Bab 8 - Hari Pernikahan

1266 Words
Satu bulan kemudian Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Hari di mana pernikahan Damian dan Olivia resmi digelar. Akad nikah dan resepsi digelar di sebuah ballroom hotel berbintang. Dekorasi pelaminan bertema rustic yang menggabungkan unsur kayu, bunga-bunga kering, lampu pijar dan hiasan simple berwarna pastel membuat nuansa berkesan hangat dan sederhana. Seluruh keluarga terdekat dan kerabat dekat Damian dan Olivia turut hadir dalam acara, memberikan selamat kepada kedua mempelai yang berbahagia. Olivia melangkah pelan memasuki ruangan akad dengan gaun putih sederhana namun anggun. Tidak ada ayah dan ibu yang menggandeng lengannya. Sebelum acara pernikahan berlangsung, ia mengaku kepada keluarga Damian bahawa kedua orang tuanya telah meninggal dunia, sehingga ia dinikahkan melalui wali yang mewakili. Sekilas, mata setiap orang yang hadir tampak berkaca-kaca melihat bagaimana Olivia berdiri sendirian tanpa didampingi sanak keluarga namun tetap kuat. Damian yang mengenakan setelan jas hitam rapi, duduk dengan ekspresi serius di hadapan penghulu. Suaranya terdengar mantap saat ia mengucapkan ijab kabul, membuat seluruh ruangan hening dan sakral. Tepuk tangan pun pecah, disusul ucapan selamat yang mengalir tiada henti dari keluarga besar dan kerabat dekat. Resepsi berlangsung meriah, diiringi musik lembut serta tawa para tamu undangan yang menikmati jamuan mewah. Olivia berusaha memasang senyum sepanjang acara, meski sesekali tampak sorot matanya menerawang jauh, seolah menyimpan sesuatu di balik senyumnya yang rapuh. Damian tak henti menggenggam tangan istrinya seolah ingin menunjukkan bahwa ia ada untuknya. Berjam-jam kemudian, setelah rangkaian acara selesai dan para tamu mulai berangsur pulang, ballroom perlahan kembali sunyi. Hanya tersisa Damian, Olivia, dan beberapa anggota keluarga yang masih duduk sambil beristirahat dari kepenatan panjang hari itu. "Damian, kamu mau langsung pulang ke rumah baru atau gimana?" tanya Sean. Damian sudah dari lama menyiapkan rumah baru yang bernilai miliaran rupiah untuk ditempatinya setelah menikah. "Kayaknya kami langsung pulang ke rumah baru," Damian melirik istrinya seolah meminta persetujuan dan Olivia hanya mengangguk. "Barang-barang juga sudah diangsur dari 3 hari yang lalu," sambung Damian. "Bang Damian kayaknya udah nggak sabar pengen berduaan aja tuh," celetuk Arjuna, pria manis berlesung pipi itu bercanda. Damian hanya menyunggingkan senyum tipis karena dia memang tidak begitu akrab dengan adik tirinya itu. "Ya udah kalau gitu kalian hati-hati ya, kalau capek istirahat aja. Nggak usah buru-buru untuk memberikan kami cucu, kami sabar menanti kok," timpal Sonya bercanda namun diangguki oleh suami dan anak kandungnya. Perkataan Sonya sukses membuat pipi Olivia bersemu. "Ya udah kalau gitu kami pamit ya." Setelah berpamitan dengan keluarganya, Damian mengenggam tangan Olivia meninggalkan acara. Damian dan Olivia berjalan berdampingan melewati koridor hotel yang panjang. Suasana sudah jauh lebih sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki. Olivia merasakan genggaman tangan Damian begitu hangat, meski genggaman itu awalnya terasa canggung. Tidak ada yang bicara selama beberapa detik pertama, tapi hening itu sama sekali tidak terasa menekan. Saat keluar dari pintu besar hotel, angin malam yang sejuk menyambut mereka. Olivia menarik napas panjang, mencoba meresapi semua yang baru saja terjadi. Hari yang melelahkan tapi juga hari yang mungkin akan mengubah seluruh hidupnya. Namun tiba-tiba, langkah Olivia terhenti. Hak sepatunya tersangkut di celah kecil lantai marmer depan hotel. Olivia sedikit tersentak kehilangan keseimbangan. "Aaa!" Refleks, Damian menarik pinggang Olivia sebelum tubuhnya sempat jatuh ke depan. Gerakannya sangat cepat, dalam sekejap, tubuh Olivia sudah berada sangat dekat dengan dadanya, napas mereka saling beradu. "Pelan-pelan," bisik Damian, suaranya rendah dan hangat. Dua pasang manik gelap itu saling beradu. Olivia terdiam, jantungnya memacu lebih cepat dari sebelumnya. Wajahnya begitu dekat hingga dia mampu melihat jelas garis rahang Damian dan aroma parfumnya memenuhi indera penciumannya, aroma maskulin yang lembut dan menenangkan. Damian membantu Olivia berdiri lalu berlutut, membantu mengeluarkan hak sepatunya yang tersangkut di celah lantai seperti pria gentle. Olivia membasahi bibirnya gugup menghadapi perlakuan kecil dari pria yang baru beberapa jam yang lalu sah menjadi suaminya. "Lain kali hati-hati." "Uhm ... Terima kasih." Damian mengangguk lalu kembali melanjutkan langkah duluan menuju mobilnya. Saat mobil melaju perlahan meninggalkan hotel, Olivia melirik Damian dari sudut mata, tanpa sadar tersenyum. Dan Damian yang menatap lurus ke jalan juga tersenyum tipis, sangat tipis sampai siapapun tak ada yang menyadarinya. Setibanya di rumah besar nan mewah yang memiliki halaman luas dan kolam air mancur di depannya. Damian menghidupkan semua lampu begitu memasuki rumah. Rumah masih kelihatan kosong. Sudah ada beberapa perabotan rumah tangga namun masih terletak acak. Damian meletakkan kedua tangannya di pinggang, matanya menyapu ke seluruh ruangan. "Kita atur semuanya besok. Kita istirahat aja malam ini." Olivia mengangguk. "Aku juga capek banget." "Ya udah yuk kita ke kamar." Olivia menelan ludahnya ketika mendengar kata kamar. Kali ini dia akan tidur sekamar lagi dengan seorang pria setelah cerai dengan mantan suaminya dan ironisnya dia sudah dua kali menikah namun tidak satupun dari pernikahan itu berlandaskan cinta. Yang pertama karena perjodohan. Yang kedua karena kebutuhan hidup yang mendesaknya hingga tak punya pilihan lain. "Kita sekamar?" suara Olivia agak bergetar karena gugup. Damian menoleh, melangkah mendekati Olivia hingga berhadapan dengannya. "Kenapa? apa kamu takut aku menyentuhmu?" Damian memiringkan kepalanya, menatap Olivia intens bak singa yang lapar. Olivia sontak mengalihkan pandangannya ke arah lain seraya membasahi bibirnya. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. "Bukankah kita memang sudah pernah melakukannya. Kamu lupa ya?" ujar Damian lagi seraya mengangkat sebelah alisnya dan tersenyum nakal. Olivia kembali menatap mata Damian, memberanikan diri. "Hm ... Aku pikir pernikahan ini hanya pernikahan pura-pura? yang tidak melibatkan cinta atau sentuhan fisik?" suaranya terdengar ragu. Damian menyunggingkan senyum kecilnya. Ia menyelipkan helai rambut Olivia yang jatuh di pipinya ke belakang telinganya. "Apa kamu tidak membaca surat perjanjian itu dengan baik? di sana tidak ada tertulis larangan untuk melakukan sentuhan fisik seperti yang suami istri lakukan pada umumnya." Olivia menelan ludahnya, matanya berkedip-kedip pelan namun bibirnya bungkam, langsung tak berkutik. Namun itu justru membuat Damian terkekeh ketika melihat ekspresi gugup istrinya yang sangat menggemaskan di matanya. Ia berbalik, melanjutkan langkah dengan santai menaiki tangga menuju kamar mereka yang berada di atas. Olivia akhirnya hanya bisa mengikuti Damian walaupun debaran jantungnya masih belum reda. Damian berhenti di depan sebuah pintu kayu bercat putih. Olivia berdiri tepat di belakang Damian. Ceklek! "Ini kamar kita," ujar Damian lalu membuka pintu kamar. Sepersekian detik kemudian, bukannya masuk ia justru berbalik lalu... "Aaa!" Olivia sontak teriak ketika Damian tiba-tiba mengangkat tubuhnya, meletakkan tubuh Olivia ke atas pundaknya bak karung beras lalu membawanya masuk ke kamar. "Ya! Apa yang kamu lakukan?! turunkan aku!" seru Olivia seraya memukul-mukul pundak Damian. Namun Damian tak mengindahkan protes dari istrinya itu. Bruk! Damian mencampakkan tubuh Olivia ke atas kasur king size lalu mengukungnya, tanpa menghabiskan banyak waktu, ia memajukan tubuhnya, hendak mencium istrinya. Namun Olivia dengan cepat menahannya. "Kamu mau ngapain?" Debar jantungnya semakin kencang ketika wajah Damian semakin mendekat sampai ia bisa merasakan napas halus Damian menyapa kulit wajahnya. Iris gelap itu seolah menariknya untuk masuk lebih dalam. "Kamu pikir kalau sudah begini, apa yang akan terjadi heum? Kamu tidak polos untuk mengetahuinya 'kan?" Damian tersenyum miring. "Jangan terlalu gugup, seperti kamu belum pernah melakukannya saja, bahkan kita juga sudah pernah melakukannya waktu itu." "Ya, tapi kamu memaksaku waktu itu. Kamu mengambil kesempatan saat aku tak sadar." Olivia masih menahan tubuh besar Damian. Damian mengangguk pelan dengan bibir sedikit mengerucut seolah mengerti, tangannya tergerak menyingkirkan helai rambut yang menutupi wajah mulus Olivia. "Jadi, kamu ingin aku melakukannya dengan lembut, heum?" Suara Damian berubah, lebih lembut dari sebelumnya dan raut wajahnya tidak semenyebalkan sebelumnya membuat Olivia terbuai, tangannya yang menahan d**a Damian perlahan melemah dan membiarkan Damian maju hingga bibir keduanya bertemu. Ia menutup matanya membiarkannya mengalir apa adanya. Semakin dalam ciuman, semakin membuat Olivia terbuai, yang awalnya menolak, sekarang menginginkannya lebih. Sepasang tangannya sudah mengalung cantik di leher Damian, menikmati setiap sentuhan dari pria yang sekarang berstatus sebagai suaminya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD