Chapter 2

1457 Words
ENAND “Iya, jadi habis kena pelanggaran telat dengan alasan nungguin bokap dan adeknya supaya bisa berangkat bareng, dia ketahuan ngelanggar lagi karena ngerubah menu sarapan dari yang awalnya telur puyuh jadi telur ayam dengan alasan kolesterol telur ayam lebih kecil dari telur puyuh! Mirip gue banget nggak, sih? Tiap makan mikir kalori, kolesterol, lemak jahat.” Kazi masih tertawa lepas mengingat kejadian tadi pagi.             Sebagai ketua panitia MOS, dia sempat mantau jalannya acara. Terutama untuk agenda detensi di ruang pembinaan yang oleh anak-anak di-setting mirip sel interogasi di kantor polisi, malah lebih parah (well, gue bilang gini karena gue emang pernah masuk sendiri ke sel interogasi k*****t itu).             “Tapi endingnya lo makan juga, Zi”, sahut Sakta sembari menyuapkan potongan terakhir mangga yang kami makan bersama ke mulut Kazi. Sesuatu yang lumrah dilakukan Sakta kalau udah ketemu sepiring mangga. Selain nguyah, ya cuma berbagi sama Kazi yang diinget.  Dan demi apapun dia nggak bakalan nyisain sepotong buat gue.             “Terus Gina gimana?” tanya gue. Penasaran dengan aksi Gina, si ketua KomDis. Temen sekelas gue yang super galak di depan siswa baru.              “Kesel banget lah. Tuh anak dicecer abis sama Gina. Tapi tetep aja, dia masih kasih alasan-alasan lucu yang sukses bikin gue puas karena lihat muka Gina yang kayak mau nelen meja,” sahut Kazi. “I think she already faced the real tiger before she met our tiger Gina.”             “Siapa sih namanya? Dari powernya yang bisa bikin sebel Medusa, kayaknya tuh anak titisan Athena. Kali aja bisa gue wawancarain apa Anabeth Chase sama Percy jadi merit,” celoteh Sakta yang lagi-lagi mencomot mangga dan mulai ngait-ngaitkan peristiwa di dunia nyata sama bacaan favoritnya, Percy Jackson.             Semenjak masuk SMA, gue bersyukur dia udah nggak terobsesi buat ngebuktiin kalau gue dan dia demigod yang kalau nggak anak Ares, anak Apollo.     Hey, gue jelas-jelas anak bokap nyokap gue. Begitu pula Sakta yang meski gue nggak secara langsung  lihat proses lahiran nyokapnya dulu (jelas aja, gue masih bayi juga). Tapi dari fisiknya, jelas temen gue itu anak dari kedua orang tuanya. Dan kalau pun kami demigod, dia lebih cocok jadi anak Hermes dan gue berharap jadi anak Hades. Gue nggak suka Ares yang demen mancing perang atau Apollo yang nyandu puisi. Dan yang paling penting, dengan jadi anak Hades mungkin gue bisa ketemu nyokap gue di dunia bawah.             Well, sekarang gue persilahkan kalian menyimak percakapan gue dan sahabat-sahabat gue lagi daripada mulai ngayal jadi anak dewa-dewi.             “Bentar gue inget-inget. Ehm..., bunga apa tuh yang putih?” tanya Kazi.             “Tulip?”             “Tulip mah bunga yang lo gambar di kemeja lo, Ta!” Gue melempar bantal ke arah Sakta, kemudian beralih menatap Kazi dan nyoba nebak. “Melati?”             “Hm.., iya! Melati!” seru Kazi sambil menjentikkan jarinya.             Hari itu, berakhir dengan cerita-cerita lain. Berujung ke cerita tentang ketakutan Sakta yang menjabat sebagai kapten tim basket di era Sewindu Mandala. Sebuah era dimana kutukan yang memupus semua harapan cabang prestasi di Mandala biasanya terelealisasi. Era yang terjadi setiap kelipatan tahun ke delapan sejak sekolah kami didirikan.  ****             Lo masih inget, nggak? Kenangan pertama kali yang bisa lo inget? Masih mikir? Kalau gitu biar gue jawab sendiri pertanyaan gue.             Masih.             Well, meski nggak terlalu yakin juga itu kenangan pertama atau bukan. Tapi yang jelas, kenangan itu ada di periode-periode awal hidup gue.             Dalam kenangan itu, gue inget kalau gue pernah punya bokap. Bokap yang meski jarang ketemu, tapi selalu menginginkan gue. Bukan yang menghindar dari gue seperti sekarang. Dalam kenangan itu, gue bahkan pernah punya nyokap. Nyokap yang nyuruh gue berjanji, untuk bertahan di negeri dongeng yang diciptakan bokap gue. Meski nantinya gue cuma punya bayangan gue sebagai temen.             Janji yang sampai sekarang gue pegang, sampai berdarah-darah. Karena ternyata, janji itu cuma bisa ditepati oleh orang yang kegilaannya setingkat dengan bokap gue. Dan nyokap gue nggak segila itu. Dia milih nyerah.             Namun, saking lapuknya kenangan itu, gue ragu itu pernah terjadi. Bahkan karena sedikitnya stok ingatan itu di kepala gue, nggak jarang gue ngerasa itu cuma mimpi. Mimpi paling indah. Mungkin itu salah satu alasan gue ogah bangun setiap pagi. Sama seperti sekarang. Kalau aja Sakta nggak rusuh di kamar gue dengan muter musik metal sekenceng-kencengnya, mungkin gue bakal bolos hari ini. Atau paling enggak sampai jam istirahat.             “Betah banget lo di kasur. Kazi nungguin lo tuh!” Setelah sukses narik gue ke dunia nyata, Sakta melanjutkan ritualnya dengan membuka tirai kamar. Mata gue seketika menciut. Matahari nggak pernah ramah ke gue kalau pagi-pagi.             “Rese’ banget lo, Ta!” seru gue sambil melayangkan bantal ke arah Sakta. Tanpa peduli ke bagian tubuh mana bantal itu mendarat, gue berjalan gontai menuju kamar mandi. “Lo kalau mau berangkat duluan sama Kazi silahkan, kontak mobil di tempat biasa,” ujar gue sebelum benar-benar masuk ke kamar mandi.             “Oma lo nyuruh kita berangkat bareng,” katanya, yang gue balas dengan suara daun pintu yang menutup.             Oma selalu gitu. Takut kalau misal gue pisah dari temen-temen gue, gue bakal mengakhiri hidup secara diam-diam. Persis seperti nyokap gue. Dan sejarah kembali terulang. Alhasil, sampai sekarang gue masih menganggap privasi adalah suatu kebebasan yang mewah. Nggak ada satu jengkal pun dari kamar gue yang murni gue kuasai. Setiap harinya, tiap-tiap jengkal dari kamar gue rutin diperiksa oleh pelayan. Semua atas perintah Oma. Takut kalau-kalau gue nyembunyiin obat-obatan yang sewaktu-waktu gue gunakan untuk mencontoh adegan pembebasan nyokap gue dari belenggu istana negeri dongengnya.             Kazi masuk ke dalam mobil setelah melihat gue muncul dari ambang pintu. Dia sahabat gue dari kecil. Anak dari salah satu kolega bokap gue. Wawasannya luas, idealis, dan yang paling penting nggak manja. Kalau bukan karena jagain gue dan keinginannya untuk hidup seperti remaja normal lain, dia udah milih program homeschooling atau ikut program akselerasi daripada ngikutin sistem pendidikan yang dianggapnya lemot dan nggak efisien. Dan pastinya, si cewek jenius ini udah dapet gelar sarjana hukum dengan kecakapan yang dia punya.             “Nand, aaaak…,” ujar Kazi dengan kepala menjulur ke depan ketika gue melahap sandwich yang dipaksa Oma untuk gue bawa. Gue mengarahkan sisi sandwich ke ke samping supaya Kazi bisa menggigitnya. Belakangan, semenjak berhenti dari modeling, nafsu makan Kazi meningkat. Membuat gue dan Sakta nggak perlu nahan-nahan atau sembunyi-sembunyi setiap ingin berburu kuliner.              “Gue udah ganti koki berkali-kali tapi kok nggak ada yang nyamain masakan koki di rumah lo sih.” Kazi mendengus sebal. Tubuhnya ia empaskan ke jok belakang.             “Lo pernah denger pepatah kalau rumput tetangga lebih segar, kan? Itu juga berlaku dalam masakan, Zi,” sahut gue sambil kembali melahap sisa sandwich dan menjilat sekilas sisa meyonase yang lumer ke jari gue.             Tanpa aba-aba, Kazi langsung menyabet tisu milikknya dan mulai ngomel. “Ih, jorok banget sih…,” omelnya sembari mengusap jari gue. Well, itulah yang terjadi kalau  lo punya sahabat cewek. Oh koreksi. Itulah yang terjadi kalau lo punya Kazi dalam hidup lo. Karena gue nggak yakin ada sahabat cewek yang sesempurna Kazi. Sesempurna itu sampai lo nggak butuh makhluk lain dengan jenis kelamin perempuan. Just Kazi. And your life would be easier.             Sakta melirik sedikit ke arah kami kemudian kembali konsentrasi ke jalanan.             “Gue nggak bisa bayangin kayak apa ritme makan lo kalau koki di rumah lo cocok sama selera lo, Zi. Yang kata lo nggak cocok aja udah bikin lo selahap biasanya kalau kita mampir kesana,” timpal Sakta yang duduk di kursi kemudi, sebelah gue. Matanya menatap lurus ke depan, mencari celah di tengah padatnya lalu lintas pagi hari.             Sakta nggak pernah suka gue setirin, sekali pun ini mobil gue. Oh maaf. Mobil bokap yang diatasnamakan nama gue. Temen gue yang satu ini emang perfeksionis tingkat dewa, terlebih urusan berkendara di jalanan. Katanya, gue nggak bisa semulus dia kalau nyetir, apalagi kalau baru bangun tidur kayak sekarang.              Diiringi percakapan tentang koki yang berujung ke destinasi makan siang sepulang sekolah nanti, dua puluh menit berlalu sampai kami memasuki gerbang sekolah. Jam digital raksasa yang terpasang di sentral bangungan sekolah mulai berkedip-kedip merah. Kurang dari tiga menit lagi, jam pertama pelajaran bakal dimulai.             Sakta memarkir mobil dengan rapi, just as perfect as usual. Kami berjalan bersama sebelum akhirnya berpisah di ujung koridor karena Kazi menuju deretan kelas XII IPS, sementara gue dan Sakta menuju deretan kelas XII IPA, kebetulan juga kelas yang sama.             Seseorang terdengar memanggil nama Kazi nggak begitu lama setelah kami berpisah. “Kazi!” panggil orang itu, yang ternyata adalah Yudha, ketua OSIS sekaligus teman sekelas Kazi.             Sakta langsung menoleh. Nggak sampai di situ, gue yakin setengah mati tuh anak juga bakal langsung ngibrit nyamperin Kazi dan Yudha kalau aja nyaringnya bel masuk nggak balikin akal sehatnya. Sakta yang udah ngambil ancang-ancang buat nyamperin Kazi pun akhirnya kembali melangkah menuju kelas kami sambil menggerutu nggak jelas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD