15. PENUH DRAMA

2318 Words
Lily melangkah masuk ke halaman rumah Wardana dan tidak mempedulikan Axel yang mengemudikan mobil menuju garase. Ia tidak ingin memancing Axel dan membuat pria itu bersikap menyebalkan. Belum lagi Axel melihatnya bersama Hery, pasti pria itu berpikir kalau dirinya dekat padahal ia pernah membantah tuduhan itu. “Axel, lo jangan jadi nyebelin ya. Gue mau menikmati sisa weekend dengan tenang,” batin Lily. Sambil membawa paper bag berisi belanjaan, Lily tidak menoleh saat Axel turun dari mobil. Ia melafalkan mantra semoga saudara tirinya itu dalam keadaan bahagia sehingga tidak memiliki niat menjailinya. “Lilyput!” panggil Axel yang berjalan di belakang sambil membawa koper kecil. “Lilyput jangan pura-pura nggak denger!” seru Axel kembali. Lily tidak menanggapi, kini ia sudah masuk ke dalam rumah, dan langkahnya semakin cepat. “Enak aja manggil gue Lilyput. Rasain elo gue abaikan!,” batin Lily. Sebuah tangan menarik rambut Lily yang dikuncir kuda hingga membuat gadis itu meringis sakit. “Aduhhhh!.” “Makanya kalau gue panggil nyaut, jangan sok budek,” ucap Axel yang sudah melepas tarikannya. “Mentang-mentang abis pulang sama gebetan, jadi sombong,” sindir Axel dengan senyum mengejek. Lily yang sudah menghadap Axel terlihat menahan emosi, tapi raut wajah kesal nya jelas-jelas tidak bisa sembunyikan. “Nama gue Lilyanan Denira, panggilannya Lily bukan Lilyput. Jadi jangan marah kalau gue nggak noleh. Nyebelin banget sih sampai narik rambut gue.” Axel masih dengan raut wajah tengil dan santai, seakan tidak peduli dengan protes Lily. “Cerewet benget sih. Nama lo emang Lily, tapi gue sengaja panggil Lilyput. Emang salah?” Lily memutar bola matanya. “Nanya lagi salah atau nggak, ya jelas salahlah. Kalau nama lo Axel tapi dipanggil Engsel pintu mau?” “Terlalu jauh jadi nggak cocok, nama lo baru nyambung kalau gue ubah jadi Lilyput.” Muak dengan ocehan Axel, Lily sudah tidak bisa menahan lagi. Ia menghentakkan kaki hingga membuat pria di hadapannya terkejut. “Buset, bikin kaget.” Ucap Axel. “Eh, gue udah berusaha bersikap baik ya. Tapi elo nyebelin banget,” ucap Lily kesal. Perlahan tubuh gadis itu mendekati Axel hingga membuat pria itu panik dan ingin menghindar. “Dengar ya, gue bisa sangat baik sama orang ataupun sebaliknya. Jadi kalau lo mau terus-terusan nganggep gue musuh, gue nggak peduli dan gue nggak takut." Persekian detik tubuh Axel menegang karena wajah gadis itu begitu dekat dengannya. Semangat menjaili Lily menguap karena ia mendapat tatapan mendelik dari gadis itu. “Awas ya kalau elo cari perkara lagi,” ancam Lily sambil menunjuk wajah Axel yang terdiam. Setelah meluapkan segala kekesalannya Lily pergi ke lantai dua untuk menuju kamarnya. Ia tidak peduli kalau Axel akan membalas atas sikap yang diterima pria itu. Bahkan Lily tidak peduli jika ucapannya tadi didengar oleh penghuni yang lain. “Nggak peduli deh dia mau gimana. Gue masih bisa pergi kalau dia memang berniat balas dendam,” gurutu Lily. Axel menggeleng pelan saat melihat Lily sudah pergi dari hadapannya. “Gila, galak banget si Lilyput. Baru dia yang berani ngancem gue sambil marah-marah,” ucap Axel tikak percaya. Sampai di kamar Lily meletakkan paper bag yang berisikan beberapa barang yang beli. Setelah itu gadis itu menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. “Capek banget Tuhan. Habis jalan-jalan bukannya jadi happy malah mood dibuat berantakan sama si Engsel pintu.” *** Setelah ketiduran sepulang dari mall, Lily keluar dari kamarnya. Ia menoleh ke pintu kamar Axel, lalu mendengkus sebal. Setelah itu, ia berjalan menuruni anak tangga sambil menoleh ke arah ruang tamu dan dapur, tapi tidak terdengar suara. “Pada kemana? Kok sepi banget?” gumam Lily. “Perasaan dari gue pulang nggak ada orang.” Sambil mengumpulkan nyawa setelah bangun tidur, Lily pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Satu gelas penuh ia habiskan dan justru sekarang bingung mau melakukan apa. “Asli deh, rumah besar gini sepinya berasa banget,” batinnya. Lily memutuskan pergi ke luar rumah menghirup udara sore. Samar-samar ia mendengar suara benturan seperti bola yang di lempar ke tanah. “Eh kayaknya ada yang lagi main basket,” ucapnya. “Jangan-jangan Jasmine. Wah asik kalau ada temen main,” Lily nampak sangat bahagia. Kebahagiaan Lily menghilang saat tahu siapa kini tengah memainkan bola, lalu mesukkannya ke dalam ring. Axel asik men-dribble bola lalu melemparkannya ke arah ring dan kerennya bola itu masuk dengan mulus. “Hebat juga mainnya,” gumam Lily yang tidak jadi pergi dari sana karena terpukau dengan permainan Axel. Gadis itu bukan pemain basket yang jago tapi ia beberapa kali ikut pertandingan antar sekolah ketika SMA. Tapi sudah sangat lama tidak melakukan kegiatan itu dan saat tahu di rumah ini ada lapangan basket, jiwa semasa SMA kembali muncul. Axel yang sadar diperhatikan, iseng melempar bola ke arah Lily. Bukan untuk mengenai tubuh gadis itu tapi melempar ke sekitar agar Lily berhenti melamun. Pria itu seakan belum kapok mendapat amukan dari Lily. Saat bola itu mendarat tepat di sisi kiri Lily, gadis itu langsung melonjak kaget.  “Apaan sih? Sengaja banget.” Guruti Lily sambil mengambil bola basket tersebut. “Respon lo telat banget sih,” sindir Axel yang berjalan ke arah Lily. “Ngapain bengong? Nggak pernah liat orang main basket atau elo terpesona liat gue main basket?" “Idih, geer banget,” sebur Lily. “Jangan salah, dulu waktu SMA gue pemain basket.” “Oh iya? Mana buktinya?” tanya Axel. “Bukannya lo suka renang ya?” “Kok Lo tahu gue suka renang?” tanya Lily penasaran. “Jasmine yang cerita,” sahut Axel. Lily mengangguk, "Dulu iya, tapi sejak pindah rumah nggak pernah renang lagi." “Buruan buktiin ucapan lo yang pintar main basket.” Ditanya seperti itu membuat Lily tertantang untuk membuktikan kepada pria itu kalau ia tidak hanya sekedar membual. Langsung saja tanpa basa basi, Lily men-dribble bola lalu melakukan set shoot hingga bola masuk ke dalam ring. Lily menoleh ke arah Axel berdiri, ia tersenyum puas karena bisa membuktikan dirinya bisa bermain basket. “Gimana? Tangan gue nggak kaku-kaku amat kan kalau pegang bola basket?” Axel mengangguk, “Lumayan." Lily tidak melanjutkan lagi dan memilih pergi meninggalkan Axel. Ia tidak ingin kejadian tadi siang terulang lagi. Bagaimanapun ia tidak ada niat bermusuhan dengan Axel kalau saja pria itu tidak bersikap menyebalkan dan tidak mengganggunya. “Mau kemana?” tanya Axel saat Lily melewati pria itu tanpa bicara. Lily menoleh, “Mau mandi, sudah sore,” sahutnya. “Oh iya, Mama sama Papa kemana?” “Lagi keluar katanya mau nengok temannya yang sakit.” “Oh gitu.” Lily kembali melanjutkan langkahnya. “Katanya lo nggak pacaran sama pria itu, kenapa tadi bisa pulang diantar dia?” tanya Axel setengah berteriak. “Kalian ngdate ya?” Lily menoleh, menatap Axel dengan perasaan dipaksa setenang mungkin. “Kita nggak sengaja ketemu di mall jadi dia nawarin buat antar pulang.” “Hati-hati lho dekat sama atasan, yang ada elo jadi bahan gosip.” “Ck. Gue nggak dekat, kami berteman wajar. Atau jangan-jangan elo punya pengalaman pacaran sama karyawan di kantor terus jadi heboh. Iya kan?” Axel menghampiri Lily, wajahnya mendekat ke arah wajah gadis itu. Sebuah senyum dingin muncul di wajahnya. “Gue nggak sembarangan dekat sama perempuan.” Posisi yang begitu dekat membuat Lily merasakan wajahnya diterpa hembusan napas dari Axel. Wajah yang begitu dekat hingga ia bisa melihat guratan halus di ujung kedua mata pria. “Siá1, sok cakep banget sih lo.” Batin Lily. Lily mendorong tubuh Axel hingga menjauh darinya. “Sombong banget, kayak paling laku,” cibir Lily kemudian berlalu dari Axel. Pria itu tidak tinggal diam lalu mengikuti Lily berjalan menuju ke dalam rumah. “Gue bukan sok laku tapi emang laris banget. Tapi gue aja yang nggak tertarik sama mereka karena tujuannya cuma duit sama wajah gue.” “Masa sih? Tahu dari mana mereka seperti itu?” Tiba-tiba Lily tertarik untuk menimpali. “Jangan-jangan cuma penilaian random dari elo ya?” Axel tersenyum tipis. “Lo pernah pacaran?” “Pernah.” “Berapa kali?” “Sekali, kenapa?” “Lain kali kalau dekat sama laki-laki, elo harus tahu sampai sedalam-dalamnya. Apakah dia hanya liat penampilan lo atau tulus suka sama lo.” Ucap Axel lalu kemudian berlalu dari hadapan Lily yang masih bingung dengan penjelasannya. “Asli deh gue nggak paham sama omongannya,” gerutu Lily. *** Setelah selesai mandi dan makan malam, Lily bingung harus melakukan apa. Biasanya kalau bosan di kos, Nadine akan datang untuk menemaninya menonton drama korea. Tapi kali ini mana bisa seperti itu. “Sangat merindukan masa-masa itu,” ucap Lily yang tengah berbaring di atas kasur. Tiba-tiba ia memiliki ide untuk menonton drama korea sendiri sambil menunggu kantuk datang. Ia sudah berjanji tidak akan mengeluh dengan hidupnya sekarang, jadi apa yang masih bisa ia lakukan maka ia akan lakukan. Lily beranjak dari tempat tidur, lalu melangkah menuju meja rias dimana terdapat laci tempat menyimpan leptop jaman ia kuliah. “Oke, mari kita menonton apa yang masih bisa ditonton.” Lily kembali ke tempat tidur untuk mencari posisi enak menonton drama korea. Saat Lily menyalakan leptop, ada yang aneh terjadi. Leptop miliknya tidak mau menyala sama sekali. “Kenapa nggak mau nyala ya? Batrenya habis kali ya,” pikirnya. “Atau rusak karena lama banget nggak pernah dipakai.” Kemudian, Lily segera mengambil carger leptop di laci yang sama dengan tempat leptop. Sayang, gadis itu tidak menemukannya. “Jangan-jangan ketinggalan di rumahnya Nadine waktu nginep di sana. Tapi udah lama masa sih Nadine nggak nyadar kalau carger leptop gue ketinggalan di sana? Atau malah ketinggalan di kos?” Segala spekuliasi bermunculan di pikiran gadis itu. Lama Lily berpikir, dan tiba-tiba ia ingat kalau leptop milik Axel merknya sama dengan miliknya. Walaupun punya Lily lebih jadul tapi kemungkinan besar carger leptop milik Axel masih bisa digunakan pada leptop miliknya. “Pinjem aja kali ya? Tapi dikasih nggak? Takutnya udah minjem eh malah nggak dikasih kan malu-maluin,” gumam Lily. Tidak ingin berpikir negatif tentang Axel, Lily memutuskan untuk mencoba meminjam kepada pria itu. Kini ia sudah berada di depan kamar Axel yang pintunya tertutup rapat. Tangannya beberapa kali siap mengayun untuk mengetuk pintu tapi nyalinya kembali ciut. “Kenapa sih degdegan kayak gini, berasa kayak ketemu dosen galak,” batin Lily. Akhirnya, tangan miliknya berhasil mengetuk pintu kamar pria menyebalkan versi Lily. Beberapa kali ia lakukan namun belum membuahkan hasil. “Kayaknya nggak ada di kamar,” ucap Lily pelan. “Ya sudah, nggak jadi kalau begitu. Lily berbalik dan siap kembali ke kamarnya. Setidaknya ia sudah berusaha walaupun si empunya kamar tidak tahu keberadaannya dimana. Suara pintu terbuka membuat Lily menghentikan langkahnya. Ia menoleh dan benar saja kalau Axel yang membuka pintu. “Kenapa?” Lily langsung memalingkan wajah saat melihat tubuh pria itu dalam keadaan topless. “Ih kenapa nggak pakai baju sih?” protes Lily. Axel memutar bola matanya, “Jangan berlebihan deh Ly. Elo kayak nggak pernah liat cowok nggak pakai baju.” “Emang nggak pernah!” sembur Lily. “Gue bukan cewek dengan otak mésum yang suka liat cowok topless.” Gadis itu masih bicara tanpa menatap pria yang tengah berdiri santai di ambang pintu. Tapi perlu Lily akui kalau tubuh Axel begitu proporsional. Beberapa tonjolan otot ada di tempat yang tepat jadi wajar saja pria ini begitu percaya diri untuk tidak mengenakan baju. “Mau apa ketuk pintu kamar gue?” tanya Axel santai. “Mau pinjem carger leptop.” Sahut Lily cepat. “Ya udah ayo masuk, ambil di sini.” Lily menggeleng. “Nggak mau, kalau lo kasih pinjam ya bawa ke luar dong.” Axel menggeleng, lalu melangkah mendekati Lily. Dengan celana panjang santai, Axel seolah tidak masalah kalau tubuhnya dinikmati oleh mata polos Lily. “Udah minjem, ngelunjak lagi,” bisik Axel tepat di telinga Lily hingga membuat gadis itu terkesiap. Mata Lily membulat saat melihat tubuh pria itu tepat di depan matanya. Dengan cepat Lily mendorong tubuh Axel hingga tangannya menyentuh permukaan kulit perut pria itu. “Ih Axel, elo sengaja banget ngerjain gue,” teriak Lily kemudian segera berlari menuju kamarnya. Axel tergelak karena berhasil membuat Lily kesal. “Lilyput, elo polos banget sih. Semoga saja nggak ada cowok yang manfaatin kepolosan lo,” ucap Axel. “Dasar cowok mésum, apaan sih sengaja banget godain gue,” gerutu Lily sebal. Lily melihat kedua telapak tangannya, mengingat kalau tangannya sudah menyentuh tubuh Axel yang tidak mengenakan baju. “Hikz tangan gue udah nggak perawán lagi,” ucapnya penuh sesal. “Tapi gilá juga ototnya keras banget. Gue tinju kayaknya nggak bakalan sakit, malah yang sakit tangan gue sendiri.” Saat sibuk memikirkan kejadian barusan, suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Lily. “Jangan bilang si Engsel nyebelin yang ketuk pintu.” Dengan malas Lily membuka pintu sambil satu tangannya menutup mata agar tidak ternoda oleh tubuh atletis Axel. “Mau apa sih?” tanya Lily ketus. Axel langsung memaksa Lily melepaskan tangan yang menutup matanya. “Jangan berlebihan, gue udah pakai baju.” Perlahan Lily membuka matanya dan benar saja kalau Axel sudah mengenakan kaos santai tanpa lengan berwarna hitam. Ia bernapas lega karena pria di hadapannya tidak menggodanya lagi. “Nih carger yang lo minta. Gue baik kan?” ucap Axel sombong. Lily memutar bola matanya. “Selalu saja minta dipuji,” diambilnya benda yang disodorkan Axel.”But, thank ya walaupun sama lo selalu penuh drama.” Tanpa mendengar tanggapan Axel, Lily kembali masuk ke kamar dan menutup pintu. “Baik juga, gue kira jahatnya sudah mendarah daging.” Di tempat lain Axel hanya bisa menggeleng melihat sikap Lily kepadanya. “Kapan sih lo bisa bersikap baik sama gue. Gimana mau jadi saudara kalau pikiran elo nething terus sama gue,” ucap Axel pelan. “Tapi kenapa gue harus peduli sama Lilyput sih? Terserah dia mau melakukan apa, yang jelas tugas Papa sudah gue lakukan dengan baik.” ~ ~ ~ --to be continue-- *HeyRan* ----------- Happy reading :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD