Part 16 - Uji Nyali

1575 Words
“Chan, kau mandi dahulu saja. Biar aku dan Dylan yang akan menyelesaikan ini.” “Baik, Sam.” Chan beranjak dari tempatnya dan menuju ke kamar mandi. Sedangkan Samuel dan Dylan kini yang membereskan ruang tamu supaya kembali tertata seperti semula. Saat sedang membereskan ruang tamu, Samuel penasaran dengan apa yang dibicarakan oleh Dylan dan Chan sebelumnya. “Chan?” panggil Samuel. Laki-laki yang sedang melipat selimut itupun menoleh ke arah Samuel yang kini berada di sampingnya. “Ya? Ada apa, Sam?” jawabnya. “Tadi, kau dan Chan membicarakan apa? Sepertinya serius sekali.” “Tadi aku dan Chan membicarakan mengenai ibuku yang menelepon aku. Dan juga…ibuku kemarin sempat datang ke rumah Nick?” Samuel terkejut. “Serius?” “Iya.” Samuel penasaran dengan maksud ibu Dylan datang ke rumah Nicholas. “Kenapa ibumu datang ke rumah Nick?” “Ibuku khawatir dengan keadaanku karena aku belum pulang beberapa hari dan aku sulit dihubungi. Maka dari itu, ibuku pergi ke rumah Nick apakah aku ada di sana atau tidak. Namun, saat ibu dan ayahku datang, ternyata Nick juga tidak ada di rumah.” Samuel terdiam sebentar dan memikirkan suatu hal. “Itu artinya…Nick tidak pulang ke rumah? Kemana dia pergi sebenarnya.” “Aku juga berpikir demikian. Bahkan, aku tidak tahu kemana perginya.” Percakapan mereka terpotong saat Gabriella memanggil mereka. “Makanan sudah siap!” “Kita pikirkan itu saat nanti di rumah Nick. Kita akan membahasnya bersama keluarga Nick. Semoga saja kita nanti bisa saling bekerjasama. Aku hanya takut jika nanti kita tidak diizinkan mencari Nick,” ucap Samuel. “Kita pasti akan ikut terlibat. Percaya padaku. Kalau begitu, mari kita makan. Supaya kita bisa segera mendatangi rumah Nick,” Dylan berdiri dan mulai meninggalkan ruang tamu lalu menuju ke ruang makan bersama Samuel. *** Mereka kini berkumpul di ruang makan. Meskipun menu sarapan sekaligus makan siang ini hanya nasi goreng dan air putih, namun rasanya sangat nikmat sekali. Beberapa hari yang lalu mereka hanya makan seadanya. Kali ini, mereka bisa merasakan makanan yang terasa mewah. “Terimakasih sudah memasakkan makanan ini Gab, Kim, Beth. Terasa sangat nikmat sekali,” ucap Thomas yang seakan-akan terharu dengan hasil masakan Gabriella, Kimberly, dan Elizabeth. “Iya, entah kenapa masakan kali ini sangat nikmat. Kemarin saat di hutan aku seperti tidak memakan apapun. Namun, aku bersyukur kita masih bisa makan.” “Bahkan, kita yang memasak pun merasakan hal yang sama. Terasa sangat nikmat, padahal menurutku ini makanan ini biasa saja.” "Terimakasih sudah memasak ini." Mereka terdiam dan terfokus pada makanan mereka. Keheningan terjadi di antara mereka. Hanya ada suara sendok yang mengenai piring. Keheningan itu dipecahkan oleh suara Samuel. "Sudah selesai?" Samuel sudah menyelesaikan makanannya. Samuel tergolong tipe orang yang makan dengan cepat. Disaat teman-temannya baru memasukkan beberapa suapan ke dalam mulut, sedangkan Samuel sudah selesai. "Kebiasaan," sindir Thomas. Thomas sangat mengenal temannya itu. "Kalian makan lama sekali." "Kau yang terlalu cepat!" "Sudahlah, habiskan cepat makanan kalian. Aku ingin mencari udara segar ke depan dahulu," Samuel meninggalkan teman-temannya yang sedang asyik menyantap makanan. Sedangkan ia pergi ke teras rumah Kimberly. Ia menatap hamparan hutan yang terhalang oleh gerbang rumah Kimberly. Samuel mengeluarkan sebatang rokok. Samuel sebenarnya bukan orang yang sering merokok. Ia akan merokok jika pikirannya sedang kacau saja. Biasanya ditemani dengan minuman bersoda dan beberapa makanan ringan. Samuel juga jarang mabuk-mabukan. Meskipun di kota Parama ini budaya minum alkohol, mabuk-mabukkan, dan lain-lain sangat biasa terjadi, namun Samuel jarang melakukan hal itu semua. Bahkan, ia belum pernah melakukan hubungan khusus dengan seorang wanita. Samuel tipe orang yang ceria di hadapan orang-orang, namun ia tidak pernah menceritakan kisah pribadinya kepada siapapun. Ia tidak semudah itu percaya dengan oranglain. Ia kerap dibohongi oleh beberapa orang. Bahkan orang yang ia sayang sekalipun. Hanya teman-temannya saat ini yang bisa ia percaya dan juga ibunya. Terkadang, Samuel merasa tidak percaya dengan teman-temannya. Samuel sering berpikiran jika teman-temannya tidak benar-benar ingin berteman dengan dirinya. Namun, pikiran itu terbantahkan saat mereka sedang bersama seperti ini. Baginya, teman-temannya ini merupakan sebuah anugerah yang diberikan Tuhan kepadanya. Saat sedang asyik dengan rokoknya, tiba-tiba teman-temannya datang menghampirinya. Lamunan Samuel dan sesuatu yang sedang ia pikirkan menghilang tiba-tiba. "Kau merokok?" tanya Thomas. "Ya..." "Pasti ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu. Katakan pada kita, kau kenapa?" Thomas mengenali perbuatan Samuel. Pasti Samuel sedang memikirkan suatu hal. Disaat Samuel sedang stress atau banyak pikiran, biasanya ia akan menyendiri. "Kau kenapa, Sam?" Chan juga ikut khawatir jika ada sesuatu yang sedang dialami Samuel. "Tidak. Aku tidak apa-apa. Aku hanya sedang menjernihkan pikiranku. Kita setelah ini akan ke rumah Nick, bukan? Aku harus terlihat tenang. Padahal pikiranku sedang kacau." Teman-temannya paham dengan kondisi Samuel saat ini. Pasti sangat sulit baginya untuk menceritakan kebenaran kepada kedua orangtua Nicholas. Namun, mereka tidak ada pilihan lain selain mengatakan yang sebenarnya.  "Kau tidak usah risau, kita akan lakukan ini bersama." "Iya, sudah kita katakan sebelumnya kalau kau tidak akan pernah menanggung semua ini sendiri. Kita akan selalu ada di sampingmu." "Benar sekali yang dikatakan Kim. Kita akan hadapi ini bersama-sama." Ucapan dari teman-temannya benar-benar membuat Samuel sedikit lebih tenang. Mereka selalu mendukung Samuel dan selalu ada untuknya.  "Terimakasih, ya. Baiklah, kalau gitu kita langsung ke rumah Nick sekarang. Ada dua mobil di sini. Kita pakai keduanya," setelah mengatakan itu, Samuel dan yang lain bergegas ke mobil yang terparkir di halaman rumah Kimberly. Mereka menggunakan mobil Kimberly dan mobil Samuel. Setelah itu, mereka bervegas menuju rumah Nicholas.    ***   Di sepanjang jalan menuju rumah Nicholas, jantung mereka berdebar sangat kencang. Seperti mereka akan melakukan sebuah uji nyali. Mereka selalu membayangkan bagaimana reaksi kedua orangtua Nicholas saat mendengar kabar ini. Akankah mereka ditampar oleh kedua orangtua Nicholas, atau mereka akan diusir dari rumah Nicholas. Entahlah. Nyali mereka benar-benar menciut sekarang. Padahal sebelumnya, mereka sudah sangat siap dengan hal ini. Namun semakin mendekat ke tempat tujuan, nyali itu menjadi semakin lemah.  Kini, sampailah mereka di depan rumah Nicholas. Mereka memarkirkan mobil di pinggir jalan. Masing-masing dari mereka turun dari mobil. Lalu mereka berkumpul di depan gerbang rumah Nicholas. Mereka memandang rumah Nicholas sangat lama. Bukan karena kagum dengan rumah Nicholas yang sangat rapi dan asri, namun, mereka sedang menyiapkan keberanian untuk menginjakkan kakinya masuk ke dalam rumah ini. "Sam, tiba-tiba aku menjadi takut," ucap Gabriella yang nampak tidak tenang. Gelagatnya menunjukkan jika ia sangat ketakutan. Padahal sebelumnya, Gabriella yang membujuk teman-temannya agar mau datang dan jujur kepada orangtua Nicholas. "Sama, Gab, aku juga tidak berani masuk ke dalam." "Sam, bagaimana ini?" tanya Dylan. Pasalnya, mereka sudah berdiri di sini lama sekali. Mereka masih enggan untuk segera masuk. Padahal, mereka masih di depan gerbang rumah Nicholas.  Samuel menarik nafasnya dan menghembuskannya perlahan. Ia melakukan hal itu berulang kali. Ia harus tenang supaya teman-temannya juga ikut tenang.  Samuel meyakinkan diri untuk mulai masuk ke dalam perkarangan rumah Nicholas. Kaki kanannya melangkah memasuki perkarangan rumah Nicholas yang dipenuhi beberapa bunga yang nampak dirawat dengan baik.  Melihat Samuel yang sudah masuk terlebih dahulu, mau tidak mau teman-temannya yang masih di belakang Samuel segera mengikuti langkah Samuel untuk masuk ke dalam rumah Nicholas.  Kini mereka berada persis di depan pintu rumah Nicholas. Samuel hendak menekan tombol bel, namun ia mengurungkannya. Berulang kali tiap ia menekan bel, ia selalu mengurungkan niatnya itu. Ia masih antara yakin tidak yakin. Namun, seperti rencana yang sudah ia susun sebelumnya ia harus berbicara langsung pada orangtua Nicholas.  Teman-temannya sudah pasrah dengan apa yang akan dilakukan Samuel. Bahkan, Thomas, Dylan, dan Chan tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa diam dan mengikuti apapun yang dilakukan Samuel.  Ting... Samuel menekan bel rumah itu.  Belum ada panggilan dari sang pemilik rumah. Ia melakukannya lagi. Samuel menekan bel itu. Ting... Masih belum ada jawaban. Ini akan menjadi ketiga kalinya Samuel menekan tombol ini. Belum sempat melakukannya, pintu rumah ini terbuka. Di balik pintu itu ada ayah dari Nicholas. Ayahnya sudah berusia lima puluh tahun, namun masih terlihat sangat muda dan segar. Wajah ayah Nicholas sama persis dengan dirinya. Melihat wajah ayahnya Nicholas, teman-temannya seakan-akan sedang menatap Nicholas saat ini. "Kalian...kenapa datang ke sini?" tanya laki-laki itu. Mereka saling melirik satu sama lain. Samuel yang sudah menyiapkan apa yang akan ia katakan tiba-tiba kata-kata itu menghilang begitu saja. Mereka saling terdiam.  Ayah Nicholas bingung kepada mereka. Pertanyaannya tidak mereka respon. Dan satu hal lagi, Nicholas tidak ada di tengah-tengah mereka. "Kenapa kalian diam saja?" "Ah...maaf paman," lidah Samuel benar-benar kaku saat ini. Ia kehabisan kata-kata sebelum mengeluarkan kata-kata itu. "Ya sudah. Mari masuk terlebih dahulu. Kita berbicara di dalam saja," ayah Nicholas mempersilahkan mereka masuk ke dalam rumahnya. Samuel dan teman-temannya mengikuti instruksi dari ayah Nicholas. Mereka dibawa ke ruang tamu. Rumah ini minimalis namun sangat nyaman dan rapi. Terdapat banyak foto Nicholas di dinding dan di meja. Senyumnya selalu menjadi khas, apalagi dengan tawanya. Guyonan Nicholas mungkin terdengar receh bagi mereka. Namun, itulah yang membuat mereka tertawa.  Mereka duduk di kursi sofa yang empuk itu. Tidak lama kemudian, seorang wanita mengenakan dress rumahan keluar dari dapur. Itu ibu Nicholas. Ibunya sangat cantik di usianya yang tergolong sudah tidak muda lagi.  "Teman-temannya Nicholas, ya?"  "Mmm...ya...benar...bibi," jawab Samuel dengan terbata-bata. "Sebentar, saya siapkan minuman dan camilan untuk kalian," mereka hendak menolak tawaran itu, belum sempat menolaknya, ibu Nicholas sudah pergi menuju ke dapur. Suasana menjadi hening sesaat. Karena keheningan dan tidak ada yang berbicara terlebih dahulu, ayah Nicholas yang bernama Mark itu mengeluarkan suaranya. "Apa yang membuat kalian datang ke sini? Bukankah kalian sedang berkemah dengan Nicholas?" Deg. 's**t! Aku harus mengatakan apa?' ucap Samuel dalam hati.   ***   To be continued  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD