Hari berganti sampai tiba Kamis sore, tepat setelah aku pulang kerja. Begitu aku masuk ke dalam rumah, Danis menghampiriku sambil membawa sebuah kotak kecil yang masih terbungkus.
“Tadi sebelum kamu pulang, ada paket datang, Mbak Ra,” ujar Danis sambil menyerahkan kotak itu.
Aku menerima kotaknya, mengangguk, lalu masuk kamar.
“Makasih Danis…”
Danis melihat dengan rasa penuh penasaran.
“Emang isinya apa sih Mbak? Make up lagi? Atau skin care? Kok nggak ada keterangan di paketnya,”
Dengan senyum canggung aku berusaha berpikir keras. Harus kujawab apa ini?
“Iya, ini skin care khusus cewek, Danis… Makanya nggak ada keterangan,”
Danis mengangguk-angguk tanda mengerti lalu menuju kamarnya. Aku menghela napas lega. Syukurlah dia tidak bertanya lebih jauh.
Setelah meletakkan tas, aku duduk sebentar di tepi ranjang. Angin dari AC membuat tirai bergerak pelan, menciptakan suasana tenang yang memberiku ruang untuk bernapas dan mendengar pikiranku sendiri.
Aku mengambil paket itu. Dengan tangan kiri membuka selotip dan tangan kanan menahan kotaknya, gerakanku pelan, seolah barang di dalamnya perlu perhatian khusus. Saat kotaknya terbuka, aku melihat isinya: vibrator yang Jo minta aku beli. Bentuknya sederhana. Persis seperti milik Jo, batinku.
Aku mengambil ponsel dan mengirim pesan ke Jo, bersama dengan foto alat itu.
“Paketnya udah sampai, Jo,” tulisku.
Beberapa detik kemudian, ponselku bergetar.
“Okee, Ra. Besok kita coba ya. Aku ada acara malam ini, jadi aku nggak bisa pantau kamu,” kata Jo.
Aku menutup kotaknya kembali dan menyimpannya di dalam lemari bajuku. Berjaga-jaga jika Danis masuk ke kamarku. Ada rasa campur aduk—penasaran, gugup, dan sedikit tertarik—semuanya bercampur jadi satu. Malam ini aku hanya bisa menunggu, sambil membayangkan hari esok.
Aku belum sempat membalas ketika pesan Jo berikutnya masuk.
“Oh iya, Ra… jangan lupa hubungi Chatrin. Ingat skenario yang kita rancang Sabtu lalu kan?” ujar Jo.
Jantungku terasa berhenti sebentar sebelum kembali berdetak.
Chatrin. Namanya seperti membuka pintu yang selama hampir seminggu ini cuma kubiarkan. Berharap dia akan lupa. Tapi, aku paham maksud Jo. Peran yang akan dimainkan Chatrin, dan peran yang harus aku ambil sendiri. Ini semacam ujian—dan Jo ingin aku melangkah tanpa dia membimbing langsung.
Aku mengetik balasan pelan,
“Iya, Jo… nanti aku hubungi Chatrin,” balasku.
Beberapa detik kemudian pesan terakhir dari Jo masuk.
“Bagus, Rara. Aku mau kamu yang memimpin. Buat dia ikut sesuai kemauanmu,” kata Jo.
Saat membaca pesan itu, pandanganku tidak lepas dari layar. Ada getaran ringan di dadaku—karena takut. Aku pun termenung sebentar, sementara ponsel masih kupegang dengan kedua tangan.
Ada sesuatu dalam diriku yang bergerak pelan—seperti dorongan untuk mencoba hal baru yang biasanya tidak kulakukan. Tanpa banyak pikir, aku membuka kontak yang sudah beberapa hari tidak kusentuh: Chatrin.
Ibu jariku berhenti di atas ikon chat w******p milik Chatrin. Aku menarik napas pendek sebelum membukanya. Kuketik pelan, berusaha agar pesannya terlihat santai tapi tetap jelas.
“Chatrin… kamu free kapan? Jadi nggak nih rencana gym bareng?” ujar aku.
Tak lama kemudian balasannya masuk.
“Hmmm… aku bisa besok malam, Mbak Ra. Kamu bisa?” tulis Chatrin.
Aku berhenti sebentar sebelum membalas.
“Bisa banget. Jam berapa enaknya?” tanyaku.
“Jam 7? Di tempat biasanya kan?” jawabnya.
Aku tersenyum kecil.
“Oke. Jam 7 di gym biasa yaa…” balasku.
Ada kesan kalau dia memang sudah menunggu momen ini, dan itu membuatku sadar mungkin ada hal yang lebih besar di balik semuanya—termasuk rencana yang Jo titipkan padaku.
Aku menutup chat dengan Chatrin lalu membuka percakapan Jo. Tanganku agak dingin saat mulai mengetik, mungkin karena gugup atau terlalu banyak memikirkan hal yang belum jelas.
“Jo… aku udah tanya Chatrin. Dia bisa Jumat malam. Jam 7. Gym di tempat biasa,” tulisku.
Ruangan kamarku terasa sangat tenang. Beberapa detik kemudian, Jo membalas.
“Okee, Ra… Bagus… Kamu udah ambil langkah pertama dengan baik,” ujar Jo.
Dadaku terasa menghangat pelan.
“Kamu pasti bisa,” lanjut Jo pada akhirnya.
Aku memejamkan mata sebentar saat membaca itu. Ada sesuatu yang tumbuh dalam diriku—rasa percaya diri yang lembut, rasa dihargai, dan perasaan bahwa aku sedang masuk ke peran baru yang belum pernah kucoba sebelumnya. Dan anehnya… aku menyukainya.
Sebelum menutup ponsel, aku teringat sesuatu dan akhirnya mengirim pesan tambahan untuk Jo.
“Jo… besok malam Danis ada acara luar kota. Dia baru pulang hari Minggu siang. Rumah juga kosong soalnya Mama baru balik dari Jakarta Minggu malam,” tulisku.
Aku menelan napas kecil sebelum menambahkan,
“Jadi besok… kayaknya waktu yang benar-benar pas untuk jalanin rencana kita.”
Setelah itu aku menaruh ponsel di samping, membiarkan layar padam perlahan. Malam itu berlalu begitu saja tanpa Jo membalasku lagi. Mungkin acaranya membuat dia tidak sempat membalas pesanku.
Pada akhirnya, aku memutuskan untuk tidur.
Saat membaca itu, aku memejamkan mata sebentar. Ada sesuatu yang tumbuh di dalam diriku—rasa percaya diri yang lembut, dan perasaan bahwa aku sedang memasuki peran baru yang belum pernah kucoba.
Malam itu berlalu begitu saja tanpa Jo menghubungiku lagi. Mungkin acaranya memang membuat dia tidak sempat membalas pesanku. Pada akhirnya aku memutuskan untuk tidur.
Esok paginya berjalan seperti hari-hari sebelumnya. Lampu kantor, suara keyboard, orang-orang lewat sambil membawa kopi—semuanya tampak sama. Begitupun dengan aku.
Saat jam makan siang, aku pun memutuskan untuk beranjak mengambil dompet dan berjalan menuju food court mall. Udara sejuk AC menyapu tubuhku saat aku menuruni eskalator. Meski suasananya ramai, rasanya seperti aku berada di duniaku sendiri.
Ketika aku berbelok menuju salah satu kios makanan, sebuah suara memanggil pelan.
“Mbak Rara?” ujar Firman.
Aku refleks menoleh. Firman berdiri memakai seragam sekuritinya, memegang walkie talkie yang menggantung. Matanya tampak lebih fokus dari biasanya, seperti sedang membaca sesuatu dari wajahku.
“Tumben Mbak siang-siang ke sini,” katanya sambil tersenyum kecil.
Aku membalas dengan senyum manis.
“Iya Mas… Ini istirahat sebentar cari makan, tadi pagi belum sarapan,” jawabku.
Ia mengangguk. Tapi aku bisa melihat matanya memperhatikan bagian dadaku. Tatapannya sedikit lebih lama dari biasanya—tatapan seseorang yang memastikan sesuatu yang ia pernah lihat sebelumnya.
“Eh… Mbak Rara kelihatannya beda beberapa hari ini,” katanya pelan, seolah takut salah bicara.
Jantungku berdetak sedikit lebih cepat. Aku tidak tahu apakah ia hanya basa-basi, atau benar-benar menangkap perubahan yang aku rasakan akhir-akhir ini.
“Beda gimana Mas?” tanyaku.
Ia menggaruk tengkuknya, tampak gugup.
“Nggak tahu ya, Mbak… kayak… makin percaya diri? Atau… ya… gitu, deh.”
Aku menarik napas. Jawabannya terasa aman, tapi dari caranya bicara aku tahu dia ingin mengatakan hal lain. Rasanya sekelilingku sedikit lebih sunyi, meski orang-orang terus lewat di sekitar kami. Aku merasa seluruh rahasiaku menempel begitu dekat di kulitku—menunggu apakah seseorang akan menyadarinya.
Aku kembali tersenyum tipis.
“Masa iya sih Mas? Perasaan Mas Firman aja kali,” jawabku.
Firman mengangguk cepat, seakan menepis rasa penasaran di matanya.
“Iya, Mbak… Mbak Rara jadi kelihatan lebih cantik.”
Aku mengerjap sejenak. Tumben sekali, batinku. Sebenarnya aku sering mendapat pujian dari orang-orang di sekelilingku, tapi rasanya berbeda saat mendengar pujian itu datang dari Firman.
“Eh… Iya Makasih Mas… Bisa aja…”
“Beneran Mbak… Ya sudah kalau begitu silahkan pilih-pilih makan Mbak. Semangat kerjanya juga ya, Mbak. Hati-hati nanti kalau pulang,” ujarnya.
Aku kembali mengucapkan terimakasih sembari mengangguk dan berjalan pergi. Tanpa menoleh, aku tahu dia masih memperhatikanku beberapa detik.
Di situ aku merasakan pergulatan batin itu muncul lagi. Bukan karena aku takut ketahuan. Bukan karena aku merasa salah. Tapi karena untuk pertama kalinya, aku sadar bahwa perubahan dalam diriku bukan hanya sesuatu yang aku rasakan. Orang lain mulai melihatnya juga.
Sore itu, setelah menyelesaikan pekerjaan, aku pulang dengan langkah yang terasa lebih ringan dari biasanya. Aku sendiri tidak begitu mengerti kenapa hari itu terasa cepat berlalu—mungkin karena sejak pagi pikiranku penuh oleh bayangan Jumat malam, Chatrin, dan sesuatu yang belum pernah kulakukan sebelumnya.
Begitu membuka pintu rumah, suasananya terasa sepi. Tidak ada suara apa pun dari ruang tamu. Biasanya Danis masih ada di rumah pada jam segitu, tapi kali ini tidak ada tanda-tandanya.
Aku berjalan masuk sambil mengambil ponsel dari tas. Baru saat itu aku melihat notifikasi dari grup keluarga. Ternyata tadi, saat aku dalam perjalanan pulang, Danis mengabarkan bahwa dia sudah berangkat. Pesannya singkat, hanya pemberitahuan biasa, tapi cukup menjelaskan kenapa rumah begitu sunyi ketika aku tiba.
Aku menaruh tas di kursi dan melangkah menuju kamar. Rasanya aku ingin cepat mandi dan berganti pakaian—seperti sedang menyiapkan diri untuk sesuatu yang besar.
Saat aku baru saja menaruh ponsel di meja rias, notifikasi muncul. Dari: Chatrin
Aku berhenti sejenak. Napasku sempat tertahan sebelum kubuka pesannya.
“Mbak Ra, aku jemput kamu jam tujuh kurang ya. Kita bareng-bareng aja ke gymnya,” ujar Chatrin.
Aku melihat jam. Masih cukup waktu sebelum pukul tujuh. Tapi tubuhku mendadak terasa lebih fokus dan siap untuk rencana malam ini. Ada ketegangan tenang yang menjalar, bukan rasa gugup, bukan takut. Lebih seperti persiapan mental untuk peran yang selama beberapa hari ini kita siapkan.
Tanpa sadar, aku mengetik balasan.
“Oke, Chatrin... Aku tunggu yaa...” balasku.
Saat kukirim pesan itu, aku merasakan sesuatu yang sederhana tapi kuat. Aku bukan hanya siap bertemu Chatrin. Aku juga siap melihat versi diriku yang muncul setelah ini.
Setelah selesai mandi dan mengeringkan tubuh, aku memakai baju gym—legging hitam favoritku dan atasan olahraga yang pas membalut tubuhku. Aku duduk sebentar di tepi ranjang sambil melihat diriku di cermin. Ada sesuatu di mataku hari itu. Bukan gugup. Bukan takut. Lebih seperti rasa siap yang muncul pelan-pelan.
Ponselku bergetar. Jo.
“Rara, gimana persiapannya?” ujar Jo lewat pesan.
Entah kenapa, setiap kali Jo bertanya begitu, tubuhku selalu bereaksi duluan sebelum pikiranku.
Aku membalas,
“Sudah siap, Jo. Jam 7 kurang Chatrin jemput aku,” tulisku.
Balasannya datang cepat.
“Okee. Aku nanti ke rumah kamu sebelum Chatrin datang. Kita pastikan semuanya sesuai rencana,” kata Jo.
Ada rasa lega dan sesuatu yang membuatku tenang, seolah aku tidak harus menghadapi semuanya sendirian.
Menjelang pukul enam lebih, aku mendengar pintu terbuka. Aku yakin itu Jo bahkan sebelum membukanya.
Saat pintu terbuka, pandangan kami langsung bertemu. Ada sesuatu di wajahnya yang membuat kegelisahanku hilang begitu saja, karena caranya memandangku membuatku merasa lebih kuat.
Tanpa rencana, kata-kata itu keluar begitu saja.
“Jo… aku kangen,” ucapku.
Aku spontan melangkah mendekat dan memeluknya, menempelkan wajahku ke dadanya. Lalu aku memberanikan diri untuk mencium bibirnya. Hanya sebentar—bukan sesuatu yang berlebihan, hanya cara untuk memastikan bahwa kedekatan kami masih ada. Rasanya ciuman itu membuatku tenang.
Jo menatapku lama, seperti membaca hal-hal yang bahkan aku belum sepenuhnya mengerti.
“Aku tahu, Rara. Makanya aku datang lebih awal. Aku di sini, jadi kamu jangan khawatir lagi,” jawab Jo pelan.
Di momen itu, ada sesuatu dalam diriku yang terasa mantap. Bukan soal rencana, bukan tentang apa yang akan terjadi dengan Chatrin. Tapi tentang hubungan yang sedang kubangun dengan diriku sendiri—melalui Jo.
Saat aku masih bersandar di d**a Jo, napasku perlahan mengikuti ritme jantungnya. Ada jarak tipis di antara kami, seperti ruang kecil yang siap terbuka kalau salah satu dari kami bergerak sedikit saja.
Aku merasakan hangat tubuh Jo, dan suasana di antara kami mulai berubah. Tangan Jo ada di memegang pinggangku erat. Aku hampir membiarkan diriku larut dalam pelukannya.
Tepat saat aku ingin mendongak dan bicara, ponselku bergetar. Chatrin.
Namanya langsung muncul di layar, dan dadaku menegang tanpa sadar. Lalu aku mengangkat ponsel.
“Mbak Ra… aku udah di depan rumah. Maaf datang cepat, soalnya takut keburu hujan,” kata Chatrin.
Aku terdiam beberapa detik. Jo masih menatapku. Bukan marah atau kecewa—lebih seperti seseorang yang paham bahwa apa yang tadi terjadi belum selesai, hanya tertunda sebentar.
Aku mengembuskan napas pelan.
“Chatrin udah datang,” kataku lirih.
Jo mengangguk pelan, seolah membaca semua yang sedang aku rasakan, seakan berkata,
“Nggak apa-apa. Kamu lanjutin. Aku tunggu di sini.”
Aku melepaskan tangannya dari pinggangku perlahan, lalu mundur sedikit. Saat aku berjalan menuju pintu, aku bisa merasakan tatapan Jo di punggungku—hangat, tenang, dan membuatku merasa benar-benar hadir.
Aku membuka pintu depan. Udara sore langsung menyentuh kulitku. Di sana, Chatrin sudah berdiri di samping motornya. Rambut diikat rapi, wajah cerah dengan sedikit rasa ingin tahu ketika melihatku keluar.
“Mbak Ra! Eh, aku datangnya kecepetan ya? Maaf...” kata Chatrin sambil tersenyum.
Aku menggeleng dan membalas senyumnya.
“Nggak apa-apa. Yuk, langsung aja,” jawabku.
Setelah aku duduk di belakangnya, motor bergerak meninggalkan rumah. Angin sore menyentuh wajahku. Namun pikiranku kembali ke Jo—caranya melihatku seolah paham apa yang sedang bergejolak di dalam diri. Tapi sekarang aku bersama Chatrin. Menuju bagian lain dari rencana ini. Bagian yang harus aku pimpin.
Saat motor melaju pelan, aku memegang pinggang Chatrin secukupnya. Ia mengendarai motor dengan tenang, sementara pikiranku terus bergerak seperti gelombang yang belum sempat reda.
Dan di tengah perjalanan itu, aku sadar satu hal: Aku akan berada di titik yang berbeda dari diriku yang dulu. Dan malam ini mungkin akan mengubah banyak hal.
Begitu motor berhenti di area parkir gym, aku turun lebih dulu. Udara malam bercampur dengan suara musik samar dari dalam gedung. Chatrin mematikan mesin, menoleh padaku, dan tersenyum kecil.
“Ayo, Mbak,” katanya ringan.
Kami berjalan berdampingan masuk ke lobi gym. Lampu putih terang dan lantai mengilap membuat ruangan terasa lebih luas. Saat kami melewati area treadmill dan free weights, aku langsung merasakan—tatapan itu.
Beberapa pria yang berlatih menoleh sebentar ketika kami lewat. Sebagian hanya melirik singkat sebelum kembali fokus, sementara beberapa lainnya menatap sedikit lebih lama seperti mengamati. Aku sudah terbiasa. Gym memang punya dinamika sosialnya sendiri, dan banyak perempuan juga merasakannya.
Yang membuatku lebih sadar justru adalah Chatrin.
Tubuhnya ramping dan seimbang. d**a yang sedikit lebih berisi dariku membuat siluetnya lembut dari bahu hingga ke pinggang. Kulitnya hitam manis, menambah kesan seksi dan sensual yang ada pada dirinya.
Rambut hitam kecokelatannya jatuh sampai bahu. Kaos merahnya pas di tubuh, sedikit ketat hingga mengikuti bentuknya tubuhnya. Legging hitamnya yang ketat—membuatnya terlihat semakin menarik untuk dilihat.
Tanpa sadar aku memperhatikan sedikit lebih lama dari yang kukira. Ada cara dia bergerak yang membuatku paham kenapa Jo melihat potensi tertentu dalam dirinya… dan kenapa malam ini aku harus mewujudkannya.
Chatrin menoleh singkat. Ia tersenyum seolah tahu aku sedang memperhatikannya.
“Kenapa, Mbak?” katanya sambil mengambil ikat rambut dari pergelangan tangannya.
Aku cepat membalas senyumnya.
“Nggak apa-apa. Kamu kelihatan beda aja hari ini,” jawabku.
“Beda gimana?” tanyanya sambil mengikat rambutnya.
Gerakan sederhana yang membuatnya terlihat percaya diri. Aku menggeleng kecil.
“Nggak tahu. Kayak… lebih seksi.”
Ia tertawa kecil.
“Mungkin karena aku excited latihan bareng kamu lagi.”
Ada sesuatu dari kalimat itu. Sinyal halus yang mungkin tak ia sadari, tapi cukup membuat dadaku hangat dan mengingatkanku pada rencana yang Jo titipkan padaku. Aku harus memimpin. Aku harus mengatur semua.
Jujur saja. Aku belum tahu bagaimana semuanya akan berakhir. Tapi aku tahu satu hal: aku siap.
Musik gym berdentum, ritmenya menyatu dengan suara orang berlatih dan dengungan AC di ruangan. Keringat di pelipisku mulai terasa dingin karena suhu ruangan, sementara Chatrin masih sibuk dengan pull-down machine di sampingku. Aku melihat jam di layar treadmill: 20.03.
Tepat saat itu, ponselku bergetar pelan. Nama yang muncul di layar membuatku otomatis menarik napas.
“Rara, persiapan sudah siap. Kamu bisa mulai kapan pun.”
Dadaku menegang halus—bukan karena takut, tapi karena inilah saatnya. Bagian dari diriku yang selama seminggu ini tumbuh, bagian yang Jo lihat sebagai potensi kepemimpinan, seakan muncul ke permukaan.
Aku menoleh ke arah Chatrin sebentar. Ia sedang beristirahat, minum dari botol putihnya sambil mengusap rambut yang mulai basah di tepi dahi. Energinya terasa ringan, terbuka, dan entah bagaimana… mudah mengikuti suasana. Aku menarik napas perlahan. Waktunya memulai peranku.
“Trin…” kataku perlahan.
Ia langsung menoleh, matanya refleks memperhatikan gerakanku.
“Aku kok tiba-tiba ngerasa pusing, ya,” kataku lebih dulu, berusaha terdengar lemah tapi tetap tenang.
“Hah? Pusing, Mbak?” tanyanya sambil mendekat, ujar Chatrin.
Aku mengangguk, menurunkan pandangan untuk mempertahankan ekspresi lembut namun meyakinkan.
“Iya… kayaknya kecapean. Kerjaan tadi lumayan hectic. Badanku mendadak rasanya nggak enak,” kataku.
Chatrin terlihat sedikit panik dan langsung menaruh botol minumnya.
“Kok bisa? Kamu minum dulu, Mbak,” katanya sambil memegang lenganku pelan, kata Chatrin.
Sentuhannya menunjukkan perhatian tulus dari seorang teman.
Aku menarik napas pendek. Ini saatnya langkah berikutnya dalam rencana.
“Trin… kayaknya kita harus pulang. Tapi… aku khawatir pulang sendirian. Di rumah juga lagi sepi,” kataku.
Aku berhenti sejenak agar kalimat itu terdengar wajar.
“Kamu… bisa nemenin aku nggak? Takutnya nanti makin pusing dan nggak ada yang nemenin,” lanjutku.
Ada satu detik sunyi. Chatrin menatapku seperti sedang mempertimbangkan sesuatu—bukan ragu padaku, lebih seperti khawatir menyusahkan orang rumah. Setelah itu, ia meraih ponselnya.
“Bentar ya, Mbak. Aku izin Mama dulu,” ujar Chatrin.
Ia menjauh sedikit, tapi aku masih bisa mendengar intonasinya.
“Ma… aku boleh nginep di rumah Mbak Rara? Dia lagi nggak enak badan,” kata Chatrin.
“Iya… cuma nemenin. Iya, Ma. Aku besok pulang pagi. Iya… udah makan juga,” ujar Chatrin melanjutkan.
Ada jeda singkat, lalu ia kembali mendekat.
“Mama izinin kok, Mbak,” katanya.
Aku mengangguk pelan. Bukan karena lega rencananya berjalan lancar, tapi karena cara dia bicara barusan membuat hatiku terasa hangat
“Thanks, Trin… maaf merepotkan,” kataku.
Chatrin menggeleng sambil tersenyum kecil.
“Kayak sama siapa aja Mbak, aman kok... Yuk, pulang. Aku temenin,” ujar Chatrin.
Ketika kami berjalan keluar dari gym, udara malam menyentuh kulitku, terasa lebih dingin dari biasanya. Ada sesuatu dalam langkahku—lebih ringan, lebih mantap, lebih sadar bahwa aku sedang memimpin alurnya.
Begitu Chatrin sibuk menyalakan motornya, aku mengambil ponsel dari saku dan mengetik cepat.
“Jo, rencananya lancar. Chatrin bakal nginep di rumahku malam ini,” kataku lewat pesan.
Ponselku bergetar beberapa detik kemudian.
“Okee Ra… Mantap,” balas Jo.
Aku menggenggam ponselku sedikit lebih erat. Tidak ada sensasi berlebihan. Hanya rasa halus yang sulit dijelaskan—campuran kepercayaan diri, kehadiran Jo, respons Chatrin, dan diriku yang sedang berubah.
Dan malam itu, ketika aku naik ke motor di belakang Chatrin, aku sadar satu hal:
Peran baruku benar-benar dimulai malam ini.