersikap sebagai sopir pribadinya dengan dia bertingkah seolah-olah dia adalah putri bangsawan dan bersikap elegan di bawah sorot pandang banyak orang. Senyum Laras kembali muncul, merasa bahwa kata-kata itu sangat lucu. Kemudian dia meletakkan gambar itu dan mengambil gambar selanjutnya. Itu adalah gambar dengan Laras memakai seragam sekolah, tersenyum sangat lebar dan menatap ke arah kamera tanpa penyembunyian. Laras sudah melupakan kapan foto ini diambil tetapi melihat lambang kelas sepuluh di seragam yang digunakannya, berarti ini adalah foto dua tahun yang lalu. [Dia menyukai orang lain, apa yang harus aku lakukan?] "Apa yang harus dilakukan?" Laras bertanya-tanya dengan heran. Dia merasa bingung dengan kata-kata Randi yang absurd. Laras tidak bisa memikirkan apa maksud dari tulisan-tulisan ini, namun dia entah bagaimana menjadi gelisah. Laras menggelengkan kepala dan mencari setiap foto lagi. Dan setiap foto dirinya yang diambil dari album tersebut memiliki satu kalimat di belakangnya. [Tuan Putri sedang marah, aku ingin memeluknya.] [Dia sangat manis saat tersenyum.] [Gaunnya hari ini sangat tipis, dia pasti kedinginan.] [Kapan dia menjadi milikku?] [Dia menangis lagi, haruskah aku melarangnya menyukai Kevin?] [Kenapa dia tidak menyukaiku saja?] [Dia sangat bahagia ketika bersama Kevin.] [Nasi goreng buatannya sangat asin.] [Aku ingin sekali mencium pipinya yang mengembung itu.] Tenggorokan Laras seolah tersangkut sesuatu. Matanya melebar dengan tatapan tak percaya pada foto di tangannya. Di foto tersebut adalah gambar dirinya sedang kesal dengan pipi yang mengembung, menoleh ke samping dengan marah. Siapa yang tahu ternyata itulah pikiran kakak sepupunya ketika melihatnya. Tangan Laras gemetar, foto di tangannya jatuh ke pangkuannya. Kepalanya langsung kosong, tanpa kemampuan untuk memikirkan apa yang sedang terjadi saat ini. Laras dengan gusar melepaskan setiap foto, melihat setiap tulisan di belakangnya, tindakannya kasar dan cepat, tanpa kehati-hatian sehingga hampir merusak beberapa foto yang telah dirawat dengan teliti oleh pemilik album. Laras meraih ponselnya, mengambil gambar setiap tulisan di belakang foto dan mengirimkannya kepada Rena. Dia takut memikirkan terlalu banyak, jadi dia harus mendengar pendapat dari orang lain. [Laras: Baca semua tulisan itu dan katakan apa yang kamu pikirkan.] Setelah mengirim pesan, Laras menjadi semakin gelisah. Satu detik terasa sangat lambat, terlebih lagi Rena belum membalas pesannya setelah satu menit berlalu. Dia tidak sabar dan segera menelepon nomor kontak Rena. Nada sambung terdengar beberapa saat sebelum panggilan terhubung. "Ada apa lagi?" tanya Rena dengan lesu. Tampaknya dia terbangun oleh panggilan Laras sehingga suaranya terdengar belum sepenuhnya sadar. Laras tidak ingin begitu peduli dengan Rena saat ini, dia hanya ingin memastikan sesuatu. "Lihat gambar yang aku kirimkan padamu, sekarang! Baca dan beritahu aku apa yang kamu pikirkan." Rena tidak tahu apa yang diinginkan dan dipikirkan Laras, baginya temannya itu selalu melakukan hal aneh dan bertingkah semaunya. Tidak bertanya detailnya, Rena segera memeriksa pesan masuk dari Laras dan melihat gambar yang dikirim. Ada keheningan beberapa saat ketika Rena membaca setiap tulisan yang ada di gambar dan Laras menunggu dengan gelisah dan jantung berdetak cepat. "Sudah? Kenapa kamu lama sekali?" Laras akhirnya tidak sabar dan mendesak. Kakinya di lantai bergerak dengan cepat, ingin sekali bangkit dan langsung menemui Rena untuk mendesaknya berbicara sekarang juga. "Tunggu," kata Rena, kali ini suaranya sudah kembali normal, tampak telah sadar sepenuhnya. Setelah beberapa saat, suaranya terdengar dengan pertanyaan penuh keraguan. "Ini ditulis oleh Kak Randi, bukan?" Laras tersentak hampir melempar ponselnya dengan rasa ngeri, "Darimana kamu tahu?" tanyanya, dia menjadi lebih tegang sehingga tangannya meremas ponsel sangat erat. Rena tidak menjawab, saat ini dia masih fokus memperhatikan setiap gambar yang dikirim Laras ke kotak pesannya. Dia tampak merenung lama, bertanya-tanya apakah perlu mengatakannya dengan jujur atau tidak. Bagaimana pun dia tahu sifat Laras yang sangat konyol dan impulsif, entah apa yang dilakukan gadis itu jika dia mengatakan yang sebenarnya. Namun Rena tidak ingin berbohong pada Laras, terlebih lagi dia tahu bahwa Laras sendiri pasti memiliki firasat setelah melihat gambar ini. Hanya saja gadis itu tidak ingin mempercayainya dan membutuhkan orang lain untuk mengklarifikasi dugaannya. "Laras, aku tidak ingin berbohong padamu. Dari tulisan ini, sepertinya Kak Randi menyukaimu dalam artian seperti seorang pria menyukai wanita." Rena berkata dengan perlahan dan hati-hati, takut menakuti hati kecil Laras. Jantung Laras hampir berhenti berdetak ketika mendengar apa yang dikatakan Rena. "Kamu ... Kamu jangan bicara omong kosong. Dia kakakku!" Rena menghela napas panjang, dia bangkit dari tempat tidur dengan ponsel terus berada di sebelah telinganya. "Sebenarnya dari dulu aku selalu curiga. Kak Randi selalu menatapmu dengan pandangan... um... aneh. Tetapi aku berpikir itu mungkin sifat posesif kakak kepada adiknya. Setelah membaca tulisan itu, aku yakin bahwa dia sebenarnya memiliki perasaan kepadamu." Di ruang kamar yang sepi, hanya suara Rena yang terdengar di telinga Laras. Namun seberapa jelas suara Rena terdengar, itu tidak sampai ke kepala Laras. Seolah dia baru saja mendengar temannya itu mengatakan bahasa asing yang tidak dimengertinya, Laras tidak tahu yang dikatakannya. Kepalanya menunduk, melihat setiap foto yang ada di tempat tidur yang dihamburkannya dengan acak. Baru saat itu dia sadar bahwa setiap foto di album itu memiliki gambar dirinya seolah album itu ada hanya untuknya. Suara Rena terus berlanjut mengatakan kebenaran yang baru diketahuinya, itu membuat Laras menjadi semakin ngeri. Dia mematuskan panggilan sepihak, melepaskan ponselnya asal ke sekitar dan terus memandangi foto di sekitarnya. Dia membaca tulisan di belakang foto berulang kali, berharap tulisan yang dibacanya sebelumnya hanyalah ilusi karena dia terlalu lelah dan mengantuk. Namun kenyataannya tidak, tulisan itu masih ada di sana. Suara ketukan pintu terdengar. Laras menjadi waspada, menoleh segera ke arah pintu yang telah tertutup dan terkunci sempurna. "Laras, ini aku. Buka pintunya," suara kakak sepupunya terdengar tenang sama seperti sebelumnya. Namun Laras menjadi tegang dan bingung ketika mendengarnya, dia tanpa sadar memiliki pikiran untuk kabur dan lari jauh dari tempat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD