Part 2 (Ancaman)

1466 Words
Kosong, begitulah mataku berbicara meski hamburan bintang tak satupun tenggelam. Yang ada ia tenggelam dalam ruang kosong kornea mataku. Telinga yang berisik, terbayang intrik politik mematikan. Bayi yang sedang tumbuh dalam kandungan tidak pernah bisa memilih menjadi sempurna atau memiliki kekurangan. Bagaimana bisa kelahirannya adalah kesalahan? Seharusnya jika tak mau, tak usah berbuat lebih sehingga menghasilkan bayi yang akhirnya disalahkan. Kenapa harus menyalahkan anak yang berbuat dosa pun ia tak mampu? Kim Jae, bukankah itu nama politisi yang ingin membunuh anaknya sendiri? Aku yakin dia. Karena tidak mungkin lawan politiknya datang ke acara kampanye tadi. Bahkan dari suaranya aku pun yakin. Aku ingin sekali membuka suara, tapi jika hanya suara tanpa bukti nyata, justru aku yang terjerumus dalam neraka. Memikirkannya saja membuatku tak bisa makan bahkan tidur, hanya diam dan termenung bersama lagu-lagu ballad milik Super X. Idol kelas dunia yang sedang digandrungi banyak kalangan. Sungguh, aku ingin memejamkan mata meski hanya 5 menit agar aku bisa beribadah di akhir sepertiga malam. "Ahhh!" pekikku karena kaget, tiba-tiba saja lampu rumahku mati di saat semua rumah tetangga terang benderang. Jelas sekali dari balik jendela kaca rumahku. "Pasti ada masalah," gumamku berjalan keluar untuk mengecek tombol listrik. Ternyata memang tombolnya berganti posisi, jika kuubah lagi, maka rumahku kembali penuh dengan cahaya. Namun, baru hendak kualihkan tombolnya ke sisi kiri, seseorang membekapku, membalikkan tubuhku, dan mencengkram erat tanganku. Dia bahkan mendorongku keras hingga punggungku terasa sakit karena membentur dinding rumah. Pakaiannya serba hitam dan hanya nampak mata menggunakan lensa kontak berwarna abu. Nampak menakutkan dengan cahaya yang sangat dekat dengan matanya. "Apa yang kamu dengar di rooftop Hotel Berlin sekitar pukul 8 malam?" tanyanya dengan suara berat. Aku yakin dia bukan lagi anak muda, tapi sudah berusia 40an. "Saya, sss, saya tidak tahu. Saya di rumah sejak tadi." "Jangan mencoba membodohiku!" "Sungguh!" tegasku tapi sedikit kaku. Dia tidak menjawab dan hanya menunjukkan name tag milikku yang tergantung di jari-jarinya. "Tetaplah diam, berhentilah bekerja, atau aku memaksamu diam. Aku punya pisau." Menunjukkan pisau yang mengkilat, ia nampak tajam. Laki-laki ini menunjukkan pisaunya dekat dengan mulutku. "Pisau ini bisa membungkammu selamanya. Oleh sebab aku masih berbaik hati, diam lah dan pergi sejauh mungkin. Aku masih bisa menjamin hidupmu." Aku diam tapi air mataku sudah mulai jatuh. Sungguh aku takut, aku takut sekali sekarang. Pukul 03.06, jamnya orang tertidur pulas. Tidak akan ada yang mendengar teriakanku, pun karena orang kota lebih cenderung individualis. "Apa, apakah Anda Kim Jae?" "Berhenti bekerja, maka aku tidak akan mengganggumu lagi. Bahkan jika mau, aku bisa memberimu uang sebanyak yang kamu mau." "Jika aku diam, bukankah aku tengah mengkhianati negaraku? Bagaimana bisa seorang Ayah yang gagal melindungi anaknya maju dalam kontestasi politik?" kata itu keluar begitu saja karena aku benci, negara yang citranya apik di mata dunia tapi begitu kejam di dalamnya. Plakkkkk! Tamparan keras mendarat mulus di wajahku. Dua kali, kanan dan kiri agar tak saling merasa iri. Tangisku tentu saja kian berderai. "Diam lah dan ikuti saja apa yang kuminta. Maka kamu akan tetap hidup. Aku akan kembali lagi jika kamu berulah, aku bisa membungkammu dengan cara apapun!" ancamnya langsung berlari pergi dengan cepat, ia nampak terlatih. Masuk ke dalam rumah dan menangis sepanjang malam. Air mataku tak habis bahkan meski bercucuran deras. Aku takut, aku merindukan Ayah yang akan selalu melindungiku, merindukan ibu yang akan selalu memelukku ketika aku ketakutan, aku juga merindukan Nenek yang akan melakukan segalanya untukku. Subuh hari tiba, aku harus segera berjumpa dengan Tuhanku. Hanya Dia yang bisa melindungiku saat ini, hanya Dia yang akan menenangkanku. Sungguh hanya Dia yang bisa melakukannya. Aku menangis, bersimpuh dan dengan tidak tahu malu, memohon banyak-banyak. Tuhan, sebaik-baik petunjuk dan pengabul permohonan. Pagi hari bukan burung berkicau merdu yang menyambutku, lebih merdu kicau ketua timku karena aku kehilangan name tag. Tentu saja aku diusir paksa dan beliau juga mengatakan sebaiknya aku mundur dari tempatku. Seseorang mengatakan aku akan segera dipecat dengan dalih pengurangan karyawan akibat melemahnya ekonomi negara. Dunia menganggapku bodoh hanya karena aku anak yatim-piatu dan bukan Sarjana Ekonomi. Ekonomi negara mana yang melemah ketika anggaran negara selalu surplus dan pertumbuhan ekonomi naik 3%. Seharusnya mereka tak menggunakan alasan ekonomi padaku, aku terbiasa mendengar para elit saling membual tentang ekonomi. Sesekali aku merasa kuat di hadapan semua orang di kantor, tersenyum dan merasa pintar meski dibodoh-bodohi. Aku tahu semua hanya intrik. Akan tetapi, cahaya serta bayang hitam semalam terus menghantui. Sejauh itu mereka mampu menebarkan rumor dan mempengaruhi atasanku untuk melakukan pemecatan. Menciptakan alasan dalih ekonomi ketika 1 bulan yang lalu, instansi ini baru saja membuka lowongan besar-besaran untuk tim produksi. Banyak program baru, banyak devisi baru hanya dalam 1 bulan. Terkadang orang pintar terlalu bodoh untuk membodohi orang bodoh. Bukankah benar? Diam beberapa saat. Berdiri di jembatan terpanjang di negaraku, menikmati angin yang cukup kencang, dingin, tapi lebih baik daripada aku kepanasan karena takut. Di tempat inilah, ayah dan ibuku meregang nyawa, terakhir kalinya mereka mengingatku. Setiap kali merasa lelah, aku akan datang ke mari untuk bercerita. Lalu bayangan ayahku yang hebat itu muncul di antara riak air di bawah sana. "Putri cantikku, menjadi wartawan itu tidak kalah keren dari polisi. Kamu tahu?" Kala itu aku menggeleng. Aku tetap kukuh ingin menjadi seorang polisi, seperti kakek yang menurut sejarahnya gugur dalam tugas. "Ketika polisi menemui jalan buntu terhadap kasus yang sedang ditangani, pemilik informasi paling aktual dan terpercaya adalah wartawan, reporter, presenter, dan lain sebagainya. Mereka yang berdiri di balik media massa maupun cetak adalah orang-orang yang bisa jadi memegang banyak rahasia untuk membantu polisi memecahkan masalahnya." Sejak saat itu lah aku ingin menjadi seperti Ayah atau Ibu. Sekarang aku mengerti kenapa Ayah mengatakan itu, karena aku juga pada akhirnya memiliki rahasia yang seharusnya bisa membantu tugas kepolisian. Tapi aku harus mencari bukti, apapun itu bukti harus kudapatkan. Kembali ke rumah dan mengumpulkan berbagai macam informasi perihal keluarga Kim Jae, politisi ternama yang sering disebut Bapak Etika. Karena sikapnya yang baik serta etika yang terdidik. Ia ternyata menyimpan rahasia yng mengerikan. Memang benar kata Nenek, politisi harus pandai menciptakan gambaran wajahnya, karena itu modal utama. Melalui jejak digital aku mengumpulkan berbagai macam informasi. Mulai dari istrinya, orang tuanya, adiknya, dan anaknya. Akan tetapi, informasi yang tersebar tidak lag banyak. Hanya nama istri dan anak tunggalnya yang merupakan pewaris K-Food Gruop, perusahaan makanan cepat saji terbesar di negeri ini bahkan telah membuka cabang di beberapa negara. Artinya dari apa yang kudengar, Kim Jae tidak hanya memiliki 1 anak saja. Aku mulai mencari lagi dan menemukan bahwa proses persalinan anak tunggalnya itu tidak berlangsung di rumah sakit, akan tetapi di sebuah rumah singgah untuk anak-anak terlantar. Dalam wawancaranya, Kim Jae menyatakan bahwa istrinya saat itu sedang menjadi relawan di rumah singgah dan mengalami kontraksi di sela acara. Oleh sebab rumah singgah itu jauh dari perkotaan, maka dilakukan persalinan secara tradisional di rumah singgah itu demi keselamatan kedua nyawa. Apa hanya aku yang berpikir harus pergi ke sana untuk mencari tahu lebih lanjut? Malamku semakin larut, masih ditemani lagu ballad milik Super X. Jika orang lain lebih menyukai lagu mereka yang bergenre funky, hip-hop, hardvapour, atau R&B, aku lebih menyukai lagu-lagu ballad mereka yang nyaman didengar telinga. Lebih-lebih lagu yang memberikan semangat hidup, memiliki makna sebuah perjanjian, dan lagu yang seolah mengatakan dunia akan baik-baik saja selama aku baik-baik saja. Ya, lagu mereka selalu memberikan segalanya yang aku butuhkan. Padahal perempuan di luar sana memilih lagu-lagu dengan ritme cepat serta semangat, kenapa? Karena dalam setiap music video, mereka akan menampilkan kelincahan gerak, tubuh yang seksi, dan tak jarang t*******g d**a. Super X tidak akan menunjukkan itu dalam music video lagu ballad mereka. Aku larut dalam mimpi buruk dan terbangun di subuh hari dengan kucuran keringat dingin. Semakin buruk ketika aku tahu bahwa aku tidak bisa bekerja hari ini karena Ketua Tim melarangku pergi. Hanya menikmati waktu suntuk di rumah, tapi tak masalah. Itu artinya aku memiliki waktu cukup untuk pergi ke rumah singgah. Mencari-cari berkas yang kumpulkan semalam. Seingatku tergeletak di meja ruang tamu tapi tidak ada apapun. Kosong, yang ada justru barang-barang yang berserakan. Kupikir ada yang memaksa masuk rumahku semalam karena pintu rumahku nampak rusak. Apakah semalam bukan mimpi buruk? Suara gaduh semalam bukan mimpi buruk? "Paket!" pekik seseorang di depan pintuku yang terbuka. Aku baru saja hendak pergi ke rumah tetanggaku untuk memintanya memperbaiki pintu rumahku. "Maaf, dari siapa?" Aku merasa tidak sedang memesan apapun melalui layanan daring. Kurir mengatakan ada alamat yang tertera, dia memintaku untuk menerimanya saja. Dari alamatnya aku tidak tahu, sepertinya sangat asing bagiku. Yang mengerikan adalah ketika kotak itu kubuka, ada botol kecil bertuliskan KCN, simbol kimia untuk Kalium Sianida. Bahan kimia yang akan membunuh dengan cepat. Lalu pisau kecil yang tajam dengan setitik darah di sana. Tanganku gemetar sampai menjatuhkan kotak berisi ancaman tersebut. Bagaimana tidak kubilang ancaman? Di dalamnya ada kertas besar tak terlipat dan mengatakan aku harus memilih satu di antara kedua barang itu jika terlalu banyak bertingkah. Dalam posisi ini, yang kupahami dan aku merasa sangat memahami. Pilihan sebenarnya adalah mati tanpa dipercaya atau uang dan hidup dalam diam. Jika aku bersuara tak akan ada yang percaya karena buktiku tidak cukup kuat, aku hanya akan berakhir dengan kematian. Lantas, jika aku memilih hidup aku harus diam dan mengunyah uang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD