14. DEKAT?

2312 Words
Sesuai dengan janjinya, Lily pergi ke mall bersama dengan Nadine. Keduanya bertemu di lokasi karena baik Lily atau Nadine sama-sama tidak membawa mobil. Waktu menunjukkan pukul 11 siang dan cuaca juga sangat cerah, mewakili perasaan Lily saat ini. Beberapa hari tanpa gangguan Axel, membuat mood-nya sangat baik. Lily dan Nadine langsung pada tujuan awal yaitu menuju toko yang menjual berbagai jenis sepatu. Incaran keduanya adalah sepatu jenis Stiletto Heel yang akan digunakan untuk bekerja. Jenis sepatu ini adalah favorit keduanya, bisa digunakan acara formal atau non formal. Tapi tentu saja dengan ukuran heel yang masih batas normal. “Cari yang nyaman kali Nad, mau dipakai seharian jangan sampai nyiksa diri,” Lily mengingatkan Nadine ketika tangan temannya mengambil sepatu dengan heel cukup tinggi. “Masih liat-liat Ly, gue juga ogah pakai yang tinggi. Lo tuh yang hati-hati nanti lecet kayak kemarin.” “Itu sih lecet karena gue jalan kaki dari depan komplek sampai rumah, ya wajar aja.” “Nggak habis pikir sih sama kekonyolan elo malam itu,” ucap Nadine geli. Lily mendengkus sebal. “Jangan diingat, gue aja males.” “Tapi Axel ada benarnya sih. Kadang cewek pakai sesuatu untuk membuat orang lain senang tapi kita sendiri malah tersiksa.” “Tapi gue pakai apapun bukan untuk menyenangkan orang kecuali itu berurusan dengan pekerjaan, mau nggak mau harus profesional.” Mata Lily tertuju pada satu jenis stillo dengan warna cream dengan heel yang tidak terlalu tinggi. “Cantik banget kan?” Nadine ikut pemperhatikan karena Lily nampak berbinar melihat benda tersebut. “Cantik, tapi warna sepatu lo itu-itu mulu. Nggak mau ganti gitu?” “Iya juga sih,” gumamnya. “Tapi ini cantik Nad, sayang nggak sih kalau gue nggak beli?” “Terserah elo sih, lagi pula udah lama kan nggak jajan.” Lily nampak berpikir, ia tidak ingin membeli sesuatu yang mubazir. Tapi terakhir ia membeli barang adalah tiga bulan lalu jadi tidak ada salahnya ia menyisihkan uang untuk memenuhi keingiannya. “Beli aja deh, takut nggak bisa tidur kalau nggak jadi beli.” Saat berjalan menuju kasir untuk membayar apa yang dibeli, tiba-tiba saja Lily merasa ada seseorang yang mengawasinya sejak tadi. Entah benar atau tidak, hanya saja ia merasa tidak nyaman. “Ada apa sih noleh mulu kayak takut gue tinggal?” Lily menggeleng pelan, lalu sedikit mendekat untuk berbisik. “Lo ngerasa nggak kayak ada yang ngeliatin?” “Ngerasalah, itu pegawai toko pada ngawasin kita.” “Masa sih? Tapi kok gue ngerasa ada yang lain ya.” “Nething mulu, buruan bayar.” “Ck, iyaiya.” Di tempat lain, Axel sedang duduk santai di lounge salah satu maskapai terkemuka di Indonesia. Saat ini ia dan Keenan sedang berada di Adisutjipto International Airport, menunggu keberangkatan ke Jakarta. Penampilan yang santai tapi tetap memperlihatkan bagaimana pesona seorang Axel Wardana. Hampir semua wanita mengakui ketampanan pria itu tapi ada satu wanita yang penilaiannya berubah yaitu Lily. Sejak Axel menunjukkan sikap tidak bersahabat, saat itu juga Lily langsung memberi nilai minus. Padahal awal pertemuan, ia pernah mengagumi bagaimana Axel begitu mempesona. Axel sibuk memainkan tablet yang ada di tangannya, sedangkan Keenan sedang menikmati makanan yang disediakan di lounge. Tapi pandangan pria itu tidak lepas dari Axel karena atasannya itu membuat para wanita yang lewat tidak berkedip melihat Axel. “Gue ngerasa kalah saing sama elo,” sindir Keenan. Alis Axel tertaut mendengar celetukan asistennya. “Maksud lo?” Keenan mengedikkan dagunya ke arah meja dimana berisi wanita yang tengah duduk. “Dari tadi melototin elo terus, kayak matanya nggak ngedip saking terpesonanya sama lo.” Axel berdecis. “Hal yang biasa dan gue tidak terkesan soal itu.” “Ck, sombong sekali. Tapi gue akui hal itu memang benar,” ucap Keenan lalu menyeruput kopi miliknya. Axel kembali fokus pada tablet miliknya, entah apa yang sedang dilihat sampai ia tidak peduli dengan sekitar. Namun, tiba-tiba ponsel yang ada di atas meja berdering dengan nyaring hingga membuat Axel terkesiap. Keningnya mengkerut saat melihat nama si penelepon. “Halo,” jawab Axel. “Hai, akhirnya kamu jawab telpon aku.” Jawab si penelepon ceria. Pria itu menghela napas pelan. “Ada apa kamu telpon aku?” “Ih kamu gitu deh, selalu saja nanya alasan kenapa telepon.” “Ya kamu telpon pasti ada tujuan kan?” Si penelepon terkekeh geli. “Iya sih, aku kangen sama kamu. Kapan kamu berkuda lagi?” “Aku lagi sibuk jadi belum tau kapan bisa berkuda lagi.” “Kalau begitu, aku boleh ke rumah kamu?” “Buat apa?” tanya Axel dengan nada suara terkejut. “Ya ketemu kamu. katanya aku nggak boleh datang ke perusahaan kamu, jadi aku mau ketemu kamu di rumah saja. Gimana?” “Kita bahas nanti saja, penerbanganku segera tiba. Aku tutup telponnya.” “Tap˗” Axel bahkan tidak memberi kesempatan pada wanita itu untuk menyelesaikan kalimatnya karena sambungan telepon sudah dimatikan. Pria itu mendesah pelan saat ingat permintaan teman wanitanya. “Siapa?” tanya Keenan penasaran. “Siapa lagi kalau bukan Fanya.” Keenan terkekeh geli. “Sudah ku duga, siapa lagi yang bisa membuat seorang Axel pening dengan ocehan wanita kalau bukan Fanya.” “Jelas ada yang lain,” bantah Axel. Alis Keenan tertaut, lalu mencoba menebak siapa yang dimaksud atasan sekaligus sahabatnya. “Lily?” “Tepat, Fanya tidak seberapa karena rekor sekarang dipegang oleh Lilyput.” Seketika tawa Keenan pecah hingga menarik perhatian orang di sekitar. “Sory bro, gue masih suka kelepasan kalau soal Lily.” Axel menatap tajam asistennya. “Beberapa hari nggak ketemu dia, lumayan bikin otak adem.” “Jangan begitu, Lily sempat bantu elo buat buka leptop di rumah.” Axel mengangguk setuju. “Iya juga sih, tapi gue yakin dia pasti senang kalau di rumah bebas tanpa gue,” tebak Axel. “Eh gue belom nanya Toni, ngapain aja cewek itu sekarang.” “Kenapa jadi terkesan elo memata-matai Lily?” “Siapa yang begitu?” tanya Axel dengan raut sedikit kesal. “Bukan cuma Lilyput, Jasmine juga.” “Ya sudah, coba saja tanya. Tapi harusnya kan Toni lapor sendiri walaupun elo nggak nanya.” “Kayaknya dia sudah kirim pesan tapi gue yang malas ngecek.” Keenan menggeleng malas. “Kalau perhatian sama suadara jangan setengah-setengah.” “Bawel lo Keen!” sembur Axel. *** Setelah selesai membeli pakaian dan sepatu incarana keduanya, kini Lily dan Nadine terdampar di salah satu restoran makanan khas Korea. Keduanya memang sangat menyukai jenis makanan dari negeri gingseng tersebut. Apalagi Lily, ia sangat tergila-gila dengan Kimchi dan Ramyeon sedangkan Nadine selalu memesan Bibimbap dan Tteokbokki. “Kangen banget gue sama makanan ini,” ucap Lily saat memasukkan satu suap Ramyeon ke dalam mulutnya. “Kalau bikin yang instan kenapa rasanya nggak sama ya sama yang ini.” “Dodol elo nanya begitu. Ya jelas bedalah, ini kan bukan mi istan yang dijual di swalayan, Ly.” Lily hanya bisa nyengir saat pertanyaan konyolnya di jawab oleh Nadine. “Iya juga sih, ya maklum kan kita ini bukan anak Crazy Rich Indonesia jadi makan mewah nggak bisa tiap hari.” “Eh elo lupa kalau sekarang elo anak orang kaya!” sembur Nadine dengan suara nyaring hingga pengunjung sekita menoleh ke meja mereka. “Nadine ih, suaranya udah kayak pakai toa. Bisa dikecilin kan volumenya,” sindir Lily sebal. “Lagipula, gue tetap Lily Denira pegewai bank yang hidup tanpa bokap. Kalau soal nyokap nikah sama Papa Leo ya beda urusan. Bagi gue itu adalah jalan bagi nyokap, gue cuma jadi pemain figuran.” “Kok elo mikir begitu sih? Kan segala fasilitas mewah juga elo dapat dari nyokap tiri elo.” “Tapi gue nggak nyaman Nad, gue nggak bisa hidup dengan gaya mereka.” “Terus sekarang kenapa elo terima kalau pergi diantar sopir dengan mobil mewah?” Lily mendesah pelan. “Bukan gue nggak bersyukur tapi gue hanya berusaha menghargai keinginan Papa Leo dan Mama. Selebihnya gue nggak akan nerima fasilitas lain, kecuali sarana orahraga di rumah kalau itu gue mau.” “Emang ada apa di rumah Papa baru lo?” “Ada kolam renang, ada lapangan basket, tempat gym. Kalau gue pakai fasilitas itu kesannya gue munafik nggak sih?” Nadine berpikir sejenak. “Kayaknya enggak sih, soalnya elo nggak ada unsur pamer ke orang. Jadi masih wajar secara lo suka olahraga daripada pergi dengan mobil mewah.” “Tapi kalau bokap gue tahu keluhan ini, dia sedih nggak ya?” “Pasti, karena tujuan bokap elo adalah untuk memberikan kenyaman buat anaknya. Tapi gue harap pemikiran lo yang tadi dirubah sedikit. Biar nanti elo nggak terkesan sombong dan angkuh karena nggak mau nerima fasilitas dari bokap tiri lo.” Lily mengangguk paham. “Iya Nad, mungkin selama ini gue terlalu egois ya nggak mau mandang dari sudut bokap sama nyokap.” “Bukan nggak mau hanya belum terbiasa, Ly.” “Lily, Nadine.” Merasa namanya disebut, sontak saja membuat Lily dan Nadine menoleh ke samping. Keduanya hampir tersedak saat melihat siapa yang tengah berjalan mendekati mereka. “Pak Hery?” seru Nadine. “Kalian sudah selesai makan?” Lily menggeleng canggung. “Belum Pak, baru setengah perjalanan.” “Boleh saya gabung?” “Boleh Pak, silakan saja.” Lily menyenggol kaki Nadine karena mengajak atasannya makan di satu meja dan pasti akan menimbulkan kecanggungan. “Akhirnya saya tidak jadi makan sendiri,” ucap Hery bahagia. Berbeda dengan Nadine, náfsu makannya hampir hilang karena tatapan tajam Lily yang sudah lancang menerima permintaan Hery. “Kalian pasti shopping banyak ya?” tanya Hery memecah kesunyian di meja makan. Lily meringis malu. “Tumben kok Pak. Pak Hery sendiri, sedang ada keperluan apa di sini?” “Saya? Tadi nonton keponakan ada lomba modelling di lantai satu.” “Terus keponakan Pak Hery dimana?” “Sudah pulang sama adik saya. Maklum cucu pertama jadi apa-apa selalu heboh. Sampai kakek nenek harus nonton.” “Oh Adik Bapak sudah menikah. Wah kok Pak Hery disalip nih?” goda Nadine. Lily kembali mendelik Nadine karena sudah bersikap tidak sopan kepada atasannya. “Pak jangan dengerin Nadine. Kalau ngomong suka nggak disaring.” Hery terkekeh, “Tidak masalah, lagi pula jangan terlalu formal kalau di luar jam kerja,” ucap Hery. “Adik saya lebih dulu ketemu jodohnya, kalau saya masih berjuang.” “Wah, udah ada calon yang mau diajak nikah dong Pak?” Pancing Nadine sengaja. Lirikan mata Hery tertangkap jelas oleh Lily hingga membuat pria itu mengulas senyum tipis tapi menampakkan ketampanan pria itu. “Entahlah, kalau orangnya kasih saya kesempatan untuk membuka hatinya, mungkin perjuangan saya tidak akan sulit.” Bagi Nadine sangat jelas siapa yang dimaksud oleh Hery. Siapa lagi wanita yang dimaksud kalau bukan Lily, teman baiknya. Bukan rahasia lagi kalau Hery hanya memperhatikan Lily saja di kantor tapi sayang temannya itu seolah tidak mau memberikan kesempatan. “Eh makanan Pak Hery sudah datang,” ucap Lily yang bersyukur karena situasi canggung segera berakhir. Nadine yang kasihan dengan Lily akhirnya mengganti topik pembicaraan agar suasana makan menjadi nyaman. Banyak hal yang dibahas terutama soal pengalaman Hery sejak sekolah hingga sekarang. Bagaimana keluarganya dan sedikit mengenai masa kecilnya. Pria itu sangat santai dan hangat hingga membuat Lily dan Nadine betah ngobrol bersama. “Kalian bawa mobil?” tanya Hery ketika keluar dari mall setelah menghabiskan makan siang. “Kami naik taksi Pak,” sahut Nadine. “Ya sudah kalau begitu biar sekalian saya antar.” Lily menggeleng cepat. “Tidak usah Pak, kami berdua naik taksi saja.” “Pak, antar Lily saja kalau saya masih mau ketemu sama saudara jauh.” Rasanya ingin sekali Lily melempar Nadine ke atap gedung mall karena ucapannya sudah sangat keterlaluan. Ia kesal karena temannya itu berusaha untuk menjebaknya. “Ya sudah kalau begitu, saya antar Lily.” “Pak nggak usah, saya bisa pulang sendiri.” “Ly, untuk kali ini kasih saya kesempatan untuk mengantar kamu pulang. Apa kamu tidak kasihan sama saya yang selalu mendapat penolakan dari kamu?” Habis sudah Lily saat ini. Ia seolah membuat seorang Hery, pria yang tidak memiliki harga diri karena terus saja menerima penolakan. Lily melepaskan seat belt yang ia gunakan. Akhirnya setelah perjalanan hampir lima belas menit, ia sampai juga di depan rumahnya. Sepanjang perjalanan keduanya membahas masalah pekerjaan, tidak sekali pun Lily membiarkan atasannya itu menyinggung masalah pribadi. “Pak, terima kasih ya sudah kasih saya tumpangan.” “Sama-sama, Ly. Tapi maaf, bukanya kamu bilang tinggal dekat dekat kantor?” Gadis itu hanya tersenyum canggung. “Pak ini rumah Papa tiri saya. Mama baru saja menikah dan saya diharuskan tinggal di sini.” “Oh begitu, maaf kalau pertanyaan saya kurang nyaman.” Lily menggeleng, “Nggak apa-apa kok, Pak. Saya turun dulu ya.” “Eh tungg,” Hery mencegah Lily turun, namun justru pria itu yang keluar dari mobil. “Pak Hery mau apa?” pikir Lily. Betapa terkejutnya Lily saat tahu Hery membuka pintu untuknya. “Silakan Ly.” “Astaga Pak, kenapa bersikap seperti ini. Saya jadi nggak enak kan?” Hery mengusap pucuk kepala Lily, ketika gadis itu sudah turun dari mobil. “Nggak masalah, saya senang bisa melakukannya. Secara tidak langsung kita menjadi dekat kan?” Kemesraan yang ingin diciptakan Hery terhenti ketika suara klakson mobil yang datang dari arah belakang mobil Hery. Benar saja, kepala seorang pria menyembul dari jendel mobil lengkap dengan kaca mata hitam yang masih bertengger di wajahnya. “Axel?” gumam Lily. “Pak, mobilnya mau masuk tapi terhalang mobil Pak Hery.” “Oh iya, saya pulang dulu kalau begitu,” ucap Hery tidak enak. “Tapi pria itu yang pernah jemput kamu kan?” Lily mengangguk pelan. “Iya dia saudara tiri saya, Pak.” Hery mengangguk, “Baiklah, sampai ketemu hari senin, Ly.” “Hati-hati di jalan Pak.” ~ ~ ~ --to be continue-- *HeyRan*
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD