Sementara itu di sebuah perusahaan besar makanan dan minuman, Clover Top Tbk. Tempat di mana Nathan, mantan suaminya Olivia bekerja sebagai manajer keuangan.
Ia sedang duduk di dalam ruangannya sambil menatap serius laptop yang menyala di hadapannya. Bola matanya bergerak pelan, membaca setiap kalimat yang tertera di layar dan tangannya berada di atas mouse, menscroll dan menekannya sesekali.
Sepersekian detik kemudian, senyumnya mengembang. "Yeah! Akhirnya aku dapat alamatnya. Kamu lihat saja nanti Olivia, kamu pikir kamu bisa menipu orang-orang, huh!" Ia menyeringai seraya menatap lurus ke depan ketika mengingat rencana licik yang tersusun di kepalanya. Bukannya kerja, ia justru berusaha keras untuk membuat Olivia makin sengsara.
Tok tok tok!
Tatapannya sontak beralih ke pintu saat ada yang mengetuk. Ia sontak menegakkan tubuhnya dan merubah ekspresinya menjadi tegas dan penuh wibawa. "Masuk!"
"Permisi Pak," seorang wanita berambut keriting, berkacamata yang menjabat sebagai sekretaris CEO masuk ke ruangannya.
“Ada apa Raya?”
Raya melangkah masuk dan menutup pintu pelan di belakangnya.
"Maaf mengganggu, Pak Nathan," ucap Raya hati-hati. "Saya mau menyampaikan permintaan langsung dari Pak Zul."
Nathan sedikit menyipitkan mata. "Permintaan apa?"
Raya menghela napas singkat sebelum menjawab, "Laporan proyeksi keuangan kuartal depan yang Bapak susun ... Pak Zul minta laporan itu diserahkan minggu ini."
Gerakan tangan Nathan terhenti di atas mouse. Alisnya langsung berkerut. "Minggu ini?" ulangnya pelan, seolah memastikan pendengarannya tidak salah.
"Iya, Pak," sahut Raya cepat. "Seharusnya sesuai jadwal awal, deadline-nya masih minggu depan. Tapi barusan beliau menghubungi saya dan bilang ingin membahasnya di rapat direksi akhir pekan ini."
Nathan bersandar ke kursinya dengan kasar. Senyum licik yang tadi menghiasi wajahnya lenyap begitu saja, tergantikan ekspresi kesal yang tak bisa ia tahan. "Tapi laporan itu bukan laporan sembarangan, Raya. Saya butuh waktu untuk memastikan semua data akurat."
"Saya paham, Pak," jawab Raya canggung. "Tapi Pak Zul bilang ini permintaan mendesak. Saya tidak bisa membantahnya."
Nathan mendengus pelan. "Baiklah. Akan saya usahakan selesai Minggu ini."
"Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi," ujar Raya seraya membungkuk sopan.
"Dasar tua bangka menyusahkan. Seenaknya saja dia mengubah deadline," gumamnya kesal. Ia terpaksa melupakan sejenak rencana liciknya dan memulai melanjutkan laporan yang sedang dia susun.
Drrt drrt!
Namun baru saja membuka file laporan yang ada di laptopnya, ponselnya berbunyi.
Ia mengalihkan atensinya, nama 'fitri sayang' muncul di layarnya. Dengan cepat ia meraih ponselnya lalu menggeser tombol hijau. "Halo sayang," ujarnya seraya menyandarkan tubuhnya dan menarik sudut bibirnya.
"Halo Kak. Kamu sibuk nggak?" suara wanita di telepon terdengar manja.
Nathan melirik sekilas laptopnya yang masih menyala, menampilkan laporan keuangan. "Nggak. Kenapa sayang?"
"Aku mau ke kampus tapi motorku nggak mau nyala nih. Kamu bisa antarin aku nggak?"
"Kamu masuk jam berapa memangnya?"
"Jam 10 sih."
Nathan mengangkat tangan kirinya, menatap jam di pergelangan tangannya yang telah menunjukkan pukul 9 lewat 15 menit."
"Bisa sih aku antarin. Tapi, dapat hadiah nggak nih?"
"Pasti dong."
"Ok, aku otw." Nathan menyunggingkan senyum lebar setelah sambungan terputus dan langsung menutup laptopnya tanpa berpikir panjang.
Ia keluar dari perusahaan dengan langkah santai seolah tidak memiliki beban pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Ia sudah sering bersikap seenaknya dan sudah pernah mendapatkan peringatan dari atasan namun nampaknya dia tak jera sama sekali.
"Urusan laporan, gampang. Nanti malam tinggal begadang," celetuk Nathan yang sudah duduk di kursi kemudi, tersenyum lebar tanpa beban.
Mobil Toyota Yaris cross hitam yang baru dibelinya sebulan yang lalu melaju pelan keluar dari area kantor.
Tak lama kemudian, mobil Nathan berhenti di depan sebuah rumah minimalis berpagar hitam. Pagarnya ditutup. Ia pun membunyikan klakson beberapa kali.
Tin tin!
Tak butuh waktu lama, seorang gadis muda membuka pagar. Nathan membuka kaca mobil lalu memamerkan senyum sok gantengnya pada gadis itu.
Gadis tinggi berambut panjang dengan poni belah tengah itu membalas balik senyum Nathan. Gadis itu agak membungkuk, mensejajarkan wajahnya dengan Nathan "Pagi Kak Nathan," sapa gadis itu ceria diakhiri dengan senyum manisnya.
"Pagi dek Fitri. Ayo naik!"
Fitri mengangguk cepat lalu naik ke mobil Nathan, duduk di kursi sebelah kemudi, tak lupa memakai seatbeltnya. "Makasih ya Kak udah mau antarin aku ke kampus. Aku malas banget kalau harus naik ojek."
"Apa sih yang nggak buat kamu, sayang." Nathan menggoda Fitri sambil mencuil dagunya.
Fitri tersenyum malu. Namun sepersekian detik kemudian wajahnya berubah. Matanya melirik sekilas ke arah Nathan, tampak ragu-ragu namun tersirat akan maksud. "Oh iya Kak, uang jajanku udah habis gara-gara beli tab kemarin. Kamu tahu 'kan aku butuh tab untuk belajar." Suara Fitri terdengar manja, dia bahkan memasang tatapan memohon.
"Oh, udah habis? tenang ya sayang, nanti aku transfer lagi."
Fitri mengangkat alisnya, senyumnya mengembang. "Beneran Kak?"
"Iya dong. Memangnya aku pernah bohong sama kamu?"
"Yeayy ... Makasih ya Kak." Fitri sontak memeluk lengan Nathan, menyandarkan kepalanya di lengan Nathan.
Nathan menyunggingkan senyumnya seraya mengusap kepala Fitri. "Sama-sama sayang."
Nathan pun kembali menjalankan mobilnya menuju kampusnya Fitri.
Setibanya di sana, Nathan memandang Fitri yang sedang membuka seatbeltnya, tangannya masih di setir.
"Makasih ya Kak."
"Eh, tunggu!" Nathan menahan tangan Fitri ketika gadis itu hendak keluar dari mobil.
Fitri menoleh, mengernyitkan dahinya. "Apa lagi Kak?"
"Kamu kayaknya lupa sesuatu deh." Fitri nampaknya masih belum paham arah pembicaraan kekasihnya.
"Katamu kamu mau kasih aku hadiah."
Fitri sontak menepuk jidatnya. "Oh iya aku lupa Kak." Nathan menyunggingkan senyum tipis seraya mengayun-ayunkan telunjuknya di depan wajah Fitri.
Fitri terkekeh pelan. "Ya udah sini dekatan."
"Buat apa? Kamu—"
Cup!
Dengan cepat Fitri mencengkram pipi Nathan dengan kedua tangannya lalu melayangkan kecupan singkat di bibir Nathan.
"Udah ya, aku turun dulu. Bye-bye!"
Nathan masih mematung, ia menyentuh bibirnya yang habis dikecup. Itu adalah ciuman pertamanya dengan Fitri setelah menjalin hubungan 3 bulan dan rasanya manis sekali, membuat hatinya berbunga-bunga. Ia bahkan tak bisa menahan senyumnya.
"Sial! aku menyukainya. Aku akan minta lebih dari ini setelah memberinya uang," gumamnya seraya menyeringai nakal sebelum memutar arah mobilnya meninggalkan kampus.
***
Sementara itu, di sebuah ruang rapat di lantai 10, Damian sedang menghadiri rapat bersama para petinggi perusahaan, membahas tentang strategi dan pengembangan bisnis restoran sejak satu jam yang lalu.
"Cukup untuk hari ini, saya tunggu laporan progressnya Minggu depan, selamat siang!" ucap Damian mengakhiri rapat siang itu. Damian berdiri lebih dulu lalu meninggalkan ruang rapat dan disusul satu persatu para petinggi lainnya, meninggalkan ruang rapat.
Seorang pria tinggi berhidung mancung seperti bule keluar dari ruangan, mempercepat langkahnya hingga sejajar dengan langkah Damian, atasannya. "Damian, ayo makan siang bareng," bisik pria itu pada Damian. Ia tidak mau orang lain mendengar bagaimana ia memanggil Damian tanpa menambah embel-embel formal 'Pak' di depan namanya. Raka, pria itu bekerja sebagai manajer restoran, jabatannya berada di bawah Damian namun karena mereka sudah lama bersahabat, Damian tidak pernah mempermasalahkan tentang sapaan yang dilontarkan sahabatnya itu.
Damian melirik pria di sebelahnya sekilas tanpa menghentikan langkahnya. Ia mengangguk. "Langsung ke lounge aja."
"Ok."
Saat tiba di lounge restoran, mereka duduk di tempat kosong di ujung.
Lounge itu memancarkan kemewahan yang tenang. Dindingnya didominasi panel kayu gelap berpadu dengan marmer krem mengilap, sementara lampu gantung kristal berdesain modern menggantung rendah, memancarkan cahaya hangat yang tidak menyilaukan mata. Sofa-sofa empuk berwarna abu tua tersusun rapi, dipisahkan oleh meja rendah berbahan kayu solid dengan permukaan mengkilap.
Lounge dirancang khusus untuk para pelanggan yang ingin bersantai atau menunggu dengan suasana tenang dan fasilitas yang lengkap namun tentunya mereka yang memilih makan di lounge harus mengeluarkan kocek lebih.
Seorang pelayan cantik berseragam rapi mendekat dengan langkah senyap, menyodorkan menu berwarna cokelat tua. "Selamat siang, Pak. Apakah ingin langsung memesan?"
Damian membuka buku menu sementara Raka tak mengalihkan pandangannya dari pelayan cantik itu. "Chicken crispy steak dengan Americano seperti biasa."
Pelayan itu mencatatkan pesanan Damian di buku catatannya. Damian langsung menoleh ketika orang di sebelahnya hanya diam.
Damian menghela napasnya seraya memutar bola matanya lalu mengebuk sahabatnya itu dengan buku menu karena tak bisa menjaga pandangan. "Jaga pandanganmu."
"Oh, iya!" Raka menegakkan badannya, kembali fokus. "Saya mau spaghetti carbonara dan peach sparkling water aja."
"Baik. Mohon ditunggu." Pelayan itu mengangguk sopan lalu berlalu.
Damian kemudian menyandarkan tubuhnya sambil menyilangkan kaki. Matanya melirik ke arah Raka sambil menyunggingkan senyum miring. "Apa Emi tak menarik lagi di matamu?" Damian menyebut nama seorang karyawan yang bekerja sebagai kasir yang ditempatkan di bagian bawah.
Pria berhidung mancung itu menoleh ke arah Damian. "Aku dan Emi masih tahap pdkt. Selama kami belum pacaran, aku bebas menggoda siapa saja."
Damian mendengus seraya menggelengkan kepalanya. Raka yang melihatnya spontan menyenggol lengan Damian. "Seperti kamu tidak begitu saja. Sudah berapa wanita yang kamu tiduri selama ini, huh?" bisik Raka menyindir seraya menaik turunkan alisnya.
Damian menegakkan tubuhnya, membuka kakinya lebar dengan tubuh tegap. "Itu hanya masa lalu. Aku tidak akan melakukannya lagi karena aku sudah punya Olivia sekarang."
"Wow! aku penasaran apa yang telah dia perbuat sampai kamu berubah seperti ini?"
Damian hanya diam, menatap lurus ke depan dengan sorot mata tajam. Perlahan sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis penuh misteri.