"Sayang~ bangun, sudah pagi ...." Damian berbisik lembut di telinga Olivia yang masih terlelap berbalut selimut tebal, posisinya menyamping membelakangi Damian. Aura bahagia pengantin baru terpancar dari wajah pria berahang tegas tersebut.
Olivia menggeliat dalam tidurnya namun dia tidak benar-benar membuka matanya hingga membuat Damian menggelengkan kepalanya kemudian sengaja meninggalkan kecupan di cuping telinga Olivia, membuat Olivia bergerak gelisah.
"Heemm ... Aku masih ngantuk, Mas." Suara Olivia serak dan dia merengek seperti bayi.
"Kalau kamu tidak mau bangun juga, aku akan melanjutkan yang semalam," ucapnya kembali berbisik mesra. Olivia spontan membuka matanya lalu berbalik hingga wajahnya berhadapan dengan wajah suaminya dengan jarak yang tipis.
Olivia mengerucutkan bibirnya manja, matanya belum sepenuhnya terbuka. Sementara Damian hanya menyunggingkan senyum lebarnya, memandang setiap detail wajah istrinya yang cantik.
"Kamu sama saja seperti mantan suamiku, selalu minta yang seperti itu," nada suaranya seperti orang yang sedang merajuk.
Damian meletakkan tangannya di samping kepalanya, menyangga kepalanya sambil memandangi istrinya. "Sepertinya obrolan tentang mantan suami harus di blacklist mulai sekarang." Sikap Damian sangat ketara bila dia sedang cemburu.
Olivia terkekeh. "Tidak perlu, aku tidak akan membicarakannya lagi. Aku membencinya. Dia tidak pernah puas denganku."
"Benarkah? tapi, aku puas denganmu. Kamu sangat luar biasa. Aku selalu menginginkanmu," ungkap Damian kemudian mengecup bibir istrinya sekilas hingga membuat garis bibir Olivia spontan melengkung membentuk senyum manis.
"Serius? Kamu nggak bohong 'kan?"
"Nggak, sayang~" Damian menjepit hidung Olivia kencang karena kegemasaan lalu setelah itu duduk. "Ayo bangun, kita harus berangkat kerja." Damian beranjak menuju kamar mandi meninggalkan Olivia yang tersipu malu karena perlakukan dan kata-kata manis dari suami barunya itu.
Setelah mandi, Olivia menuruni tangga pelan-pelan sambil memperbaiki rambutnya. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi seluruh rumah. Begitu tiba di dapur, dia menemukan Damian tengah berdiri di depan kompor memakai apron berwarna pink bergambar hello kitty. Di tangannya, spatula terangkat dengan gaya yang terlalu percaya diri.
"Pfftt hahaha ...." tawa Olivia pecah hingga membuat sang suami berbalik, menatap Olivia dengan alis menukik tajam.
"Apa yang kamu tertawakan?"
Manik mata Olivia bergerak ke atas hingga ke bawah. "Aku tidak menyangka pria gagah sepertimu ternyata menyukai sesuatu yang imut dan menggemaskan."
"Iya, aku memang menyukai sesuatu yang imut dan menggemaskan. Contohnya seperti kamu." Damian mengangkat sebelah alisnya, kembali menggoda istrinya.
"Uhm ... maksudku apron yang kamu pakai," Olivia dengan cepat mengelak seraya menunjuk apron yang Damian pakai.
"Enak saja, ini bukan punyaku. Ini punya mamaku, nggak sengaja kebawa. Aku pakai ini supaya bajuku nggak kotor."
Olivia bersedekap, memajukan bibir bawahnya, mencibir. "Ok, terserah kamu aja deh."
Damian menunjuk wajan. "Kamu lihat ini. Begini lah cara chef profesional masak," ucap Damian percaya diri. Ia memperlihatkan telur ceplok setengah matang buatannya yang berada di atas wajan.
"Masak telur ceplok kok minyaknya dikit banget, pasti bakal lengket nih."
"Itulah yang kamu tidak tahu. Kalau minyaknya banyak, bentuk telurnya justru nggak bakal sempurna kayak gini. Dan ini tidak akan lengket walaupun minyaknya sedikit karena aku udah atur apinya," jelas Damian seperti ahlinya kemudian menunduk mengatur besarnya api.
"Masa sih? bukannya sama aja?" Dahi Olivia berkerut, merasa tidak percaya.
"Jadi, kamu meragukan aku?" Damian menyilangkan tangan di d**a, pura-pura tersinggung.
"Iya," jawab Olivia enteng.
"Ok. Ayo kita buat taruhan. Kalau telur ini lengket, aku akan memberikanmu hadiah. Tapi, kalau telur ini tidak lengket, kamu yang harus memberiku hadiah. Hadiahnya bebas."
"Ok! siapa takut." Olivia melipat tangan di depan d**a, menaruh atensi penuh pada sebuah telur ceplok.
"Baiklah. Aku akan mengangkatnya sekarang." Damian mengambil piring lalu mengangkat telur dengan spatula silikon dan surprise, telurnya tidak lengket sama sekali dan bentuknya sempurna membuat Olivia menganga.
"Wah, sungguh seperti telur ceplok di restoran mewah," ujar Olivia terkesima. Pandangannya tak lepas dari telur ceplok setengah matang di atas piring. Sepertinya dia lupa kalau suami barunya itu memiliki bisnis di bidang kuliner sehingga wajar saja bila suaminya memiliki pengetahuan tentang masak memasak dan bisa memasak.
Damian berdiri dengan wajah terdongak, penuh percaya diri. "Bagaimana? aku tak salah 'kan?"
Olivia menyunggingkan senyum malu seraya mengusap tengkuknya dan mengigit bibirnya pelan.
"Sekarang mana hadiahku?" Damian langsung menagih sambil menadahkan tangannya.
"Hmm ... Tutup matamu."
Damian berpikir sejenak namun akhirnya dia mengikuti perintah istrinya, menutup matanya.
Dengan jantung berdebar, Olivia berjinjit lalu dengan cepat mengecup pipi Damian singkat tapi lembut.
Damian lalu membuka matanya dengan senyum lebar yang otomatis tercipta di wajahnya.
"Itu hadiahnya," ucap Olivia malu setengah mati. Ia bahkan nggak bisa menatap mata Damian lalu melangkah cepat menuju meja makan.
Senyum Damian tak pudar walaupun Olivia sudah hilang dari pandangannya. Dia menyentuh pipinya yang barusan dikecup. Ini adalah pergerakan berani dari Olivia di pagi pertama mereka setelah mereka sah menjadi suami istri.
***
Olivia memasuki tempat kerjanya dengan langkah santai dan perasaan lega.
"Selamat pagi semuanya~" Olivia menyapa sesama rekan kerjanya dengan ceria.
"Pagi Bu Olivia," sapa seorang karyawan yang duduk di belakang meja kasir. Karyawan lain tampak segan saat menyapa Olivia. Mereka hanya melirik Olivia takut seraya menyunggingkan senyum canggung.
"Bu Olivia kok masih kerja?" tanya seorang karyawan.
Olivia mengernyitkan dahinya, merasa ada yang aneh. "Kenapa kalian manggil aku dengan sebutan Ibu? dan memangnya ada yang melarang aku kerja?"
"Bu Olivia tidak ingat ya, Bu Olivia 'kan sudah resmi jadi istri bos sekarang."
'Oh, karena itu,' ucap Olivia dalam hati. Olivia menganggukan kepalanya seraya tersenyum tipis. "Ya walaupun aku udah jadi istri bos, aku tetap pengen kerja di sini, melayani pembeli. Ada masalah?"
"Oh, nggak nggak Bu. Nggak masalah sama sekali. Ya 'kan teman-teman?" Wanita dibalik meja kasir menjawab cepat seraya meminta persetujuan dari teman karyawan lainnya.
"Betul, betul."
Olivia melirik ke semua orang dengan alis terangkat sekilas. "Ok deh. Oh iya kalian nggak perlu manggil aku Ibu. Panggil aku Olivia aja ya. Santai aja." Semuanya mengangguk lalu kembali bekerja ke jobdesk masing-masing.
Tring!
Beberapa saat kemudian lonceng kecil yang tergantung di depan pintu berbunyi menandakan ada seseorang yang masuk, Olivia spontan berbalik hendak menyapa pembeli.
Ekspresi ramah dan ceria yang awalnya sudah ia siapkan seketika memudar ketika melihat orang yang datang itu.
"Hei, Olivia! mantan istriku, nggak nyangka banget ketemu kamu di sini." Suaranya lantang, sengaja ditekan agar terdengar oleh semua orang di ruangan dan perkataan orang itu sukses membuat semua mata tertuju pada mereka, membuat suasana kembali tegang.
"Hah, mantan suami?"
"Jadi sebelum menikah dengan Pak Damian, Olivia itu janda?"
Mulai terdengar bisik-bisik dari belakang tubuh Olivia.
Nathan, mantan suami Olivia datang bersama Laura. Keduanya kini tengah menatap remeh pada Olivia.
Olivia mendengus. "Mau apa kalian di sini? sepertinya kalian salah tempat deh, karena di sini bukan tempat untuk menyewa kamar." Olivia menatap Nathan dengan sorot mata tajam namun tenang, mencoba tetap teguh di atas garis harga dirinya. Tubuhnya terasa kaku, tapi ia tidak ingin sedikit pun terlihat lemah di depan dua orang yang pernah menghancurkan hidupnya.
Nathan tertawa pelan, nada suaranya sinis. "Pedas banget mulutnya. Tenang, aku cuma mampir. Mau lihat-lihat kue, siapa tahu pelayanannya bagus."
Laura menyandarkan kepalanya ke lengan Nathan, tersenyum puas dengan tatapan menghina. "Iya, Mas. Kita cuma mau belanja kok. Lagian, aku dengar-dengar tempat ini punya pelayanan yang ramah. Apa begini ya cara karyawannya melayani pelanggan?" Ia tersenyum manja ke arah Nathan, seolah memprovokasi.
Beberapa karyawan terdiam kaku. Ada yang pura-pura menunduk sambil berbisik, ada yang menatap Olivia dengan rasa kasihan. Suasana di toko berubah panas, seperti ada perang besar yang sebentar lagi akan pecah.
Hati Olivia panas, rasanya seperti mendidih. Tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya namun justru senyum lebar yang keluar. "Kue-kue berkualitas tinggi di sini hanya dijual untuk orang kalangan atas, bukan orang rendahan seperti kalian." Olivia menatap mereka tajam. Tutur katanya yang menghina menusuk mereka lebih dalam.
"Zi, layani mereka. Aku malas meladeni mereka," perintah Olivia seperti seorang bos pada salah satu rekan kerjanya yang lebih muda bernama Zia sebelum ke belakang meninggalkan Nathan dan Laura yang terbakar emosi.
"Mana nih bosnya?! Saya mau laporin karyawan yang nggak bisa bersikap sopan, pelayanannya buruk." Nathan sengaja mengeraskan suaranya agar Olivia dapat mendengarnya.
"Pak, maaf ... kami tidak bisa melakukan itu ...." Zia, karyawan bertubuh mungil itu mengeluarkan suaranya takut-takut. "Karena Kak Olivia adalah istrinya bos."
"Hah?!"