Dejavu

2902 Words
Chatrin tiba-tiba berdiri. Napasnya tercekat, dan kursi sofa jadi bergeser sedikit karena gerakannya yang panik. Wajahnya memerah, kali ini jelas karena kaget dan malu. “A-Aku… aku mau pulang, Mbak,” ujar Chatrin, suaranya kecil tapi jelas panik. Jo maju satu langkah. Bukan untuk menghalangi, tapi lebih untuk menenangkan keadaan. “Chatrin,” ujar Jo pelan, suaranya lebih lembut dari ekspresinya. Chatrin hampir mundur, tapi Jo mengangkat tangan memberi isyarat berhenti tanpa menyentuhnya. “Tenang. Aku nggak akan tahan kamu. Kamu boleh pulang kalau kamu mau,” kata Jo. Napas Chatrin mulai lebih teratur, meski matanya masih membesar. “Beneran Mas?” “Iya… Tapi sebelum kamu pergi,” lanjut Jo, “buka w******p kamu dulu.” Chatrin mengerutkan kening, terlihat bingung sekaligus waspada. “…buat apa Mas?” tanya Chatrin. “Ada sesuatu yang harus kamu lihat,” jawab Jo tenang. Chatrin akhirnya mengambil ponselnya dari tas. Tangannya masih sedikit gemetar saat membuka w******p. Beberapa detik kemudian, dia melihat pesan dari Jo—sebuah video yang baru saja dikirim. “Ini… video apa?” tanya Chatrin dengan suara yang menegang. “Itu rekaman kalian berdua tadi. Waktu kamu sama Rara ciuman,” jawab Jo pelan. “Aku jadi mau tau gimana reaksi pacarmu kalau dia tau pacarnya ciuman sama orang lain dan itu sesama cewek. Apalagi kalau orang tuamu yang tahu, ternyata anaknya lesbian. Kayaknya bakal menarik.” Wajah Chatrin mendadak pucat. Sebelum sempat mengatakan apa pun, dia langsung menekan video tersebut. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat jelas perubahan ekspresinya ketika rekaman mulai berjalan—matanya membesar, bibirnya sedikit terbuka. Suaraku dan suara Chatrin terdengar jelas dari ponselnya. Ketakutan di wajahnya semakin kuat, dan ia menatap Jo dengan pandangan panik, seakan tidak tahu harus melakukan apa. Aku sempat heran dari mana Jo merekamnya atau di mana dia meletakkan kameranya, tapi aku memilih menyimpan pertanyaan itu dulu dan berniat menanyakannya saat keadaan sudah lebih normal. “Mas Jo… tolong… jangan kirim itu ke pacarku… atau orang tuaku… aku mohon…” ujar Chatrin. Suaranya melemah karena cemas. Aku hanya bisa berdiri di sampingnya, ikut merasakan tegangnya suasana. Jo tidak langsung menjawab saat gadis itu memohon dengan tatapan yang ingin menangis. Ia hanya menatap Chatrin sebentar tapi tetap diam, hanya napas tenangnya yang terdengar. Ketika akhirnya Jo mulai bicara, nada suaranya tetap datar seperti biasanya. “Aku juga mau tahu,” gumamnya, ujar Jo pelan, lebih seperti bicara pada dirinya sendiri, “Kalau aku kirim video itu, apa yang akan terjadi sama kamu setelahnya.” Chatrin menahan napas. Kurasa ia juga membayangkan apa yang akan terjadi dengannya jika video itu tersebar. Jo mengangguk perlahan, seakan menjawab pikirannya sendiri. “Mereka akan sangat marah. Kamu tahu, kan?” tanya Jo. Chatrin mengangguk pelan, matanya mulai berair. Ia tidak perlu mendengar detail apa pun untuk memahami betapa berat akibatnya. Jo melanjutkan dengan suara lembut, tenang, dan tanpa emosi. “Pacarmu mungkin bakal mutusin kamu dan nggak mau ketemu kamu lagi. Keluargamu juga mungkin akan sangat kecewa dan ngusir kamu dari rumah. Kehidupanmu mungkin akan hancur hanya dalam satu malam.” Chatrin sadar itu benar. Ia menelan ludah, lalu suaranya terdengar lirih. “Mas… tolong. Jangan kirim video itu… Aku mohon Mas…” pinta Chatrin dengan suara bergetar. Jo tidak langsung menanggapi permohonan itu. Ia hanya melihat Chatrin lama, seakan menimbang sesuatu. Saat Jo akhirnya berbicara, suaranya tetap biasa—bukan mengancam, seperti hanya menyampaikan fakta. “Ada syaratnya,” ujar Jo akhirnya, tenang tapi jelas. Chatrin mengerjap, merasa takut tapi juga penasaran dengan syarat itu. Ia sadar Jo sudah membaca ketakutan terbesarnya—ketakutan akan kehilangan segalanya hanya karena satu tindakan bodoh yang dilakukan saat gairahnya memuncak, karena gairah yang muncul tanpa ia sendiri sadari. “…ap, apa syaratnya Mas?” tanyanya terbata, suaranya pelan. Tanpa mengatakan apa pun, Jo melangkah maju mendekatinya, lalu menunduk dan menempelkan bibirnya pada bibir Chatrin dalam ciuman yang singkat namun intens. Aku melihat reaksi Chatrin yang terkejut, tapi hanya sebentar. Ia tidak menolak, tidak menutup mata, dan tidak bergerak mendekat. Ia hanya membiarkan bibirnya bersentuhan dengan bibir Jo. Aku tidak bisa melihat wajah Jo, tapi gerak bahu dan tangannya terlihat jelas tetap tenang dan terarah. Setelah beberapa saat, Jo perlahan mundur sedikit tanpa benar-benar melepaskan jarak di antara mereka. Chatrin sempat membuka bibir, seolah ingin menarik napas, tapi Jo kembali mendekat dan mencium Chatrin lagi—lebih dalam, lebih lama, namun tetap tanpa gerakan yang berlebihan. Aku melihat tangannya bergerak ke sisi leher Chatrin, hanya untuk menahan posisinya agar tidak mundur dan menjauh. Detak jantungku ikut berdentum cepat; bukan karena cemburu, tapi karena suasananya yang semakin intens dan panas. Aku tidak terbiasa melihat Jo seperti itu, dan tubuhku bereaksi meski aku sendiri tidak sepenuhnya paham kenapa. Mungkin karena aku mengingat kejadian malam itu. Jo, menciumku dengan cara yang sama. Tiba-tiba, Chatrin mendorong tubuh Jo dengan sekuat tenaga, berusaha melepaskan ciuman itu. Ia menarik wajahnya sedikit menjauh lalu berkata pelan: “Jangan, Mas,” katanya pelan, suaranya terdengar gemetar. Chatrin berdiri kaku, matanya terlihat masih tidak percaya bahwa ia ada di posisi seperti saat ini. Bibirnya masih sedikit terbuka, dan kini ia menatap Jo dengan ekspresi campur aduk: syok, bingung, dan sedikit takut. Jo perlahan melepaskan tangannya dari leher Chatrin. Ia menghela napas kecil sebelum berbicara. “Syaratku sederhana,” ujar Jo tenang. “Kamu bebas milih. Kalau mau pulang boleh, tinggal tunggu gimana reaksi orang tua atau pacarmu.” Aku merasakan tubuhku ikut menegang. Aku sudah paham apa yang Jo maksud hanya dari kata-katanya. Chatrin hanya diam, menunggu Jo melanjutkan. Ia tahu ia hanya punya dua pilihan, dan seperti sebelumnya, ia tidak punya banyak ruang untuk menolak atau mencoba bernegosiasi. Jo tampak menikmati situasi itu. Ia menepuk kepala Chatrin dengan lembut lalu tangannya turun untuk mengusap pipinya. Jo menghela napas pendek, lalu melanjutkan dengan suara rendah dan jelas: “Atau kamu tinggal di sini,” ujar Jo sambil menyentuh bibir yang sudah diciumnya tadi. Begitu kalimat itu keluar, Chatrin membeku. Pipinya memerah—bukan hanya karena canggung atau takut, tapi juga karena campuran perasaan lain yang sulit dibaca dari ekspresinya. Mungkin bingung, menyesal, atau bahkan diam-diam berharap. Mungkin efek obat dari minuman yang diberikan Jo tadi berpengaruh padanya. Aku bisa melihat bagaimana pikirannya dipenuhi pertanyaan, terutama apakah semua ini benar-benar terjadi. Jo tidak membiarkannya berpikir terlalu lama. Dengan gerakan santai, ia menyentuh rambut Chatrin perlahan, seolah memastikan Chatrin tetap fokus padanya. “Kalau kamu pilih tetap di sini,” lanjut Jo pelan, “...aku janji video itu akan selalu jadi rahasia kita bertiga.” Jo menatap Chatrin dengan intens. Tatapannya tenang, tapi penuh arti. Tangan Jo yang tadi menyentuh rambut Chatrin perlahan turun ke pundaknya, memberi tekanan halus. Chatrin kembali bergetar. Napasnya tersendat di tenggorokan. Matanya melebar lebih jauh—campuran takut dan peluang yang muncul begitu cepat sampai ia belum sempat memutuskan apa pun. Aku bisa melihat betapa keras ia memikirkan semuanya: pulang dengan risiko kehilangan segalanya? Atau tetap di sini, dijamin aman… tapi apa yang harus ia lakukan untuk mendapatkan rasa aman itu? Jo tidak memberinya waktu terlalu lama untuk tenggelam dalam keraguan. “Kamu punya lima detik,” bisik Jo pelan, “Untuk milih.” Chatrin menahan napas. Matanya berkedip cepat, seolah mencari jawaban. Ia sempat menatapku dan Jo cepat, seakan berharap salah satu dari kami bisa memberi kepastian. Namun waktu terus berjalan. “Satu,” gumam Jo pelan. “Dua.” Suara Jo terdengar lebih dalam, seperti menahan sesuatu yang lebih berat dari sekadar ancaman. Tangannya masih di pundak Chatrin—tidak menekan, tapi juga tidak memberi ruang untuk mundur. Chatrin menggigit bibirnya. Tubuhnya bergetar halus—bukan hanya karena takut, tapi karena dorongan emosional yang kuat. Aku bisa melihat saat logikanya mulai goyah. Matanya berkaca-kaca, bukan karena takut saja, tapi karena ia menyadari bahwa pilihan yang ia punya tidak banyak. Pilihan yang pernah kubuat juga malam itu: tetap tinggal dan mengikuti arah yang Jo inginkan, meski semuanya terasa membingungkan. Jo menghela napas pendek. “Tiga.” Suasana makin tegang. Aku bisa melihat ketegangan jelas di wajah Chatrin. Ia tetap diam, tetapi matanya mulai berkaca-kaca, seolah sudah tahu jawabannya bahkan sebelum Jo selesai menghitung. Jo menarik napas lagi, seperti mencoba menahan waktu yang terus berjalan. “Empat,” ujar Jo. Aku bisa melihat d**a Chatrin naik turun dengan ritme yang tidak stabil. Suaranya tertahan, tidak begitu jelas, tetapi terdengar lebih dalam. Detik berikutnya terasa berjalan lebih lambat dari sebelumnya. Saat Jo akhirnya berbicara, suaranya tetap pelan, namun lebih tegas dari tadi. “Lima,” ujar Jo. Chatrin menutup matanya. Dari dekat, aku bisa melihat bahu dan dadanya sedikit bergetar. Ia seperti ingin mundur, tapi tubuhnya tetap diam, seolah sempat kehilangan kendali. Jo tidak mengucapkan apa pun; ia hanya menatap Chatrin dengan ekspresi yang sulit kupahami. Beberapa detik kemudian, Chatrin membuka mata. Ia menarik napas pelan, lalu menatap balik Jo. Ia menelan ludah sebentar sebelum akhirnya berbicara dengan suara yang sedikit bergetar. “Aku… aku mau tinggal di sini, Mas,” kata Chatrin. Jo mengangguk pelan, seolah sudah menduga jawabannya sejak awal. “Bagus. Aku janji videomu bakal aman,” jelas Jo dengan suara tenang. Chatrin menarik napas panjang, seperti sedang berusaha menenangkan dirinya setelah keputusan yang baru saja ia ambil. Dari tempatku berdiri, aku bisa lihat bahunya sedikit bergetar. Jo lalu memegang dagu Chatrin perlahan. Memaksanya untuk menatap mata Jo dan menegaskan satu hal, “Tapi kamu harus patuh dengan aturanku.” Chatrin mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya mengangguk pelan. Ia jelas gugup, tetapi terlihat seperti sudah siap menerima apa pun yang akan terjadi. “Aku… Aku bakal patuh, Mas. Tapi tolong… Jangan kirim video itu,” kata Chatrin pelan. Jo kemudian menarik bahu Chatrin, cukup pelan agar tidak membuatnya takut, tetapi tetap menunjukkan bahwa dialah yang memegang kendali. “Itu tergantung kamu. Kalau kamu menurut dan patuh, kamu bakal aman. Rara dan aku bakal jagain kamu. Kalau iya, kamu cuma perlu ngelakuin apa yang aku suruh, tanpa pertanyaan atau protes,” ujar Jo. Chatrin menelan ludah, tetapi tidak terlihat ingin mundur. Ia lalu mengangguk, kali ini lebih mantap. “Kalau videoku bisa aman. Aku bakal lakuin apa pun yang kamu suruh, Mas,” kata Chatrin. “Apa pun?” Chatrin kembali mengangguk. “Apa pun…” Jo kemudian tersenyum dengan jawaban Chatrin. Ia lalu mengusap rambut Chatrin sebelum duduk di sofa. “Duduk,” perintah Jo pelan. Chatrin menarik napas untuk menenangkan diri lalu duduk di sebelah Jo, tetapi Jo menahan tangannya. “Bukan di situ, tapi di pangkuanku,” jelas Jo sambil menepuk pahanya, memberi isyarat Chatrin duduk di situ. Wajah Chatrin memerah. Ia terkejut dengan permintaan itu, tapi tidak berani menolaknya. Ia menelan ludah, lalu perlahan naik dan duduk di pangkuan Jo. Jo sedang bersandar pada sofa, dan ketika Chatrin duduk, tangannya otomatis berada di pinggang gadis itu, seolah memastikan Chatrin tidak menjauh begitu saja. Dengan pegangan itu, Jo menariknya sedikit lebih dekat, membuat jarak di antara mereka hampir menghilang. Ia menundukkan kepala, mendekatkan mulutnya ke telinga Chatrin sebelum berbicara dengan suara rendah. “Sini,” bisik Jo, sambil memberi tarikan ringan di pinggang Chatrin agar ia lebih mendekat. Chatrin menurut dan mendekatkan tubuhnya seperti yang diminta. Jarak mereka hampir hilang, membuatnya tampak makin canggung. Posisinya jelas membuatnya malu, tetapi ia tidak menunjukkan tanda ingin menolak. Jo tidak melepaskan pegangan, seakan ingin menegaskan bahwa ia yang memegang kendali atas situasi tersebut. Lalu ia menoleh sedikit ke arahku dan memberi isyarat dengan tangannya, meminta agar aku mulai merekam. Aku langsung paham kode itu dan bersiap menjalankan apa yang ia minta, meski Chatrin tidak menyadarinya. Aku mengangguk pelan sambil memegang ponselku lebih erat. Saat itu, aku sempat melihat ekspresi Chatrin yang canggung—wajahnya masih merah dan tubuhnya masih tegang di pangkuan Jo. Aku menunduk sedikit, berusaha mengubah angle kamera sehingga dapat merekam lebih jelas, memastikan setiap detail bisa terambil. Aku melanjutkan rekaman, memastikan setiap gerakan tetap terlihat jelas. Aku mendekat sedikit untuk mencoba menangkap wajah Chatrin lebih baik. Posisi duduknya terlihat kaku, membuat ekspresinya tegang dengan pipi yang memerah. Dari raut wajahnya, ia tampak cemas dan tidak berani melawan. Ia hanya diam, menunggu perintah berikutnya. Aku ingin melihat lebih jelas apa yang sebenarnya Jo akan lakukan selanjutnya. Aku mulai memperhatikan beberapa detail lain dari ekspresi Jo. Ia tidak mengalihkan pandangannya dari Chatrin, seolah terus memantau setiap gerakan kecil yang dilakukan gadis itu. Ekspresinya tetap datar, tapi ada kesan tenang dengan sedikit wibawa. Ia terlihat tidak dipengaruhi emosi, hanya bertindak sesuai keinginannya. Jo menggeser posisi tangannya dari pinggang Chatrin ke belakang punggung, menariknya lebih dekat sampai tubuh mereka hampir bersentuhan. Dari sudut kamera, terlihat bagaimana jari-jari Jo bergerak masuk ke bawah bagian belakang baju Chatrin, hanya sebentar, lalu berhenti di sana. Gerakannya pelan, tapi jelas intens. Chatrin mengeluarkan suara pendek, seperti erangan tertahan—lebih seperti reaksi kaget daripada protes. Pipinya semakin merah dan matanya mulai berkaca-kaca. “J-Jangan… Mas…” kata Chatrin dengan suara gemetar. “Aku… aku nggak mau…” Jo hanya tersenyum sebelum mencondongkan tubuh dan mendekatkan mulut ke telinga Chatrin. “Kamu bilang mau patuh kan?” bisiknya sambil menyentuh ringan bagian dekat telinganya. Aku semakin penasaran dengan apa yang akan Jo lakukan. Gerakannya tampak lebih tegas dan penuh kendali, seolah ia sengaja menunjukkan dominasinya dalam situasi itu. Chatrin terlihat semakin lemah karena tekanan yang ia rasakan, meski tidak tampak berusaha melawan. Dari posisiku, aku bisa melihat Jo mempererat pegangannya pada Chatrin. Gerakan itu membuat posisi tubuh Chatrin semakin sulit untuk bergerak bebas. Jo kemudian menarik dagu Chatrin ke depan, membuat wajah gadis itu berada tepat di hadapan wajahnya. “Patuh atau nggak?” tanya Jo dengan suara lebih tegas, matanya menatap Chatrin langsung dan tajam. Chatrin tampak bingung dan tertekan oleh situasinya, tapi tidak mampu menjawab dengan cepat. Ia menarik napas panjang untuk menenangkan diri “...Aku... aku mau patuh, Mas...” Jo menarik kepala Chatrin lebih dekat, membuat jarak di antara mereka hanya beberapa sentimeter. “Nah, bagus,” bisik Jo pelan dengan suara yang lebih lembut namun tetap mengandung tekanan. Jo lalu menurunkan kecupannya ke bagian leher dekat tenggorokan Chatrin, memberi beberapa sentuhan ringan sebelum menarik naik baju yang dikenakan Chatrin. Jo melepaskan baju itu dengan mudah, sehingga tubuh atas Chatrin hanya ditutupi dengan sport bra tipis. Jo kemudian menurunkan kecupannya, memberi beberapa sentuhan ringan di area tenggorokan sebelum bergerak ke bagian atas d**a. Gerakannya terkontrol, membuat tubuh Chatrin terlihat rileks dan sedikit lemas. Ia hanya diam, menerima setiap tindakan Jo tanpa memberi perlawanan atau respon aktif. “Ahhh…. Mas Jo…” desahnya lirih. Jo tiba-tiba berhenti dan menatap Chatrin dengan tatapan tajam. Tangannya masih mencengkeram pinggang Chatrin dengan kuat, namun tetap dalam batas yang terlihat terkendali. “Kamu suka, kan?” tanyanya datar, dengan nada yang menyelipkan tekanan halus di balik ucapannya. Tubuh Chatrin menegang. Ia sempat terlihat ragu, tetapi akhirnya menarik napas sebelum mengangguk. “Aku… Nggak tahu Mas...” ucapnya lirih, hampir tidak terdengar. “Kalau gitu, kita cari tahu bersama,” ucap Jo membalasnya. Tangan Jo naik ke belakang kepala Chatrin dan menahan posisinya, lembut tapi tegas, membuat Chatrin tidak bisa mundur begitu saja. Ciuman mereka semakin dalam, lebih terarah. Jo memiringkan kepalanya sedikit, dan aku bisa mendengar suara kecil lolos dari tenggorokan Chatrin, tanda dia terbawa momen itu. “Mmmh...!” Chatrin mengeluarkan suara kecil ketika ciuman itu semakin dalam. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat kalau dia belum benar-benar terbiasa dengan kedekatan seperti itu, tapi Jo tetap melanjutkan tanpa ragu. Gerakannya terarah, tidak kasar, tapi cukup tegas untuk menunjukkan bahwa dia yang mengatur ritmenya. Jo akhirnya melepaskan ciuman itu sebentar. Ia menatap Chatrin dengan seringai tipis yang jelas-jelas menunjukkan kalau ia sedang menguji keberanian gadis itu. Jo menarik napas pelan sebelum berbicara, dan tatapannya tetap tajam, seolah tidak memberi ruang bagi keraguan. “Sekarang, aku mau kamu lakuin apa aja yang aku suruh, no exception,” katanya datar tapi tegas. Napas Chatrin masih belum stabil. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat bagaimana bahunya sedikit bergetar, tapi ia tetap mengangguk pelan sambil menjawab dengan suara hampir tidak terdengar. “O-oke, Mas...” ucapnya dengan nada bergetar. Jo menghela napas pelan, seakan menikmati bagaimana Chatrin bereaksi terhadap setiap gerakannya. Tangan Jo yang tadi bertumpu di pinggang Chatrin bergerak turun ke pahanya, bukan dengan maksud kasar, tapi lebih seperti isyarat agar Chatrin memperhatikan arah gerakannya. “Buka kakimu,” katanya tajam, seolah ingin memastikan Chatrin mengikuti ritme yang ia tentukan. Chatrin sempat terkejut. Pipi dan telinganya langsung memerah, terlihat jelas dari posisiku. Ia menunduk sedikit, tampak sedikit malu. Setelah ragu beberapa detik, ia pelan-pelan membuka kakinya sesuai perintah Jo. Pose itu membuatnya terlihat sangat rentan—terutama karena ia masih duduk di pangkuan Jo. Dari sudut pandanganku, adegan itu terasa sangat canggung tapi penuh ketegangan. Chatrin terlihat rentan, sementara Jo tetap tenang, seolah paham betul bagaimana situasi itu mempengaruhi gadis itu. Aku semakin fokus merekam detail momen itu. Dari balik kamera, aku melihat bagaimana jari-jari Jo bergerak perlahan ke bagian dalam paha Chatrin. Bagaimana tubuh gadis itu gemetar halus saat sentuhan itu semakin mendekat ke tempat sensitif, dan suara yang nyaris keluar dari mulutnya saat ujung jari telunjuk Jo akhirnya menyentuh bagian basah yang sudah jelas terasa di area luar vaginanya. Jo menatap itu dengan senyum tipis, seolah ia sudah memprediksi bagaimana Chatrin akan bereaksi sejak awal. Sementara aku? Aku terdiam. Apa yang Jo lakukan pada Chatrin ini secara emosional terasa seperti ulangan dari apa yang pernah Jo lakukan padaku dulu. Rasanya seperti déjà vu yang menusuk. Momen itu hampir persis seperti yang kualami seminggu lalu—bedanya, kini Chatrin berada pada posisiku, dan aku berdiri di posisi Centia. Sedangkan pelakunya tetap sama: Jo.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD