Aku dan Jo menunggu dalam diam, memberi ruang bagi Chatrin yang masih berusaha memproses semuanya. Ia tampak lebih tenang sekarang—tidak lagi dipenuhi rasa takut seperti sebelumnya, bahkan terlihat lebih lega setelah menerima kesempatan untuk merasakan kedekatan seperti yang kami miliki.
Meski begitu, aku tahu tidak mudah baginya menerima hal baru yang muncul di luar batas yang biasa ia kenal. Aku menggenggam tangan Chatrin, berharap ia bisa merasakan dukunganku di tengah kebingungannya.
Begitu suasana kamar mulai tenang lagi dan Chatrin bersandar di bahuku, ponselnya bergetar pelan.Ia sempat terdiam, menatap layar, lalu ekspresinya berubah—bukan panik, tapi jelas ada sesuatu yang mendesak.
Ia menoleh ke aku dan Jo secara bergantian.
“Mbak… Mas… Mama chat, minta aku pulang sebentar.”
Suaranya pelan dan gugup, seperti takut mengusik ketenangan yang baru saja ia rasakan.
“Kenapa?” tanyaku dengan lembut.
Chatrin menelan ludah.
“Besok Mama mau berangkat ke rumah Mas Thomas. Mau jaga Keisha. Katanya Mama takut lupa kasih kunci rumah ke aku. Kalau besok pagi baru ngambil, takut nggak sempat… soalnya Mama harus berangkat jam lima.”
Aku melihat Jo mengangguk. Itu memang masuk akal.
“Kamu bakal balik, kan?” tanyaku hati-hati, memastikan ia tidak merasa ditinggalkan.
“Iya… sebentar aja kok Mbak. Ambil baju, ambil kunci. Terus aku balik ke sini.”
Ia buru-buru menambahkan,
“Aku tetap mau nginep, Mbak. Mama cuma… ya, kamu tahu kan orang tua. Kalau sudah panik suka begitu.”
Ada senyum kecil di ujung bibirnya, meski matanya masih terlihat lelah setelah semua yang ia alami malam itu.
Jo bertanya pelan,
“Mau aku antar?”
Chatrin langsung menggeleng cepat.
“Nggak usah, Mas. Kalau aku pulang dianterin… nanti Mama nanya-nanya. Aku tadi sudah bilang ke Mama kalau aku mau nginep di rumah Mbak Rara sampai besok. Jadi aku pulang bentar, terus balik ke sini lagi.”
Ia mencoba tertawa kecil, tapi aku tahu ia hanya berusaha tetap tenang. Lalu aku menyentuh lengannya.
“Trin… kamu yakin bisa sendiri? Kamu masih agak gemetar.”
Chatrin menatapku lama, seolah pertanyaanku membuatnya sadar akan kondisi tubuhnya sendiri.
Ia menarik napas perlahan, lalu mengangguk.
“Aku bisa, Mbak. Aku cuma… mau mastiin Mama nggak mikir yang aneh-aneh.”
Aku bisa merasakan campuran perasaan dalam suaranya—takut membuat masalah, takut memancing rasa curiga, tapi juga takut meninggalkan ruangan ini, tempat yang baru saja membuatnya merasa aman.
Chatrin berdiri perlahan dan mengambil legging serta celana dalamnya yang tercecer di lantai. Tentu saja itu ulah Jo yang melepaskan keduanya dari tubuh Chatrin dengan penuh gairah lalu membuangnya sembarangan. Ia pun memakainya kembali, dengan gerakan yang masih agak canggung tapi berusaha tetap tenang.
Setelah itu, ia keluar kamar untuk mengambil kaos dan bra yang tergeletak di sofa ruang tengah—juga hasil ulah Jo yang tadi tidak terlalu memikirkan di mana ia meletakkannya. Chatrin memakainya dengan cepat, terlihat ingin segera bersiap tanpa memperpanjang momen yang sudah cukup membuatnya gugup.
Begitu Chatrin melewati gerbang dan menaiki motornya, aku masih berdiri beberapa detik di depan pagar, memastikan ia bisa menjaga dirinya sendiri. Lampu jalan membuat bayangannya memanjang di atas aspal. Malam itu terasa berbeda—bukan tegang, bukan panas, hanya ada hawa yang lembut dan pelan.
Begitu bayangan Chatrin menghilang, aku menutup pagar dan pintu yang sengaja kubiarkan tidak terkunci. Aku ingin saat Chatrin kembali nanti, ia bisa langsung masuk tanpa harus mengetuk pintu.
Aku menarik napas pelan untuk menata pikiranku, lalu melangkah masuk kembali ke rumah. Cahaya redup dari ruang tamu menyapu lantai dan membuat suasana terasa lebih senyap dari sebelumnya.
Saat aku kembali masuk ke kamar, Jo duduk di tepi ranjang dengan tubuh sedikit membungkuk ke depan. Cahaya lampu kamar menyorot wajahnya, membuat ekspresinya terlihat lebih tenang, tetapi juga tampak lelah.
Begitu aku masuk, Jo mengangkat wajah.
“Ra,” katanya pelan, hampir seperti gumaman,
“kemarin kamu bilang paket yang aku minta sudah sampai, kan?”
Aku butuh sepersekian detik untuk mengingat. Oh. Paket itu. Aku lalu mengangguk.
“Iya. Sudah aku buka juga kemarin. Ada di lemari.”
Jo menatapku sebentar. Tatapannya berbeda—bukan menggoda atau intens seperti biasanya, terasa lebih halus. Ada perhatian, ada kepedulian, dan sedikit keinginan memastikan aku apakah aku nyaman bersamanya.
“Tolong ambilin dong Ra,” perintahnya dengan lembut.
Aku mengangguk lalu beranjak untuk mengambil alat itu. Jantungku berdetak dengan cepat, karena Jo jarang menunjukkan sisi ini—sisi yang ingin memastikan aku nyaman tanpa harus menjelaskan terlalu banyak.
Paket berisi vibrator yang Jo minta aku beli kemarin tidak terlalu besar. Benda itu bukan hal asing bagiku, apalagi Centia juga punya yang serupa. Jo memintanya karena hari Minggu kemarin ia sempat memakai milik Centia untukku, dan sekarang ia ingin aku memiliki barangku sendiri—sesuatu yang lebih pribadi.
Setelah mengambilnya, aku mendekat kembali ke sisi Jo lalu menyerahkan kotak itu tanpa mengatakan apa-apa. Ia menerimanya begitu saja dan menatapku sebentar, seolah sudah mengerti tanpa perlu bicara.
Saat aku semakin dekat, Jo lalu menarik dan mendudukkanku di pangkuannya. Aku langsung menyandarkan wajah di dadanya, merasakan napas dan detak jantungnya yang hangat. Ia tidak mengatakan apa pun, tapi dari caranya memegang kepalaku sudah cukup membuatku paham apa yang akan ia lakukan.
Begitu aku duduk di pangkuannya, tubuh Jo terasa hangat—hangat yang membuatku bisa menarik napas lega. Kepalaku tetap bersandar di dadanya, merasakan ritme jantungnya yang stabil, seperti ia sengaja menahan diri agar aku tidak merasa terbebani setelah semua yang baru saja terjadi.
Jo tidak mengucapkan apa-apa. Tangannya berada di punggungku, diam namun tetap ada, seolah ia hanya ingin memastikan aku kembali berada di tempat yang membuatku merasa utuh. Dan dengan gerakan yang sangat pelan, sangat hati-hati, ia menurunkan wajahnya—dan mencium bibirku.
Aku menutup mataku, merasakan hangatnya bibir Jo menyentuh bibirku. Aku membuka mulut sedikit, memberi tanda bahwa ia boleh mendekat lebih dalam. Lidahnya menyentuh lidahku dengan gerakan pelan dan hati-hati, seolah tak ingin membuatku gugup setelah semua yang terjadi malam ini.
Aku merasakan hangatnya tangan Jo menyelinap di bawah kaosku, menyusuri punggungku dengan gerakan penuh perhatian. Ia menelusuri kulitku sedikit demi sedikit, tanpa tergesa atau mencoba bergerak terlalu jauh. Aku membiarkan ia mengatur semuanya, karena aku tahu ia hanya ingin membuatku aman dalam pelukannya.
Keheningan kamar hanya terputus oleh bunyi derit lembut ranjang ketika Jo bergerak dan membuatku kini berbaring di bawahnya. Ia menarik kaosku ke atas, lalu melepas bra yang kupakai dan meletakkannya di lantai tanpa banyak suara. Tubuh kami akhirnya bersentuhan tanpa halangan di bagian d**a, membuatku merasakan hangat kulitnya dan detak jantungnya yang stabil, seperti menekan pelan ke dadaku.
Tubuh Jo yang telanjang kini berada di atas, dan aku bisa merasakan hangat tubuhnya menyelimuti tubuhku. Suhunya pas—tidak terlalu panas atau terlalu dingin—hanya hangat yang membuatku merasa seakan dibungkus selimut. Ia menatapku dengan pandangan lembut, terasa penuh perhatian dalam setiap gerakannya.
Ia menyentuh kulitku dengan lembut, mengusapnya dengan amat pelan seolah tak ingin membuatku terkejut. Jo memulai dari wajahku, menyingkirkan rambut yang menutupi pipi, lalu turun ke leher, d**a bagian atas, dan perutku, sebelum kembali ke payudaraku. Sentuhan halusnya di area itu membuatku merinding, bukan karena kaget, tapi karena ada rasa hangat yang sulit dijelaskan.
Tangannya yang hangat perlahan menyentuh dan meremas payudaraku dengan gerakan memutar lembut. Sentuhannya mengikuti ritme yang membuatku menahan napas, sampai tubuhku sedikit bergerak mendekat ke arahnya tanpa kusadari. Napasku mulai tak teratur saat ia menunduk dan mencium bagian bawah leherku, sementara tangannya tetap membuatku merasakan gelombang hangat yang menyebar pelan di seluruh dadaku.
Aku mendongakkan kepala, memberi Jo ruang untuk mencium leherku lebih dalam. Bibirnya yang hangat bergerak dari atas ke bawah, membuat tubuhku menegang ketika ia tiba di bagian yang paling peka di leherku. Tanpa bisa menahannya, aku mengeluarkan suara kecil karena sensasi itu terasa begitu dekat dan intens.
“Ah—Jo… Geli!”
Ia tersenyum tipis di kulit leherku, napasnya hangat sebelum giginya menyentuh kulitku dengan gigitan kecil yang membuatku menghirup napas cepat.
“Geli? Atau suka?” godanya dengan suara rendah.
Tangan yang masih berada di bagian atas tubuhku bergerak lebih mantap, sentuhannya tepat di area yang paling peka sehingga aku tidak bisa menahan suara yang keluar dari tenggorokanku.
“Geli—Jo… Tapi aku suka…” kataku pelan, setengah malu.
Jo mengangkat kepalanya sedikit untuk melihat reaksiku—tatapannya dalam, penuh keinginan, tapi aku masih bisa merasakan kesabarannya menahan semua itu. Tangan kirinya bergerak turun dari dadaku ke perut, lalu lebih rendah lagi… sampai ia menyentuh vaginaku, area yang sudah terasa begitu peka sejak awal.
Aku mencengkeram sprei kuat-kuat saat ia mulai bergerak lebih dalam dengan sentuhan yang membuat napasku tersengal, meski ia baru memakai sedikit dari ujung jarinya. Gerakannya lembut tapi membuatku terkejut karena datangnya begitu tiba-tiba, membuatku mengerang ketika jari-jarinya masuk perlahan.
“Ahhh—Jo…” suaraku pecah tanpa bisa kutahan.
Jo masih berada di posisinya, tubuhnya hangat menutupi sebagian tubuhku sambil membelai kulitku dengan sentuhan pelan. Aku masih bisa merasakan gerakan jarinya yang perlahan masuk lebih dalam, membuat napasku naik turun tidak teratur. Dari tatapannya, aku bisa melihat jelas keinginan yang ia tahan—bukan karena ia menekan diri, tapi karena ia ingin memastikan aku benar-benar nyaman.
Aku tahu apa yang sebenarnya ingin ia lakukan setelah ini, tapi ada bagian diriku yang ingin membiarkan momen ini berjalan lambat. Aku ingin melihat sampai sejauh mana ia bisa menunggu, ingin memperlihatkan padanya bagaimana rasanya menahan sesuatu yang ia inginkan.
Jo perlahan bergeser dari posisinya. Ia lalu berdiri di sisi ranjang, meraih kotak kecil yang memang tergeletak di dekat kami. Dari dalamnya, ia mengambil vibrator berbentuk p***s warna merah muda. Senyum tipis muncul di wajahnya saat ia kembali menatapku, seolah sudah membayangkan apa yang ingin ia lakukan selanjutnya.
Jo memainkan benda itu di tangannya dengan gerakan perlahan, matanya terus mengawasi setiap gerakanku. Aku merasakan hangat tubuhnya ketika ia berbaring di sampingku lagi, mendekat cukup jauh hingga napasnya terasa di pipiku, sebelum ia mengarahkan benda itu ke bagian dalam pahaku.
“Ra…” suaranya rendah dan serak,
“kamu mau aku pakai ini sekarang… atau nanti?”
Tangannya menelusuri perutku, turun perlahan hingga menyentuh bagian yang membuat tubuhku tegang tanpa bisa kutahan. Sentuhannya halus, tapi selalu tepat di titik yang membuatku sulit bernapas stabil.
Vibrator yang ia pegang mulai bergetar pelan saat ujung benda itu menyentuh kulit pahaku. Getarannya halus tapi jelas, dan bunyinya yang rendah seakan memberi tahu apa yang mungkin akan terjadi setelah ini.
Aku tidak menjawab, hanya mengangguk pelan, dan itu membuat Jo tersenyum lembut sebelum ia membawa benda itu lebih dekat ke vaginaku. Ia tidak langsung menggunakannya, malah memainkan gerakannya, seolah ingin membuatku menunggu sedikit lebih lama. Aku bisa merasakan tubuh Jo begitu dekat denganku, hangat dan tenang, sementara ia memastikan semuanya siap sebelum benar-benar memulai.
“Mmm… kita bisa coba sekarang Jo. Tapi aku mau, kalau kamu yang masukin…”
Aku menunggu, ingin tahu apa yang akan ia lakukan setelah ini dan bagaimana ia akan memulai.
“Ternyata… p*****r kecil ini sangat nakal.”
Jo menatapku dengan intens, matanya terlihat lebih dalam di kegelapan kamar. Ia menekan vibrator itu ke vaginaku—sentuhan ringan yang membuatku tersentak pelan karena getarannya menyebar cepat. Getaran itu meningkat sedikit ketika ia memutarnya perlahan, dan aku tidak bisa menahan erangan yang keluar begitu saja.
“Jo… masukin,” bisikku lirih, menariknya lebih dekat agar ia tahu aku siap dengan apa yang ingin ia lakukan.
Dengan senyum puas di wajahnya, Jo akhirnya mulai memasukkan vibrator itu perlahan—sedikit demi sedikit, membuat tubuhku menegang saat sensasinya merayap naik. Tangannya tetap memegang pinggangku dengan kuat, seakan ingin memastikan aku tidak menghindar dari apa yang sedang ia berikan.
“Aahhh… Jo…” suaraku pecah tanpa bisa kutahan ketika benda itu sudah berada cukup dalam hingga getarannya terasa memenuhi bagian terdalam vaginaku.
Suara halus dari getarannya kini terdengar jelas di kamar, menyatu dengan ritme pelan yang ia buat saat tangannya menggerakkannya maju mundur dengan hati-hati.
Suara getaran vibrator itu bercampur dengan napasku yang tidak teratur, membuat udara kamar terasa hangat. Jo menatapku dengan rasa puas yang jelas terlihat, lalu menggerakkan benda kecil itu sedikit lebih cepat, menyesuaikan iramanya dengan setiap reaksi yang tubuhku berikan.
“Lihat kamu…” bisiknya dengan suara serak,
“Kayaknya sedikit lagi… aku lihat kamu mau keluar. Udah nahan dari tadi ya kok cepet?”
Aku hanya bisa mengangguk tanpa berkata apa-apa. Sensasi di tubuhku terlalu kuat untuk di tolak.
Tangannya yang lain meraba payudaraku, meremas dengan sedikit kasar sebelum mencubit putingnya hingga membuat tubuhku melengkung. Getaran dari vibrator terasa semakin dalam—seperti sengatan listrik yang terus menusuk bagian paling sensitif dari vaginaku.
Aku menggigit bibir bawahku ketika gelombang pertama o*****e mulai naik. Pandanganku mulai berkabut, bukan karena air mata, tapi karena ketegangan yang terus naik tanpa bisa kuhentikan. Tanganku meremas sprei erat, mencari sesuatu untuk menahan gelombang perasaan yang tiba-tiba datang begitu kuat.
“Jo! A-Ah—!”
Suaraku pecah begitu saja, seolah ada sesuatu yang meledak dari dalam diriku. Sensasi kuat itu datang tiba-tiba, menghantamku seperti gelombang besar di tengah malam, membuat tubuhku menegang tanpa bisa kutahan.
Aku terbaring lemah, napasku masih belum stabil setelah sensasi hangat yang membuat tubuhku gemetaran. Jo bergeser mendekat dan menyisir rambutku yang lembap dengan gerakan pelan.
“Rasanya enak?” tanyanya dengan suara rendah, seakan sudah tahu jawabannya.
Aku mengangguk dengan pelan, masih terengah sambil merasakan sisa getaran vibrator yang perlahan mereda. Jo tersenyum puas, lalu mematikannya dengan hati-hati dan meletakkannya di samping ranjang.
Aku masih bersandar di d**a Jo ketika napasku perlahan kembali normal. Sentuhan tangannya di punggung membuat tubuhku semakin rileks. Setelah beberapa detik dalam keheningan, Jo menunduk sedikit.
“Rara,” katanya pelan, suaranya tetap selembut tadi.
“Kamu punya baby lotion?”
Aku sempat terdiam sebelum menjawab.
“Ada. Di laci kecil dekat meja.”
Jo mengangguk tipis dan menatapku seolah memastikan semuanya baik-baik saja.
“Bisa kamu ambil?” tanyanya.
Dengan gerakan hati-hati, ia melepaskan vibrator yang masih terselip di vaginaku, memastikan aku tetap nyaman saat dia melakukannya. Aku menarik napas pelan, mencoba menstabilkan diri, lalu mengangguk.
“Iya, bentar,” jawabku sambil perlahan bangkit dari dekapannya.
Tubuhku masih sedikit lemas, tapi aku tetap berjalan menuju laci kecil itu. Lalu aku membuka laci perlahan dan menemukan botol baby lotion yang biasanya kupakai. Aku mengambilnya dengan hati-hati, lalu menutup laci sebelum berbalik ke arah Jo. Ia masih duduk di tepi ranjang, menatapku tanpa mengalihkan pandangan.
Aku kembali ke sisinya dengan langkah yang sudah lebih stabil dan menyerahkan botol itu.
“Ini,” kataku pelan.
Jo menerimanya dengan gerakan yang penuh perhatian, lalu kembali menatapku.
Begitu aku menyerahkan lotion itu kepadanya, Jo meletakkan botolnya di sisi ranjang. Ia menatapku sebentar, seolah memastikan kondisiku benar-benar baik, lalu menyentuh pinggangku dengan tekanan sangat lembut.
“Rara… sini,” katanya pelan.
Nada suaranya bukan seperti perintah, lebih seperti permintaan yang membuatku merasa aman dan nyaman. Aku membiarkan ia membimbingku kembali ke tengah ranjang.
Saat jemarinya menyusuri punggungku, Jo perlahan menarikku mendekat. Ia memiringkan tubuhku sedikit sebelum membimbingku berbaring sehingga kini aku tengkurap di atas kasur. Gerakannya tidak terburu-buru. Ia benar-benar menunggu reaksiku sebelum melanjutkan.
Aku merasakan sejuknya seprai menyentuh dadaku, dan kontrasnya membuat hangat di kulitku terasa jelas. Napasku keluar perlahan dan teratur. Dan dalam posisi tengkurap itu, ada rasa seperti aku melepaskan sedikit kendali—bukan karena terpaksa, tapi karena aku mempercayakan diriku padanya dan merasa aman.
Jo duduk di sisi kanan ranjang, dan aku mendengar suara lembut lotion dituangkan ke telapak tangannya. Aroma manis dan menenangkan dari baby lotion langsung memenuhi ruangan.
Jo lalu menuangkan baby lotion yang dingin itu ke anusku, membuat tubuhku menegang tanpa bisa kutahan. Aku spontan menoleh ke arahnya—kaget, bingung, tapi juga ingin tahu apa yang sedang ia lakukan.
“Jo...? Kamu mau apa—”
Tangannya yang sudah licin terbalur baby lotion bergerak ke lubang anusku perlahan—sentuhan itu membuat tubuhku kaku seketika. Napasku tersendat ketika ujung jarinya menekan titik itu—seperti menguji batas, meraba reaksi tubuhku, seolah memastikan apakah aku benar-benar siap.
Gerakannya halus, terkontrol, dan jelas bukan sembarangan, membuatku merasakan sensasi yang samar tapi menegangkan, seperti ia sedang melatihku untuk sesuatu yang membutuhkan lebih banyak keberanian.
Dan kemudian… aku merasakan sesuatu. Bukan jarinya lagi—tapi sesuatu yang jelas lebih besar, lebih hangat, dan lebih padat: p***s Jo. Caranya memasukkan p***s itu di anusku membuat tubuhku langsung menegang. Sentuhannya tidak kasar, tapi sangat jelas apa maksudnya.
“A-Ah! J-Jo?!” Suaraku pecah, bergetar tanpa bisa kutahan.
Jo langsung berhenti, menahan gerakannya seperti sedang memastikan kondisiku sudah siap. Ia diam sejenak, seperti memberi waktu agar aku bisa bernapas lebih stabil, lalu berbisik pelan,
“Tenang,” bisiknya di telingaku sambil satu tangannya meremas pahaku dengan lembut.
“Kalo kamu nggak mau... bilang sekarang.”
Tapi aku bisa merasakannya: kalau aku diam terlalu lama, ia akan melanjutkan. Napasku makin cepat ketika penisnya mulai menekan perlahan anusku—hanya sedikit, tapi cukup membuat tubuhku bereaksi spontan. Ada gugup yang naik cepat di perutku, sementara punggungku ikut menegang tanpa bisa kukendalikan.
Ada rasa aneh: bukan sakit, tapi tekanan dalam yang mencengkeram saraf-saraf paling sensitif—seperti sesuatu yang asing sedang mencoba menyesuaikan diri dengan tubuhku.
Jo lalu berbisik lagi,
“Ra… tarik napas dalem-dalem.”
Suaranya rendah tapi pasti, seolah tahu betapa susahnya mengikuti instruksi itu ketika seluruh sarafku seperti membeku menghadapi sensasi baru ini. Dan kemudian…
“Mmmf–!”
Suara teredam lolos dari mulutku ketika ia menekan sedikit lebih jauh, membuat tubuhku refleks menegang. Rasanya seperti menyentuh batas baru—agak menyakitkan, tapi aku mencoba menahannya.
Jo tidak bergerak; ia hanya diam, menunggu napasku kembali lebih teratur sebelum melanjutkan apa pun. Tubuhnya sangat dekat denganku. d**a dan pinggangnya menempel pada punggungku, membuatku bisa merasakan panas tubuhnya, sampai kulitku ikut lembap oleh keringat kami berdua.
“Ra...” bisiknya tepat di atas telingaku.
Tangannya menggenggam bahu dan pinggangku sedikit lebih kuat—bukan menyakitkan, hanya cukup membuatku sadar akan setiap sentuhan dan jarak tubuhnya yang begitu dekat. Ia tidak bergerak sama sekali, dan dalam keheningan itu aku bisa merasakan detak jantungnya yang cepat, jauh lebih cepat dari biasanya.
Aku bisa merasakan napasnya menyentuh bagian belakang leherku, membuat seluruh tubuhku terlalu sadar akan apa yang sedang terjadi. Tapi Jo tidak mengatakan apa pun lagi. Tangannya tetap berada di pinggangku, seolah sedang menahan dirinya untuk tidak bergerak lebih jauh sebelum aku benar-benar nyaman.
Aku mulai merasa tubuhku lebih rileks. Napasku keluar lebih halus, mengikuti detak jantungku yang kembali ke ritme normal. Jo tetap menunggu—benar-benar menunggu—sampai aku terlihat nyaman. Bahkan tanpa aku bicara, ia seolah sudah tahu apa yang kubutuhkan, dan itu membuatku merasa lebih aman di dekatnya.
Aku perlahan mengangguk, memberinya tanda bahwa aku siap untuk melanjutkan. Jo lalu menarik napas panjang sebelum akhirnya mulai bergerak—pelan sekali, dengan perhatian penuh pada setiap reaksi tubuhku.
Yang kurasakan adalah tekanan yang makin dalam dan bertahap, membuat tubuhku sempat menegang sebelum akhirnya bisa kembali rileks dalam ritme yang sama. Sensasinya kuat, tapi cara Jo melakukannya membuatku merasa tetap dipandu, bukan dipaksa.
“Jo... pelan...” bisikku setengah malu.
Tangannya langsung meremas pahaku dengan lembut, seperti memberi isyarat agar aku tetap tenang.
“Tenang,” bisiknya di belakang leherku.
Suaranya rendah dan stabil, sambil ia terus bergerak memasukkan penisnya dengan ritme yang sangat perlahan—tidak terburu-buru, hanya mengikuti respons tubuhku satu per satu.
Di tengah sensasi baru yang begitu kuat, aku merasakan sesuatu berubah di dalam diriku—seolah tidak ada lagi bagian dari diriku yang tersembunyi darinya. Semua rasa takut, semua batas yang dulu kujaga rapat, perlahan larut di antara kedekatan kami. Dan pada akhirnya, aku merasa telah sepenuhnya terbuka pada Jo, sampai ke setiap bagian paling pribadi dari diriku. Kini sudah tidak ada lagi yang benar-benar masih perawan.