Chapter 3

1136 Words
ENAND             Kazi menghampiri gue dan Sakta setelah bel pulang berbunyi dan bilang kalau dia nggak bisa gabung jelajah kuliner bareng dua sobatnya yang waktu dia masih modeling sering dikira bodyguard-nya ini. Oh, mungkin juga sampai sekarang.             “Yudha tadi pagi cerita, gedung buat acara kita dipakai anak Kalesta. Jadi gue musti ngurusin itu dulu,” katanya dengan muka murung.             “Kayaknya waktu kita booking dulu oke-oke aja, kan? Pembayaran dan peretelan prosedur lainnya juga udah beres. Kok jadi anak Kalesta yang make’?” celoteh Sakta yang langsung senewen karena kecipratan resahnya anak OSIS. Padahal dia bukan anak OSIS.             “Makanya, gue mau ngonfirmasi sama Yudha,” balas Kazi sambil melirik Yudha yang sudah bersiap dengan motor bebeknya.             Pemandangan itu sontak bikin sahabat gue satunya langsung mengernyit. Reaksi yang gue berani taruhan muncul karena otaknya lagi bilang Kazi, bidadari gue tersayang mau naik begituan? Panas-panas? Dempetan sama si lucky bastard itu?             Oke, itu Sakta ya. Bukan gue.             “Sama kita aja. Kan kita yang nemenin lo pesen dulu. Ya kan, Nand?” Sakta menyenggol lengan gue keras, saking nggak pengennya gue abai dan nggak setuju sama inisiatifnya.             “Ehm, yeah. Bisa. Gue juga bisa punya peluang buat ngehajar anak Kalesta kalau mereka nyusahin lo, Zi,” ujar gue yang langsung gue sadari bego banget.             “What? Kok ngehajar sih, Nand?” Tuh kan? Kazi langsung protes. Gue takut aja setelah ini Kazi bakal milih pergi sama Yudha dan alih-alih ngehajar anak Kalesta, gue malah dihajar sama Sakta karena kebodohan gue itu.             “Errr…, ngehajar, ngeajar, ngajarin, ya, ngajarin mereka maksudnya. Ngajarin tata krama.” Gue susah payah ngoreksi kata-kata t***l gue.             Kazi menarik napas dan mengembuskannya pelan. “Ya udah deh, gue sama kalian. Biar Yudha ngurus yang lain aja. Gue bilang dia dulu bentar.” Kazi bergerak menuju Yudha, tapi sebelum itu dia berbalik lagi. “Eh, tapi janji nggak bikin ribut, ya?”             “Kalau nggak terpaksa,” ujar Sakta yang langsung mendapat pelototan dari Kazi. “Iyaaaa, kalau mereka nggak cari gara-gara ya…” kata Sakta yang rupanya sepemikiran dengan gue. ****             “Menurut lo kita perlu makai nama gue?” tanya gue setelah Kazi gagal mendapatkan kembali gedung untuk acaranya.             “Nand, kalau lo pakek nama lo atau kuasa Om Arwin, I swear to God nggak bakal minta lo nemenin gue lagi.” That’s Kazi. Mandiri dan nggak pernah mau bawa-bawa orang tua.             Gue dan Sakta cuma bisa nurutin kemauannya untuk cabut dan cari alamat alternatif gedung yang dikasih petugas dari gedung sebelumnya. Tanpa dapet kesempatan ngebanting humas dari gedung itu.             Sesampainya di tempat parkir, sebuah motor sport baru aja diparkir di sisi kanan mobil kami. Menempel seenaknya tanpa peduli pintu mobil bisa dibuka atau enggak. Dari seragam pengendara, kami tahu kalau mereka adalah anak Kalesta.             “Biar kali ini tuh alien gue kasih pelajaran!” Sakta memaki dan bersiap mendekat.             “Kita udah janji sama Kazi buat nggak ribut,” sahut gue seraya menahan bahu Sakta.             “Tuh alien sengaja, Nand! Lo itung deh berapa kali mereka ngacak-ngacak acara kita. Bikin rusuh di pensi, ngambil sponsor kita, dan sekarang? Gedung buat pentas galang dana juga diembat!” Tanpa peduli, Sakta langsung maju. Ninggalin gue yang milih menghormati permintaan Kazi.             Melihat Sakta melangkah tanpa berupaya nahan diri untuk menuhin janjinya, Kazi hanya cuma mandang Sakta dengan tatapan…, mungkin kecewa. Tanpa bicara, dia langsung melangkah menuju mobil dan masuk lewat pintu sebelah kiri.             “Wah, kebetulan banget! Booking gedung ya? Dapet?” sapa salah satu anak Kalesta yang gue ingat namanya Julian.             “Tau nih, beruntung banget. Pihak gedung kayaknya amnesia. Entah saking gantengnya muka gue sampai susah diinget atau betapa uniknya muka customer satunya. Masalahnya yang diinget booking bukannya kami tapi malah banci-banci seragam hijau dari sekolah lain,” ucap Sakta dengan nada sarkartis, di dalam kepalanya, kemarahan udah meletup-letup sampai di ubun-ubun.             “Lo bakal kangen sama mulut lo itu, Ta. Karena gue bakal bikin tuh mulut bungkam selama seminggu,” geram anak Kalesta satunya.             “Oh God! Banci-banci itu kalian, ya? Sori…, kayaknya gue ketularan amnesianya bapak-bapak di dalem sana. Dan yang gue inget, banci mana bisa sih berantem,” balas Sakta kemudian melenggang dengan santai mendekati pintu mobil sebelah kanan sambil menirukan lenggak lenggok ala banci jalanan. Lalu tanpa aba-aba, dia menendang motor milik anak Kalesta itu sekuat tenaga. Menghasilkan bunyi benturan yang membuat mata si empunya kuda besi itu membulat, meski nggak bulat-bulat amat karena tuh mata sipit sejak lahir.             “Nantangin gue lo?” Julian berteriak dengan wajah bersungut-sungut. Meski sebenarnya dia tahu, bahwa tindakannya lah yang memancing amarah.              “Nggak kebalik?” balas Sakta dengan nada santai, tapi dingin. Nada yang gue tahu sebagai alarm bahwa temen gue satu itu lagi haus-hausnya sama darah. Situasi yang langsung bikin gue merutuk dalam hati. Gue tahu dia jago judo, tapi bukan berarti pamer di sini juga. Gue udah janji ke Oma untuk nggak bikin ulah lagi, seenggaknya dalam waktu dekat dan kalau nggak kepepet. Dan yang paling parah, gue udah muak sama utusan bokap yang tiap ngelarin masalah gue, mau itu di sekolah atau di kantor polisi, selalu masang muka seolah gue parasit yang bisanya cuma nyusahin dan bikin malu bokap gue.             Mendengar keributan, dua anak Kalesta yang baru datang untuk nengokin gedung yang mereka booking, mendekat ke arah kami.             “Siap-siap aja gue ratain muka lo berdua!” seru Julian.             “Kalau perlu cewek lo barusan juga gue sikat!” timpal salah satu dari dua kawan Julian yang baru saja bergabung.             Mendengar ocehan itu, giliran gue yang naik pitam.             “Heh banci! Kenapa jadi bawa-bawa temen gue lo? Maksud lo apa hah?” Gue mendorong si b*****t yang nggak mau gue tahu namanya itu keras-keras.             “Kenapa? Nggak suka? Penasaran gue…, apa seseksi yang di video?” sahutnya yang langsung mendapat hadiah bogem dari gue. Persetan dengan muka menyebalkan utusan Papa. Dan Oma, beliau nggak akan nyalahin gue kalau tahu gue ngebela cewek yang udah kayak cucunya sendiri. Dan janji ke Kazi tadi siang, gue janji untuk nggak ribut kalau mereka nggak cari gara-gara.             Di belakang gue, Sakta menghadapi Julian dan dua temannya yang lain. Sementara gue fokus ke b*****t yang dari kalimatnya barusan minta gue habisin. Gue menerjang tubuhnya ke tanah, menguncinya dengan menindih dadanya. Kemudian melancarkan pukulan sebanyak yang gue bisa, yang nggak akan berhenti sampai mulut sialannya hancur. Kalau perlu sampai wajahnya ringsek dan nggak bisa gue kenali lagi. Karena kalau masih bisa, gue bakal selalu inget wajah itu dan kemungkinan bakalan ngehajarnya lagi.             “Nand! Cukup Nand!” Kazi berteriak. Diikuti Sakta yang menarik tubuh gue, juga beberapa orang dewasa. Mungkin security atau orang lewat, gue terlalu kalap untuk tahu keadaan sekitar. Mereka ngejauhin gue dari sosok yang tergeletak, yang semoga aja masih hidup supaya bisa ngerasain kesakitan yang gue buat.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD