3. wounds that will never heal

1306 Words
"Apa kakak yakin sudah baik-baik saja?" Sudah dua puluh kali lebih Jolie bertanya seperti itu, membuat Bella memilih diam daripada menjawab pertanyaan adik iparnya yang selalu sama. Sudah satu minggu Bella sadar, kondisinya sudah dinyatakan baik. Tapi dokter menyarankan agar dia tidak pulang terlebih dulu dari rumah sakit, karena masih harus melakukan pemulihan. Namun Bella menolak, dia ingin tetap pulang karena sudah sangat bosan dengan rumah sakit. Selain itu, dia juga memikirkan biaya rumah sakit yang akan dikeluarkan oleh keluarga Alexander untuk dirinya. Ia tidak mau lebih banyak memiliki hutang pada keluarga itu. Bella memasuki kamarnya yang ada di lantai satu dengan perasaan berat. Langkahnya ketika pertama memasuki rumah yang selama ini ia tinggali bersama Gabriel terasa sangat berat. Dulu, ia selalu tersenyum senang saat berada di dalam rumah mewah itu, tapi sekarang ia tidak lagi menginginkan tinggal di rumah ini karena tidak sanggup mengingat kenangan buruk itu. Di rumah ini, Bella selalu mendapatkan perlakuan kasar dari sang suami. Laki-laki itu bahkan tidak peduli dengan kondisi kandungan Bella, dan tetap menyakiti fisik serta psikologis istrinya. "Kakak ipar, aku akan pergi untuk mengurus kepindahanku kembali ke Amerika. Nanti malam aku akan pergi ke Paris dan akan segera kembali sekitar empat hari lagi. Jadi kakak ipar harus selalu menjaga diri dengan baik selama aku belum kembali," kata Jolie. Dia sudah memutuskan untuk benar-benar kembali ke Amerika agar bisa menemani kakak iparnya. "Aku akan menjaga diriku dengan baik. Segeralah kembali. Aku ingin kita pergi keluar untuk menata semuanya dari awal," kata Bella. Sejak mengetahui putranya tidak selamat, dia sudah berpikir dengan sangat baik untuk langkah yang akan diambil selanjutnya. "Baiklah, aku akan segera kembali. Dan kita akan memulai semuanya dari awal. Aku juga akan membantumu apapun yang kau butuhkan. Kalau begitu, aku pulang dulu. Selamat beristirahat, kakak ipar." Jolie memeluk kakak iparnya sebentar, sebelum akhirnya meninggalkan wanita itu. Setelah kepergian Jolie, Bella memilih untuk mengurung dirinya di dalam kamar. Sekarang ia tidak tahu harus berbuat apa, calon anaknya sudah tidak ada. Semangat hidupnya pun sudah mulai berkurang. Perasaannya untuk sang suami juga sudah mulai terkikis, bahkan ia tidak tahu sekarang perasaannya untuk Gabriel masih ada atau tidak. Saat laki-laki itu mengatakan anaknya sudah meninggal, hatinya terasa hancur berkeping-keping sampai membuatnya mati rasa. "Lebih baik aku pergi dari hidupnya, semua yang kulakukan tidak sedikitpun membuat hatinya terketuk untuk menerima ku. Jangankan aku, darah dagingnya sendiri pun dia tidak mau menerima," gumam Bella. Ia memegangi dadanya yang terasa sesak. Mengingat bagaimana dulu kebodohannya yang sudah berbuat gila hingga menghancurkan semua orang yang ada di sekitarnya. Selama berada di dalam kamar, Bella hanya menghabiskan waktunya dengan melukis untuk sedikit mengurangi rasa tidak nyaman dalam hati dan pikirannya. Bella selalu lupa waktu jika sedang melukis, dia juga sering kali diomeli oleh sang ibu jika sudah terlalu lama melukis. Cita-cita Bella sejak dulu ingin menjadi seorang pelukis, namun karena menjadi anak tunggal, dia harus melanjutkan kuliahnya dengan mengambil jurusan Bisnis sebagai penerus perusahaan ayahnya di masa depan. Tapi sekarang perusahaan itu telah musnah. "Aku harus segera mencari pekerjaan, semua gajiku nanti bisa kutabung dan akan kuberikan pada Ayah dan Ibu, agar mereka bisa membangun usaha kembali. Mungkin uangku tidak akan banyak, tapi aku bisa menjadi pelukis juga untuk tambahan," gumamnya. Bella beranjak dari depan kanvas, lalu mengambil MacBook miliknya. Mulai sekarang, dia sudah harus mencari lowongan pekerjaan, dan informasi untuk penjualan lukisan yang bisa memberinya harga yang mahal. Baginya, tidak ada waktu untuk menangisi nasibnya sekarang. Walaupun luka yang ia miliki sekarang masih sangat terasa, tapi Bella tidak mau terlalu larut dalam kesedihan hingga membuat hidupnya semakin hancur. Satu minggu lamanya, Bella sudah kembali ke rumahnya bersama Gabriel, dan selama itu juga dia tidak ingin menemui laki-laki itu. Dia sengaja menghindari Gabriel agar perasaannya lebih baik dan rasa sakitnya sedikit berkurang. Walaupun masih belum sepenuhnya bisa menghilangkan rasa sakit itu, namun dia akan terus mencoba menguranginya sedikit demi sedikit. Hari-hari Bella berjalan dengan sangat lancar, tapi tidak untuk malam ini. Karena ia malah bertemu dengan laki-laki yang selama ini dihindarinya. Langkah kakinya terhenti saat melihat sosok Gabriel datang ke dapur untuk mengambil air minum. "Aku kira kau tidak akan pernah keluar dari kamar," katanya, tidak penting. Tidak mau berlama-lama berhadapan dengan Gabriel, Bella memilih melanjutkan langkahnya ke kamar. Rasanya sangat sakit saat melihat laki-laki itu masih sangat baik-baik saja setelah kehilangan anaknya, sedangkan ia masih tak bisa kembali seperti dulu. Bukankah itu sangat tidak adil, jika Gabriel tidak merasa sedikit pun bersalah dengan kepergian anak mereka? Bella pasti akan semakin merasa menyesal karena telah melakukan segala cara untuk memiliki Gabriel. Hari ini Bella memutuskan untuk keluar rumah, dia akan melakukan wawancara pekerjaan dengan perusahaan yang sudah ia lamar kemarin. Dengan ditemani Jolie, Bella memberanikan diri untuk datang. Sebenarnya ia masih sangat takut orang-orang akan mengolok-olok dirinya setelah kesalahan yang dilakukannya dulu. Selama wawancara kerja, Bella berusaha terlihat santai agar mereka tidak ragu memilih dirinya. Untungnya perusahaan itu tidak mempedulikan latar belakangnya yang buruk, jadi Bella menaruh harapan berat pada perusahaan itu. Proses wawancara berjalan dengan lancar, akhirnya Bella bisa bernafas dengan lega karena ia diterima di perusahaan itu sebagai sekretaris CEO. Gabriel mengeraskan rahangnya saat membaca pesan dari teman baiknya. Ia langsung pergi ke perusahaan temannya untuk mencari wanita itu. Namun, yang dicari sudah pergi dari sana. Ia melempar kotak rokoknya ke arah laki-laki yang tengah duduk dengan menertawakan dirinya. "Apa kau mulai mencintai istrimu?" Tanya laki-laki itu dengan membuka kotak rokok milik Gabriel dan mengeluarkan isinya. Gabriel berdecih pelan mendengar pertanyaan tidak masuk akal yang keluar dari mulut sang teman. Mana mungkin ia akan mencintai wanita yang sudah menghancurkan hidupnya? Hatinya tetap sama untuk mantan kekasihnya. "Jangan sembarangan berbicara," peringat Gabriel dengan menatap tajam temannya itu. Bukannya takut, laki-laki itu malah terkekeh malahan melihat Gabriel yang masih diliputi dengan emosi. Ia bisa melihat jika laki-laki itu sebenarnya sudah mulai lulus pada wanita yang menjebaknya. Namun Gabriel sangat gengsi, jadi tidak mungkin bisa mengakui perasaannya jika belum merasakan sebuah penyesalan. Ia sangat hafal betul seperti apa sifat Gabriel. "Katakan pada Bella jika kau tidak jadi menerimanya bekerja di perusahaanmu," katanya memerintah. "Maaf, bung, untuk saat ini aku tidak bisa menuruti perkataanmu. Bella memiliki pengalaman dan kemampuan yang sangat baik. Aku akan sangat rugi jika tidak mempekerjakan dia di perusahaan," Gabriel semakin menatap tajam pada temannya. "Aku akan memberikan saham untukmu jika kau mau menuruti perkataanku." Ia masih mencoba untuk membujuk teman baiknya itu agar mau menuruti perintahnya. "Untuk kali ini aku akan menolak saham gratis yang kau tawarkan, karena aku yakin dengan mempekerjakan Bella di perusahaanku pasti akan membawa banyak keuntungan nantinya. Simpan saja usahamu itu, mungkin nanti aku akan memikirkannya lagi." Gabriel menggeram pelan mendengar perkataan laki-laki di depannya. "s**t!" Mengumpat keras lalu pergi meninggalkan ruangan itu tanpa mengatakan apapun lagi. Saat pintu baru saja tertutup, Gabriel kembali membuka pintu itu dan masuk kembali untuk mengambil rokoknya yang tadi dia lemparkan. Gabriel segera pergi ke rumah setelah meminta sang asisten untuk membatalkan semua meeting hari ini. Ia akan memberi pelajaran pada Bella yang sudah berani melakukan hal yang membuatnya sangat emosi. Bukan karena dulunya sudah mulai mencintai Bella, ia hanya tidak ingin nama baik keluarganya tercoreng karena warna hitam itu bekerja di perusahaan sahabatnya sendiri. Ketika sampai di rumah, Gabriel langsung berjalan menuju wanita yang berstatus sebagai istrinya. Dengan langkah lebar, ia terus berjalan dengan wajah marah. Suara ketukan pintu yang cukup keras terdengar seperti dobrakan. Gabriel terus memukul pintu itu dengan kepalan tangannya. Namun, hingga beberapa menit Bella tak kunjung keluar dari kamarnya. "Maaf, tuan, nyonya belum pulang sejak tadi," kata kepala pelayan. "Kenapa tidak memberitahuku sejak tadi?" kata Gabriel dengan suara keras, membuat kepala pelayan itu menunduk takut. "Ke mana perginya wanita sialan itu? Dia selalu saja membuat masalah dalam hidupku." Setelah bergumam, Gabriel langsung pergi meninggalkan kepala pelayan yang masih ada di depan kamar istrinya. Dia berjalan menuju lift untuk pergi ke ruang kerja yang ada di lantai dua.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD