Begitu motor berhenti di depan rumah, malam terasa lebih sunyi dari biasanya, seperti suasana ikut tenang mengikuti kedatangan kami. Lampu teras menyala lembut dan memantul ke dinding, memberikan kesan hangat seolah rumah ini sudah menunggu sejak tadi.
Aku turun lebih dulu dan membuka pagar perlahan. Udara malam terasa bercampur antara lega dan sedikit rasa tegang yang perlahan naik di punggungku. Chatrin mematikan mesin motor, lalu menuntunnya masuk ke halaman rumahku. Setelah itu, dia turun dan meletakkan helm di jok sambil menoleh ke arahku.
“Mbak, kamu masih pusing?” tanyanya pelan, nada suaranya tulus.
Aku tersenyum kecil. Bukan senyum yang meyakinkan, tapi senyum seseorang yang sedang menuntun suasana.
“Masih agak pusing sih, tapi nggak separah tadi. Aku bisa kok. Yuk masuk,” kataku sambil menutup pagar.
Aku berjalan lebih dulu menuju pintu. Saat pintu aku buka, rumah terasa lebih hening—hangat, dan kosong, seperti sedang menunggu sesuatu. Aku sengaja tidak terburu-buru karena langkah yang tenang membuat suasana ikut berubah. Dari belakang, aku bisa mendengar langkah pelan Chatrin mengikuti ritme yang sama.
Aku lalu masuk duluan, menyalakan lampu ruang tamu. Cahaya kuning keemasan memenuhi ruangan dan membuat suasananya terasa jauh lebih tenang. Tidak ada suara lain, hanya langkah kami yang terdengar jelas.
Chatrin mengikutiku sambil melepas sepatunya. Aku menoleh kepadanya, lalu berkata pelan,
“Trin, taruh tasmu di sini dulu ya,” ujarku.
Nada suaraku terdengar biasa, tapi ada kejelasan di sana—sebuah instruksi lembut yang tidak perlu diulang.
“Okee, Mbak,” jawabnya cepat.
Ia menaruh tasnya di sofa, lalu menatapku dengan lembut. Aku pun menggantung jaketku di rak dekat pintu, kemudian berbalik menghadapnya.
“Duduk aja dulu Trin,” kataku sambil mengisyaratkan sofa.
Ia lalu duduk dengan kedua tangan di pangkuan, terlihat sedikit lebih tenang. Aku ikut duduk di sebelahnya dan bersandar lembut di sofa. Tanganku memijat kepalaku pelan, seolah aku benar-benar sedang rapuh dan membutuhkan perhatiannya. Jantungku berdegup kencang sambil menanti rencana Jo.
“Aku nggak apa-apa, kok,” kataku pelan,
“cuma… butuh istirahat sebentar. Kamu temenin aku gapapa kan Trin?”
Chatrin mengangguk dengan cepat, seolah ia siap menyesuaikan diri sepenuhnya.
“Siap, Mbak. Mau aku ambilin air? Atau sesuatu?”
Rasanya agak aneh, tapi menyenangkan, melihatnya begitu cepat merespons setiap kata yang aku ucapkan.
“Enggak, Trin. Nanti kalau aku butuh sesuatu pasti bilang kamu kok,” kataku sambil menggelengkan kepala.
Setelah itu aku mengambil remote dan menyalakan TV. Aku menoleh ke Chatrin, memperhatikannya sejenak sambil mencoba memastikan suasana tetap terkendali.
“Trin, kamu pilih aja mau nonton apa,” kataku sambil menyerahkan remote kepadanya.
Aku sengaja membiarkannya menentukan sendiri, memberinya ruang sambil tetap mengarahkan suasana.
Chatrin menerima remote dariku dengan senyuman. Ia bersandar lebih nyaman di sofa, lalu mulai men-scroll daftar tontonan di TV. Suara menu Netflix terdengar pelan membuat ruang tamu terasa tenang tapi tidak sepi.
“Mau nonton apa emang, Trin?” tanyaku dari ujung sofa.
Chatrin masih melihat layar sambil tersenyum.
“Aku lagi suka banget series ini, Mbak,” kata Chatrin, berhenti di salah satu drama favoritnya.
“Aku biasanya nonton ini sebelum tidur,” tambahnya.
Ia menoleh sebentar ke arahku.
“Boleh?” tanya Chatrin, suaranya lembut.
Aku mengangguk perlahan. Ia pun langsung menekan tombol play. Cahaya dari TV memantul di wajahnya, membuatnya tampak sedikit lebih polos dari yang terlihat.
Saat film mulai, aku ikut bersandar. Rasanya semua kejadian sebelumnya—dari gym, pura-pura pusing, sampai perjalanan—mengalir begitu saja menuju suasana tenang ini, yang sekarang sepenuhnya ada dalam kendaliku.
Pelan-pelan, aku mengambil ponsel di pangkuanku dan membuka w******p. Aku lalu mengetik cepat.
“Jo, kamu di mana? Gimana rencana selanjutnya?” tanyaku.
Balasan Jo muncul hampir langsung, seperti dia memang menunggu.
“Aku di kamar Danis. Lantai dua. Tenang…” kata Jo.
Aku melirik ke arah tangga. Lampu lantai dua redup, tapi aku bisa membayangkan kehadirannya di sana—tenang dan tidak menarik perhatian. Notifikasi kedua muncul.
“Aku udah siapin makanan sama minuman di ruang makan. Ajak Chatrin makan, Ra. Bilang aja pusingmu tadi mungkin karena belum makan,” ujar Jo.
Aku membalas singkat.
“Oke, Jo,” balasku.
Balasan terakhir muncul.
“Good. Tetap tenang dan rileks. Aku di sini kalau kamu butuh,” kata Jo lagi.
Aku mengunci ponsel, meletakkannya, lalu menarik napas perlahan. Aroma ruangan, suara TV, dan kehadiran tenang Chatrin membuat suasana terasa dekat—meski tanpa sentuhan apa pun.
Setelah satu menit menonton, aku menoleh ke arahnya.
“Trin…” panggilku lembut.
Chatrin langsung menatapku.
“Iya, Mbak?” kata Chatrin.
Aku tersenyum tipis sambil memegang perut sebentar.
“Aku baru sadar… kayaknya aku pusing tadi juga karena belum makan. Dari siang belum sempat,” ujarku.
Wajah Chatrin berubah khawatir, tapi tetap terkendali.
“Loh? Ya ampun, Mbak… pantesan wajah Mbak Rara kelihatan pucat. Kenapa nggak bilang?” kata Chatrin.
Aku menggeleng pelan sambil tersenyum. Rasanya menyenangkan juga melihat perhatiannya tertuju padaku. Chatrin lalu mencondongkan tubuhnya. Membuat wajahnya begitu dekat dengan wajahku.
“Sekarang gimana? Mau makan dulu?” tanya Chatrin.
Aku mengangguk, menjaga nada tetap lembut tapi jelas.
“Boleh… Temenin aku makan yaa, Trin... Udah ada makanan kayaknya di meja,” jawabku pelan.
Chatrin berdiri lebih dulu sambil tersenyum.
“Oke, Mbak. Ayo makan,” kata Chatrin.
Aku ikut berdiri dan melangkah menuju ruang makan. Degup jantungku terasa stabil—bukan gugup, tapi karena semuanya berjalan sesuai arah yang Jo mau. Dan di lantai dua, di balik pintu kamar Danis yang tertutup, aku yakin Jo sedang memperhatikan perkembangan malam ini dengan tenang.
Aku berjalan pelan, memimpin langkah. Chatrin mengikutiku dari belakang tanpa ragu. Malam itu memasuki tahap berikutnya dengan ritme yang halus dan terarah.
Ruang makan terasa hangat saat kami masuk. Lampu gantung yang redup membuat bayangan di meja terlihat lembut, dan aroma makanan yang disiapkan Jo memenuhi ruangan. Aku sempat merasakan langkah. Chatrin melambat sedikit di belakangku, seperti ia menunggu petunjuk tanpa perlu diminta.
Aku mengambil piring dan sendok lebih dulu, lalu menoleh ke Chatrin.
“Ambil aja, Trin… Makan yang banyak,” kataku.
Chatrin tersenyum kecil sambil mengambil piring untuk dirinya sendiri.
“Iya Mbak… Mbak juga makan yang banyak. Aku ambilin ya.”
“Makasih ya Trin…”
Chatrin lalu mengambil nasi dan lauk ke piring kami berdua. Gerakannya yang sangat perhatian dan lembut membuatku sedikit yakin bahwa Jo memilih gadis yang tepat untuk menjadi partner baru bagiku dan Centia.
Kami lalu kembali ke ruang tengah. TV masih menyala dengan volume pelan, cahayanya memantul di dinding. Aku duduk di sisi kanan sofa, dan Chatrin duduk di sisi kiri. Jaraknya dekat cukup membuat kami nyaman, tapi tetap memberi ruang agar ia bisa bergerak dan makan dengan nyaman.
Saat baru suapan ketiga, ponselku bergetar. Notifikasi w******p muncul dari Jo. Aku membuka pesannya perlahan, tetap diam dan menjaga wajahku tetap tenang.
“Ra, di kulkas ada es teh. Sudah aku siapin. Ambil buat kamu sama Chatrin, ya,” ujar Jo lewat pesan.
Aku menutup layar ponsel dan mengembuskan napas perlahan. Waktunya pas, seperti biasa. Aku meletakkan sendok dan garpu perlahan, lalu menoleh ke Chatrin.
“Trin…” panggilku lembut, nada yang langsung membuatnya mengangkat wajah.
“Iya, Mbak?” jawabnya.
“Aku ambil minum dulu ke dapur. Kamu mau es teh?” tanyaku.
Chatrin mengangguk sedikit cepat.
“Mau, Mbak… Mbak Rara bisa ambil sendiri?”
“Bisa kok…”
Aku tersenyum kecil lalu berdiri menuju ke dapur.
Saat membuka kulkas, aku melihat satu teko es teh yang disiapkan Jo. Aku mengambil teko es teh itu sambil membawa dua gelas. Saat aku kembali melangkah ke ruang tengah, dari jauh kulihat Chatrin menoleh.
“Hati-hati Mbak bawanya…”
“Iya Trin…”
Aku pun meletakkan teko es teh dan dua gelas itu di meja kecil dekat kami berdua.
Kami lalu melanjutkan makan dengan pelan sambil menonton film. Setiap beberapa menit, aku bisa merasakan bagaimana perhatian Chatrin kembali padaku, menatapku, memastikan aku masih baik-baik saja.
Tidak lama kemudian, piring kami kosong. Teko dan gelas pun hanya menyisakan sedikit dingin di dasarnya. Aku lalu menghabiskan sisa minumanku lalu meletakkan gelas dan bertanya pelan,
“Udah kenyang?”
Chatrin mengangguk cepat.
“Iya, Mbak. Enak banget,” jawabnya.
Aku tersenyum kecil. Senyum yang membuatnya rileks.
“Aku bawa ini ke belakang dulu, ya,” ujarku sambil berdiri.
“Aku bantu ya Mbak…”
Chatrin sempat ikut berdiri, tapi aku mengangkat tangan sedikit.
“Duduk aja, Trin… Aku bisa kok. Kamu lanjutin nonton aja, anggap rumah ini kayak rumahmu sendiri…”
Ia langsung duduk kembali, wajahnya kembali tenang.
“Ya sudah Mbak… Kalau butuh aku bantu, bilang ya Mbak.”
Aku mengangguk lalu beranjak ke dapur membawa piring, gelas, sendok, serta ponselku ke belakang—berjaga-jaga kalau Jo menghubungiku lagi. Kutaruh perlengkapan kotor itu di wastafel dan mengalirinya dengan air, agar besok mudah untuk dicuci. Suara air dari keran terasa terdengar pelan, namun cukup untuk menutup detak jantungku yang berdebar sedikit lebih kencang.
Karena Jo belum mengirim pesan apa-apa, aku memutuskan menghubunginya dulu.
“Jo, aku sama Chatrin udah selesai makan. Es tehnya juga sudah habis. Langkah selanjutnya apa?” tanyaku.
Balasannya cepat, seperti ia memang sudah memperhatikan dari jauh.
“Es tehnya udah habis? Oke. Sekarang kembali ke Chatrin. Duduk lebih dekat dengannya,” tulis Jo.
Aku menahan napas sebentar. Bukan ragu—hanya memastikan ritmenya pas. Aku membalas singkat:
“Oke.”
Ponsel kuselipkan kembali ke saku. Aku lalu berjalan ke ruang tengah. Saat tiba di ambang ruang tamu, Chatrin langsung menoleh. Ia tidak bergerak, hanya menungguku mendekat.
Di sofa, aku duduk di sebelahnya. Tidak menyentuh. Hanya memperpendek jarak. Efeknya langsung terlihat: napasnya pelan, bahunya turun, ekspresinya menyesuaikan ruang baru di antara kami.
“Gimana, Trin? Kamu nyaman?” tanyaku.
Nada suaraku lembut, tapi arah dan maksudnya jelas. Chatrin mengangguk.
“Nyaman banget, Mbak,” jawabnya.
Aku lalu duduk sedikit lebih dekat darinya, membiarkan dinamika yang pelan itu mengalir dengan sendirinya. Getaran lembut dari ponsel di sakuku terasa lebih jelas dibanding suara film di TV. Aku merogohnya perlahan, menyembunyikan layar dari pandangan Chatrin. Saat kubuka w******p, pesan Jo muncul.
“Ra, duduk lebih dekat. Sandar ke arah Chatrin. Bilang aja kamu mulai ngantuk,” tulis Jo.
Aku menahan napas singkat. Lalu mengetik balasan pendek:
“Oke Jo…”
Aku menoleh ke Chatrin.
“Trin…” panggilku lembut.
Ia langsung menoleh.
“Iya, Mbak?” jawabnya cepat.
Aku menghela napas kecil sambil menyentuh sisi kepalaku, sebagai alasan kecil untuk mendekat.
“Kayaknya aku mulai ngantuk… boleh aku nyandar ke kamu?” tanyaku pelan, tetap lembut tapi tulus.
Chatrin tersenyum kecil—hangat dan tanpa ragu.
“Boleh banget, Mbak. Sini aja,” katanya.
Aku menggeser tubuh perlahan. Jarak kami berkurang begitu saja tanpa suara. Bahu kami bersentuhan, dan ketika aku bersandar ke bahu kirinya, tubuhnya ikut menyesuaikan, memberi ruang dengan cara yang natural. Ia tetap menatap layar TV, tapi napasnya berubah—lebih pelan, lebih sadar akan kedekatan kami.
Aku ikut menatap layar, tapi pikiranku bukan pada film. Justru pada sensasi yang mulai muncul di tubuhku. Rasa hangat yang bergerak pelan dari d**a, turun ke perut, lalu kembali naik sebagai getaran halus yang tidak kuundang tapi juga tidak kutolak. Intensitas yang sulit dijelaskan, tapi sangat mudah dirasakan.
Satu pikiran muncul tanpa kuundang. Jangan-jangan minuman tadi? Es teh itu dingin, lembut, dan entah kenapa setelah meminumnya menyisakan sensasi yang… Kukenal?
Ingatan menghampiri. Jumat kemarin. Di klub malam. Setelah minum bersama Jo dan Centia. Tubuhku juga merasakan sesuatu malam itu—perasaan hangat yang merayap perlahan, bukan mabuk… lebih seperti tubuh tiba-tiba terlalu sadar pada kehadiran orang lain. Sama seperti sekarang.
Aku tetap diam, menahan napas sedikit. Tidak ingin Chatrin menyadarinya. Tapi ia justru menoleh…
“Mbak…” suaranya nyaris berbisik, lembut, seperti ia sedang membaca sesuatu yang tidak terucap.
Aku langsung menatapnya.
“Hm?”
Chatrin menelan ludah, pipinya sedikit memerah.
“Aneh deh…” katanya pelan.
“Aku ngerasa… hangat. Gelisah. Kayak… susah dijelasin.”
Ia memalingkan tatapan sejenak, canggung.
“Kayak… deg-degan. Terus mendadak ruangan kok rasanya lebih panas ya Mbak.”
Aku terdiam sejenak. Kurasa ia mulai merasakan hal yang sama persis seperti aku beberapa hari lalu..
Chatrin menatapku lagi, matanya jujur, sedikit bingung, dan sangat terbuka.
“Mbak juga ngerasain sesuatu?” tanyanya pelan, hati-hati, seakan ia takut berlebihan.
Aku menahan napas satu detik—cukup untuk menata reaksi.
Lalu aku menoleh pelan ke arahnya… dan senyum kecil muncul di sudut bibirku.
“Sedikit,” jawabku… suara sangat lembut, hampir seperti rahasia.
Ponselku kembali bergetar pelan. Karena aku sedang bersandar di bahu Chatrin, getarannya terasa lebih jelas dari biasanya. Jarak kami dekat, jadi gerakan kecil saja seperti ikut menekan dadaku.
Perlahan, aku merogoh saku dan mengecek layar.
“Ra, harusnya udah mulai terasa efeknya di kalian berdua. Kamu kerasa kan?” tulis Jo.
Aku membalas singkat.
“Iya. Chatrin juga ngerasain,” balasku.
Jo membalas cepat.
“Bagus, sekarang kamu coba pancing dia, kayak yang pernah kamu lakuin sama Centia kemarin,” jawab Jo lagi.
Saat membaca pesan itu, aku langsung mengerti maksud Jo. Seperti yang pernah dilakukan Centia padaku, Jo ingin aku melakukan hal serupa pada Chatrin. Aku memang sudah berjanji padanya—aku akan membantu untuk membuat Chatrin jadi bagian dari kami. Aku memutuskan untuk mengikuti permintaannya.
Aku mengembuskan napas, berusaha tetap terlihat santai meski tubuhku mulai lebih peka dari biasanya.
Saat aku mendongak, Chatrin sudah menatapku. Tatapannya lembut dan agak bingung, seperti dia sedang mencoba memahami apa yang sedang dia rasakan. Bahuku masih menempel di bahunya. Kami diam beberapa detik, dan suasananya berubah—lebih hangat dan lebih terasa, tapi tetap samar.
Chatrin menelan ludah sebelum bicara.
“Mbak… kenapa rasanya kayak… sentuhannya Mbak bikin aku merinding ya?” kata Chatrin pelan.
Aku menoleh sedikit, menatap matanya yang hampir sejajar denganku.
“Aku juga ngerasain kok, Trin,” responku.
Bahu Chatrin masih menjadi sandaranku. Hangat—cukup hangat sampai napasku terasa naik-turun sedikit lebih cepat. Saat ia menatapku dengan mata besar dan jujur, disertai kebingungan halus, ada sesuatu di dadaku ikut bergerak, seperti menunggu momen berikutnya.
Aku lalu menoleh. Wajah kami hanya berjarak beberapa sentimeter. Bibirnya sedikit terbuka; bukan undangan, tapi juga bukan penolakan. Ragu, tapi tidak menjauh. Hatiku berdebar, tapi aku tetap bergerak tenang.
“Trin…” bisikku.
Ia lalu menegakkan posisinya sedikit. Tatapannya tetap sama—masih ada ragu, tapi ia tidak pergi. Seolah ia menunggu aku menentukan apakah momen ini harus lanjut atau berhenti.
Aku mengangkat tanganku perlahan, memberi ruang baginya kalau ia ingin mundur. Jari-jariku menyentuh ujung rahangnya dengan ringan. Ia tidak menjauh. Napasnya malah terdengar lebih dalam.
“Kalau kamu nggak nyaman… bilang,” kataku pelan.
Chatrin menelan ludah, pipinya memerah, lalu mengangguk pelan. Kejujurannya terasa jelas. Itu cukup untukku. Aku mendekat perlahan sampai bibirku hampir menyentuh bibirnya, menunggu reaksinya.
Saat aku menciumnya—kecupan pertama yang ringan—aku merasakan tubuhnya menegang sebentar, lalu bahunya melunak. Napasnya menurun, dan ia membiarkan aku mencium kembali bibirnya.
Canggung, hangat, dan sederhana. Bukan karena keadaan atau dorongan luar, tapi karena ia memilih untuk tidak mundur. Ciumannya bukan balasan kuat, hanya penerimaan. Keputusan kecil dalam diam yang membuat dunia di sekitar kami terasa mengecil… sampai hanya ada kami berdua.
Saat ciuman itu selesai, aku mundur sedikit—sekadar memberi jarak kecil untuk melihat reaksinya, bukan untuk menjauh. Bibir kami belum sepenuhnya terpisah, dan napas masih terasa pendek di antara kami.
Chatrin membuka matanya pelan. Ada sedikit syok, ada malu, tapi juga kejujuran yang sangat jelas terlihat. Pipinya memerah, dan ia tampak seperti sedang mencoba memahami reaksi tubuhnya sendiri.
“Mbak…” bisiknya, suaranya terdengar serak karena kaget, bukan takut.
Aku menatapnya lembut dan tetap memberinya ruang.
“Gimana?” tanyaku pelan, lebih seperti ajakan untuk jujur daripada pertanyaan yang menekan.
Chatrin mengerjap sekali, lalu lagi. Bahunya naik turun pelan.
“Aku… nggak nyangka rasanya bakal kayak gitu,” katanya.
Ia menunduk sebentar, lalu kembali menatapku dengan keberanian kecil yang muncul dari momen barusan.
“Tapi aku… nggak keberatan.”
Kata itu keluar seperti sesuatu yang sudah lama ia simpan.
Aku tersenyum kecil—bukan menggoda, hanya menerima kejujurannya dengan hati-hati. Perlahan, aku menggeser tanganku dari rahangnya ke pipinya, tidak mendekat, hanya menahan di sana. Sentuhan yang memberi tanda bahwa kita bisa berhenti kalau ia mau.
“Kalau kamu mau kita pelan-pelan…” kataku lembut,
“…atau berhenti di sini pun nggak apa-apa.”
Chatrin menggigit bibirnya sebentar—bukan gelisah, tapi seperti menahan senyum.
“Aku nggak mau berhenti,” katanya jujur.
Pelan. Seolah takut merusak suasananya kalau bicara terlalu keras.
Bahunya kembali rileks. Ia tidak bergerak mendekat, tapi juga tidak menjauh—ia menungguku, seperti tadi. Suasananya tetap hangat dan tenang, dengan irama yang kami berdua pilih bersama.
Ciuman pertama itu masih terasa ketika aku mendekat lagi. Chatrin belum sepenuhnya pulih dari rasa terkejutnya—pipinya merah, napasnya pendek, dan matanya terus mencari jawaban di wajahku. Bukan untuk menolak, lebih seperti memastikan bahwa yang barusan benar-benar terjadi.
“Boleh?” tanyaku pelan. Satu kata itu saja cukup membuatnya mengangguk cepat.
Aku tidak langsung menciumnya. Aku mendekatinya terlebih dahulu. Membiarkan jeda di antara kami terasa. Membiarkan degupnya—dan degupku—mengisi ruang sejenak.
Ketika bibir kami bertemu untuk kedua kalinya, Chatrin bukan lagi sekadar menerima. Ia membalas perlahan, sangat hati-hati, seperti seseorang yang sedang belajar mengenali sesuatu yang baru… dan ia menyukainya. Tangannya sempat ragu, tapi kemudian perlahan naik, menyentuh lengan kiriku. Hangat. Nyaman. Nyata.
Ciumannya kali ini lebih lama. Lebih sadar. Seperti Chatrin mulai memahami bahwa ia boleh menginginkan sesuatu—bahkan jika ia belum tahu bentuk akhirnya bagaimana.
Saat aku mencondongkan tubuh, Chatrin sedikit tersentak, tapi bukannya menjauh; ia justru menahan napas, lalu membiarkan dirinya ikut bergerak mendekat. Ada ketegangan manis di rahangnya, ada gugup di kelopak matanya, dan ada sesuatu seperti keberanian yang akhirnya muncul tepat saat bibir kami kembali bertemu.
Aku merasakan ia mulai menyesuaikan ritmanya denganku. Perlahan. Intens. Tapi tetap lembut.
Lalu, di tengah suasana itu, aku mendengar langkah—pelan dan teratur—datang dari arah tangga.
Chatrin tersentak. Tubuhnya menegang di bawah sentuhanku. Ia langsung menjauh sedikit, wajahnya berubah panik seketika. Matanya melebar, napasnya terhenti di tenggorokan.
“M—Mbak… ada orang…” bisiknya terbata.
Aku tetap tenang. Tanganku menyentuh bahunya dengan pelan, agar ia tahu tidak ada yang perlu ditakuti. Chatrin menoleh pelan, dan saat melihat sosok yang turun dari tangga, ia hampir terlonjak.
“Mas J–Jo…?” suaranya patah.
Jo berhenti di dua anak tangga terakhir. Wajahnya tidak marah atau kaget—justru terlihat tenang, bahkan sedikit lega, seperti ia sudah menduga arah malam ini. Ia mengangkat alis, memandang kami sebentar.
Aku mengembuskan napas pelan agar Chatrin tahu aku tidak merasa salah atau gentar.
“Tenang,” kataku pelan, menyentuh punggungnya sebentar.
Chatrin menoleh cepat, masih panik.
“Kenapa… kenapa dia di sini, Mbak?”
Aku tersenyum kecil—bukan nakal atau menang, hanya memastikan ia tidak salah paham.
“Karena ini rumahku,” jawabku lembut.
Jo kemudian menuruni dua anak tangga terakhir dan berhenti beberapa langkah dari sofa, menjaga jarak agar Chatrin tidak merasa tertekan. Ia menyilangkan tangan lalu melihat ke arah Chatrin dengan tatapan hangat.
“Maaf kalau ganggu,” ujar Jo pelan.
“Aku cuma mau pastikan kalian berdua baik-baik saja.”
Ia menatapku, bingung, jujur, masih memerah… dan perlahan mulai bernapas lebih stabil.
Jo mengangguk sopan ke arahnya.
“Kalau kamu nggak nyaman, aku bisa naik lagi. Serius.”
Aku menatap Chatrin.
“Gimana? Kamu nyaman kalau Jo ada di sini atau mau kita lanjut berdua aja?”
Chatrin menggigit bibir, matanya bergerak cepat antara aku dan Jo—lalu kembali ke aku. Dan aku menunggu. Tenang. Tanpa mendesak. Karena keputusan selanjutnya harus datang dari dirinya.