PART. 3

1021 Words
   Arsyl memunguti pakaian Kirana, dan membawa pakaian itu masuk ke dalam kamar mandi untuk diletakan di keranjang cucian. Setelahnya Arsyl mengguyur tubuhnya dengan air dingin dari shower, untuk menetralkan suhu tubuhnya yang sempat terasa panas. Arsyl sadar, tidak adil rasanya jika ia menumpahkan kebenciannya pada orang lain, kepada Kirana, hanya karena wajah Kirana yang sangat mirip dengan seseorang dari masa lalunya. Bukan hanya wajah yang mirip, tapi nama merekapun nyaris sama. Kirana, dan Karina.    Tapi Arsyl tidak bisa menahan kemarahan setiap menatap wajah Kirana sejak pertama bertemu. Wajah itu, wajah orang yang membuatnya lari meninggalkan semuanya, karena luka teramat dalam yang diakibatkan oleh Karina yang sudah menghianati cintanya. Karina sudah memporak porandakan kepercayaannya pada yang namanya cinta. Arsyl tak lagi percaya ada hal bernama cinta di dunia ini. Baginya, yang ada hanya kepentingan semata. Hubungan orang tua, dan anak juga dianggapnya kepentingan untuk meneruskan keturunan saja. Seperti yang terjadi padanya saat ini. Dipaksa menikah, kalau ia ingin memiliki apa yang sebenarnya memang nanti akan menjadi miliknya. Kalau ayahnya mencintainya, pasti tidak akan ada syarat itu.    Arsyl turun ke lantai bawah, setelah selesai mandi. Pakaiannya rapi dengan stelan jas lengkap.   "Bik Ning?" panggil Arsyl. Seorang wanita tua mendekatinya.   "Ya Tuan muda." Wanita tua yang dipanggil Bik Ning itu berdiri tepat di hadapan Arsy.   "Aku mau ke kantor Ayah hari ini, tolong jaga Ayah, dan bangunkan dia saat makan siang, karena Ayah harus makan juga meminum obatnya. Tolong bangunkan juga Kirana kalau dia tidak turun sampai waktunya makan siang," perintah Arsyl dengan suara cukup jelas terdengar.   "Ya Tuan muda," jawab Bik Ning seraya mengangguk ke arah Arsyl.   "Aku pergi Bik," pamit Arsyl.   "Baik Tuan muda." Bibik kembali mengangguk   Arsyl melangkah ke luar, dan Bik Ning hanya bisa memandang punggung Arsyl. Bik Ning tidak tahu apa yang sudah terjadi pada Arsyl sepuluh tahun lalu? Apa yang membuat keceriaan di mata Arsyl menghilang? Apa yang membuat senyum bahagia di bibir Arsyl tak pernah lagi terlihat? Semua tiba-tiba berubah, Arsyl menjadi sosok yang sangat berbeda, sosok yang tak lagi ia kenali, sebagai Arsyl kesayangannya. Entah apa yang membuat mata Arsyl berbalut duka. Sampai saat ini, setelah sepuluh tahun berlalu Bik Ning belum menemukan jawabannya. Tanpa sadar, air mata jatuh di pipi Bik Ning. Cepat, Bik Ning menyusut air mata yang menggenang dipipinya. --   Kirana membuka mata, berusaha mengingat apa yang terjadi. Kirana terlonjak bangun sesaat setelah semua ingatannya tentang apa yang telah terjadi terkumpul kembali. Kirana menyingkap selimut, dan di sana di hadapannya, di cermin yang merupakan pintu lemari terpampang jelas tubuh polosnya, ada bercak merah di kulit leher, bahu, dan dadanya.   "Dasar lelaki b******n, apa dia ...." Kirana meraba pangkal pahanya, matanya mengerjap sesaat, tidak terasa sakit   "Uuuuhhhh syukurlah, ternyata dia masih punya rasa malu juga sehingga tidak memperkosa wanita yang pingsan." Kirana memijit kepalanya yang terasa sakit. Matanya terpejam, sentuhan telapak tangan Arsyl di area sensitifnya mengembalikan ingatan kepada masa lalu. Masa lalu yang ingin ia halau dari ingatan, namun tak pernah mampu ia lakukan. Tubuh Kirana bergidik, selalu begitu saat kenangan buruk itu kembali teringat. Kirana tahu, kenangan buruk itu tidak akan pernah bisa ia lupakan untuk seumur hidupnya. Tapi, ia tidak menyangka, kalau sentuhan Arsyl yang mengingatkan pada kejadian itu, bisa sampai membuatnya pingsan.   Kirana beringsut turun dari atas ranjang dengan selimut melilit di tubuh. Pintu kamar terbuka.   "Non Kirana sudah bangun?" mata Bik Ning menatap dengan pandangan geli melihat ke arah Kirana.   "Iya Bik, enghh ... ada apa?" Kirana balas menatap Bik Ning yang masih terkikik   "Tadi Tuan Muda Arsyl berpesan, kalau sampai jam makan siang lewat, Non Kirana tidak turun untuk makan, Bibik disuruh bangunin Non." Bik Ning menyampaikan pesan dari Arsyl tadi pagi.   "Ooh ... Ayah sudah makan siang Bik?"   "Sudah, Tuan Besar makan ditemani Pak Hadi, tadi Tuan Besar menanyakan ke mana Non Kirana, Bibik jawab masih tidur, akhirnya Tuan makan berdua saja dengan Pak Hadi, ehmm ... pegel ya Non? Mau Bibik pijitin nggak nanti?" mata Bik Ning melirik ke arah leher, dan bahu Kirana yang tidak tertutup selimut.   Bik Ning kembali terkikik geli.   "Capek ya Non, malam pertama kok siang toh Non, pasti Tuan Muda yang sudah nggak sabar ya Non," goda Bik Ning.   "Idiiihhh ... Bibik ngomong apa siih!" rungut Kirana dengan wajah cemberut.   "Berapa ronde tadi, Non?" Bik Ning masih saja berusaha menggoda Kirana yang sudah ia anggap seperti putrinya sendiri   "Bibik iiih apaan sih!" Wajah Kirana semakin cemberut saja mendengar godaan Bik Ning yang belum berhenti juga.   "Hahahaha, mukanya Non sudah seperti tomat tuh merahnya, ayo mandi dulu, biar Bibik siapin sarapan merangkap makan siangnya, mau makan di kamar atau di bawah? Di kamar saja mungkin ya Non. Karena pasti susah ya jalannya." Bik Ning terus menggoda Kirana.   "Bibik! Sana siapin makan siangnya, aku mau mandi dulu." Kirana melangkah ingin ke luar kamar dengan menyeret selimut di tubuhnya karena ia tak menemukan pakaiannya lagi di sekitar situ.   "Eeh Non mau ke mana?" Bik Ning menahan Kirana yang ingin ke luar kamar.   "Mau mandi di kamarku, bajuku'kan masih di sana."   "Siapa bilang? Barang Non semua sudah dipindahkan ke sini atas perintah Tuan Besar kok, tuh lihat saja di dalam lemari, meja belajar Non juga dipindah ke sini, sebelahan sama meja kerja Tuan muda." Bik Ning kalau bicara memang selalu panjang, kadang Kirana merasa sakit kupingnya. Kirana membuka pintu lemari, dan benar saja pakaiannya memenuhi tiga pintu lemari.   "Ya sudah Bik, aku mandi dulu ya."   "Ya Non, Bibik ke bawah dulu menyiapkan makan siang buat Non." Bik Ning melangkah ke luar kamar, sementara Kirana masuk ke dalam kamar mandi. Bik Ning bagi Kirana bisa jadi seperti Ibu, kakak, atau sahabat, meski usia Bik Ning sudah lebih dari 50 tahun. Bik Ning adalah kepala pelayan dirumah besar ini, beliau sudah bekerja sejak 35 tahun lalu. Awalnya beliau adalah pengasuh Arsyl, dan akhirnya jadi kepala pelayan yang sangat dipercaya di rumah Pak Arsyad ini, Bik Ning sangat humoris. Bik Ning mempunyai dua orang putri dari pernikahannya dengan Pak Saleh yang dulu merupakan supir pribadi Pak Arsyad, tapi Pak Saleh sudah meninggal, dan kedua putri Bik Ning tinggal dikota lain bersama suami, dan anak-anaknya. Bik Ning sendiri memilih tetap tinggal, dan mengabdi di rumah Pak Arsyad sampai sekarang, hanya sesekali beliau pergi mengunjungi putri-putrinya, juga cucu-cucunya. --BERSAMBUNG--
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD