bc

Kisah Daisy

book_age16+
385
FOLLOW
1K
READ
HE
others
drama
twisted
humorous
lighthearted
female lead
like
intro-logo
Blurb

Ini kisah tentang Daisy Graceila yang selalu dibanding-bandingkan dengan saudari kembarnya. Oleh siapa pun yang mengenal mereka terkecuali sang Ayah, dalam segala hal. Gadis yang selalu merasa kalah dari sang Adik, hingga mengenai kisah asmaranya.

“Semuanya telah kamu miliki. Dia yang aku cinta sejak dulu, kamu ingin memilikinya juga?”

“Dan kamu.. kita berdua ini mirip. Tak bisakah kamu lebih memilih aku dibandingkan dia?”

~ Daisy Graceila.

“Perkara cinta, bukan sepenuhnya kehendak kita, bukan? Dia datang dan pergi tanpa bisa kita minta dan cegah.”

~ Daisha Graceila.

“Kalau saja kamu sudah jujur sejak awal, mungkin ceritanya akan berbeda.”

~ Arsel Dirgantara.

cover by Lanamedia

chap-preview
Free preview
Part 1
Sudah seperti kegiatan rutin sejak keduanya kecil, setiap malam Daisy dan Daisha selalu berkumpul bersama di salah satu kamar tidur mereka untuk sekedar mengisi kegiatan malam mereka dengan saling bertukar cerita. Begitu pun malam ini. Daisy yang kebagian jadwal untuk menjadikan kamar tidurnya sebagai tempat mereka untuk bertukar cerita, mempersiapkan kamarnya agar menjadi tempat yang nyaman. Merapikan tempat tidurnya yang sedikit berantakan, dan menyiapkan camilan ringan serta dua buah cangkir yang berisikan s**u coklat hangat.   Ceklek,   Suara pintu yang dibuka dari arah luar, membuat Daisy yang baru saja duduk setelah menaruh tas sekolahnya ke tempat semula, menoleh cepat ke arah sumber suara. “Tumben banget jam segini udah ke kamarku. Sesi curhat kita kan biasanya baru dimulai sekitar lima belas menit lagi. PR-nya udah selesai dikerjain?” ucap Daisy seraya mulai membuka satu bungkus keripik kentang—camilan ringan favoritnya sejak kecil, kemudian melahapnya dengan sedikit rakus. Ternyata merapikan kamar agar lebih terasa nyaman membuatnya lapar dan ingin segera mengunyah makanan.   “Udah dong. Aku kan rajin. Nggak kayak Kakak yang hobinya nyalin jawaban aku terus tiap ada PR,” ucap Daisha yang langsung merebut bungkus camilan ringan yang Daisy pegang, sesaat setelah dirinya mendudukkan diri dengan nyaman di sebelah kanan sang Kakak. “Itu camilan aku!” ucap Daisy tak terima yang mulai bersiap untuk merebut camilannya yang dirampas paksa itu oleh sang Adik.   “Ya elah, Kak. Bagi napa! Aku kan juga pengen.”   “Kan masih ada satu bungkus lagi. Tinggal buka yang baru. Jangan main asal rampas punya Kakak dong.”   “Pelit amat sih, Kak. Tau nggak? Kata orang, rumput tetangga itu lebih hijau. Jadi, meski aku sendiri udah punya jatah, nggak tau ya.. liat camilan yang Kakak makan kayaknya lebih enak dari pada yang punya aku itu.”   Mendengar celotehan itu, yang entah apakah Daisha sedang serius atau sedang membercandainya, Daisy langsung merebut paksa camilan ringan miliknya dari tangan sang Adik. “Enak aja. Nggak boleh kayak gitu. Itu namanya PELAKOR!” ucap Daisy tegas seraya menekankan kata terakhinya.   “Kok pelakor sih, Kak? Itu mah beda konsep dong. Pelakor artinya apa coba?”   “Perebut laki orang.”   “Lha itu tau. Aku kan nggak lagi ngerebut laki orang. Enak aja disebut pelakor. Aku nggak level sama yang begituan,” ucap Daisha tak terima seraya mulai kembali merebut camilan ringan yang kini sudah dipegang erat oleh sang Kakak. Saking tak inginnya kembali direbut, Daisy bahkan memeluk camilannya dengan sangat protektif. Sampai-sampai membuat Daisha memberenggut lucu seraya menatap ke arahnya dan berkata. “bagi dong, Kak. Itu enak banget tau.”   “Sama aja tau. Sama-sama suka ngerebut kepunyaan orang lain! Oke deh, kalau kamu nggak mau dapet sebutan itu. Kakak ganti. Kamu itu.. PECAMOR!”   “Apaan tuh pecamor?”   “Perebut camilan orang. Wleee,” ucap Daisy seraya memeletkan lidahnya di hadapan sang Adik bermaksud untuk meledeknya.   “Ih! Terserah deh. Suka-suka Kakak aja.”   “Kamu mau curhat apa sih malam ini? Dateng lebih awal pasti antusias banget kan mau curhat sama aku?” Merasa cukup dengan aksi bercandaan mereka tadi, Daisy mulai membuka sesi curhat mereka.   “Kok tau sih kalau aku lagi ngebet banget buat cepet-cepet cerita ke Kakak?” ucap Daisha setelah meneguk beberapa teguk s**u coklat favoritnya yang telah Daisy buatkan khusus untuknya.   “Ya tau lah. Kita ini kembar, dan sesi curhat malam kita ini bukan sekali dua kali dalam setahun kita lakukan. Tapi hampir setiap hari kalo kamu lupa.”   “Hahaha. Iya juga ya. Tapi makasih banget lho. Kakak udah sepeka itu sama aku. Uuu, jadi makin sayang aku sama Kakak aku yang cantiknya sebelas dua belas sama aku,” ucap Daisha yang langsung memeluk erat Daisy yang memang berada di sebelahnya. “Kakak pasti seneng banget kan? Wajah Kakak jadi cantik banget karena mirip aku.”   “Idih.. kepedean banget kamu. Yang ada kamu tau yang mirip aku. Orang aku duluan yang pertama lahir.”   “Kakak nggak tau aja kalau pas di dalam kandungan Mama, sebenernya antrian keluarnya itu aku dulu, baru Kakak. Cuma karena waktu itu aku kasian sama Kakak karena udah nggak sabar pengen keluar, aku ngalah deh dan biarin Kakak untuk jadi yang pertama.”   “Alasan kamu, Dek.. bikin Kakak rasanya pengen jungkir balik deh. Nggak masuk akal. Ngawur. Udah sana jauhan! Aku lagi gerah malah ngerasa makin gerah ini. Sana! Hush! Menjauhlah!”   “Haha, oke-oke. Aku mau mulai sesi curhatnya. Kakak udah dapet kan angket pemilihan jurusan?”   “Udah.”   “Udah Kakak isi?”   “Belum. Ini ceritanya aku pengen ajak kamu buat ngisi angketnya bareng-bareng.”   “Demi apa? Kok kita bisa sehati banget ya, Kak? Aku juga sekarang, niatnya mau ngajak Kakak buat isi bareng-bareng. Ternyata kita bener-bener kembar ya, Kak.”   “Ngomong apa sih kamu? Nggak jelas banget. Kita kan memang kembar, wkwk. Dasar lebay! Sebentar, Kakak ambil dulu kertas dan alat tulisnya. Punya kamu udah dibawa?”   “Udah dong. Taraaa,” ucap Daisha semangat seraya menunjukkan kertas yang ia maksud ke hadapan sang Kakak.   “Oke, sebentar aku ambil dulu punyaku.” Daisy bangkit berdiri kemudian bergegas menuju  tempat di mana ia menaruh tas sekolahnya tadi untuk mengambil kertas angket miliknya.   “Kakak mau ambil jurusan apa?” tanya Daisha penasaran, saat dilihatnya Daisy sudah kembali dengan sebuah kertas yang ia pegang.   “Mmm, Kakak fix mau ambil IPS sih. Kamu kan tau sendiri kalau Kakak dari dulu cita-citanya pengen jadi mahasisiwi seni biar bisa jadi musisi. Kalau kamu sendiri mau ambil jurusan apa? Dari dulu Kakak nggak dibolehin tau apa cita-cita kamu. Kamu pendem sendiri. Padahal pengen Kakak bantu doain biar kita berdua bisa sama-sama berhasil gapai cita-cita kita.”   “Wah... Kakak keren. Semoga bisa terwujud ya. Pokoknya harus aku yang jadi orang pertama buat liat dan menikmati hasil karya Kakak sebelum Kakak kasih tau ke yang lain! Kalau nggak awas lho! Cari masalah namanya.” Daisha berucap serius yang diakhiri dengan nada mengancamnya. “mm, soal itu.. bukan apa si, Kak. Aku hanya malu aja buat ngasih tau Kakak, Mama, dan Ayah. Aku masih nggak yakin kalau cita-cita aku itu bakal terwujud.”   “Kamu ini.. jangan pesimis dulu! Kamu harus yakin. Apalagi kamu anaknya rajin dan pintar. Setinggi apa pun itu cita-cita kamu, Kakak yakin kamu akan berhasil mendapatkannya. Kamu juga sangat bersungguh-sungguh kan orangnya, kalau udah mutusin sesuatu? Kamu harus ingat soal pepatah ini. Barang siapa yang bersungguh-sungguh, pasti dia akan mendapatkan hasilnya. Jadi tenang aja. Nggak perlu takut, ragu, nggak yakin, atau apalah itu. Yang penting kamu terus berusaha dan berdoa.” Daisy berucap serius memberikan petuahnya kepada sang Adik, yang kemudian terkekeh pelan saat ia telah menyadari semua isi ucapannya. “haha, aku sok bijak banget yaa.”   “Sepuluh jempol buat Kakak,” ucap Daisha setelahnya, seraya memerlihatkan kedua jempol tangannya ke hadapan sang Kakak. “Kakak memang mantap!”   “Sepuluh apanya? Yang kamu tunjukkin cuma dua jempol.”   “Kakak.. Masa nggak ngerti sih maksud aku ngomong itu apa. Intinya Kakak hebat. Mantap. Soal jempol, ya kan jempol aku cuma dua. Nggak deng. Ada empat sama dua jempol kaki. Apa perlu aku pinjem dua jempol milik Mama dan Ayah? Supaya lengkap jadi sepuluh jempol?”   “Nggak usah. Kamu ini lebay sekali.”   “Kakak yang mulai! Kakak yang buat aku jadi lebay begitu.”   “Oke-oke. Kita kembali ke obrolan awal. Ngobrol sama kamu banyak dramanya ternyata.”   “Kakak baru tau?”   “Suttt! Udah! Jadi kamu mau isi apa? Mau pilih jurusan apa? Kakak tebak, pasti IPA kan?”   “Kenapa bisa nebak begitu?”   “Soalnya kamu rajin.”   “Ehhh, emang anak rajin udah pasti IPA? Anak IPS nggak ada yang rajin? Parah, parah.. berarti maksud Kakak, anak IPS itu males-males orangnya?”   “Ya nggak gitu juga. Udah deh, kamu mau ngisi apa? Jangan muter-muter dan sok main rahasia-rahasiaan ya sama Kakak. Tinggal kasih tau aja repot banget.”   “Hehe, maaf deh maaf. Tapi janji ya, setelah aku kasih tau Kakak, Kakak harus selipin namaku di setiap doa Kakak. Supaya aku bisa mewujudkan cita-cita aku. Kita berdua bisa sama-sama menggapai impian kita,” ucap Daisha sedikit ragu, karena ia yang memang masih tak yakin akan keberhasilannya dalam menggapai cita, seraya mengarahkan jari kelingkingnya ke arah sang Kakak.   “Janji,”ucap Daisy mantap, sesaat setelah ia menautkan jari kelingkingnya ke jari kelingking sang Adik. Menggoyangkan jari kelingking mereka seraya melempar senyum satu sama lain.   “Baiklah. Aku akan kasih tau Kakak sekarang. Tapi please, jangan ketawa atau apalah itu ya kalau menurut Kakak cita-cita aku itu terdengar nggak cocok di aku, mustahil dan semacamnya untuk aku dapetin.”   “Iya, kamu tenang aja. Sebagai saudara kan kita harus saling dukung. Jadi?”   “Jadi sebenarnya dari dulu itu aku bercita-cita ingin menjadi—“   “Daisy.. Daisha.. sayang-sayangnya Mama...”   Tok.. tok.. tok..   “Kalian berdua lagi kumpul di dalem kan?” Suara sang Mama yang terdengar sangat menggelegar, juga suara ketukan pintu yang terdengar sangat nyaring, membuat Daisha menghentikan ucapannya. Mengetahui sang Mama sedang berada di balik pintu, membuat Daisha langsung bangkit berdiri dan bergegas untuk membukanya.   “Iya, Ma?”   “Turun sebentar yuk ke bawah. Kita ngobrol bareng sama Ayah juga. Family time. Kebetulan Mama baru selesai buat cemilan kesukaan kalian,” ucap Sela—Mamanya Daisy dan Daisha dengan sangat bersemangat. Terlihat sekali dari binar wajahnya kalau ia sedang sangat bahagia dan antusias akan sesuatu.   “Tumben banget, Ma. Mau ngomongin apa memangnya?”   “Iya tumben. Pakai acara bikinin cemilan segala lagi. Kita mau punya Adik ya?” sahut Daisy seraya memandang penasaran ke arah sang Mama.   “Adik apanya? Udah ah. Yuk kita turun. Kalian berdua nanti juga tau apa isi obrolan kita nanti. Cepetan ya! Mama turun duluan. Kalian jangan pake lama,” ucap sang Mama final yang kemudian kembali pergi meninggalkan kamar Daisy.   “Kira-kira Mama sama Ayah mau ngomongin apa ya, Sha? Perasaan Kakak mendadak nggak enak nih.”   “Sama, aku juga. Ya udah yuk? Kita mending langsung turun aja ke bawah. Nanti juga bakal tau. Jangan sampai Mama marah dan nyusulin kita ke sini karena nggak buru-buru turun,” ajak Daisha yang segera diangguki oleh sang Kakak. Keduanya berjalan beriringan meninggalkan kamar Daisy, menuju lantai bawah tempat kedua orang tua mereka menunggu kedatangan mereka.   “Sini duduk. Sebelum kita mulai ngobrol, kalian mau Mama bikinin minum apa?" sambut sang Mama dengan hangat, kala Daisy dan Daisha tiba di ruang tengah.   Mendapati tawaran itu, dan mengetahui fakta bahwa sang Mama kini terlihat berbeda karena terkesan sangat perhatian, membuat perasaan Kakak dan Adik itu mendadak tak enak. Secara kompak mereka berucap curiga dalam hati. “Wah, Mama pasti lagi ada maunya nih. Biasanya juga sekarang lagi asyik nonton sinetron. Kira-kira ada apa ya?”   “Nggak usah deh, Ma. Mau ngobrolin apa nih? Keliatannya serius banget. Mama nggak lupa kan kalau sekarang sinetron kesayangan Mama udah tayang?” Daisy yang sudah tak sabar langsung membuka percakapan. Mengarah kepada inti dari ucapan family time yang dimaksud sang Mama saat menemui mereka tadi. Karena sebetulnya ia tak begitu yakin akan kebenaran dari ucapan itu.   “Soal itu mah gampang. Sekarang zaman udah canggih. Tinggal cari di internet juga pasti ketemu tayangan ulangnya. Jadi kalian nggak mau Mama buatin minum dulu nih?”   “Nggak usah, Ma.”   “Ya udah kalau kalian nggak mau,” ucap sang Mama yang kini mulai berucap serius, seraya menatap Daisy dan Daisy secara bergantian. “Jadi tujuan Mama mengumpulkan kalian berdua di sini, karena sore tadi Mama dapat telepon dari wali kelas kalian. Katanya besok kalian disuruh nyerahin angket pilihan jurusan. Kok Mama nggak tau soal itu? Kalian nggak mau diskusi dulu sama kita?”   “Bu-bukan begitu, Ma. Kan kalian berdua sibuk. Sangat-sangat sibuk malah. Dan kami pikir, kalian berdua pasti akan selalu dukung apa pun pilihan kami. Jadi kita niatnya mau buat kejutan saat keputusan akhirnya keluar.”   “Sayang.. sesibuk apa pun kita, kalian berdua akan selalu menjadi nomor satu untuk kami. Jadi jangan diulangi lagi ya. Kita berdua ingin selalu ada dan tau tentang kalian berdua.”   “Iya, Ma. Maaf.”   “No problem, Darling. Mama hanya mengingatkan aja tadi. Jadi, kalian berdua pilih jurusan IPA kan untuk jadi pilihan prioritas kalian?”   Mendapati pertanyaan itu, Daisy dan Daisha saling bertukar pandang. Seperti sedang berdiskusi dalam diam lewat tatapan mata.   “Jangan bilang kalian menempatkan jurusan selain IPA di urutan pertama? Mama nggak mau dengar kalau itu!”   “Tapi, Ma—“   “Sayang-sayangnya Mama.. sejak kecil kan Mama selalu cerita soal hebatnya profesi dokter. Kalian nggak tertarik? Mama pikir, dengan seringnya Mama menceritakan itu kalian berdua jadi kepengen dan termotivasi.”   “Semua profesi itu kan hebat, Ma. Apa pun itu,” cicit Daisy tak setuju.   “Iya, tapi tetep aja. Mama pengennya kalian berdua jadi seorang dokter. Bukan yang lain.”   “Ya udah si, Ma. Kalau anak-anak nggak mau jangan dipaksa. Biarkan mereka memilih sesuai dengan minat dan bakat mereka.” Sang Ayah yang sejak tadi memilih untuk menjadi penyimak, kini mulai mengucapkan pendapatnya.   “Nggak bisa, Yah. Mama udah mempersiapkan dan merancang semuanya. Mama bahkan sudah memilih nama universitas paling bagus untuk mereka beserta dana yang dibutuhkan. Di sana, fakultas kedokterannya sangat menonjol. Lulusannya juga banyak sekali yang menjadi dokter sukses dan terkenal. Pokoknya Mama nggak mau tau. Kalian berdua harus daftar IPA! Soal minat dan bakat, Mama yakin kalian punya walaupun hanya sedikit. Kalian berdua anak pintar. Lama kelamaan juga pasti akan terbiasa dan menikmati.”   “Mana bisa gitu, Ma.” Protes Daisy yang langsung bangkit dari tempat duduknya.   “Kamu berani melawan, Mama?”   “Fine, aku bakal turutin kemauan Mama. Sekarang Mama udah puas buat maksain kehendak Mama? Aku pamit ke kamar,” ucap Daisy yang langsung pergi meninggalkan ruang tengah. Meninggalkan kedua orang tua juga sang Adik yang sejak tadi hanya diam.   “Kamu gimana, Sayang? Demi Mama, kamu mau kan?”   “Oke, kalau itu yang Mama mau. Aku akan pilih IPA sebagai pilihan nomor satu,” ucap Daisha pelan setelah menghela napas panjang. Sepertinya pilihan ini juga amat sangat berat untuknya.   “Kamu memang putri Mama yang sangat penurut, Sayang.”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.5K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.0K
bc

My Secret Little Wife

read
98.4K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook