PART. 2

1136 Words
Lima hari setelah pernikahan Kirana dan Arsyl, Pak Arsyad diijinkan pulang dari rumah sakit. Kirana sangat bahagia. Sedang Arsyl, setelah pernikahan, kembali ke Singapura untuk membereskan pekerjaannya, dan baru hari ini Ia akan kembali untuk menetap lagi di Indonesia. Tanpa ada Arsyl di dekatnya membuat Kirana merasa lebih nyaman, tatapan Arsyl yang seperti menuduhnya telah membuatnya menderita sangat mengganggu Kirana. Padahal itu pertemuan pertama mereka, tapi kenapa Arsyl menatapnya seakan mereka pernah bertemu sebelumnya. Setahu Kirana usia Arsyl sekitar tiga puluh tiga tahun, lebih tua 15 tahun dari usianya. Kirana merasa tidak pernah bertemu Arsyl dimasa kecilnya. Mereka sudah tiba di rumah besar mereka. Arsyl menurunkan kursi roda untuk Pak Arsyad dari bagasi mobil. Lalu membantu Ayahnya turun dari mobil, dan duduk dikursi roda. Pelayan rumah besar sudah berjejer rapi sepanjang teras menuju pintu masuk. Semua pelayan membungkuk memberi hormat. "Kamar Ayah sekarang di lantai bawah, karena Ayah masih harus pakai kursi roda," kata Arsyl. Pak Arsyad hanya menganggukan kepala. "Ayah ingin berbaring, atau duduk?" tanya Kirana. "Ayah ingin berbaring saja." Arsyl membantu Ayahnya naik ke atas tempat tidur. "Besok kamu harus mulai masuk kuliah lagi Kirana, sudah terlalu lama kamu bolos karena menunggui Ayah di rumah sakit." "Ayah jangan pikirkan itu, kesehatan Ayah jauh lebih penting," jawab Kirana. "Buat Ayah yang paling penting saat ini adalah kalian, segeralah memberi Ayah cucu." Kirana memandang Arsyl. 'Bagaimana bisa memberikan cucu, dia saja tidak mau menatapku, tidak mau bicara denganku. Hmmm ... mungkin dia sudah punya kekasih, yang harus ditinggalkan di Singapura sana, makanya dia menatapku seakan aku ini sumber penderitaannya,' "Kirana, kau melamun?" suara Pak Arsyad mengagetkan Kirana. "Oh, tidak Ayah, sekarang Ayah istirahatlah, kalau Ayah butuh sesuatu tekan saja ini, aku akan datang." Kirana menunjuk tombol hijau yang cukup besar di atas meja, di samping tempat tidur. "Ya, sekarang kalian pergilah, kalian pasti perlu waktu berdua untuk lebih saling mengenal." "Ya Ayah," keduanya mengangguk, lalu keluar dari kamar Pak Arsyad. "Kita harus bicara." Arsyl berkata datar, tanpa memandang ke arah Kirana. "Baiklah." "Kita bicara di ruang kerja saja." Arsyl melangkah diikuti Kirana, menuju ruang kerja Pak Arsyad. Saat mereka sudah masuk, dan Kirana sudah duduk di sofa, Arsyl mengunci pintu ruang kerja. Arsyl duduk di sofa di depan Kirana. Matanya seperti biasa, menatap tajam seakan Kirana sudah menggoreskan luka yang sangat dalam di hatinya. "Pertama, pernikahan ini hanya untuk menyenangkan Ayah, di depan Ayah kita harus bersandiwara sebagai suami istri yang bahagia." Arsyl menjeda ucapannya. "Kedua, kau, dan aku akan menjalani kehidupan kita seperti sebelumnya. Kau tidak boleh mengatur hidupku, begitupun aku, tidak akan mengatur hidupmu." Arsyl kembali berhenti bicara sejenak "Ketiga, pernikahan ini selesai, jika Ayah meninggal." "Apa? Kau berharap Ayah segera meninggal? Keterlaluan, dasar anak durhaka, kau meninggalkan Ayah tanpa pernah pulang, dan Ayah yang harus mengunjungimu ke sana. Aku tahu sekarang, kenapa kau sudah setua ini belum juga punya istri karena kau itu orang yang egois, cuma me ...." "Berhenti bicara gadis kecil! Kau tidak tahu apapun tentang diriku, tak tahu apapun! Jadi jangan berani menceramahiku, kau mengerti!?" Kirana menyandarkan punggungnya di sandaran sofa, karena wajah Arsyl tiba-tiba sudah berada tepat di depan wajahnya. "Aku tidak menyangka, ternyata dibalik wajah polosmu kau punya lidah yang berbisa," gumam Arsyl, yang semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Kirana. Kedua tangan Arsyl berada dikedua lengan sofa seakan mengurung Kirana. "Julurkan lidah berbisamu itu!" perintah Arsyl. Kirana tanpa sadar menjulurkan lidahnya, seakan ucapan Arsyl adalah mantra yang sudah menghipnotisnya. Begitu lidah Kirana terjulur, bibir Arsyl langsung menarik lidah Kirana dengan kedua bibirnya. Tangan Arsyl yang tadi di lengan sofa sekarang sudah berpindah di tengkuk, dan bahu Kirana. Mata Kirana melotot. Sekuat tenaga, ia berusaha mendorong d**a Arsyl, tapi tentu saja ia kalah tenaga. Bibir Arsyl melumat bibir Kirana, menggigit bibir bawah Kirana, sehingga mulut Kirana terbuka, dan dengan leluasa Arsyl meneyelipkan lidah di antara kedua bibir Kirana. Lidah Arsyl membelit lidah Kirana, tapi lidah Kirana tak bereaksi. Perlawanan terakhir. Kirana menaikan lututnya. Dug! Lututnya mengenai pangkal paha Arsyl, pikirnya Arsyl pasti akan melepaskannya. Arsyl memang melepaskan ciumannya, wajah Arsyl meringis, tapi ia tidak melepaskan cengkramannya di bahu, dan tengkuk Kirana. Tiba-tiba, Arsyl menggotong tubuh Kirana di atas bahu, seakan ia karung beras saja. Kirana ingin sekali berteriak, tapi ia masih ingat dengan Ayah angkatnya yang masih sakit. Jika ia berteriak maka pasti akan didengar oleh Ayahnya, Kirana takut terjadi sesuatu yang buruk pada Ayahnya. Kirana berusaha menendang serta memukulkan tangannya ke punggung Arsyl. Tapi Arsyl seperti tidak merasakan apa-apa. Arsyl membawa Kirana menaiki tangga menuju kamar atas, para pelayan hanya bisa menatap tanpa bisa berbuat apapun. Tiba di kamar besar yang Kirana tahu sebagai kamar Arsyl dulu, Arsyl menurunkan Kirana di atas tempat tidur. Kirana langsung ingin melompat bangun, tapi pinggul Kirana dijepit Arsyl dengan kedua lututnya. Kedua kaki Kirana otomatis juga terjepit oleh kedua kaki besar milik Arsyl. "Lepaskan! Kau mau apa?" Kirana memukulkan tangan mungilnya ke d**a Arsyl, tapi itu tidak memberikan efek apapun pada d**a bidang Arsyl. Tangan Arsyl justru merenggutkan kaos oblong, dan bra yang dipakai Kirana. Kirana berusaha mencakar lengan Arsyl, tapi tangan Arsyl meraih kedua tangan Kirana, dirangkumnya jadi satu dalam satu genggaman tangan, sementara tangannya yang lain meremas d**a Kirana yang terlihat menantang, karena gerakan Kirana yang berusha membebaskan dirinya. "b******n! Kau lelaki b******n, lepaskan aku!" Kirana meronta, seraya menggeliatkan badannya, tanpa disadari gerakan seperti itu justru membuat dadanya semakin terlihat menantang. "Kamu harus membayar apa yang sudah kamu lakukan padaku. Kamu harus membayar setiap darah yang sudah menetes dari luka di hatiku. kamu harus membayar lunas semuanya," bisik Arsyl tepat di depan bibir Kirana sebelum akhirnya bibir Arsyl melahap rakus bibir Kirana. Kirana masih berusaha melepaskan diri meski ia tahu kalau semua usahanya itu akan sia-sia. Ciuman Arsyl terasa melembut di bibirnya, membuat Kirana menghentikan aksi ingin melepaskan diri. Saat ciuman Arsyl berpindah ke bagian leher, bibir Arsyl terasa seperti menyedot kulitnya kuat, Kirana menggigit kuat bibirnya, ia tidak ingin mulutnya mengeluarkan suara. Bibir Arsyl turun ke dadanya, memberikan banyak tanda merah di sana. Saat dirasakannya tangan Arsyl merenggut sisa pakaian yang melekat di tubuhnya, telapak tangan Arsyl menjamah milik Kirana. Kirana terpekik seperti ketakutan, wajahnya memucat, tubuhnya terlihat gemetar. Akhirnya kepala Kirana yang sempat terangkat saat merasakan Arsyl menjamah miliknya, kini terhempas ke atas bantal, matanya terpejam. Kirana pingsan. Arsyl sangat terkejut dengan reaksi Kirana atas apa yang sudah dilakukannya. Arsyl melepaskan tangan Kirana yang tadi dirangkumnya di atas kepala Kirana. Ditatap wajah Kirana tanpa berkedip. Arsyl tidak mengerti, kenapa Kirana bisa pingsan hanya karena ia menjamah milik Kirana. "Ya Tuhan ... kenapa dia bisa sampai pingsan. Padahal aku baru memegangnya. Argghhh! Dasar gadis aneh." Arsyl turun dari atas tempat tidur. Ia tidak berniat untuk berusaha menbuat Kirana sadar dari pingsannya. Ditarik selimut, diselimuti tubuh telanjang Kirana  yang sudah ia beri kiss mark di d**a. Arsyl berdiri di samping tempat tidur. Tatapannya fokus pada wajah Kirana. Wajah yang sangat mirip dengan seseorang dari masa lalunya. Orang yang sudah melukai hatinya. Orang yang sampai saat ini ia benci, sekaligus masih ia cinta. ****BERSAMBUNG****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD