Di Penghujung Malam

2594 Words
Jo masih berdiri di hadapan kami, napasnya perlahan mulai kembali teratur. Aku dan Chatrin tetap berlutut di depannya, terdiam dalam jeda singkat yang terasa berat oleh sisa ketegangan dari semua yang baru saja terjadi. Dari sudut mataku, aku melihat Chatrin masih berusaha menenangkan diri. Bahunya naik turun mengikuti napas yang kini mulai stabil, seolah ia sedang mengumpulkan kembali kendali atas dirinya. “Cantik kan dia kalau berlumuran spermaku?” ujar Jo dengan nada menggoda. Aku menangkap reaksi Chatrin setelah kata-kata itu keluar dari mulut Jo. Tubuhnya sedikit menegang, lalu bahunya turun perlahan seiring ia menghembuskan napas panjang. Dari sudut pandangku, aku bisa melihat pipinya memerah, bukan hanya karena malu, tapi karena ia masih berusaha mencerna makna dari situasi itu. Tatapan Chatrin sempat turun ke lantai, lalu perlahan terangkat lagi dengan ragu, seolah menunggu arahan. Aku tahu ia sedang mencari isyarat. Dalam diamnya, aku bisa merasakan pikirannya tidak tenang—bingung, malu, dan dipenuhi perasaan baru yang belum benar-benar ia pahami. Dengan hati-hati, aku mengusap s****a Jo yang masih menempel di wajahku menggunakan jari-jari tangan. Pandanganku tetap tertuju pada Chatrin yang berdiri kaku di sampingku, jelas masih diliputi rasa ragu. “Coba, Trin…” ucapku pelan sambil mengangkat jariku yang berlumuran s****a ke arahnya. “Rasain…” Chatrin terdiam sesaat. Matanya berkedip cepat saat melihat jariku mendekat. Tangannya sedikit gemetar ketika ia membuka bibir dan menyentuh ujung jariku dengan ragu. Aku bisa melihat bahunya menegang sejenak, lalu perlahan mengendur, seolah ia sedang membiasakan diri dengan sensasi yang baru baginya. Ia menutup mulutnya, alisnya sempat berkerut tipis sebelum ekspresinya berubah menjadi lebih tenang. Dari cara ia menarik napas dan tidak segera menjauh, aku tahu ia sedang mencoba memahami apa yang ia rasakan. Jo tertawa pendek melihat reaksi kami. Tangannya kini bertumpu lebih mantap di bahu Chatrin, membuat tubuhnya menegang tipis, seakan sadar bahwa ia benar-benar menjadi bagian dari momen ini. “Bagus... Sekarang coba langsung dari sumbernya,” desisnya dengan suara serak penuh nafsu. Aku melihat pipi Chatrin semakin memerah saat Jo mengarahkan penisnya mendekat ke wajah wanita itu. Napas Chatrin menjadi cepat dan tidak teratur, jelas terlihat saat ia menyadari apa yang sedang diminta darinya. Wajahnya terlihat sangat gugup, tapi ada ketenangan kecil yang mulai muncul dibanding sebelumnya. Aku bisa melihat keinginannya untuk mencoba, meski keraguan masih tersisa di matanya. Aku tersenyum padanya untuk menenangkannya, lalu bergerak sedikit lebih dekat agar ia merasa tidak sendirian. Chatrin menarik napas pendek. Pandangannya terpaku ke arah Jo, matanya tak lepas dari ujung p***s Jo yang masih berkilat dengan sisa-sisa cairan. Aku bisa merasakan tangannya gemetar saat ia mengulurkan jari-jarinya, menyentuh p***s Jo dengan ragu, seolah itu menjadi caranya mengatakan bahwa ia siap mencoba. “Kamu pasti bisa, Trin…” bisikku sambil meletakkan tanganku di atas pahanya. Aku bisa merasakan Chatrin menarik napas dalam sebelum akhirnya melangkah maju. Ia menggenggam p***s Jo dengan sangat ringan, hanya sekilas, seperti sedang menguji keberaniannya sendiri. Jo lalu bereaksi seketika. “Hhng—!” Desahan kecil keluar dari mulut Jo saat lidah Chatrin menyentuh lembut di ujung batang keras itu, spontan dan tertahan, menandakan betapa sensitifnya sentuhan itu bagi dirinya. “Ayo… lebih jauh lagi,” bisik Jo di dekat telinga Chatrin, seolah memberi dorongan agar ia tidak ragu. Aku melihat Chatrin mengangguk. Kali ini ia membuka mulutnya, mengingat apa yang baru saja ia pelajari. Gerakannya masih canggung dan tidak beraturan, tapi terlihat jelas usahanya untuk tetap mengikuti arahan. Wajahnya sempat berkerut saat merasakan hal yang masih asing baginya, namun ia tidak mundur. Ia menarik napas, lalu melanjutkan dengan sisa keberanian, mencoba menaklukkan rasa gugupnya sedikit demi sedikit. Jo mengerang lebih keras saat Chatrin mulai berusaha dengan sungguh-sungguh. Gerakannya masih canggung, tapi terlihat jelas niatnya. Aku bisa merasakan tubuh Chatrin menegang di sampingku, bercampur antara gugup dan tekad kecil yang perlahan muncul—ia benar-benar mencoba memberi yang terbaik untuk Jo. “Lebih dalam lagi... Jangan cuma ujungnya,” desis Jo sambil memegang rambut Chatrin. “Masukin ke mulutmu semua.” Chatrin menatap Jo dengan mata berkaca-kaca. Dari ekspresinya, aku bisa melihat campuran rasa takut dan dorongan baru yang baru ia sadari. Napasnya pendek-pendek saat ia membuka mulut lebih lebar dan mengikuti gerakan yang diarahkan, perlahan dan penuh kehati-hatian. Aku tersenyum kecil saat melihat usahanya untuk menyelesaikan apa yang diminta, meskipun perasaan gugup masih terlihat di wajahnya. Perlahan tangan Jo mulai menarik rambut Chatrin, mengarahkan wanita itu untuk bergerak lebih cepat dan lebih dalam mengulum penisnya. “Mmmphh!!” erangan wanita itu keluar dengan suara yang teredam. Matanya membelalak, dan tangannya mencengkeram erat paha Jo seolah mencari pegangan. Aku bisa merasakan Chatrin terkejut saat Jo menarik rambutnya, membuatnya kehilangan kontrol sementara. Mulut Chatrin terbuka lebar secara refleks, dan p***s Jo langsung menyusup dalam sampai ke tenggorokan. “Hhhnng—!! Trin...!” Suara desahan kasar dari Jo memenuhi kamar mandi saat ia mendorong masuk penuh ke mulut yang basah itu. Tangannya makin erat menarik rambut Chatrin sambil memaksa gerakan maju-mundur semakin cepat. Wajah Chatrin semakin merah padam dengan air mata mulai menggenang di ujung matanya; mulut kecil wanita itu bergerak canggung tapi tetap berusaha mengikuti ritme Jo. Saat Jo menuntun gerakan Chatrin, aku bisa melihat perubahan pada sikap tubuhnya. Cara Chatrin bergerak perlahan menjadi lebih yakin, seolah mulai mengikuti arahan tanpa perlu banyak berpikir. Pandangan Jo tak lepas darinya, penuh kepuasan terhadap apa yang sedang berlangsung. Sesekali, Jo melirik ke arahku. Ada seringai lembut di wajahnya, seperti seseorang yang menikmati bukan hanya apa yang ia rasakan, tapi juga pemandangan di hadapannya saat ini. Tatapan itu membuatku sadar bahwa aku juga bagian dari momen ini, meski hanya sebagai saksi yang diam. “Ahhh!! Chatrin… Mulutmu nggak kalah enak sama mulut Rara!! Shit..!” Aku tersentak saat mendengar helaan napas Jo yang terdengar berat. Pandanganku bergeser ke arah Chatrin, yang kini tampak sepenuhnya tenggelam dalam momen itu. Suara-suara tertahan dan sentuhan singkat memenuhi kamar mandi, membuat suasananya terasa semakin pengap dan intens. Tiba-tiba ia menarik seluruh rambut Chatrin sampai kepalanya nyaris terlepas dari pangkal batang keras itu. “Hhk-! Hkkk!!” Jo menarik penisnya dari mulut wanita itu lalu menyemprotkan spermanya ke area sekitar wajah, mengenai bibir dan pipi Chatrin. Napasnya terengah-engah seolah sangat puas dengan pelayanan yang Chatrin berikan. Aku mendengar suara tersendat keluar dari tenggorokan Chatrin saat ia akhirnya mendapat jeda untuk menarik napas. Tubuhnya terlihat mulai kehilangan kendali, bergetar kuat seolah menahan luapan yang terlalu besar untuk disembunyikan. Tangannya mencengkeram paha Jo, jemarinya menegang, sementara matanya berkaca-kaca menatap wajah Jo yang tampak puas dengan apa yang terjadi di hadapannya. “Lihat Trin…” bisik Jo serak. “Wajahmu sekarang... cantik banget…” Dia mengangkat dagu Chatrin dengan satu jari agar aku bisa melihat jelas. p***s Jo terlihat berdenyut di atas wajah Chatrin. Dari balik uap kamar mandi yang masih menggantung, aku melihat Chatrin menelan ludah dengan gugup. Pantulan cermin di depan kami memperlihatkan pipinya memerah hingga ke telinga, sedangkan di beberapa area di sekitar bibir dan wajahnya bercecer cairan s****a dari Jo. “Rara...” panggil Jo dengan suara serak namun tetap tegas. Tangannya menyentuh dagu Chatrin, mengarahkannya agar menatap langsung ke arahku. Dari caranya, aku bisa merasakan ketegangan yang membuat Chatrin semakin diam, mencoba menguatkan diri di hadapan kami. “Sekarang jilatin muka Chatrin sampai bersih dari spermaku.” Dari sudut mataku, aku melihat Chatrin bereaksi kecil, seperti menahan rasa kaget dan gugup sekaligus. “Iya Jo...” jawabku begitu saja seolah sudah memprediksi hal tersebut. Aku tersenyum kecil untuk menenangkannya. Dengan gerakan pelan, aku mengikuti arahan Jo. Ujung lidahku menelusuri wajah Chatrin, membersihkan sisa cairan yang masih tertinggal hingga kulitnya terasa bersih. Setelah itu, gerakanku berlanjut perlahan sampai ke bibirnya. Dan saat lidahku tiba di sana, tanpa sadar aku membuka mulut, mencoba mencium Chatrin. “Hmmphh… Mbak…” Chatrin terkesiap saat bibir kami bertemu dalam ciuman yang tidak terasa biasa. Napasnya terengah-engah saat bibirnya menempel dengan milikku. Ia mencoba untuk mengikuti gerakan seperti yang baru saja aku lakukan. Aku bisa merasakan ciumannya yang basah dan kegelisahan yang terus meningkat. Sepertinya, permainan ini sudah mulai mempengaruhinya. Membuatnya menginginkan hal yang sama denganku. Aku tersenyum lebih lebar saat melihat Chatrin akhirnya membalas ciumanku dengan semangat yang sama. Lidahnya bergerak mencoba mengikuti ritme lidahku. “Hmmphh…” erangan kecil dari bibirnya sambil matanya perlahan mulai terpejam. Jo mengamati kami dengan tatapan puas, tangannya masih memegang rambut Chatrin erat-erat. “Bagus... Sangat bagus,” bisiknya serak. Tubuh Chatrin masih gemetar di antara kami berdua, wajahnya terasa hangat dan basah oleh air liur dan s****a Jo yang sudah hampir benar-benar bersih berkat gerakan lidahku yang perlahan dan menyeluruh. “Cukup kalian berdua.” ucap Jo dengan tiba-tiba. Aku refleks berhenti dan melepaskan ciumanku saat mendengar perintah Jo. Napasku dan Chatrin sama-sama terengah, d**a kami naik turun, namun ada rasa puas yang jelas kami rasakan berdua. Setelah itu, Jo membantu kami berdiri. Ia mengecup kening kami satu per satu dengan lembut, seolah bangga dengan apa yang baru saja kami lalui bersama. Bukan hanya tentang memuaskannya, tapi juga tentang bagaimana kami menikmati dan menerima diri kami sendiri dalam momen itu. “Kalian benar-benar hebat. Chatrin sudah belajar dengan cepat…” ucap Jo sambil menoleh ke arahku. “Kamu bisa ngajarin dan nemenin Chatrin sampai sejauh ini. Aku seneng banget lihatnya.” Aku tersipu mendengar pujian dari Jo, “Makasih Jo… Aku juga seneng kalau lihat kamu puas dan happy kayak gini,” ucapku sambil tersenyum ringan. Jo tersenyum lembut sambil mengusap kepala kami berdua, gesturnya terasa seperti bentuk apresiasi sederhana. Wajahnya tampak lebih santai dan rileks, seolah ketegangan dari diri akhirnya benar-benar mereda. “Mau kita mandi dulu?” tanyanya setelah beberapa saat tenang. Aku dan Chatrin mengangguk pelan. Kami masih larut dalam sisa rasa setelah apa yang terjadi sebelumnya, meski tubuh kami basah oleh keringat bercampur air yang sempat mengenai kami sejak awal permainan tadi. Jo mengambil sabun cair lalu menuntunku dan Chatrin ke bawah shower dengan gerakan lembut. Air hangat kembali mengalir deras, membuat kamar mandi terasa semakin lembap. Secara bergantian, ia mengusap sabun ke tubuh kami, membersihkan sisa-sisa cairan yang masih menempel di wajah dan kulit kami dengan hati-hati. Setelah aku dan Chatrin selesai membersihkan diri, kini giliran kami membantu Jo membersihkan tubuhnya di bawah shower dengan gerakan pelan dan teratur. Ia membiarkan kami mengurusnya tanpa banyak bicara, hanya sesekali mengeluarkan gumaman kecil yang terdengar puas atau terdiam cukup lama menikmati suasana. Dari caranya bersikap, aku tahu ia benar-benar sudah merasa cukup. Sesekali Chatrin melirik Jo, lalu menoleh ke arahku. Tatapannya membuatku sulit menebak apa yang ia pikirkan, seolah ada hal yang ingin ia sampaikan tapi masih ia pendam. Melihat sikapnya itu, rasa penasaranku pun muncul tentang apa yang sebenarnya sedang ada di benaknya. Setelah semuanya selesai, aku mematikan shower dan meraih handuk yang tergantung di dekatku. Satu kuserahkan pada Jo, sementara satu lagi kubawa ke arah Chatrin. Kami lalu melangkah keluar dari kamar mandi, meninggalkan sisa-sisa momen sebelumnya yang kini sudah tak terlihat lagi. Setelah semuanya berakhir dan tubuh kami kembali bersih, suasana di antara kami menjadi jauh lebih tenang. Tidak ada lagi ketegangan yang menekan d**a, hanya kelelahan lembut dan keheningan yang terasa nyaman. Dari caranya memperlakukan kami, aku bisa merasakan bahwa bagi Jo, momen itu sudah selesai—bukan ditinggalkan, tapi ditutup dengan kepuasan. Perasaanku terhadap Jo tetap sama: ada rasa percaya dan kenyamanan karena ia tahu kapan harus memimpin dan kapan harus berhenti. Ia tidak menuntut lebih, tidak mendorong lanjutan apa pun. Sikap itu membuatku merasa dihargai, bukan sekadar bagian dari permainan, tapi sebagai seseorang yang benar-benar ia perhatikan. Chatrin adalah yang paling berubah setelah momen itu. Aku bisa melihat dari tatapan matanya—lebih hening. Ia tidak terlihat menyesal, tapi juga belum sepenuhnya paham apa yang baru saja ia alami. Ia sering melirikku, seolah ingin memastikan bahwa ia tidak sendirian dalam perasaan itu. Di situlah posisiku terasa jelas. Aku bukan hanya orang yang lebih dulu ada, tapi juga pelindung bagi Chatrin. Tanpa perlu banyak kata, aku tahu tugasku setelah ini adalah menemaninya mencerna pengalaman tersebut, selain mengarahkannya ke segala hal yang kami alami, juga memastikan ia merasa aman dengan dirinya sendiri. Hubungan kami setelah itu tidak terasa lebih panas, tapi lebih jujur dan nyata. Dan untukku pribadi, momen ini mengukuhkan lagi satu hal: bahwa kedekatan bukan selalu soal intensitas, tapi tentang bagaimana seseorang diperlakukan setelah semuanya berakhir. Kami berjalan kembali ke kamar dalam keheningan yang terasa nyaman. Handuk yang tadi menempel di tubuh kami dilepas satu per satu dan dimasukkan ke keranjang cucian di sudut ruangan, hingga akhirnya kami bertiga kembali telanjang. Tidak ada rasa canggung—hanya kelelahan yang perlahan turun seiring langkah kami. Begitu memasuki kamar, aku langsung menyadari satu hal: sprei di ranjang tampak sedikit lembap dan kusut, sisa dari permainan kami bertiga tadi sebelum mandi. “Sebentar,” kataku sambil menghela napas kecil. “Spreinya harus diganti. Udah nggak enak buat dipakai tidur.” Chatrin mengangguk cepat. “Iya Mbak… aku bantu,” ujarnya pelan. Sementara itu, Jo melirik ke arah kami berdua, lalu berkata santai, “Aku ambil bantal dan guling tambahan, ya. Biar nggak sempit.” “Dari kamar Danis aja, Jo,” jawabku singkat. Saat Jo keluar kamar, aku dan Chatrin mulai menarik sprei lama. Gerakan kami perlahan, tanpa tergesa-gesa seolah menikmati kedekatan ini. Tanganku dan tangannya bersentuhan saat melipat sprei. “Capek?” tanyaku pelan, tanpa menatapnya langsung. Chatrin berhenti sejenak, lalu mengangguk kecil. “Capek… tapi capek enak,” jawabnya jujur. “Kayak… habis melewati sesuatu yang besar.” Aku tersenyum tipis, hampir tertawa pelan. “Iya. Aku ngerti. Emang enak kok.” Chatrin menarik napas dalam-dalam, jemarinya meremas ujung sprei, seolah sedang menimbang kata-kata. “Maaf ya, Mbak Ra…” ucap Chatrin tiba-tiba, suaranya nyaris berbisik. Aku menoleh. “Hm?” “Kalau tadi aku kelihatan… agak bingung.” Aku tersenyum kecil sambil melipat sprei. “Nggak apa-apa. Kamu nggak harus langsung mengerti semuanya.” Kami memasang sprei baru bersama-sama. Chatrin tampak lebih tenang sekarang; gerakannya tak lagi kaku. Ada keheningan di antara kami—bukan kosong, melainkan penuh pengertian yang tak perlu dijelaskan. Tak lama kemudian, Jo kembali dengan dua bantal dan satu guling tambahan. “Siap tidur?” tanyanya sambil meletakkannya di ranjang. “Siap banget,” jawabku sambil menjatuhkan diri di kasur. Kami naik ke ranjang tanpa banyak bicara. Jo mengambil posisi di tengah, seolah sudah menjadi kebiasaan baru tanpa perlu kami diskusikan lagi. Aku pun berbaring di sisi kanannya, sementara Chatrin di sisi kirinya. Lampu kamar dimatikan. Dalam gelap, hanya terdengar napas kami yang perlahan menyatu—kelelahan yang akhirnya menemukan tempat istirahatnya. Jo menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. “Terima kasih ya… buat hari ini,” katanya lirih. “Buat semuanya.” Chatrin menoleh sedikit ke arahnya. “Iya,” jawabnya pelan. “Makasih juga, Mas.” Aku menutup mata sambil menarik selimut tipis. “Trin… kamu baik-baik aja, kah?” tanyaku lembut, khawatir kejadian tadi membuatnya terlalu lelah. Jo mengeratkan pelukannya pada Chatrin. “Iya, Trin… kalau kamu capek atau nggak nyaman, bilang aja, ya…” Chatrin tersenyum samar dalam gelap, bahunya mengendur. “Iya, Mbak, Mas. Aku baik-baik aja,” jawabnya pelan. “Capek sedikit, tapi enaknya banyak,” lanjutnya sambil tertawa kecil. Mendengar itu, napasku terasa jauh lebih lega. Kekhawatiran yang sejak tadi mengganjal kini perlahan mereda. Melihat Chatrin sudah bisa bercanda membuatku yakin dia benar-benar baik-baik saja. “Sekarang kita tidur ya… Biar besok segar,” kalimat itu keluar dari Jo, suaranya terdengar tenang di dekat kami. Chatrin bersandar tenang di d**a Jo dan mengangguk pelan, seakan menemukan tempat yang paling nyaman. Tubuhnya terlihat lebih rileks dan santai setelah ketegangan sebelumnya sebelumnya. Tak lama kemudian, kamar dipenuhi napas kami yang lebih teratur. Keheningan terasa hangat, tidak menekan. Perlahan, aku membiarkan mataku terpejam, menikmati malam yang akhirnya terasa damai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD