Bab 3

1693 Words
Iren menatap kedepan dengan tatapan kosong. Ia tak bisa berpikir jernih, ia merasa ia butuh pasokan udara karena ia merasakan sesak yang luar biasa Tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Ia merasa kakinya mati rasa dan tak berpijak pada bumi. Saat ini, Iren sedang berada di taman rumah sakit, ia menenangkan diri sejenak setelah dokter memvonisnya dengan penyakit yang cukup menakutkan, kanker rahim stadium 2. Dunia Iren menggelap saat mendengar kenyataan bahwa ia mengidap penyakit yang cukup mematikan. Rasanya ia tak sanggup untuk menghadapi semua. Iren sendirian, tak ada tempatnya bergantung, tak ada tempatnyan untuk berbagi keluh kesah. Sang ayah tak ada di sisinya dan sang suami ... Sama sekali tak bisa di andalkan. Harus bagaimana ia sekarang ... Ia masih harus berjuang untuk membebaskan sang ayah dan ia juga harus mengobati dirinya. Setelah sekian lama diam, Iren tersadar dari lamunannya. Ia tak boleh lemah, ia harus kuat, demi kesembuhannya dan kebebasan sang ayah. Karena masih merasakan nyeri pada perut, Iren pun bangkit dengan perlahan, ia harus segera mengistrihatkan tubuhnya. Ia berjalan dengan pelan untuk pergi ke mobil. Saat sampai di mobil, Iren terdiam sejenak. Ia menyenderkan tubuhnya kebelakang. Walaupun berusaha tegar, nyatanya ia tak bisa. Semuanya bagaikan mimpi buruk bagi Iren. ia menaruh kepalanya di stir kemudi lalu ia menangis sekencang-kencangnya. Mustahil bagi Iren untuk tak menangis. Pikiran Iren kalut dan kacau, ia merasa jiwanya di renggut paksa dari raganya, ini menyakitkan dan sangat-sangat menyakitkan. Setelah 30 menit berdiam diri di mobil, Iren pun menghidupkan mesin mobilnya dan menjalankannya. Jalanan aga sedikit macet, membuat Iren menghela napas berat dan menghembuskannya dengan kencang. Saat kendaraaan di depannya tak kunjung maju, ia kembali menyenderkan punggungnya kebelakang, dan 45 menit kemudian ... Ia sampai di rumah. Saat ia masuk kedalam gerbang, keningnya mengkerut bingung saat melihat mobil suaminya sudah terparkir di halaman, tumben sekali suaminya pulang. "Hemm!" Iren berdehem malas saat menyadari ada apa Albi pulang, ia sudah tau dengan apa yang terjadi di dalam. "Dari mana saja kau!" bentak Albi saat Iren masuk. Albi langsung pulang ketika sipir penjaga berkata Iren mengunjungi ayahnya. Ya, selama ini ... Albi melarang Iren untuk bertemu ayahnya. Albi memang berniat membalas Iren dengan sungguh-sungguh, hingga ia tak mengijinkan Iren bertemu dengan ayahnya. Karena Albi tau, bahwa Iren akan sangat tersiksa dan jika Iren melanggar, ia memiliki alasan untuk memarahi Iren. Iren tak kaget dengan teriakan Albi, ia memandang Albi dengan tatapan datar dan berlalu meninggalkan Albi begitu saja, membuat Albi terpaku. Biasanya, Iren akan menunduk jika Albi memarahinya, tapi kali ini .... Setelah Albi mempunyai apartemen, Albi memang masih pulang ke rumahnya seminggu sekali atau seminggu dua kali untuk mengambil pakaian atau berkas-berkas, ia tak pernah berbicara dengan Iren. Ia hanya akan berbicara dengan Iren, ketika ia memarahi Iren, dan Albi selalu puas melihat Iren menangis dan tertunduk. Tapi sekarang, untuk pertama kalinya, Iren mengabaikan ucapannya, membuat Albi terpaku dan murka sekaligus. "Iren!" teriak Albi lagi. Iren yang akan menaiki tangga tak gentar, ia tak mempunyai tenaga untuk berdebat dengan Albi. Hingga ia memutuskan untuk tak meladeni ucapan suaminya. Ia meneruskan langkahnya, menaiki satu persatu anak tangga untuk pergi ke kamarnya. Namun, baru saja Iren berjalan beberapa langkah, langkahnya sudah terhenti karena Albi mencekal tangannya dan terpaksa membuat Iren berbalik. "Berani sekali kau mengabaikanku!" desis Albi dengan rahang mengeras. Ia memandang Iren dengan tatapan membunuh, tatapan yang mengisyaratkan bahwa Albi benar, benar-benar membenci Iren. Iren bergeming, ia tetap memandang Albi dengan tatapan datar. Ia sama sekali tak berniat membalas apa yang di ucapkan dan di lakukan oleh Albi, bahkan, ia tak meringis saat Albi mencekal tangannya dengar keras. Di titik ini, Iren merasa bahwa mungkin ... Ia mati rasa. "Jawab aku dari mana, kau, Hah!" Bentak Albi lagi. Emosinya semakin terpancing saat melihat Iren menatapnya dengan tatapan datar. Tak seperti biasanya, yang selalu menunduk dan terlihat ketakutan. "Bukan urusanmu!" ucap Iren dengan menekankan ucapannya. Ini pertama kalinya ia berani menjawab ucapan Albi Mendengar Iren menjawabnya ucapannya, darah Albi semakin mendidih. Sejak kapan wanita di depannya ini berani menjawab dan melawannya. "Berani sekali kau melawanku!" teriak Albi, ia mencekal tangan Iren semakin keras, membuat Iren meringis tertahan. Iren sudah terlalu lelah dengan hidupnya. Melihat sang ayah yang terpenjara tanpa melakukan kejahatan, penyakitnya dan tambah lagi sikap Albi. Mungkin, jika Iren bisa memilih ... Ia ingin mati saja, agar beban yang di rasakannnya hilang. "Jawab aku, berani sekali kau melawanku, Hah!" teriak Albi, membuat kepala Iren tiba-tiba terasa memberat. Iren mencoba menguasi diri ... Ia meraup oksigen sebanyak-banyaknya. "Sudah kubilang bukan! itu bukan urusanmu!" Dengan sekuat tenaga. Iren menghempaskan tangan Albi yang sedang mencekal tangannya hingga tangan Albi terlepas. Membuat Albi tertegun Setelah tangan Albi terlepas dari tangannya. Iren langsung berbalik dan berjalan ke arah tangga. Tubuhnya terlalu lemas. Ia ingin sekali berbaring dan mengistirahatkan badannya. Saat sudah berada di kamar, Iren melemparkan tasnya ke sembarang arah. Ia membaringkan tubuhnya dengan posisi meringkuk, lalu ia memejamkan matanya. Saat Albi ingin kembali mencekal tangan Iren, ponsel di saku Albi berdering hingga ia harus membiarkan Iren pergi. •• Albi mematikan panggilannya, ternyata Dita yang menelponnya ... Sang kaka mengatakan bahwa ia akan berkunjung besok ke rumahnya. Setelah menaruh lagi ponselnya, Albi berjalan ke meja makan dan mengambil minum. Lalu menenggaknya hingga tandas. Tadinya ia ingin pergi lagi ke rumah sakit dan langsung pulang ke apartemen lalu bertemu Julia. Namun rupanya ia masih belum puas untuk memberkan Iren pelajaran. ••• Iren membuka mata lalu mengucek matanya Beberapa kali ia mengerjap-ngerjap dan menyesuaikan pandangannya. Kamarnya masih gelap, ternyata ia tertidur cukup lama. Ia bangkit dari berbaringnya dan menyalakan lampu. Iren berjalan ke kamar mandi dan memutuskan untuk membersihkan diri, 30 menit kemudia ... Ritual di kamar mandi selesai. Perutnya terasa lapar hingga ia memutuskan turun untuk makan. Saat sudah turun, Iren menghentikan langkahnya karena melihat Albi sedang makan ... Keningnya mengkerut heran saat Albi memakai piyama. Bukankah seharusnya Albi pergi lagi seperti biasa? Tapi kenapa sekarang .... Tak ingin ambil pusing. Iren meneruskan kembali langkahnya, ia menarik kursi dan mendudukan dirinya, kemudian mengambil piring lalu menuangkan makanannya. Hening .... Hanya ada keheningan di ruang makan tersebut, sepasang suami istri itu tampak tak perduli satu sama lain, hanya terdengar suara sendok dan piring saling berdenting. "Besok kakaku akan datang kemari, jaga sikapmu ... Berpura-puralah seperti biasa," ucap Albi setelah sekian lama mereka terdiam. Iren nampak acuh ia masih sibuk dengan makanan di depannya, ia bahkan sama sekali tak menoleh pada Albi yang berbicara. Seolah Albi tak ada di depannya, dan sikap Iren, sukses membuat Albi berdecak kesal. "Apa kau tuli?" tanya Albi dengan menahan geram. Nada suaranya di penuhi dengan penuh ejekan. Mendengar ucapan Albi, seketika Iren terdiam. Ia menghentikan acara makannya. Walaupun Albi sering menghinanya, tapi tetap saja hatinya terasa sakit. Apakah dia sehina ini di mata suaminya. Iren mengigit bibir bawahnya, ia menatap Albi dengan datar. Permasalah hidupnya sudah cukup pelik, hingga ia tak ingin lagi memikirkan suaminya. Saat tadi ia duduk di taman setelah mendengar vonis dokter yang memvonisnya menderita kanker rahim, Iren sudah banyak berpikir ... Selama ini, ia terlalu mencintai suaminya. Hingga ia buta akan segalanya. Selama ini, ia begitu patuh dan selalu sembunyi-sembunyi jika menjenguk sang ayah. Namun, hari ini saat ia melihat raut wajah sang ayah yang di penuhi kesedihan serta mengetahui penyakitnya. Ia tak ingin lagi terus di kendalikan oleh perasaannya. Ia harus berusaha menyembuhkan dirinya dan membebaskan sang ayah. Tanpa menjawab ucapan Albi, Iren mengambil minum lalu menengaknya, kemudian ia bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan meja makan. Kemarahan Albi memuncak saat lagi-lagi Iren mengabaikannya. Ia takan membiarkan Iren melawannya, selamanya ... Wanita ini harus hidup di bawah tekanannya. Ia pun bangkit dari duduknya untuk menyusul Iren, kemudian ia mencekal tangan Iren hingga Iren berbalik. "Berani sekali kau mengabaikanku," desis Albi penuh tuduhan. Tatapan Albi begitu menusuk, Iren bisa melihat Albi menatapnya dengan tatapan benci yang nyata. Tatapan itu begitu menusuk tepat ke jantungnya, hingga Iren merasa kakinya tak berpijak. "Lalu aku harus bagaimana?" tanya Iren dengan suara datar. Ia berusaha untuk tetap santai. Sebab, jika ia melawan Albi, Albi akan semakin menjadi-jadi dan jika ia menunduk, Albi akan terus menginjak-nginjak harga dirinya. Mendengar ucapan Iren, Albi terdiam. Benar juga ucapan Iren. "Jaga sikapmu di depan kakaku. Jangan membuat kakaku curiga. Jika tidak, kau akan tau akibatnya," ucap Albi lagi, ia terlalu bingung membalas perkataan Iren, hingga ia mengulangi kata-kata yang sama. Melihat Albi yang terdiam, Iren menghempaskan tangan Albi, lalu setelah itu ... Ia kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya. Sementara di tempat lain ... Seorang lelaki tampan dengan rahang yang kokoh, alis yang tebal serta badan yang atletis, sedang melihat ke arah depan dengan tatapan tajam, kakinya tak henti-hentinya bergerak di atas treadmill. Peluh berjatuhan dari wajahnya hingga membuat dirinya semakin terlihat berkarisma saat berolahraga. Pria itu terus memacu dirinya di atas treadmil, ia tak bisa menghentikan berlarinya saat kilasan masa kecilnya kembali hadir dan membuatnya terngiang-ngiang. Dia adalah Antonio Ardi Haidar, seorang pemilik Agensi besar Haidar entertaiment serta memiliki perusahaan perikalanan. Lelaki yang akrab di sapa Nio itu mengehentikan larinya saat ponsel di depannya menyala karena ada yang menelponnya. Ia menatap malas saat melihat id si pemanggil, kemudian ia menggeser tombol merah dan menolak panggilan tersebut. Ia turun dari treadmil, lalu berbalik. Saat ia berbalik, ia terpekik kaget saat melihat ada orang di belakangnya. "Sejak kapan kau disini?" tanya Nio pada adiknya. Gatana Adnan Haidar. Nio dan Adnan hanya berbeda dua tahun, walaupun mereka kaka beradik, sifat mereka jauh berbeda. "Apa mereka mendatangimu lagi?" tanya Tana pada sang kaka. Mendengar pertanyaan sang adik, Nio berdecih. Ia mengambil minum kemudian menenggaknya hingga tandas. "Kita akan bekerja sama dengan brand kesehatan ... cari dokter yang bisa kita ajak kerja sama untuk menjadi model dan masuk ke Agensi" ucap Nio. Ia lebih memilih mengalihkan pembicaraan. "Kenapa kau masih enggan menemui mereka?" tanya Gatana, membuat Nio mendelik sebal pada adiknya. "Jika menurutmu, kau bisa memaafkan mereka temui saja mereka." Setelah mengatakan itu, Nio pun meninggalkan sang adik untuk keluar dari ruangan olahraga. Setelah berolahlaga, Nio memutuskan untuk berendam di bathube, ia memandang kosong ke depan dengan tatapan kosong, lalu menenggak wine di sedikit demi sedikit. Nyatanya, memiliki kekayaan di usia muda tak membuat lukanya hilang begitu saja. Ia dan adiknya harus tetap berjuang untuk memulihkan semuanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD