bc

INEFFABLE

book_age12+
182
FOLLOW
1K
READ
love-triangle
goodgirl
band
drama
mystery
small town
crime
love at the first sight
teacher
actor
like
intro-logo
Blurb

Namaku Haruna Hara, manusia kerdil yang dipaksa mengucilkan diri di sebuah desa oleh raksasa penguasa. Wartawan ibukota yang dibungkam paksa, intrik-intrik politik membuatku berakhir dengan hidup sebatangkara.

Aku mencoba menjalani semuanya dengan tenang, meski terkesan mengkhianati negaraku sendiri. Aku juga memilih untuk tidak mengikuti ritme politis, sebab tak mau bertemu raksasa-raksasa lagi. Akan tetapi, di desa aku justru bertemu seseorang yang begitu besar. Dunia mengenalnya dengan begitu baik. Sesuatu kisah yang tak kusangka dan tidak pernah kubayangkan sebelumnya.

chap-preview
Free preview
Part 1 (Intrik Politik)
Koreanesia, negara kecil yang memiliki nama besar. Bukan, bukan karena kekayaannya melebihi USA atau wilayahnya sekecil Timor Leste. Ini karena bidang entertainment dan keseniannya mendunia. Ditambah lagi, bentang alam yang minim tetapi masih terawat karena budaya rakyatnya yang hidup bersih. Negara yang merdeka di tahun 1945 ini terbilang salah satu negara maju karena mampu memanfaatkan talenta warga negaranya dalam bidang kesenian dan tetap mempertahankan budayanya. Bukankah amat sangat bangga bisa terlahir di negara ini? Halo, namaku Haruna Hara, 25 tahun, seorang wartawan sebuah stasiun televisi swasta. Terbiasa meliput berbagai kegiatan politik. Tubuhku mungil, hanya 158 cm, tapi aku sangat lincah dan penuh semangat mengejar komentar para petinggi partai atau pemangku kekuasaan negara. Seperti sekarang ini, aku sedang berada di sebuah hotel megah di ibukota negara, Seulasia. Sedang ada kampanye politik pemilihan Gubernur Ibukota Negara. Sungguh, kontestasi politik di negara ini sangatlah panas. Terkadang aku menangis, berteriak marah, namun tetap saja, semuanya hanya dalam hati. Sebenarnya aku bosan, sudah sejak lulus kuliah 4 tahun yang lalu, aku di tempatkan dalam zona yang berbahaya. Bagiku lebih berbahaya daripada meliput massa aksi demonstrasi. Aku pernah merengek untuk meliput persiapan konser boyband, tapi tidak ada yang mau mendengar permintaanku. Kenapa? Bahkan saking setianya negara ini pada budaya masa lampau, kebanyakan rakyat di negara ini masih memandang rendah seseorang dari kasta. Apakah dia punya orang tua, kaya atau miskin, cacat atau tidak, jelek atau tidak. Diskriminasi itu masih kental sekali. Lebih-lebih di perkotaan. Aku tak akan mendapatkan apa yang kuinginkan karena aku yatim piatu. Begitulah budaya di kantor ini. Yatim piatu? Benar, Ayah dan Ibuku meninggal 16 tahun silam. Karena sebuah kecelakaan mobil di jembatan terbesar di negaraku. Sejak saat itu aku hidup dengan nenekku yang 2 tahun lalu telah tiada. Kini aku hidup sebatangkara. Suadara? Sungguh aku tidak punya siapa-siapa kecuali diriku sendiri. Ayah Ibuku hanya meninggalkan nama mereka. Aku sedikit beruntung karena ibuku sebelumnya adalah pewarta berita utama di tempatku bekerja sekarang. Ayahku seorang wartawan sama sepertiku. Nama itu mereka tinggalkan, sehingga aku dapat bekerja di perusahaan ini dengan mudah tapi tetap saja ada perlakuan tidak adil. Dulu aku akan selalu menangis, lelah, rindu Ayah, Ibu, dan Nenek. Sekarang rasanya tak ada waktu untuk merengek. Aku lebih memilih menjalani hidupku apa adanya. Aku kuat dan aku mampu. "Hara, ini kampanyenya mau dilanjut jam berapa? Kenapa terlambat sekali?  Bukankah mahasiswa lebih tepat waktu dalam menyampaikan orasinya?" seloroh rekan satu profesiku, kami hanya berbeda instansi saja. "Bukankah sudah biasa para politisi mengenakan jam karet?" "Ahh, benar." Kami tertawa bersama. "Hara, lebih baik kita ke rooftop dulu, ngopi. Mau?" Mengangguk cepat. "Aku akan membelikanmu latte, tunggu saja di rooftop, tapi jika tidak keberatan, tolong bawakan tasku sekalian." Mengangguk, memanggul tas berat milik rekanku, berjalan menuju lantai  paling terakhir menggunakan lift lalu menaiki tangga darurat menuju rooftop. Membuka pintu darurat dan menghirup udara malam pukul 19.45 WIB, sudah terlalu malam untuk orasi tapi para politisi itu memang suka sekali mengulur waktu dan enggan tidur lebih awal. Hendak melanjutkan langkah tapi terhenti karena dua orang berjas hitam dan seorang pria bertubuh tinggi mengenakan pakaian serba hitam serta topi hitam. Rasanya tak baik langsung mengganggu percakapan mereka, jadi aku menunggu tepat di depan pintu, di balik tumpukan botol beer yang penuh debu. "Bagaimana bisa kamu gagal menyingkirkannya? Anak tidak berguna semacam itu jika menyebutku Ayah, dia akan sangat memalukan bagiku. Mengganggu sekali pemulihanku nanti!" suara yang amat sangat kukenal, seseorang yang orasinya tiba-tiba terhenti dan menunda orasi hingga saat ini. "Maaf, Pak." "Singkirkan dia jauh-jauh. Kalau perlu bunuh saja dia. Toh, aku tidak pernah menganggap kelahirannya." Aku mundur selangkah. Kenapa harus ada kata bunuh yang kudengar? "Maaf, Pak. Sungguh saya tidak bisa membunuh anak itu. Anak itu bahkan tak bisa punya dosa." Yang berjas hitam dengan pin kebanggaan di dadanya itu tertawa jahat. "Satu-satunya dosa anak itu adalah lahir dengan cacat mental! Tolong bunuh dia untukku, atau kubongkar dosamu sebelum ini!" ancamnya. Aku tahu politik di negaraku penuh dengan intrik-intrik yang kotor. Lebih-lebih di masa sekarang, tapi mendengar seorang Ayah ingin membunuh anaknya sendiri adalah sesuatu yang paling kotor yang pernah kudengar. Kakiku lemas, tubuhku hampir limbung, dan tanpa sengaja menjatuhkan beberapa botol beer yang ditumpuk. "Siapa itu?" gumam seseorang di sana sementara satu orang berjas hitam tanpa pin di d**a menoleh ke arahku. Aku langsung berlari turun secepat mungkin, menggunakan kekuatanku sebagai mantan atlet lari ketika masih SMA dulu. Tapi ini lebih berat karena kakiku benar-benar lemas. Aku selalu merindukan ayahku, membutuhkannya, dan menangis karena dunia tidak adil saat merenggutnya dariku, tapi ada seorang ayah yang meski dia hidup sehat bergelimang harta, dia ingin membunuh putranya sendiri. Seseorang yang gagal menjadi ayah akan ikut kontestasi politik di Ibukota? Sungguh, akan menjadi apa negaraku nanti? Aku menelepon rekanku. "Araya, aku minta maaf. Aku tidak bisa menemanimu ke rooftop, sepertinya aku harus pulang karena tiba-tiba saja aku tidak enak badan. Aku pusing sekali seperti hampir mati. Maafkan aku. Aku menitipkan tas milikmu di resepsionis. Sungguh maafkan aku!" kataku via panggilan telepon. Tidak menunggu jawabannya, aku langsung mematikan telepon dan menelepon rekan kerjaku yang lain, meminta mereka menggantikanku. Beruntungnya ada yang mau menggantikanku dan aku pulang dengan perasaan yang tidak karuan. Tiba di rumah, aku langsung mengguyur tubuhku dengan air sebanyak-banyaknya. Tidak peduli malam hari mandi itu tidak baik untuk kesehatan, tapi aku sungguh ingin membuang semua ingatanku bersama dengan air yang mengalir. "Hahhhhh!" teriakku. Aku harus bagaimana? Diam? Tapi seperti sedang mengkhianati negaraku sendiri jika aku hanya diam. Seandainya aku berbicara, itu hanya akan membunuhku lebih cepat tanpa bukti. "Tuhan!" keluhku lagi. Tubuhku mulai menggigil dan aku memutuskan untuk berhenti. Merebahkan tubuh di atas sofa di bawah foto keluarga 17 tahun silam. Aku masih cukup manis dengan gigi ompong. Menatap baju kerjaku, biru polos dengan badge perusahaan tempatku bekerja. "Name tag!" gumamku mendapati name tag-ku tidak tergantung di saku seragam. Aku panik dan mencarinya, sungguh tidak ada. Aku menjatuhkannya di mana? Jika tidak ada, sudah pasti aku tidak bisa bekerja besok dan akan dianggap membolos. Memejamkan mata diiringi lagu ballad milik Super X, akunhanya ingin tenang. Akan tetapi, puluhan pertanyaan berkecamuk di dalam pikiran. Ada apa dengan hidupku hari ini? Kenapa aku harus mendengar hal yang mengerikan dan harus bersiap untuk hari s**l besok?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Broken

read
6.4K
bc

Unpredictable Marriage

read
280.7K
bc

Everything

read
278.3K
bc

Dear Doctor, I LOVE YOU!

read
1.1M
bc

Love Match (Indonesia)

read
173.4K
bc

HURTS : Ketika Hati Yang Memilih

read
115.4K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook