3. LILYANA

1847 Words
Lily menatap curiga adiknya, “Jangan bilang kamu setuju Mama menikah sama orang itu karena kamu tahu dia tajir?” Jasmine menggeleng cepat, “No! Aku nggak sematre itu ya Kak, ngebiarin Mama menikah karena Om Leo kaya. Kehidupan aku yang sekarang udah bikin bahagia, walaupun kita bukan dari keluarga kaya. Uang yang Mama dan Kakak kasih ke aku udah lebih dari cukup kok.” Setelah pembicaraan serius dengan adiknya, Lily memilih untuk beristirahat di kamar miliknya. Grace juga sempat meneleponnya untuk menanyakan apakah sudah sampai di rumah atau belum. Lily memutuskan untuk tidur agar pikirannya tidak terus mengingat ucapan Jasmine mengenai Grace yang memiliki pacar. Setelah beberapa kali mengganti posisi tidurnya, Lily menyerah. Matanya terpejam namun pikirannya tidak ingin beristirahat. Ia terus saja memikirkan ucapan Jasmine tentang Mamanya dan pria bernama Leo itu. Lily tidak marah, hanya saja ini semua membuatnya begitu terkejut dan bingung. Belum lagi saat nanti berhadapan dengan Grace, ia tidak mungkin bisa bersikap biasa saja. Tiba-tiba suara klakson mobil terdengar dari halaman rumah Lily. Ia segera beranjak dari tempat tidur dan keluar dari kamar miliknya. “Siapa Dik?” tanya Lily pada Jasmine yang kebetulan ada di ruang tamu. “Mama sama Om Leo udah pulang," jawabnya santai. Lily menatap adiknya dengan heran, bisa-bisanya bocah itu begitu santai dan tenang seakan semua baik-baik saja. Tapi situasi saat ini memang tidak ada yang mengkhawatirkan seperti akan timbul perang, hanya dari pihak Lily yang menganggap semua ini berlebihan. “Eh Kakak mau kemana?” Jasmine menghentikan langkah Lily yang ingin kembali masuk dalam kamarnya. “Mau ke kamar, mau tidur. Kenapa?” Jasmine berdecis mendengar jawaban kakaknya, “Kakak nggak sopan deh. Ada tamu bukannya disapa malah mau balik ke kamar.” “Kan udah ada kamu, ada Mama juga. Masa penting kalau Kakak nyapa orang itu.” “Panggil Om Leo Kak. Dari tadi susah banget kayaknya nyebut nama Om Leo,” sindir Jasmine. “Halo anak-anak Mama yang cantik” sapa Grace dengan wajah semringah melihat Lily dan Jasmine di hadapannya. “Ternyata Jasmine benar. Mama terlihat sangat bahagia, beda dari biasanya,” Lily membatin. Grace memeluk Lily dengan lembut, “Maaf ya Ly, Mama baru pulang.” Lily mengangguk dalam pelukan sang mama, “Iya, nggak apa kok.” Grace mengurai pelukannya. “Mama mau kenalin kamu sama teman Mam.a” Leo berdeham, “Halo Lily.” Lily tersenyum ramah, “Halo...” “Sayang, ini Om Leo teman Mama. Mas, ini anak aku yang pertama namanya Lilyana Denira.” Lily mengulurkan tangannya untuk berkenalan, “Lily..” “Saya Leo calon suami Mama kamu,” ucapnya dengan tenang. Lily hanya tersenyum canggung, berbeda dengan Mamanya yang terlihat tersenyum malu-malu mendengar pengakuan dari Leo. “Mama benar-benar seperti abg, jatuh cinta untuk pertama kali” pikir Lily geli. Setelah kepulangan Leo dari rumahnya, Lily memilih untuk kembali ke dalam kamarnya. Lily memilih berbaring sambil memainkan ponselnya. Matanya terbelalak saat melihat ada satu pesan masuk di aplikasi pesan miliknya. “Pak Hery kirim apaan nih?” Bos Besar : Lily, nanti malam kamu ada acara?” “Balas apa ya?” Lily berpikir keras. "Perasaan kemarin sudah bilang kalau aku lagi pulang, kenapa malah nanya lagi." Tiba-tiba pintu kamar Lily diketuk dari arah luar membuat gadis itu meletakkan kembali ponselnya. “Ly, Mama boleh masuk?” Suara lembut Grace dari balik pintu. “Iya Ma, nggak dikunci,” jawab Lily sedikit berteriak. Pintu dibuka perlahan oleh Grace, “Kamu mau tidur?” tanya wanita itu karena melihat Lily tengah berbaring. “Nggak kok cuma guling-guling aja, Ma." Lily merubah posisinya yang tertidur menjadi duduk. Grace duduk di pinggir tempat tidur putrinya, wajahnya terlihat tegang namun ditutupi dengan senyum teduhnya. “Ly, kamu marah nggak sama Mama?” tanya Grace hati-hati. “Marah karena apa, Ma?” Lily tahu maksud Mamanya tapi ia pura-pura bodoh saja. “Karena sebelumnya Mama nggak bilang sama kamu soal Om Leo. Mama takut kalau kamu marah atau kecewa,” ucap Grace dengan wajah sedikit tertunduk. Lily mendesah lemah. “Ma, Lily sudah tahu soal Om Leo dari Jasmine. Dan kalau Mama bertanya apakah Lily setuju atau tidak Mama menikah dengan dia maka jawabannya Lily ikhlas kalau itu bisa membuat Mama bahagia,” jelas Lily *** “Kenapa lo, Ly?” tanya Nadine begitu melihat wajah kusut Lily di raung pantry. “Kenapa apanya?” tanya Lily tidak bersemangat. “Eh kunyuk, lo kira gue nggak merhatiin lo selama seminggu ini apa? Lo balik dari rumah kenapa jadi nggak ada gairah hidup begini. Iya kan Mbak?” Nadine mencari dukungan dari Nika agar Lily tidak menganggapnya mengatakan hal dusta. “Iya Ly, kamu nggak kayak biasanya. Kamu diganggu sama Mega lagi?” Tanya Nika yang tengah duduk di sebelah Lily sambil mengusap perutnya yang sudah besar. Lily menggeleng, “Nggak kok Mbak. Kalau pun aku d ganggu sama Mega, dia nggak akan sampai buat aku nggak mood berhari-hari kok. Kesenengan dong dia nanti.” “Terus elo ada masalah apa?” tanya Nadine pansaran. Lily memainkan bibirnya, nampak sedang berpikir. Ia ragu apakah harus menceritakan rencana Mamanya yang akan menikah minggu depan kepada dua sahabatnya ini. Nadine bukan tipe orang dengan mulut lemes, dia tipe teman yang bisa menjaga rahasia. Kalau Nika jangan tanya lagi, dia ini sering disebut keturunan priyayi yang tutur katanya lemah lembut dan selalu membuat hati adem. Sudah dianggap kakak sendiri oleh Lily karena saking baiknya. “Kalau ada masalah cerita, dari pada nanti berdampak buruk sama kerjaan? Bukannya dua hari yang lalu kamu ada selisih lumayan besar? Untungnya ketemu sumber masalahnya.” Nika berusaha memberi nasihat pada Lily. Lily menengok ke sekeliling, saat di rasa aman maka ia baru berani bicara.“Minggu depan, Mama aku mau nikah, Mbak,” bisik Lily agar suaranya tidak didengar orang lain. Mata Nadine terbelalak, “Tante Grace nikah? Serius?” tanyanya tidak percaya. Lily mengangguk lemah. Ia sama sekali tidak terkejut akan reaksi Nadine seperti ini. “Nikah sama siapa, Ly?” tanya Nika dengan wajah terlihat tenang. Berbanding terbalik dengan Nadine yang masih terlihat syok. “Katanya sama mantan pacar waktu SMA, Mbak” “Lo nggak suka kalau nyokap lo nikah?” Lily mengangkat bahunya. “Gue bukan nggak suka, bukan juga senang. Gue ikhlas kalau Mama nikah. Gue tumben liat Mama sebahagia itu waktu diantar pulang sama pacarnya. Terus apa ada alasan gue buat nolak?” “Kamu tahu calon suaminya?” tanya Nika. “Minggu lalu ketemu di rumah Mbak, cuma ngobrol biasa aja. Yang tahu banyak adik aku karena sering ketemu di rumah.” “Menurut adik lo, calon suami nyokap gimana?” “Katanya baik dan pembawaannya tenang banget.” “Terus menurut lo setelah ketemu gimana?” “Iya emang baik sih, tapi kan sama gue baru sekali ketemu. Siapa sih yang nggak akan menunjukkan sikap baik kalau ada maunya.” “Kamu takut kalau orang itu nggak tulus?” Lily mengangguk lemah, “Aku takut Mama disakiti lagi, Mbak. Selama ini aku nggak pernah mikir Mama akan punya rencana menikah, makanya aku sedikit syok.” Nika menyentuh tangan Lily, “Ly, sebagai anak wajar kamu punya ketakutan. Tapi alangkah baiknya kamu berdoa supaya pilihan Mama kamu yang ini tepat dan bisa membuat beliau bahagia.” “Benar banget. Elo udah gede, terus lo juga pasti nikah. Si Jasmine pasti bakalan kuliah, nah nyokap lo nanti siapa yang akan nemenin. Mending lo nggak usah mikir aneh-aneh biar jalan nyokap nikah juga lancar,” jelas Nadine. Lily mencoba mencerna setiap nasihat yang diberikan oleh Nadine dan Nika berharap ia bisa menenangkan perasaannya yang gundah. *** “Kamu mau pulang?” “Eh, Bapak. Duh kaget.” Lily terkejut dengan kedatangan Hery di depan counter miliknya. “Maaf kalau buat kamu kaget.” Lily melirik Mega yang ada di sebelahnya. Delikan mata wanita itu  membuat Lily bergidig ngeri. “Nggak apa-apa kok, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” “Saya mau bicara sama kamu sebentar bisa?” “Bisa, Pak.” “Ikut saya ke ruangan saya kalau begitu,” titah Hery lalu pergi meninggalkan Lily yang masih bengong. Lily terbelalak, urusan apa seorang Hery memintanya untuk pergi ke ruang kerja di luar jam kerja. Dengan berat hati, Lily mengangkat bokongnya untuk pergi ke ruang Hery. “Sekarang apa lagi trik lo buat nyari muka plus godain bos?” sindir Mega. Doni yang juga ada di deretan sana spontan menoleh ke arah Mega lalu beralih melirik Lily, “Lo ngomong sama siapa, Me?” “Sama si muka tembok siapa lagi?” Doni mengedikkan alisnya ke arah Lily, “Kamu?” bisiknya. Lily memutar bola matanya, “Mbak nggak capek apa nyindir saya terus?” “Oh, ada yang nyadar juga” Lily mendesah kasar, “Udah ya Mbak, ada yang lebih penting yang harus saya lakukan dari pada meladeni Mbak Mega,” ucapnya. “Oh iya, Doni kalau Nadine datang nyari aku bilang kalau masih di ruangan Pak Hery ya.” Doni mengangguk, “Oke, nanti aku sampaikan ke Nadine” Lily meninggalkan Mega yang masih terlihat kesal padanya. “Fix sih ini Mbak mega  emang suka sama Pak Hery. Dari mukanya udah kelihatan jelas kalau dia cemburu,” pikir Lily. “Permisi, Pak.” Lily membuka pintu atasannya dengan hati-hati. “Silakan duduk,” pinta Hery. Lily duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Hery. Jantungnya berdegup kencang karena takut apa yang akan dibicarakan oleh Hery. Hery tersenyum geli melihat raut wajah Lily saat ini, “Nggak perlu tegang begitu. Ini bukan masalah pekerjaan kok.” Lily tersenyum canggung, “Bapak mau ngomong apa ya?” “Minggu lalu kenapa pesan dari saya kamu abaikan? Kamu terganggu kalau saya chat saat weekend?” Lily meringis kecil, ia baru ingat waktu itu ingin membalas pesan dari Hery tapi karena Mamanya mengajaknya bicara panjang lebar akhirnya Lily lupa untuk membalas hingga saat ini. “Pak, maaf sebelumnya. Saya nggak ada niat mengabaikan pesan dari Bapak. Tapi pas saya mau balas, Mama saya datang untuk membicarakan hal penting dan saya lupa sampai sekarang kalau Pak Hery kirim pesan.” Penjelasan Lily sama sekali tidak membuat raut wajah pria itu berubah masam. “Iya Ly, saya nggak marah kok. Saya cuma penasaran saja, apakah kamu tersinggung dengan pesan saya. Selama beberapa hari ke belakang saya juga ragu menanyakan ini karena kamu sendiri terlihat biasa saja. Jadi ternyata kamu lupa toh, pantas saja.” Lily mengusap daun telinganya, “Maaf ya Pak, saya memang suka begitu orangnya.” “Nggak masalah kok. Kalau begitu, sekarang kamu mau kan saya antar pulang?” “Maaf, Pak. Saya sudah ada janji sama Nadine buat antar dia beli sesuatu dan kayaknya dia lagi nunggu saya deh,” ucap Lily dengan tidak enak. Hery mendesah lemah, “Wah saya selalu kurang beruntung,” gumamnya. “Apa Pak?” “Nggak apa-apa kok. Kamu boleh pergi sekarang.” “Permisi ya, Pak,” ucap Lily pelan. “Lilyana..” “Iya?” Hery menggeleng sambil tersenyum, “Tidak apa, saya hanya suka dengan nama itu.” ~ ~ ~ --to be continue-- *HeyRan* 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD