Kami masih berada di kamar, di atas ranjang, dalam posisi yang sama sejak tadi. Jo lalu bergerak perlahan, memastikan setiap inci penisnya masuk dengan perlahan. Ada tekanan yang semakin dalam, terasa kuat dan asing, membuat tubuhku menegang dan punggungku bergetar halus tanpa bisa aku kendalikan.
“Jo... sakit. Tapi, jangan berhenti,” bisikku tanpa sadar.
Tangannya mengencang di pinggangku, seolah permintaanku itu menjadi isyarat baginya untuk terus bergerak. Ia kembali membangun ritme pelan—gerakan teratur yang membuat napasku semakin sulit stabil.
Setiap kali penisnya ia tarik keluar lalu kembali masuk lebih dalam daripada sebelumnya, sensasinya menyebar cepat—seperti panas kecil yang muncul di bagian paling dalam perutku dan merambat ke seluruh tubuh hingga membuat ujung jariku ikut gemetar lemah.
“A-Ah! J-Jo...” suaraku pecah saat ia menyentuh titik tertentu yang membuat napasku tersendat, tubuhku menegang, dan tanganku mencengkeram seprai erat tanpa sadar.
Jo tiba-tiba berhenti. Napasnya panas dan berat terasa di dekat telingaku.
“Ra... kamu baik-baik saja?” tanyanya dengan suara serak, penuh perhatian.
Aku bisa merasakan ia juga sedang menahan diri. Aku mengangguk pelan, masih sulit mengatur napas.
“Iya... cuma agak—ah!—terlalu dalam...”
Jo menarik sedikit keluar sebelum memasukkan kembali dengan ritme yang lebih mantap tapi tetap hati-hati. Tangan Jo menyusuri punggungku, seolah mencoba menenangkan setiap getar yang muncul dari tubuhku.
“Kamu suka?” godanya sambil menggigit lembut bahuku.
Tubuhku ikut tegang tanpa bisa kutahan. Ia bisa mendengar getaran suaraku, dan itu membuat ekspresinya berubah seolah ia semakin sulit menahan diri untuk meraih kenikmatan itu.
“A-Ah Jo... iya aku suka… tapi please pelan-pelan…” ucapku terbata.
Pipiku panas, rasa malu dan sensasi aneh yang sulit dijelaskan bercampur jadi satu.
“Bagus,” bisiknya di telingaku, terdengar seperti ungkapan puas atas jawabanku.
Ia lalu mendekat dan menyentuhkan bibirnya di sisi leherku. Ciumannya pelan dan lembut, namun cukup untuk membuatku merasakan sensasi hangat yang sulit kucari kata-katanya.
“Ra…” bisiknya sedikit lebih keras, seperti ingin memastikan aku benar-benar mendengarnya.
Dari nada suaranya, aku tahu apa yang ia harapkan. Napasnya juga semakin cepat, seolah ia menahan sesuatu yang sudah lama ingin dilepaskan. Aku ingin membalasnya, memberikan rasa aman dan kedekatan yang ia cari.
“Aku bisa tahan kok, Jo,” bisikku sambil menggenggam tangannya yang masih bertumpu kuat di pinggangku, mencoba menunjukkannya bahwa aku bersama dia sepenuhnya.
Aku bisa merasakan tubuhnya menegang setelah mendengar jawabanku, seperti ia berusaha keras menahan sesuatu yang hampir lepas dari kendalinya. Aku tahu ia ingin meraih kenikmatan yang jauh lebih dalam, dan aku ingin memberikan apa pun yang bisa kubantu untuk membuatnya merasakannya.
Jo mengerang di telingaku. Aku merasakan tubuhnya menegang, seperti ada arus yang bergerak di kulitnya.
“Ra...” bisiknya lagi, suaranya lebih rendah dan serak dari sebelumnya.
Tangan yang tadi menggenggam pinggangku kini bergerak turun ke bagian belakang pahaku. Ia menekannya dengan kuat, mengatur gerakan agar semakin terarah dan intens tanpa perlu terlalu kasar atau terburu-buru.
Setiap kali ia bergerak, suaraku teredam di bantal.
“Mmmf! J-Jo...!”
Namun ia tidak berhenti; justru semakin cepat begitu mendengar reaksiku berubah menjadi desahan intens yang semakin sulit kutahan. Ia menundukkan wajah di antara bahuku, dan aku bisa merasakan senyuman—senyum puas yang muncul ketika gerakannya membuat tubuhku ikut menegang dan bereaksi tanpa kusadari.
Tubuhku bergetar tanpa bisa kukendalikan saat Jo mempercepat gerakannya. Aku mencengkeram sprei erat, wajah terbenam di bantal yang sudah lembap oleh napas dan suara-suara yang tak bisa kutahan lagi.
“Ra... aku nggak bakal tahan...”
Suara Jo terdengar parau di telingaku. Tangannya menggenggam pinggangku kuat, menahan posisiku sambil ia mengarahkan gerakannya yang semakin mantap—sekali, lalu dua kali lagi—membuatku ikut terseret dalam intensitasnya tanpa perlu menggambarkan lebih jauh.
Tiba-tiba aku merasakan spermanya mengalir deras di dalam anusku, membuat seluruh tubuhku tersentak. Sensasinya muncul begitu cepat sampai punggungku melengkung tanpa sengaja, napasku tersendat.
“A-Ah! J-Jo!”
Jo mengerang rendah, sebelum akhirnya ia menyandarkan seluruh berat tubuhnya ke punggungku. Aku masih gemetar lemah, mencoba menenangkan napas sambil merasakan tubuhnya perlahan mereda di atasku.
Tubuhku masih bergetar pelan saat Jo menarik napas panjang di belakangku, keringatnya menempel di kulitku. Bukan gerakan sebelumnya yang paling terasa—melainkan cara ia memelukku setelah semuanya mereda, menautkan lengannya di pinggangku seolah takut aku hilang dari genggamannya.
“Ra… kamu beneran nggak apa-apa?” bisiknya, jauh lebih lembut daripada ritme napasnya yang masih berat.
Aku mengangguk pelan, berusaha menstabilkan napasku. Ada rasa hangat yang aneh di dadaku ketika ia menekan keningnya ke bahuku—bukan karena apa yang baru saja terjadi, tapi karena ia memelukku dengan begitu hati-hati seolah kedekatan ini yang paling berarti. Aku hendak menjawab ketika terdengar suara kecil. Seperti seseorang yang sedang menarik napas tertahan.
Aku menoleh perlahan ke arah pintu. Terlihat sosok yang terlihat dari pintu yang terbuka beberapa sentimeter. Dan di celah itu… berdirilah Chatrin.
Wajahnya merah. Dan dari sorot matanya, jelas ia sudah berdiri di sana cukup lama. Mungkin lima menit. Mungkin lebih. Canggung, kaku, seperti tidak tahu harus masuk atau pergi.
“Chatrin...?” suaraku hampir tidak terdengar.
Ia mengangkat tangannya sedikit, ragu.
“Maaf... aku... aku nggak mau ganggu. Aku cuma—”
Tapi ia berhenti begitu saja, tidak melanjutkan kata-katanya. Chatrin masih berdiri di pintu. Kakinya tampak goyah, seperti ingin melangkah masuk tapi takut melewati batas yang tidak terlihat.
Aku akhirnya memanggil namanya lagi.
“Trin... sini. Nggak apa-apa.”
Ia mengangkat wajah, dan saat itu aku bisa melihat semuanya: rasa penasaran, rasa canggung… juga keinginan untuk mendekat meski ia jelas khawatir salah langkah. Ia mulai berjalan. Langkahnya pelan, dan setiap satu langkah terlihat seperti harus ia yakinkan pada dirinya sendiri terlebih dahulu.
Chatrin akhirnya berdiri beberapa langkah dari ranjang. Napasnya terasa pendek, bukan karena lelah, tetapi karena ia jelas sedang berperang dengan pikirannya sendiri. Matanya tampak ragu, tidak tahu harus melihat siapa—aku atau Jo. Ia menggenggam ujung tas kecilnya begitu erat sampai buku jarinya memutih.
Jo lalu bergerak—menegakkan tubuhnya sedikit, seperti ingin memastikan bahwa ia memperhatikan keadaan.
“Trin,” panggilnya dengan suara rendah namun jelas.
“Gimana tadi? Mamamu nggak curiga?”
Pertanyaan itu membuat Chatrin mengedip, seolah baru ingat alasan sebenarnya ia kembali ke kamar ini.
“Nggak kok Mas… aman,” jawabnya cepat, sedikit gugup.
“Mama cuma kasih kunci, terus nanya aku jadi nginep atau nggak. Aku bilang nginep di rumah Mbak Rara. Mama juga nggak nanya yang aneh-aneh.”
Jo mengangguk pelan, dan ekspresinya tampak lebih tenang.
Ia menggigit bibirnya sebelum melanjutkan, suaranya berubah menjadi lebih pelan.
“Tapi… Mama bilang besok pagi aku harus pulang cepat.”
Aku langsung menoleh.
“Kenapa? Kamu ada apa?”
Chatrin menarik napas dalam—seperti sedang mencoba merapikan pikirannya yang masih berantakan.
“Rumah kosong, Mbak. Besok Mama berangkat jam lima ke rumah Mas Thomas buat jaga Keisha. Papa juga nggak ada… lagi dinas luar kota satu bulan.”
Ia berhenti sebentar, menelan ludah.
“Dan siang bakal ada sensus dari RT. Jadi Mama minta aku di rumah biar ada orang yang nerima petugas.”
Suasana kamar langsung berubah. Bukan panik—tapi ada sesuatu yang menegang pelan di udara.
Chatrin kembali meremas tasnya.
“Aku sebenernya mau tetap di sini. Tapi Mama bilang harus ada orang di rumah. Nggak bisa ditinggal.”
Suaranya terdengar rapuh, meski ia mencoba memaksakan senyum tipis.
“Jadi besok pagi aku harus pulang... tapi—”
Ia menoleh ke aku, lalu ke Jo, sebelum akhirnya kembali melihat ke arahku.
“Kalau kalian nggak keberatan... nanti siangnya aku balik lagi. Setelah sensus selesai.”
Ada keraguan di wajahnya, seperti ia takut keputusannya membuat kami kecewa. Aku perlahan bangkit dari posisiku—menarik selimut untuk menutup dadaku tanpa gerakan tiba-tiba—lalu duduk menghadap Chatrin.
“Trin, sini,” ucapku lembut.
Chatrin perlahan mendekat… tetapi langkah terakhirnya tampak berat, seperti ia masih canggung denganku dan Jo. Saat jaraknya tinggal dua langkah dari ranjang, ia berhenti. Wajahnya sedikit memerah karena campuran malu, takut mengganggu, dan sesuatu yang lain—keinginan untuk tetap berada di ruangan ini.
Jo memperhatikan semua reaksinya dengan sorot mata yang lebih lembut dari biasanya. Tidak menghakimi. Tidak memaksa. Hanya memahami.
Dan ketika Chatrin akhirnya duduk di pinggir ranjang, ia menarik napas perlahan, seperti baru saja berhasil melewati batas yang ia ciptakan sendiri. Dari situ, ketegangan terasa berubah menjadi sesuatu yang berbeda: kejujuran yang terasa menggantung di udara kamar yang hening.
Jo menunduk sedikit, suaranya lebih pelan dari sebelumnya.
“Besok kamu bisa pulang pagi,” katanya.
“Itu nggak masalah.”
Ia sempat menatapku sekilas sebelum kembali melihat ke arah Chatrin.
“Yang penting... kamu aman, dan kamu nyaman.”
Chatrin menatapnya balik dengan mata sayu, seolah mendengar sesuatu yang jauh lebih besar.
“Mas... Mbak… Aku nggak mau kejadian malam ini bikin aku jadi jauh dari kalian.”
Dan ketika kalimat itu akhirnya keluar, barulah aku benar-benar menyadari bahwa sebenarnya: yang membuat dirinya berdiri lama di pintu bukan rasa malu, bukan rasa bersalah, tetapi rasa takut ditinggalkan.
Chatrin duduk di pinggir ranjang, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan. Aku dan Jo sempat saling bertukar pandang sebelum aku menggeser tubuhku, merapat sedikit ke arahnya.
“Besok kamu pulang jam berapa?” tanyaku lembut.
Chatrin berpikir sebentar.
“Jam... delapan, kayaknya, Mbak. Nunggu Mama pergi, tapi akunya juga masih bisa siap-siap sebelum sensus.”
Jo mengangguk pelan, benar-benar memperhatikan.
“Okee. Kalau gitu besok aku anter,” katanya tanpa ragu.
Chatrin menatapnya kaget.
“Mas... nggak usah, aku bisa sendiri.”
Jo menggeleng, suaranya tegas tapi tetap hangat.
“Aku nggak mau kamu pulang sendirian kalau kamu masih kelihatan gemetar kayak tadi. Aku anter.”
Ia lalu menoleh ke arahku sambil menjelaskan,
“Besok waktu kamu berangkat kerja, aku sama Chatrin juga berangkat ke rumahnya. Nanti aku bakal temenin dia di sana. Jadi dia nggak sendirian. Gapapa kan Ra?”
Aku mengangguk pelan,
“Gapapa banget kok Jo… Aku juga jadi lebih tenang kalau ada yang bisa nemenin Chatrin di sana.”
Chatrin lalu terdiam. Rasa lega muncul di wajahnya, dan kali ini ia tidak mencoba menyembunyikannya.
“Okee kalau gitu… makasih, Mas. Makasih juga Mbak…”
Suaranya pelan, hampir pecah, tapi sangat tulus.
Jo menghela napas, dan bahunya akhirnya turun dari ketegangan.
“Iya Chatrin... Besok kita atur bareng ya… Kamu nggak perlu takut atau ragu lagi.”
Suasana kamar langsung terasa lebih ringan, tapi kehangatannya tetap ada. Ada keheningan yang nyaman—hening yang biasanya muncul ketika tiga orang saling percaya satu sama lain.
Jo lalu berdiri dari ranjang. Ia menatap kami berdua yang masih duduk di tepi ranjang—rambut berantakan, tubuh tampak lelah, dan wajah yang masih terasa panas, seolah baru saja melewati malam yang berat.
“Ra... Trin...” suaranya rendah tapi jelas,
“penampilan kalian kacau banget. Kalian perlu mandi.”
Jo berdiri di hadapan kami sambil mengusap rambutnya yang masih berantakan. Ucapan terakhirnya—“kalian perlu mandi”—terasa menggantung di udara kamar, membuat suasana seketika menjadi sunyi.
Aku refleks menatap Chatrin. Wajahnya langsung memerah—bukan karena malu, lebih seperti seseorang yang baru melewati hal yang intens secara emosional dan kini dihadapkan pada pilihan yang membuatnya bingung bagaimana harus bereaksi. Matanya sedikit membesar, bibirnya terbuka, tetapi tak satu pun suara keluar.
Dan anehnya, melihat reaksinya membuat dadaku terasa hangat. Bukan karena soal mandi bersama, tapi karena aku bisa melihat jelas bahwa Chatrin ingin dekat, hanya saja dia masih takut mengambil langkah yang salah.
Jo membuka suara lagi sambil menggaruk tengkuknya, seperti orang yang bingung harus mulai dari mana.
“Serius, kalian berdua kelihatan capek banget. Mandi dulu biar segar.”
Kalimat sederhana itu justru membuat suasana terasa lebih canggung, tapi anehnya tetap hangat.
Chatrin menelan ludah dan akhirnya berani mengangkat wajah.
“M-Maksud Mas... mandi bareng?” tanyanya pelan.
Jo terdiam sebentar lalu mengembuskan napas.
“Iya Trin... Aku nggak mau kalian merasa sendiri-sendiri setelah semua yang udah terjadi tadi.”
Aku memandang Chatrin yang masih tampak ragu. Ada sesuatu yang berubah sejak ia berdiri di ambang pintu tadi. Pada caranya menatapku… seolah ingin ikut masuk ke dalam dunia yang kubangun bersama Jo, tetapi masih takut melangkah dan melakukan kesalahan. Aku menggeser tubuhku sedikit, mendekat ke arahnya.
“Trin,” panggilku pelan.
Ia langsung menoleh, seperti tersentak hanya karena mendengar namanya. Aku lalu tersenyum kecil.
“Kalau kamu takut mandi bareng karena cuma takut ganggu kita… kamu nggak ganggu kok. Sama sekali.”
Matanya berkedip pelan, seperti mencoba menyerap setiap kata yang kukatakan. Ia sempat membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Ada sesuatu di wajahnya—terlihat rapuh dan jujur.
“Aku cuma takut… aku salah… nyebelin… atau ganggu.”
Aku menggeleng pelan.
“Kamu nggak ganggu. Sama sekali nggak. Malah kalau kamu mau ikut, aku… senang.”
Wajahnya memerah lagi, kali ini bukan karena malu, tapi karena lega. Ia menunduk menatap jarinya sendiri.
“Kalau Mbak Rara nggak keberatan… aku mau ikut.”
Aku mengangguk pelan, menahan senyum yang terlalu tulus untuk disembunyikan.
“Aku sama sekali nggak keberatan kok…”
Chatrin mengangkat wajah. Tatapannya berpindah dari Jo ke aku. Ada rasa malu di sana—tapi bukan takut. Lebih seperti seseorang yang berdiri di ambang pintu dan belum yakin mau melangkah. Lalu ia mengangguk.
“Kalau begitu, aku…”
Ia menarik napas dalam.
“Aku ikut.”
Nada suaranya kecil, tapi terdengar tegas.
Aku merasakan sesuatu menghangat di dadaku. Bukan ragu, bukan cemburu—melainkan perasaan tenang karena tahu pintu itu akhirnya terbuka, dan ia melangkah masuk dengan caranya sendiri.
Aku berdiri lebih dulu dan mengambil handuk dari lemari untuk kami bertiga. Aku dan Jo sudah tanpa pakaian sejak tadi, jadi gerakanku terasa lebih ringan, seolah tubuhku tidak lagi punya alasan untuk tergesa.
Aku menyerahkan satu handuk ke Jo, lalu satu lagi ke Chatrin. Jo menerimanya begitu saja, singkat, tenang. Chatrin menerimanya dengan dua tangan, seolah benda sederhana itu perlu dijaga dengan hati-hati.
Jo melirik ke arah Chatrin, lalu berkata dengan suara rendah dan tenang,
“Chatrin, kamu bisa lepas pakaianmu di sini saja. Kita ke kamar mandi setelah itu.”
Chatrin menatap Jo sebentar, lalu ke arahku. Aku tidak mengatakan apa-apa, hanya berdiri di dekatnya, memberi ruang sekaligus kehadiran. Setelah beberapa detik, ia mengangguk kecil.
Perlahan, Chatrin mulai melepaskan pakaiannya satu per satu. Gerakannya sederhana dan hati-hati. Tidak ada yang tergesa. Aku memperhatikannya dari dekat, merasakan ketegangan kecil yang belum sepenuhnya pergi, bercampur dengan keberaniannya untuk tetap melanjutkan.
Aku lalu menggandeng tangan Chatrin, menuntunnya berjalan perlahan menuju kamar mandi. Jo menyusul di belakang, langkahnya tenang—seperti memastikan semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang berbicara. Bukan canggung—melainkan jeda yang dibutuhkan tubuh dan pikiran setelah melewati begitu banyak hal.
Aku masuk ke kamar mandi lebih dulu. Ubin dingin menyentuh kakiku dan membuat pikiranku lebih jernih. Jo menyalakan air hangat, dan uap tipis mulai memenuhi ruangan. Suara air yang mengalir membuat suasana terasa lebih tenang, seolah memberi kami ruang untuk bernapas bersama.
Suasana di kamar mandi terasa lebih intim dari sebelumnya. Hanya ada suara air yang mengalir, beberapa perlengkapan mandi, dan kami bertiga dalam keheningan yang menenangkan. Aku dan Jo tidak bergerak. Kami menunggu Chatrin, memberinya ruang sampai ia merasa siap untuk melangkah sendiri.
Chatrin berdiri di depan kami. Tubuhnya sedikit bergetar saat air hangat menyentuh kulitnya. Ia memejamkan mata perlahan, seperti seseorang yang baru merasakan hangat setelah terlalu lama menahan dingin. Dari sudut mataku, aku melihat Jo. Ia juga memperhatikan Chatrin, tetap diam.
“Kamu baik-baik saja?” tanyaku sambil mengulurkan tangan dan menyentuh lengannya dengan pelan.
Chatrin mengangguk pelan.
“Iya... aku cuma belum biasa...” suaranya hampir tenggelam oleh suara air dan uap hangat di sekeliling kami.
Jo mengambil sabun mandi dan menggosokkannya di telapak tangannya sampai berbusa. Aku melihatnya dari balik aliran air hangat, tubuhku masih diam dan kaku.
“Ra… sini,” bisiknya padaku sambil menarikku perlahan mendekat.
Tangannya yang penuh busa menyentuh punggungku. Gerakannya hati-hati, seolah ingin menenangkanku. Busa hangat itu mengalir mengikuti garis tulang punggungku. Ia memutar tubuhku sedikit, lalu melanjutkan dengan sentuhan yang terkontrol, berhenti di area yang membuat napasku terasa lebih berat. Ia melakukannya dengan sikap merawat, bukan tergesa, seakan memastikan aku tetap merasa aman di dekatnya.
Aku melihat Chatrin melirik dari sudut matanya ketika Jo bersiap mendekatinya. Ada jeda singkat sebelum tangan Jo bergerak, seolah ia memberi ruang lebih dulu. Tangannya terulur ke arah Chatrin.
“Trin… kamu mau aku bantu?”
Aku melihat Chatrin terdiam sejenak. Ia menarik napas dalam, lalu menegakkan punggungnya, seperti sedang mengumpulkan keberanian yang sejak tadi tertahan.
“Ya... aku mau, Mas,” katanya pelan, suaranya nyaris bergetar, membuat suasana di sekitarku ikut menegang.
Jo mengangguk kecil. Ia menggeser posisinya hingga berdiri tepat di depan Chatrin. Aku memperhatikan tangannya bergerak dengan hati-hati, membawa busa sabun itu mendekat. Sentuhannya pelan dan terukur, seolah ia ingin memastikan Chatrin merasa tenang sebelum melanjutkan, menjaga jarak yang cukup agar semuanya tetap terasa aman namun sarat dengan perasaan yang sulit diabaikan.
Aku melihat wajah Chatrin berubah lebih rileks ketika sentuhan itu mulai terasa nyaman baginya. Ia menarik napas dalam, seolah setiap gerakan membantu dadanya terasa lebih lapang. Busa sabun ikut bergerak turun mengikuti napasnya, membasahi kulitnya dan membuat permukaannya tampak licin di bawah air.
Jo tidak berhenti. Tangannya terus bergerak perlahan, turun dengan penuh kehati-hatian. Dari tempatku berdiri, aku bisa merasakan ketegangan halus di udara ketika sentuhannya berpindah semakin turun ke bawah. Ia melambat ketika mencapai bagian perut Chatrin, berhenti sejenak, seakan mempertimbangkan langkah berikutnya sebelum melanjutkan. Keheningan itu terasa berat, sarat dengan perasaan yang tidak diucapkan.
Aku mengamati mereka berdua dengan saksama, merasakan ketegangan di tubuhku perlahan mereda. Chatrin tampak lebih rileks saat Jo mulai bergerak dengan terarah. Bahunya sedikit tertunduk ketika Jo menurunkan tangan yang berbusa ke area yang lebih pribadi, membuat suasana di sekitarku terasa semakin sunyi.
“Hmmf...!”
Mata Chatrin terbuka lebar sesaat ketika sentuhan itu sampai area vaginanya. Bibirnya terpisah seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada kata yang keluar. Yang terdengar hanya napasnya yang berubah, lebih berat dan tidak teratur, memenuhi ruang kecil itu bersama aliran air yang terus mengalir.
Aku merasakan ketegangan itu, seolah merambat pelan menembus dinding di sekeliling kami. Dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat Jo mengerutkan dahi, tampak berusaha tetap mengendalikan diri sambil terus bergerak dengan ritme yang tertahan. Suasana di sekitar kami sunyi, hanya diisi oleh suara air yang menetes.
Ia menarik napas dalam, lalu berbicara dengan nada lembut, meskipun tekanannya terasa semakin kuat,
“Trin, kamu baik-baik saja? Nggak sakit, kan?”
Chatrin menarik napas dalam. Suaranya hampir tenggelam oleh bunyi air dan uap hangat di sekitar kami.
Ia menggigit bibirnya sebelum menjawab pelan,
“Nggak. Aku baik-baik saja, Mas.”
Setelah itu, ia menarik napas sekali lagi, seolah berusaha menenangkan diri. Dari dekat, aku bisa melihat tubuhnya mulai lebih rileks, meski ketegangan belum sepenuhnya hilang karena sentuhan Jo yang berlanjut.
“Okay,” balas Jo dengan nada yang tetap lembut, tapi terdengar tegas.
Ia terus bergerak perlahan, mencoba menemukan posisi yang paling pas sambil memperhatikan reaksi Chatrin.
Aku melihat Jo menarik napas dalam sebelum kembali berbicara,
“Trin, kamu siap untuk lebih dalam?”
Chatrin terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. Aku melihat ia menarik napas dalam, seolah sedang menguatkan diri untuk apa pun yang akan terjadi selanjutnya.
“Iya Mas... aku siap,” ucap Chatrin yang terdengar lebih mantap dibanding sebelumnya.
Jo mengangguk pelan. Di bawah uap air yang hangat, matanya tampak berbinar. Tangannya yang masih berbusa bergerak perlahan lebih jauh, sentuhannya tegas namun tetap terkendali, seakan mencermati setiap reaksi tubuh Chatrin dengan penuh perhatian.
“Tenang,” bisiknya di dekat telinga Chatrin sambil mengecup pelipisnya yang mulai basah oleh keringat.
“Aku bakal bantu kamu merasa nyaman.”
Chatrin memejamkan mata perlahan. Napasnya terdengar sedikit bergetar ketika sentuhan Jo bergerak lebih jauh, seakan mencari ritme yang membuatnya nyaman. Aku bisa melihat punggungnya melengkung tipis tanpa sadar saat tekanan itu meningkat.
“Ra...” Jo tiba-tiba menoleh ke arahku, suaranya terdengar lebih berat dari sebelumnya.
“Aku mau kamu bantu temenin dia.”
Tanpa ragu, aku mendekati mereka dari belakang. Tanganku menyentuh bahu Chatrin dengan lembut, sementara bibirku menyentuh lehernya yang masih basah. Aku merasakan kontras antara dinginnya gigiku dan hangat kulitnya, bercampur dengan aroma sabun mandi yang masih menempel.
Dengan gerakan yang mantap namun tetap terkendali, tangan Jo bergerak lebih jauh, memperhatikan setiap reaksi Chatrin dengan penuh kehati-hatian. Dari dekat, aku bisa melihat tubuhnya bergetar halus ketika sentuhan itu mencapai bagian yang membuatnya paling peka.
“Shhh... tenang,” desis Jo di telinga Chatrin sambil terus menjaga area itu tetap basah.
“Kamu harus rela kalau mau rasain sensasi yang nikmat.”
Chatrin mengerang pelan. Kepalanya tertunduk, seolah menahan rasa yang perlahan memanas. Napasnya menjadi tidak beraturan, seperti ia ragu kapan harus menarik atau menghembuskannya.
Aku merangkul pinggangnya dari belakang dan berbisik pelan,
“Biarkan Jo yang atur ritmenya... Kamu cuma perlu nikmatin aja.”
Saat mengatakan itu, aku baru menyadari perasaanku sendiri. Tanpa benar-benar kusadari sejak kapan, aku merasa seperti sedang membimbing seseorang yang masih sangat baru.
Padahal kenyataannya, aku sendiri juga baru seminggu mengalami hal-hal seperti ini. Perasaannya campur aduk, antara gugup dan berdebar. Aku masih belajar memahami tubuh dan emosiku sendiri, tapi di saat yang sama aku sudah berada di posisi untuk menenangkan dan menguatkan orang lain. Aku belum sepenuhnya yakin dengan diriku, tapi ada perasaan dalam diriku yang mengatakan bahwa apa yang kulakukan tidak salah.