Bab 3

1015 Words
Terlihat seorang wanita muda berpakaian seksi telah keluar dari gedung apartemen, dia menoleh ke kiri dan kanan seperti tengah mencari sesuatu. Dari raut wajahnya, dia terlihat kesal karena tak melihat seseorang yang tengah dicarinya. Setelah sepuluh menit menunggu, dia memutuskan untuk kembali ke kamarnya, karena orang yang ditunggunya tak kunjung datang. Langkahnya terhenti, samar-samar terdengar suara seseorang sedang memanggilnya. "Bianca ...." Bianca menoleh, melihat siapa yang sudah memanggilnya. Dia langsung cemberut, begitu tahu dari mana asal suara itu. Dia pun berjalan menghampiri pria itu. "Kamu tahu nggak, sudah sepuluh menit aku nungguin kamu!" protesnya jengkel. "Apa kamu mau aku mati kesal di sini?" "Ya enggak dong, masa cewek secantik ini mati sia-sia karena kesal. Tadi siang saja aku baca balasan pesan kamu yang super singkat, biasa aja tuh, nggak kesal sama sekali," ucapnya, menaikturunkan alisnya. "Oh, jadi kamu mau balas dendam? dasar ya, awas kamu, Rey." Bianca maju, hendak mencubit Rey. Bukanya lari, Rey yang melihat Bianca akan mencubitnya justru maju, tanpa aba-aba menggendong Bianca ala bridal style langsung membawanya ke mobil. Bianca yang kaget dengan perlakuan Rey hanya diam di dalam gendongannya, mendekatkan wajahnya di ceruk leher Rey, menghirup aroma maskulin pria itu. Mendapat perlakuan semanis itu, membuat semburat merah jambu di pipinya, rasa kesal Bianca langsung lenyap. Rey mengajaknya makan di restoran langgan@n mereka. Setelah adegan Rey yang menggendongnya, suasana di dalam mobil itu terasa canggung, hanya terdengar alunan musik yang mengiringi perjalanan mereka. Penampilan Bianca malam ini sangat memesona. Selain memiliki paras yang cantik, lekuk tubuh indahnya juga membuat para lelaki tergila-gila. Bianca mengenakan dress pendek berwarna hitam di atas lutut, dengan potongan yang memperlihatkan sebagian punggung dan pundaknya. Sepasang kaki jenjangnya ditopang sepatu hak tinggi yang membuat penampilannya semakin terlihat indah. Setelah memarkirkan mobilnya, Rey menggandeng tangan Bianca masuk ke restoran. Tak lupa dia juga melepas jasnya dan memakaikan nya ke tubuh Bianca untuk menutupi bagian punggung kekasihnya yang terekspos. Rey memilih tempat paling ujung, karena dia tak suka para pria itu menatap kekasihnya dengan tatapan lapar. Beberapa menit kemudian, seorang pelayan datang membawakan pesanan mereka. Mereka mulai menyantap hidangan di meja itu satu persatu. "Bianca, besok Mama suruh kamu main ke rumah." "Aku nggak bisa, Rey. Aku belum siap." Rey menggenggam tangan Bianca dan mengelusnya berusaha membujuk sang kekasih, "Tolonglah, Bi, kali ini saja." "Ya sudah, aku mau, besok pulang kerja kamu jemput aku, ya?" "Siap, Tuan Putri," ucapnya tersenyum lebar. Rey dan Bianca pun melanjutkan acara makan malam mereka. Rey merasa senang karena Bianca akhirnya mau menuruti permintaan Rey, tanpa harus ada drama panjang. *** "Semua pintu sudah kamu kunci, Vit?" "Sudah, Ran, yang lain juga sudah pada pulang. Kamu pulang bareng aku apa Angga?" Vita yang sedang mengambil jaket dari lokernya menoleh, menunggu jawaban Rani. "Aku bareng kamu saja, soalnya ..." "Kamu pulang bareng aku saja, ya? soalnya ada yang mau aku omongin," sela Angga. Belum sempat Rani menyelesaikan kalimatnya, Angga ternyata sudah ada di belakangnya. Membuat Rani seketika diam. "Cie cie, ada yang lagi PDKT nih?" ledek Vita. "Apaan sih kamu, udah sana pulang. Keburu larut malam, Rani biar aku yang antar." "Ya sudah, aku pulang duluan ya? jagain sahabat aku, jomblo pulang dulu," pamit Vita cekikikan, mulai menstarter sepeda motor miliknya. "Tapi, Ngga, aku nggak enak ngerepotin kamu terus." "Kamu nggak ngerepotin kok, aku malah seneng bisa nganterin kamu. Ayo naik," suruh Angga, menarik tangan Rani menuju sepeda motornya. Saat perjalanan pulang, entah kenapa suasana terasa canggung. Tidak ada yang berbicara, keduanya hanya diam. Rani lebih memilih melihat beberapa kendaraan berlalu lalang, hingga keduanya sampai di tempat tujuan. "Makasih ya, Angga, sudah nganterin aku sampai kontrakan," ujar Rani, mengembalikan helm Angga yang tadi dipakainya. Setelah itu Rani berjalan masuk ke rumahnya. Belum sempat Rani masuk ke dalam, terdengar suara langkah kaki membuatnya seketika menoleh. "Tunggu, Ran," ucap Angga menarik tangan Rani, kemudian menggenggamnya. "Ada apa, Angga? jangan begini, nggak enak dilihat orang lain." Rani berusaha melepaskan genggaman tangan Angga. Akan tetapi tidak bisa, genggaman nya terlalu kuat. "Sebenernya aku suka sama kamu, Ran. Sejak pertama kamu masuk kerja aku sudah tertarik padamu," ucap Angga, "Kamu mau kan jadi pacarku?" tanyanya penuh harap. "Maaf, Ngga, aku nggak bisa, aku nggak ada rasa sama kamu. Lagipula aku mau fokus kerja dulu, untuk melunasi hutang ayahku. Ya sudah, aku masuk kedalam dulu." Rani melepaskan tangannya dari genggaman Angga. Mendengar penolakan dari wanita yang dicintainya, membuat hati Angga sakit, seperti ditikam sebuah belati. Sakit, tapi tak berdarah. Angga berdiri seperti orang linglung, bertanya-tanya dalam hati, apa kekurangan nya hingga Rani menolak perasaannya. Saat menyadari Rani sudah melangkah jauh darinya, Angga berteriak. "Aku nggak akan menyerah, Ran! aku akan berusaha dapetin hati kamu!" Rani yang mendengar teriakan Angga, menoleh sebentar, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan kemudian masuk ke dalam kontrakannya. Saat di dalam, Rani yang merasa penasaran, mengintip Angga dari balik celah korden. Terlihat di sana, Angga berjalan menuju sepeda motornya yang terparkir di dekat jalan masuk gang. Rani mengelus dad@nya lega, merasa bersyukur karena Angga sudah pergi dari kontrakannya. Saat akan ke kamar mandi, terdengar suara teriakan penjual bakso, Rani yang merasa lapar segera mengambil mangkuk dari dapur dan berlari keluar. Kebetulan ada ibu-ibu yang juga sedang membeli bakso, awalnya Rani ingin menyapa kedua ibu itu, tapi setelah mendengar ibu-ibu itu sedang bergosip ria tentangnya, dia pun jadi kesal. Rani kembali masuk ke kontrakannya, mengurungkan niatnya untuk membeli bakso, mendengar gosip dari ibu-ibu tadi sudah membuatnya kenyang. 'Mulut tetangga memang sangat berbahaya, mereka selalu mengatakan ini, itu, tanpa tahu kebenaranya, mulut yang sangat beracun' gumamnya pada diri sendiri, memijit kedua pelipisnya. Rani yang merasa lelah, merebahkan diri di tempat tidur kesayangannya, mencoba memejamkan mata. Tapi sayangnya, ucapan Angga selalu terngiang di telinganya, membuatnya serba salah. Rani yang merasa kesal, bangkit dari tempat tidurnya, berjalan menuju dapur mengambil segelas air putih, meminumnya sampai habis dan duduk di meja makan merenungi nasibnya. Dia teringat kembali ucapan Angga, meski tak ada perasaan dengannya, tapi Rani banyak berhutang budi padanya. Rani memutuskan kembali ke kamar, membaringkan tubuh lelahnya di atas tempat tidur, setiap kali teringat ucapan Angga, dia mengacak rambutnya frustasi. Pandanganya menatap lurus ke langit-langit kamarnya, berharap rasa kantuk segera datang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD