Bab 15 - Mulai Ada Rasa?

1404 Words
Olivia baru saja dari toilet dan saat dia kembali ke depan, ia bertemu pandang dengan Sonya, mama mertuanya yang sedang mengobrol dengan seorang karyawan. Olivia segera menghampiri mamanya Damian sambil memasang senyum canggung. "Ma," sapanya sambil menyalim tangan Sonya. Sonya menyunggingkan senyum ramah seraya mengusap pundak Olivia. "Olivia, kamu dari mana aja, Nak?" "Aku dari belakang, Ma." "Ohh ... Ya udah kita ke situ yuk, ngobrol-ngobrol." Sonya menunjuk kursi dan meja kosong di ujung. Olivia mengangguk, mengikuti langkah Sonya. "Mama ngapain ke sini? Ada yang mau dibeli?" tanya Olivia basa-basi. "Nggak. Mama cuma mampir sebentar. Kadang-kadang Mama suka ke sini buat mantau karyawan aja. Soalnya mama bosan kalau di rumah aja." Olivia mengangguk paham. "Kalian kabarnya gimana?" "Kami baik kok, Ma." "Syukurlah ... Oh, iya ngomong-ngomong kamu 'kan udah jadi istri Damian nih. Kamu masih mau jadi karyawan di sini? kamu istri bos loh. Kenapa nggak jadi manajer aja buat mengawasi karyawan jadi kamu nggak perlu capek-capek," tutur Sonya dengan lembut. Dari cara bicaranya, Olivia bisa merasakan bila Sonya adalah orang yang lembut dan tulus. "Nggak apa-apa kok, Ma. Aku nggak mau sesuatu yang instan. Kalau aku mau jabatan yang tinggi, aku harus kerja keras untuk mendapatkannya." Sonya menarik sudut bibirnya membentuk senyum kecil lalu mengusap punggung Olivia. "Kamu anak baik dan pekerja keras. Kalau ada kesulitan, kamu bisa kasih tahu Mama ya, jangan sungkan." "Ok, Ma." Obrolan mereka pun berlanjut, yang awalnya terasa canggung kini terasa ringan seperti tidak ada pembatas di antara keduanya, membuat Olivia merasa nyaman saat mengobrol dengan Sonya. Ting! Seseorang membuka pintu, keduanya sontak menoleh. "Eh, Arjuna udah datang," celetuk Sonya. Arjuna menyunggingkan senyumnya yang manis seperti kelinci dan tak lupa menyapa kakak iparnya. "Kak," "Iya," jawab Olivia seraya mengangguk pelan. "Kamu udah selesai prakteknya, Juna?" "Udah, Ma. Ini mau balik ke rumah sekalian jemput Mama." "Oh, ya udah kalau gitu Mama pulang duluan ya, Oliv." "Iya, Ma. hati-hati di jalan." Olivia masih memandang punggung Sonya dan Arjuna yang semakin menjauh dari balik kaca bening toko. Perlahan sudut bibirnya terangkat sedikit merasakan perasaan hangat yang menjalar di dadanya. Beberapa saat kemudian Dean datang. Olivia pulang kerja dijemput Dean, asisten pribadi Damian. "Mas Damian ke mana ya? Dari tadi aku hubungin dia tapi nggak diangkat." Olivia mengeluarkan suaranya saat mobil mulai bergerak meninggalkan tempat kerjanya. "Pak Damian sepertinya sibuk, Bu. Banyak rapat dan kerjaan, maklum udah mau akhir tahun jadi harus kembali menyusun strategi bisnis untuk tahun depan." Olivia mengangguk paham seraya menghela napas pelan, menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi seraya memandang keluar jendela. Suasana di luar mendung dan berangin, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Dan benar saja mobil melaju membelah jalanan yang mulai basah oleh gerimis. Lampu-lampu kota tampak buram di balik kaca, memantul seperti bayangan samar yang tak benar-benar bisa diraih. Olivia memeluk tas di pangkuannya, merasa hawa dingin menyelimutinya hingga menusuk ke tulang. Sesampainya di rumah, suasana terasa lengang. Ia mendudukkan dirinya ke sofa, menyandarkan tubuhnya yang lelah lalu membuka ponselnya, menatap layar kosong tanpa notifikasi baru. Tak ada pesan baru dari Damian. "Memangnya sesibuk itu ya sampai nggak bisa balas pesan dari aku," gumamnya pelan, bibir bawahnya maju, cemberut. Jemarinya sempat ragu sebelum akhirnya ia meletakkan ponselnya ke atas meja. Malam semakin larut. Olivia mencoba mengalihkan pikirannya, setelah memasak untuk makan malam, dia langsung menonton tv atau membaca buku, tapi pikirannya terus melayang pada pria itu. Ia terus mengecek ponselnya setiap beberapa menit, berharap ada pesan masuk dari Damian namun nyatanya tak ada. Ia sendiri pun tidak tahu kenapa dia melakukan itu. Bukan pertama kali ia ditinggal seorang diri di rumah. Saat berumah tangga dengan Nathan dulu, mereka berdua juga sama-sama bekerja dan ketika pulang, sering kali Olivia menunggu kepulangan Nathan sampai larut malam apalagi bila Nathan lembur dan tak pulang semalaman. Tapi, entah kenapa sekarang terasa berbeda, seakan dia tidak tenang bila tidak ada Damian di sisinya barang sedetikpun. Malam semakin larut, jam di ruang tengah telah menunjukkan pukul 11 malam dan hujan panjang sudah berhenti sejak satu jam yang lalu namun hawa dingin masih menyelimuti disekitar Olivia ditambah dinginnya AC yang membuat Olivia jadi mengantuk. Ia membaringkan tubuhnya di sofa bed empuk dan menutupi dirinya dengan selimut tebal yang diambilnya dari kamar tadi. Matanya terasa berat dan perlahan kelopak matanya tertutup meninggalkan tv yang berbicara sendiri. 1 jam kemudian, terdengar deru mesin mobil berhenti di depan rumah dan suara langkah kaki menaiki tangga di teras. Ting! Ting! Ceklek! Damian langsung membuka pintu dengan kunci serap ketika pintu tak kunjung dibuka walaupun ia sudah memencet bel berulang kali. Ia berdiri di ambang pintu, pandangannya menyapu ruang tamu yang luas dengan mata elangnya namun hanya kesunyian yang ia temukan. 'Apa dia sudah tidur?' batinnya lalu melangkahkan kaki masuk lebih dalam. Saat tiba di ruang tengah, langkahnya terhenti ketika mendapati istrinya tidur di sofa. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian menghampiri Olivia, membelai lembut pipi istrinya. "Olivia, kenapa kamu tidur di sini?" "Eungg ...." Olivia bergerak dalam tidurnya, melenguh pelan namun tak benar membuka matanya. Tanpa menunggu lama, Damian langsung mengangkat tubuh ringan istrinya ke dalam gendongan bridal style lalu membawanya ke atas, ke kamar mereka. Saat membaringkan tubuh istrinya ke atas ranjang, mata Olivia terbuka setengah dan tangannya dengan sigap menarik tubuh Damian mendekat hingga Damian kehilangan keseimbangan dan setengah tubuhnya menimpa tubuh istrinya, wajah keduanya begitu dekat. "Aku kesepian ... Kenapa kamu mengabaikan pesanku?" Olivia mengigau lalu kembali menutup matanya. Damian masih bertahan dengan posisi seperti itu selama beberapa detik. Manik matanya bergerak pelan menelusuri detail wajah sang istri yang damai dan cantik namun dia tidak bereaksi apa-apa, hanya menahan napasnya sampai napas Olivia terdengar teratur. Setelah menyadari bahwa istrinya sudah kembali terlelap, Damian bangun dari atas tubuh Olivia lalu menyelimutinya. Ia kemudian membungkuk, sekali lagi memandang wajah sang istri, tangannya tergerak menyingkirkan helai rambut yang menutupi mata Olivia lalu mengecup dahinya pelan. "Semoga kamu mimpi indah malam ini." *** Keesokan paginya "Halo, Pa!" Olivia sontak mendongak, menatap orang yang duduk di hadapannya ketika suaminya itu tengah menjawab telepon dari seseorang. Pagi ini mereka sedang sarapan bersama di rumah. "Damian! Di mana kamu sekarang?" "Aku masih di rumah. Kenapa?" jawab Damian singkat dan terkesan cuek. "Papa minta kamu ke rumah sekarang, ada hal penting yang ingin Papa bicarakan sama kamu, hanya kamu sendiri," suara papanya Damian terdengar tegas dan serius. Damian sontak melirik Olivia sekilas kemudian meneguk air minumnya, memindahkan ponselnya dari tangan kanannya ke tangan kirinya karena ia mau lanjut makan. "Hal penting apa sih, Pa?" tanya Damian santai. "Datang aja ke sini sebelum kamu berangkat kerja." Damian menatap layar ponselnya ketika papanya memutuskan sambungan sepihak. "Siapa, Mas?" tanya Olivia. "Papa. Cuma ngomongin soal kerjaan," ungkap Damian bohong sebelum Olivia curiga. Olivia mengangguk paham. "Hmm ... Hari ini kamu berangkat kerja sendiri bisa 'kan? soalnya aku mau langsung ketemu sama rekan bisnis dulu di hotel," tutur Damian kemudian. "Iya bisa kok, aku bisa pake motorku," jawab Olivia diakhiri dengan senyum kecil. Damian kelihatan berpikir sejenak. "Hmm ... Kamu mau aku beliin mobil nggak? biar kamu bisa bawa mobilmu sendiri kalau aku nggak bisa antar jemput kamu." Olivia dengan cepat menggeleng. "Nggak usah Mas. Kalaupun aku mau beli mobil, aku bisa pakai uangku sendiri. Uang dari kamu udah cukup banyak buat aku." Damian menyunggingkan senyum yang kelihatan tulus di mata Olivia. "Kamu memang berbeda ya." Olivia mengerutkan keningnya. "Berbeda gimana? kayaknya banyak deh cewek yang lebih baik dari aku." Damian masih tersenyum, matanya tak berkedip sedikitpun dan sorot matanya memancarkan ketulusan. "Hmm ... Oh iya Mas kalau uangnya aku gunakan untuk aku bikin usaha, boleh nggak?" "Ya, terserah kamu. Kamu bebas pakai uangnya karena itu uang kamu, jadi hak kamu mau kamu apakan uang itu." Olivia mengangguk paham. "Ok, Mas. Makasih banyak ya." "Ya udah kalau gitu aku berangkat ya." Damian berdiri. Olivia ikut berdiri lalu mengantarkan suaminya ke depan. "Hati-hati ya Mas," ucap Olivia saat mereka sudah di depan sambil menyalim tangan Damian. Damian sempat mengecup kening Olivia singkat sebelum masuk ke mobilnya. Setibanya di rumah orangtuanya. Damian keluar dari mobil dan tatapannya langsung jatuh ke mobil Toyota Yaris cross hitam yang terparkir di sebelah mobilnya, dahinya berkerut. 'Ada tamu?' batinnya namun kepalanya sontak menoleh ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Iris gelapnya bertemu pandang dengan seorang pria tinggi, berambut ikal yang berpakaian rapi seperti pria kantoran. Pria itu menyunggingkan senyum miring samar sebelum melewati Damian tanpa mengucap sepatah katapun. Damian merasa tak pernah bertemu dengan orang itu sebelumnya namun entah mengapa ia merasa pria itu ada kaitannya dengan alasan dia dipanggil Papanya ke rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD