Basah dan Gelisah

2721 Words
Di dalam kamar mandi yang masih lembap, aku menyadari posisi kami bertiga. Chatrin berada di antara aku dan Jo, dekat dan canggung sekaligus, seolah menjadi penghubung di tengah ketegangan yang belum sepenuhnya kami pahami. Chatrin melirik ke arahku sebentar. Dari wajahnya, aku menangkap kebingungan, seakan ia sedang mencoba memahami apa yang dirasakannya. Tatapannya tampak mencari pegangan, berusaha menyesuaikan diri dengan sensasi yang masih terasa asing. Aku mendekatkan bibir ke telinganya dan kembali berbisik, “Kamu cuma fokus aja sama sensasinya, Trin. Aku dan Jo ada di sini buat kamu...” Kebingungan di wajahnya perlahan hilang. Wajahnya terlihat lebih tenang saat ia kembali memejamkan mata. Jo menarik napas, lalu kembali berbisik di telinga Chatrin dengan suara lembut, tapi tetap terdengar tegas, “Trin, aku bakal mulai gerakin sedikit lebih dalam. Kamu siap?” Di bawah aliran air hangat, ketegangan di wajah Chatrin terlihat jelas. Ia ikut menarik napas dalam, seolah sedang menguatkan dirinya sendiri, sebelum akhirnya menjawab, “Iya, Mas. Aku siap..” Jo mengangguk setelah mendengar jawabannya. Tangannya bergerak perlahan, kali ini dengan tekanan yang terasa lebih kuat. Aku melihat tubuh Chatrin menegang, seolah ia merasakan sesuatu yang lebih kuat dari sebelumnya. Aku segera merangkulnya erat, menahannya dekat denganku untuk membantunya tetap tenang. Jo mengatur ritmenya dengan tenang dan terukur, bergerak perlahan tapi konsisten sambil memperhatikan setiap reaksi Chatrin. Suara air yang menetes di ubin mengiringi gerakannya. “Shhh... tenang, Trin,” desis Jo, sambil memberi sentuhan lembut di lehernya yang mulai terasa tegang. Tangannya bergerak hati-hati, mencari titik yang paling membuatnya peka. Aku merasakan tubuh Chatrin bergetar dalam pelukanku saat Jo menemukan bagian yang paling sensitif itu. Napasnya tersendat, lalu terdengar suara kecil dari bibirnya, “Hhng-!” Jo langsung memperlambat gerakan, seolah memberi waktu agar sensasi baru itu bisa diterima tubuh Chatrin. “Shhh... tenang...” bisikan Jo kembali terdengar. Aku melihat fokus Jo semakin tajam di bawah cahaya lampu yang lembut di kamar mandi. Ia menjaga ritmenya dengan hati-hati, berusaha membuat Chatrin untuk tetap merasa nyaman, meskipun aku bisa menangkap kegelisahan yang mulai muncul darinya sendiri. Di bawah aliran air hangat yang jatuh dari atas kepala, raut wajahnya mengeras, seolah ia juga sedang menyesuaikan diri dengan sensasi baru yang ia rasakan. Aku melihat Jo menarik napas dalam. Wajahnya tampak lebih tegang dari sebelumnya saat tangannya kembali bergerak dengan ritme yang lebih cepat. Aku merasakan bahu Chatrin mengencang di dadaku ketika tekanan itu terasa lebih kuat. Aku segera menariknya lebih dekat ke dalam pelukanku, memastikan ia tetap berada di ruang yang terasa aman, meskipun intensitasnya terus meningkat. “Nnnnghh...!” Suara itu kembali keluar dari mulut Chatrin, kali ini lebih keras, seolah ia benar-benar kesulitan menahannya. Aku melihat Jo meningkatkan ritmenya, fokusnya makin terlihat jelas. Tangannya mencengkeram pinggul Chatrin dengan kuat, menahannya tetap di posisinya agar ia tidak kehilangan keseimbangan. Aku merasakan Chatrin menegang sepenuhnya dalam pelukanku, tubuhnya bergetar tanpa bisa ia kendalikan saat dirinya mencapai o*****e. Suara air yang menetes kini terdengar seperti detak jantung yang kian cepat. “M-Mas... Mbak..” suaranya pecah, lembut namun sarat kepanikan yang manis. Jo menghela napas berat di dekat telinganya, napas hangatnya bercampur dengan uap kamar mandi. “Shhh... nikmatin aja,” bisiknya sambil memperlambat gerakannya sedikit, meski tidak benar-benar berhenti. Di tengah semua itu, aku melihat sesuatu dengan jelas. Mata Chatrin mulai berkaca-kaca. Bibirnya terbuka, napasnya tidak beraturan. Wajahnya terlihat bingung, seolah sedang berusaha memahami perasaannya sendiri. Aku memeluknya lebih erat, mencoba menenangkannya, memberinya rasa aman di tengah semua sensasi dan gerakan yang membuatnya kewalahan. “Tenang... aku di sini...” bisikku tepat di dekat telinganya. Chatrin tidak langsung menjawab, tapi aku merasakan tubuhnya sedikit lebih rileks. Ia menarik napas dalam beberapa kali, jelas berusaha menenangkan dirinya sebelum akhirnya bicara. “I-itu... enak banget...” katanya terbata-bata, terdengar kewalahan memahami apa yang sedang ia rasakan. Jo tetap berada dekat dengannya, namun gerakannya kini lebih lembut. Meski begitu, aku bisa melihatnya justru terlihat lebih tegang dari sebelumnya. Aku melihat Jo berbicara dengan nada tegas, tapi tetap lembut. Dari caranya berbicara, aku merasa ia tahu betul apa yang harus dikatakan. “Trin. Aku mau kamu berlutut,” ujar Jo. Chatrin terdiam beberapa saat. Dari ekspresinya, aku bisa melihat keraguan yang jelas, seolah ini adalah hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Aku memperhatikannya tampak ragu, napasnya tampak tertahan. Namun, setelah beberapa detik, ia akhirnya menurut. Ia perlahan menurunkan tubuhnya hingga berlutut di lantai, tepat di hadapan Jo. Wajahnya sedikit memerah, tapi tatapannya justru terlihat lebih jelas dan fokus dari sebelumnya. Jo lalu mengalihkan pandangannya ke arahku. “Rara. Kamu juga,” ujar Jo. Aku sempat terpaku. Dadaku terasa sedikit sesak, tapi aku tidak membantah. Aku menurunkan pandanganku, lalu perlahan berlutut. Lututku menyentuh lantai, sejajar dengan Chatrin. Sekarang kami saling berhadapan, dengan kedua lutut sama-sama menyentuh lantai. Jarak kami sangat dekat. Aku merasakan dadanya hampir menyentuh dadaku, membuat hembusan napasnya terasa jelas di hadapanku. Ia tidak mengatakan apa-apa. Namun matanya terus menatap mataku tanpa berpaling. Aku balas menatapnya, dan dari sana aku melihat sesuatu yang jauh lebih dalam. Ada banyak hal yang seolah ingin Chatrin sampaikan, tapi semuanya tertahan dan hanya tersisa di balik sorot matanya. Aku tetap diam, merasakan suasana itu semakin menekan, sementara napasku sendiri mulai terasa lebih pelan dan hati-hati. Cermin menangkap bayangan kami bertiga di bawah cahaya lampu kamar mandi. Aku melihat dua perempuan yang tegang, berlutut berdekatan, sementara pria bertubuh besar itu berdiri di depan kami, tenang namun penuh kendali. Udara terasa berat, setiap gerakan kecil seakan menentukan apa yang akan terjadi selanjutnya. Pandanganku bertemu dengan mata Jo yang menatap tanpa berkedip, seakan mencoba menembus pikiranku. Aku kembali mengatur napas, berusaha tetap tenang, meskipun jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Jo menunggu beberapa saat sambil mengamati kami dengan saksama. Setelah itu, ia kembali berbicara. Suaranya terdengar lebih dalam saat melanjutkan. “Kalian berdua sudah tahu apa yang bakal kalian lakukan sekarang?” Aku sempat bertukar pandangan dengan Chatrin. Kami tidak perlu berkata apa pun untuk saling memahami. Ia tampak sedikit gugup, tetapi ada tekad yang jelas terlihat di matanya. “I-iya, Mas,” jawabnya, terdengar lebih pelan dari biasanya. Jo terlihat puas mendengar itu, namun pandangannya segera beralih kepadaku. Sekali lagi, ia bertanya: “Rara?” Jantungku berdebar lebih cepat, namun aku tetap membuka suara. “I-iya, Jo,” jawabku, sama seperti Chatrin, nyaris seperti bisikan yang tidak berani keluar lebih keras. Jo tampak puas dengan jawaban kami. Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya berbicara dengan jelas. “Kalau begitu, kalian mulai.” Aku berusaha menahan debaran yang terasa di dadaku saat mendengar perintah Jo. Kepalaku masih tertunduk, tetapi perlahan aku menggeser tubuhku, mendekat ke arahnya. Meski aku sudah beberapa kali berada dalam situasi seperti ini, jantungku tetap berdebar—mungkin karena kali ini aku melakukannya bersama Chatrin, yang masih sama-sama baru dan belum sepenuhnya terbiasa. Dari jarak sedekat ini, aku bisa menangkap wangi sabun yang masih melekat di tubuh Jo. Setiap gerakan kecil membuat kegelisahanku semakin naik, terutama saat aku akhirnya berada tepat di hadapannya. Aku bisa merasakan pandangan Jo yang tidak pernah lepas dari wajahku, seolah ia mengawasi setiap gerakanku. Aku mendekat perlahan ke arah batang penisnya, tetapi aku belum melakukan apa pun. Aku terdiam, menunggu isyarat darinya sebelum melangkah lebih jauh. Jo perlahan menatap saat aku tetap diam di posisiku, dan wajahku kini hanya beberapa inci saja dari penisnya. Ia tidak mengatakan apa pun. Keheningan itu terasa sedikit panjang, membuat napasku semakin terasa di d**a. Setelah beberapa detik berlalu, ia menarik napas dalam dan akhirnya berbicara. “Ayo Ra… Jilat. Kasih contoh buat Chatrin.” Aku menarik napas perlahan sebelum akhirnya menjulurkan lidahku pelan ke sepanjang garis bawah p***s Jo. Di sebelahku, tubuh Chatrin bergetar melihatku menjilat p***s itu. Seiring dengan gerakanku yang tetap pelan dan hati-hati, merasakan tubuh Jo menahan napas beberapa sesaat. Ada reaksi yang jelas darinya, tertahan dan berusaha dikendalikan. Suara yang keluar dari bibirnya hanya terdengar samar, seolah ia berusaha menekannya sekuat mungkin. Jo lalu menghela napas panjang, napasnya terasa hangat dan berat di udara kamar mandi yang masih lembap. Tangannya bergerak perlahan, menyusuri rambutku dengan sentuhan tenang yang menunjukkan kendali. “Pelan-pelan dulu...” bisiknya ke arahku sambil menatap tajam. “Biar Chatrin bisa lihat.” Aku lalu memperlambat ritmenya sesaat. Ada rasa kebersamaan yang tenang di antara kami, sesuatu yang tidak perlu diucapkan. Jo terus memperhatikan kami. Tatapannya lembut dan penuh perhatian. Ia tidak berkata apa-apa, tetapi dari caranya memandang, aku bisa merasakan kesabaran dan kendali yang ia jaga sejak awal. Aku kembali meningkatkan ritmenya setelah merasa waktunya cukup. Aku sempat melirik ke arah Chatrin dan melihatnya tampak lebih tenang dari sebelumnya. Ia tertawa kecil saat mata kami bertemu. Aku membalasnya dengan senyum singkat, lalu kembali memusatkan perhatianku pada Jo. Jo menyadari perubahan gerakanku dan kembali berbicara. “Mulutmu benar-benar Ra… Bisa membuat siapapun yang menikmatinya jadi ketagihan.” Nada suaranya berubah. Dorongan yang ia tahan kini terasa lebih jelas. Ia tampak mulai kehilangan kesabaran, meski masih berusaha menjaga kendali. Di sebelahku, aku bisa merasakan Chatrin semakin tenang seiring waktu. Napasnya kini menjadi lebih teratur. Saat ia menatap kami, matanya terlihat berkaca-kaca. Ada sesuatu di wajahnya, perpaduan antara rasa bersalah dan perasaan lain yang sulit ia sembunyikan, semuanya bercampur menjadi satu. Jo mengusap rambut Chatrin dan bergumam pelan, “Lihat baik-baik gimana Rara ngelakuinnya... Kamu harus belajar.” Chatrin mengangguk cepat, bibirnya gemetar saat menjawab, “I-Iya Mas...” Mulutku terus mengulum p***s Jo dengan ritme yang lebih cepat. Keheningan yang sempat terasa kini hanya diisi oleh napas berat dan suara yang tertahan dariku dan Chatrin. Meski begitu, kehangatan yang tercipta justru terasa lebih dekat dan nyata dari sebelumnya. Aku sempat bertukar pandang dengan Chatrin, dan dalam momen itu rasanya aku bisa membaca semuanya. Wajahnya merona, ada ekspresi terkejut saat mata kami bertemu, meski hanya berlangsung beberapa detik sebelum ia kembali memusatkan perhatian pada apa yang sedang kami lakukan. “Gantian sama Chatrin, Ra… Biar dia coba memasukkan penisku ke dalam mulutnya…” Aku melepas penisnya, menyeringai pelan ke arah Chatrin, lalu kembali mengalihkan fokus ke Jo. “Coba dulu Trin…” ujarku sambil mengarahkan p***s Jo ke arah Chatrin. “Mmphh iya Mbak…” balas Chatrin dengan suara canggung. Chatrin menelan ludah, tangan gemetarannya bergerak pelan mengusap paha Jo seakan mencari keberanian. Matanya tak lepas dari p***s Jo yang masih basah oleh keringat dan cairan mulutku. Jo mencondongkan badan ke depan sedikit, satu tangannya memegang rambut Chatrin sementara yang lain tetap memegang kepalaku. “Buka mulutmu lebar-lebar,” ucapnya singkat tapi tegas sambil pandangan matanya melekat pada Chatrin. Chatrin menarik napas dengan dalam. Ia terlihat gugup, tetapi ekspresinya juga menunjukkan keberanian. Perlahan ia membuka mulut lebar seperti yang diarahkan Jo. “Tahan napasmu.” Perintah itu terdengar dengan jelas dari Jo saat ia mendorong pelan kepala Chatrin semakin maju hingga p***s milik Jo tenggelam dalam mulut gadis itu. Sementara itu Chatrin menutup mata dan menahan napas seolah ia sedang berusaha untuk menyesuaikan dengan sensasi baru di mulutnya. Jo mengamati ekspresi itu dengan puas, tangannya menarik rambut Chatrin hingga kepalanya kini mulai bergerak maju mundur dengan teratur. "Lihat Ra… Dia belajar dengan cepat." Chatrin terus berusaha mengikuti gerakan tangan Jo, mulai dengan ritme pelan lalu berubah menjadi cepat. Matanya berkaca-kaca ketika ia mencoba menyesuaikan diri dengan sensasi asing di tenggorokannya. “Lebih dalam lagi... Coba.” Chatrin mendesah kecil melalui hidungnya, tubuhnya bergetar saat Jo mendorong lebih dalam. “Hhhng... M-Mas—” Suaranya terputus oleh dorongan selanjutnya dari Jo. “Nggak boleh berhenti Trin…” Jo menghela napas dalam, matanya menatap tajam saat merasakan ritme yang semakin meningkat. Tangannya yang semula hanya menyentuh rambut Chatrin kini bergerak lebih kuat, menggenggam dan menarik pelan, seolah memberi isyarat yang tidak perlu dijelaskan dengan kata-kata. Tak lama, Jo melepas penisnya dari mulut Chatrin dan tepat saat itu gadis itu terbatuk. Dari ujung matanya mengalir air mata yang menandakan dia sudah sangat berusaha untuk mengikuti ritme Jo. “Maaf ya Trin… Mulutmu enak banget soalnya…” Chatrin masih berusaha menenangkan diri. Napasnya terdengar berat saat ia mengusap bibirnya dengan punggung tangan. Aku bisa melihat bagaimana ia mencoba tetap terlihat kuat di hadapan Jo, meski matanya masih berkaca-kaca dan pipinya memerah akibat usaha keras yang baru saja ia lalui. “Iya Mas… Hmmphhh… Maaf, aku…” Jo mengusap kepalanya lembut. Dia tidak marah, melainkan menatap Chatrin dengan penuh perhatian. “Nggak apa-apa Trin… Aku tahu kamu sudah berusaha.” Jo mengamati Chatrin sejenak sebelum akhirnya berpaling ke arahku. “Rara,” panggilnya dengan suara rendah tapi tegas. “Ayo kamu yang bantu temenin dia sekarang. Jilatin berdua…” Aku mengangguk kecil dan mendekat. Lidahku menyesap p***s Jo yang sudah semakin basah terkena air liur Chatrin. Di sebelahku, aku mendengar napas Chatrin tersendat. Ia jelas sedang berusaha menyesuaikan diri dengan apa yang terjadi, menahan gugup sambil tetap mengikuti ritme yang sama. “Ayo Trin… Kita lakuin bareng…” Chatrin mengangguk lalu mendekat. Lidah kami saling menjilati p***s Jo. Aku bisa merasakan Chatrin bergetar di sampingku, napasnya masih sedikit tersendat. Aku mencoba untuk menenangkannya dengan sentuhan lembut di pahanya. Jo menghela napas panjang, tangannya bergerak, menarikku dan Chatrin sedikit lebih dekat seiring perasaan yang kian memuncak. Desahannya dan suara kecupan samar memenuhi kamar mandi, membuat ruangan itu terasa semakin panas dan lembap. "Lebih cepat," perintahnya pelan tapi tegas. Chatrin menjawab dengan gerakan lebih semangat sekarang, lidahnya mulai menemukan ritmenya sendiri yang harmonis denganku. Air liurnya bercampur denganku saat kami bekerjasama melayani Jo. "Bagus... Sangat bagus kalian berdua," puji Jo sambil memandang kami dengan tatapan gelap penuh nafsu. Tiba-tiba, di tengah suasana yang sudah sangat intens, Jo menghentikan gerakan kami. “Tunggu.” Aku mendongak ke atas, menatap mata Jo yang sudah diliputi nafsu yang membara. “Jo? Kenapa?” Ia tersenyum dan mengusap kepalaku, “Kamu yang selesaikan Ra… Tunjukkan ke Chatrin caranya.” Aku tersenyum dan menarik perhatian Chatrin. “Okay, Jo… Trin sekarang kamu lihat baik-baik, ya…” Chatrin mengangguk. Wajahnya terlihat lebih tenang, meski masih menyimpan kegelisahan. Ia menarik napas dalam, lalu berkedip beberapa kali, seolah sedang menyiapkan dirinya. Aku melihat Jo memperhatikan kami berdua tanpa berkata apa-apa. Ia hanya tertawa pelan saat menyadari perubahan di wajah Chatrin. Tanganku lalu mencengkeram paha Jo untuk mencari posisi yang paling nyaman. Aku menarik napas dalam sebelum mendekat, menjilati sepanjang batang penisnya dari pangkal sampai ujung. Aku fokus pada reaksinya, menjaga ritme dan tekanan dengan hati-hati, memastikan setiap gerak terasa tepat tanpa harus terburu-buru. Jo mengerang saat mulutku semakin menenggelamkan penisnya. Membawanya keluar masuk hingga ke ujung tenggorokan. Tarikan di rambutku semakin terasa kencang. “Lebih dalam Ra…” erang Jo dari atas sambil memandangi kami berdua. Chatrin mendekatkan diri lebih dekat untuk melihat lebih jelas—matanya berkaca-kaca saat ia melihat caraku bekerja dengan ritme cepat tapi tetap terkendali. Jo mengerang keras saat mulutku menenggelamkannya sepenuhnya, ujung penisnya menyentuh tenggorokan. Tangannya mencengkeram rambutku erat-erat, memaksa aku tetap di posisi itu sementara tubuhnya bergerak maju mundur dengan ritme yang semakin tidak terkendali. “Lihat Trin—” desis Jo sambil menarik kepala Chatrin lebih dekat hingga wajah gadis itu hanya berjarak beberapa inci dari mulutku yang sedang mengulum batang kerasnya sendiri. “...Gini caranya bikin orang puas dan ketagihan dengan mulutmu…” Jo mengerang keras saat mulutku menenggelamkan sepenuhnya, ujung penisnya menyentuh tenggorokanku. Tangannya mencengkeram rambutku erat, menahanku di posisi itu sementara ia bergerak mengikuti dorongan yang semakin sulit Jo kendalikan. Ritmenya menjadi tidak teratur, penuh tekanan dan emosi yang memuncak. “Hhhnng—Ra!” Jo menarik penisnya dari mulutku lalu menyemprotkan spermanya ke area sekitar wajah, mulut, dan pipiku. Napasnya terengah-engah seolah sangat puas dengan pelayananku. Suasana kamar mandi terasa semakin panas dan lembap. Napas berat bercampur dengan suara Jo yang masih tertahan, juga getaran kecil dari Chatrin yang memperhatikan dengan mata terbuka lebar. Sesekali aku melirik ke arah Chatrin, memastikan dirinya memperhatikan dan memahami setiap momen yang terjadi. “Mbak Ra…” suara itu keluar pelan darinya, seolah hampir ragu. Aku menoleh padanya. Dari caranya memanggil namaku, aku bisa melihat Chatrin masih berusaha mencerna apa yang baru saja ia saksikan. Matanya masih berkaca-kaca, wajahnya memerah, antara gugup dan penasaran. Aku menangkap keraguannya, tapi juga keberanian kecil yang mulai muncul. Di saat yang sama, aku baru menyadari tubuhku sendiri. Kulitku terasa basah oleh air yang menempel sejak tadi, dingin bercampur hangat, membuatku sedikit menggigil. Namun yang membuatku gelisah bukan hanya itu. Dadaku terasa sempit oleh sisa ketegangan, pikiranku berputar pada apa yang baru saja kulalui. Ada perasaan campur aduk—yang membuatku menarik napas lebih dalam, mencoba menenangkan diri sebelum melangkah ke momen berikutnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD