Hidup yang Baru

3017 Words
Cahaya matahari masuk lewat celah tirai dan menyentuh kulitku dengan hangat. Walau pikiranku masih dipenuhi sisa percakapan dengan Jo, ada sesuatu yang terasa berbeda dalam diriku—seperti keberanian kecil yang pelan-pelan tumbuh. Entah karena kata-katanya tadi, atau karena aku akhirnya bisa bernapas lebih lega. Yang jelas, hari ini terasa seperti awal dari sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Ponselku tiba-tiba berbunyi. TING! TING! TING! Notifikasi dari grup Party Family muncul berurutan. “Good morning! Hari ini misa jam sepuluh, kumpul di gereja jam sembilan tiga puluh yaaa!” tulis Centia. “Maaf gaes, aku gak ikut! Kalian enjoy yaaa,” balas Eka. “Aku skip hari ini gaes. Lagi mager parah,” tambah Josef. “Sip. Noted. Tuhan memberkati kemageran kalian,” tulis Jo. Entah kenapa aku bisa membayangkan dia tersenyum sewaktu mengetiknya. “Oke. Sampai ketemu nanti!” tambah Via. Tak lama, pesan dari adikku muncul. “Mbak Ra, nanti ketemu di gereja aja ya. Aku berangkat duluan,” kata Danis. Aku tahu dia harus siap-siap untuk mengurusi perlengkapan multimedia untuk misa. Saat kutatap layar lagi, aku melihat chat dari Jo. Kata-katanya—aku di sini—seperti terus terngiang di kepala. Notifikasi pribadi masuk. “Jawab di grup, Ra. Tenang aja. Kita biasa ketemu di hari minggu,” kata Jo. Setelah itu muncul pesan lain, lebih pelan rasanya saat k****a. “Kamu aman.” Dadaku terasa kencang, tapi bukan karena cemas. Ada sesuatu yang menenangkan di balik kata-katanya, membuatku merasa kembali stabil. Aku lalu menjawab di grup: “Aku ikut juga. Sampai ketemu nanti di gereja yaa.” Balasannya langsung muncul. “YAYYY komplet tim misa inti!” seru Centia. “Sip. Aku tunggu. Jangan kabur ya, aku sudah mandi pagi-pagi demi ini,” tulis Jo—humornya memang sederhana, tapi entah kenapa rasanya hanya ditujukan untukku. Sekilas pesannya memang terdengar lucu dan santai. Tapi aku tahu, di balik gurauannya, ada sesuatu yang hanya ditujukan padaku. Rasanya seperti dia berkata: Aku tunggu kamu. Dengan cara kita. Notifikasi ponselku berbunyi lagi saat aku baru saja menutup aplikasi. Satu pesan baru dari Jo muncul di layar. “Ra… aku minta sesuatu,” kata Jo. Aku berhenti sebentar. Jantungku berdetak cepat—bukan karena takut, tapi karena aku paham nada pesannya. Tenang, lembut, tapi ada maksud tertentu di baliknya. Aku membuka pesannya. “Kamu janji kemarin bakal turutin semua permintaanku… jadi aku mau hari ini kamu pakai baju yang seksi. Rok pendek juga boleh… atau terserah, yang penting seksi,” ucap Jo. Notifikasi lain masuk. “Kirim 3 model pakaian ya. Foto aja. Aku pilihkan satu buat kamu pakai ke gereja nanti,” tambah Jo. Aku menatap pesan di ponsel itu cukup lama. Aku teringat janjiku semalam—saat aku sedikit lebih berani dari biasanya—untuk mengikuti semua perintahnya mulai kemarin. Dan anehnya, janji itu tidak terasa membebani. Rasanya lebih seperti… aku membiarkan diriku dipandu oleh seseorang yang membuatku merasa aman. Aku berdiri, membuka lemari, dan mulai melihat-lihat pakaian yang mungkin akan cocok. Tidak perlu yang berlebihan. Cukup yang membuatku tampil sedikit berbeda. Sedikit lebih percaya diri. Sedikit lebih… hidup. Dalam hati, aku menjawab tanpa mengetik apa pun: Baik, Jo. Aku tepati janjiku. Aku menarik tiga pilihan pakaian—masih sopan, masih sederhana, tapi punya sentuhan kecil yang membuatku merasa lebih berani dari biasanya. Aku mulai menata pakaian pertama di atas tempat tidur. Aku memegang tiga potong pakaian itu cukup lama sebelum menatanya rapi di atas ranjang. Nafasku sedikit lebih cepat—bukan karena gugup, tapi karena ada rasa hangat yang pelan-pelan muncul di dalam diriku. Rasa yang membuatku ingin tampil sedikit berbeda hari ini. Sesuai permintaan yang datang dari Jo. Aku memilih tiga outfit yang cukup berani, tapi tetap pantas. Setiap pakaian punya detail kecil—potongan, warna, atau tekstur—yang membuatku merasa lebih hidup. Outfit pertama : Rok hitam selutut, sederhana, tapi jatuhnya mengikuti garis tubuhku dengan lembut. Atasan putih berkerah, dengan satu kancing teratas dibiarkan terbuka—cukup memberi kesan lebih santai. Lalu blazer tipis biru muda yang membuatnya tetap rapi. Tidak berlebihan, tapi sudah terasa cukup berani untukku. Outfit kedua : Dress lurus warna burgundy. Potongannya mengikuti pinggang dan lengannya tiga perempat. Kainnya lembut, dan saat kuraba, aku bisa membayangkan bagaimana dress itu menempel pas tanpa terlihat mencolok. Warna merah tuanya membuatku terlihat lebih dewasa… dan sedikit lebih percaya diri. Outfit ketiga : Atasan hitam berbahan satin ringan, dengan lengan puff kecil yang membuatnya terlihat manis namun tetap dewasa. Dipadukan dengan rok A-line selutut warna krem. Kontras warna keduanya memberi kesan segar, sementara kilau halus dari satin membuatnya terasa sedikit menggoda—dengan cara yang lembut. Aku menatap ketiganya. Lalu kulihat diriku di cermin. Ada kehangatan kecil yang memenuhi dadaku—bukan karena pakaiannya, tapi karena rasa berani yang sejak pagi kutahan akhirnya mulai terasa nyata. Begitu pesannya masuk—“Coba yang kedua, Ra. Pasti kamu terlihat cantik banget pakai itu.”—ada sesuatu dalam diriku yang menghangat. Bukan karena dress burgundy itu terlalu istimewa, tapi karena dia memilih. Dia benar-benar melihat apa yang kutunjukkan tadi dan memberi jawaban yang terasa… personal. Aku menatap dress itu sekali lagi, jemariku menyusuri kain lembutnya. Warna merahnya terasa seperti sesuatu yang biasanya tidak kupakai ke gereja, tapi tidak ada yang salah dengan itu. Hanya… terasa berbeda. Dan entah kenapa, karena dia yang memintanya, rasa berbeda itu berubah menjadi sesuatu yang membuatku tersenyum. Aku mengangkat dress itu, menahannya di depan tubuhku sambil berdiri di depan cermin. Untuk sesaat, yang kulihat bukan hanya pantulan baju—tapi diriku yang sedang mencoba menjadi versi yang lebih berani. Saat kukirim foto aku memakai dress itu ke Jo, ada detik-detik kecil ketika aku menahan napas. Bukan takut… tapi menunggu. Menunggu reaksi seseorang yang kata-katanya belakangan ini, mampu menstabilkan hatiku. Setelah aku melepaskan dress setelah kucoba, ponselku bergetar. Satu pesan masuk. Aku membuka layarnya, dan kata-katanya muncul perlahan, seakan dia menulisnya sambil tersenyum. Dan rasanya seperti seluruh dunia mengecil menjadi hanya aku… dan seseorang yang memperhatikanku dari kejauhan. “Ra… yang ini cocok banget sama kamu. Warnanya bikin kamu kelihatan dewasa, tapi tetap manis. Aku suka. Kamu keliatan… seksi.” Aku bisa merasakan nada itu—bukan berlebihan, bukan memaksa. Hanya menggoda dengan cara yang halus, seperti seseorang yang benar-benar membuatku merasa diperhatikan. Kata “aku suka” tidak terdengar seperti komentar biasa. Ada sesuatu di dalamnya yang membuatku merasa dilihat, bukan dihakimi. Aku menatap bayanganku di cermin lagi, masih memegang dress itu di depan tubuhku. Pipiku terasa hangat—karena kata-katanya membuatku melihat diriku sedikit berbeda. Lebih percaya diri. Lebih… berani. Aku meletakkan dress burgundy itu di tempat tidur dengan hati-hati sebelum berjalan keluar kamar. Saat pintu tertutup lembut di belakangku, rasanya seperti aku juga menutup pintu kecil atas keraguanku sendiri. Langkahku menuju kamar mandi terdengar pelan di rumah yang masih senyap. Pagi itu terasa berbeda—lebih ringan—seolah udara sendiri tahu aku sedang mengambil keputusan kecil yang penting untuk diriku. Sesampainya di kamar mandi, aku menyalakan shower. Suara aliran air memenuhi ruangan dengan ritme yang menenangkan. Saat air mulai hangat, aku masuk ke bawah pancuran. Air hangat itu membuat tubuhku rileks, seolah menghapus sisa deg-degan yang Jo tinggalkan tadi. Aku menutup mata sejenak, menarik napas panjang. Ada sesuatu tentang pagi ini—tentang diriku—yang terasa berubah. Lebih ringan. Lebih percaya diri. Begitu selesai mandi, aku membungkus tubuhku dengan handuk besar dan mengikatnya erat. Aku membuka pintu kamar mandi sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil—dan begitu melangkah keluar, aku hampir menabrak seseorang. Danis. Adikku berdiri di lorong sambil membawa kabel-kabel multimedia yang biasa ia pakai untuk tugas di gereja. Matanya sempat membelalak melihatku muncul tiba-tiba, lalu Danis menatapku agak lama sebelum akhirnya mengalihkan pandangan, tetapi aku sama sekali tidak menganggapnya aneh. Bagaimanapun juga, dia adikku— dan tidak mungkin ia memiliki pikiran macam-macam tentang diriku. “Eh—maaf, Mbak. Nggak liat kamu keluar,” katanya terburu-buru, suaranya terdengar canggung. Aku juga membeku sejenak, bukan karena apa pun… hanya karena situasinya terlalu mendadak. “Enggak, salahku juga. Aku kira kamu sudah berangkat.” Kami berdua tertawa kecil—tawa yang jelas lahir karena sama-sama kikuk, bukan karena hal lain. Danis menatapku sekilas, memastikan aku baik-baik saja, lalu berkata, “Aku berangkat duluan ya, Mbak. Takut telat nyiapin multimedia.” Aku mengangguk, masih memegang handuk kecil di rambut. “Iya, hati-hati. Nanti ketemu di gereja.” Ia mengangguk balik, lalu segera berjalan menuju pintu depan. Saat ia pergi, aku menghela napas—bukan karena malu, tetapi karena momen kecil itu terasa seperti pengingat akan dunia di luar perasaan hangat yang baru saja kuterima dari pesan-pesan Jo. Lalu aku kembali ke kamar. Ada sesuatu di dalam diriku yang berbisik: Aku harus siap. Hari ini akan berbeda. Begitu pintu kamar tertutup, aku berdiri sebentar di depan ranjang. Dress burgundy itu terlipat rapi seakan menungguku, dan anehnya… melihatnya saja sudah membuatku berdebar. Bukan berdebar karena pakaiannya. Tapi karena seseorang yang memilihkannya untukku. Seseorang yang kata-katanya sejak pagi masih menempel. Aku mengeringkan rambut dengan handuk kecil sambil berjalan mendekat. Tangan—yang entah kenapa terasa sedikit dingin karena gugup—menyentuh kain lembut itu. Aku menarik napas. Lalu mulai mengenakannya. Saat dress itu meluncur melewati bahu dan jatuh mengikuti bentuk tubuhku, rasa grogi yang menempel sejak tadi perlahan berubah menjadi… sesuatu yang berbeda. Semacam kesadaran kecil bahwa aku sedang berusaha tampil lebih baik. Untuk diriku sendiri. Dan—meski tidak ingin kuakui keras-keras—sedikit karena Jo. Aku berdiri di depan cermin. Rasanya, aneh, tapi menyenangkan. Aku terlihat seperti diriku, tetapi versi diriku yang sedikit lebih berani. Yang sedikit lebih siap menghadapi sesuatu yang belum sepenuhnya kumengerti. Sebuah senyum kecil muncul tanpa kusadari. Dadaku tetap berdebar—nervous, jelas—tetapi ada kebahagiaan tipis yang menempel di tepinya, seperti cahaya halus yang membuat pagi ini terasa berbeda. Aku meraih tas kecilku, memasukkan barang-barang yang perlu kubawa, lalu menarik napas panjang sebelum melangkah keluar kamar. Hari ini… aku benar-benar merasa sedang melangkah menuju sesuatu yang baru. Langkahku perlahan menyusuri rumah, tas kecil di tangan, dress burgundy mengikuti gerakku dengan lembut. Di setiap langkah, ada dua hal yang saling tarik-menarik di dalam dadaku: deg-degan karena aku akan bertemu Jo dalam keadaan “baru” ini, dan mengingat semalam, mengingat janji dan kesetiaan yang kubuat pada dirinya, mengingat keberanian yang tidak pernah kusadari sedang tumbuh pelan-pelan. Saat pintu rumah kututup, udara pagi langsung menyambut tubuhku. Hangat. Bersih. Terasa menenangkan. Di tengah jalan menuju gereja, aku menarik napas panjang. Dress ini terasa berbeda, tapi tidak menggangguku. Justru sebaliknya—aku merasa sedikit lebih tegak, sedikit lebih sadar akan langkahku, sedikit lebih… hidup. Aku memasukkan tas kecil itu ke dalam laci motor, lalu mengenakan helm. Saat duduk dan menyalakan mesin, aku baru menyadari satu hal kecil: dress burgundy ini sedikit lebih pendek dari biasanya. Ketika motor mulai melaju, angin pagi membuat ujung dress itu terangkat sedikit—membuat sebagian pahaku terlihat. Biasanya aku akan reflek menutupinya, atau merasa canggung. Tapi anehnya, tidak pagi ini. Ada sesuatu dalam diriku yang tenang. Justru terasa percaya diri. Seolah aku sudah berdamai dengan bagaimana aku terlihat—dan untuk pertama kalinya, aku tidak merasa harus menyembunyikan apa pun. Aku menarik napas. Angin menerpa wajahku, lembut. Langkah kecil ini—bahkan hal sederhana seperti tidak panik saat dress-ku bergeser—menjadi pengingat bahwa aku sedang berubah. Pelan, tapi pasti. Di tengah perjalanan menuju gereja, aku menyadari satu hal lagi: aku duduk lebih tegak, lebih mantap. Dress ini terasa berbeda, tetapi tidak menggangguku. Justru membuatku lebih sadar akan diriku sendiri. Namun, setiap beberapa menit, pikiranku kembali berputar. Bagaimana reaksi Jo nanti? Apa dia akan bilang sesuatu? Atau hanya tersenyum seperti biasanya—senyum kecil yang mampu membuatku berhenti berpikir? Jantungku berdebar lebih cepat hanya dengan membayangkannya. Grogi, mungkin. Tetapi bukan grogi yang membuatku ingin sembunyi. Grogi yang justru mendorongku ingin melihat reaksinya. Aku tersenyum pada pikiranku sendiri. Angin kembali mengangkat ujung dress-ku ketika melewati tikungan. Dan lagi-lagi, aku tidak panik. Justru merasa seperti seseorang yang… hadir penuh dalam tubuhnya sendiri. Saat gerbang gereja mulai terlihat, suara-suara jemaat perlahan memenuhi udara. Namun pikiranku tetap memutar satu pertanyaan sederhana: Apa yang akan dia lihat pertama kali saat menatapku nanti? Dress-nya… atau aku? Dan entah kenapa, aku berharap… dia melihat keduanya. Begitu aku melangkah masuk ke halaman gereja, suasananya langsung terasa berbeda. Ada suara jemaat yang bersiap, ada gerak orang-orang yang hilir-mudik, tapi semuanya terasa seperti latar belakang yang meredup… karena mataku secara otomatis mencari satu sosok. Aku tidak menemukannya langsung. Dan entah kenapa, itu justru membuat debaran di dadaku semakin nyata. Aku berdiri beberapa langkah di dalam gereja, memegang tali tasku lebih erat dari biasanya. Orang-orang masih sibuk dengan persiapan masing-masing—tim koor sedang menyusun partitur, beberapa petugas menata kursi, dan suara-suara halus bercampur menjadi suasana pagi yang akrab. Lalu mataku berhenti di satu titik. Jo. Dia sedang berdiri di samping Centia, membantu menyiapkan perlengkapan ibadah di meja kecil dekat altar sisi kanan—membuka kain, mengecek buku bacaan, merapikan perlengkapan yang baru saja mereka keluarkan. Gerakannya rapi, fokus, dan ada keheningan lembut dalam cara dia bekerja. Centia berbicara sesuatu padanya, menunjuk pada salah satu perlengkapan yang belum diletakkan, dan Jo mengangguk kecil sambil tersenyum tipis—senyum yang biasa, tapi entah kenapa selalu terasa hangat. Aku berhenti berjalan. d**a terasa penuh. Grogi itu datang lagi—yang manis, bukan yang menakutkan. Karena ini pertama kalinya aku muncul di hadapannya dengan dress yang dia pilihkan. Dia belum melihatku. Dan itu membuat setiap detik terasa panjang—panjang, tapi penuh harapan. Aku memperhatikan bagaimana dia mengangkat salah satu lilin kecil ke tempatnya, bagaimana tangannya bergerak hati-hati agar tidak menggeser benda-benda lain. Semua gerakannya sederhana… tapi entah kenapa, melihatnya seperti itu membuat keberanian kecil dalam diriku terasa semakin nyata. Di balik rasa grogi, ada suara lembut dalam hati: Jo yang memilihkan dress ini. Jo yang memintaku untuk merasa percaya diri. Jo yang bilang aku aman. Aku lalu menarik napas perlahan. Saat aku berdiri di ambang lorong, pandanganku terus terpaku padanya. Dan seketika, seolah merasakan sesuatu, gerakan tangannya terhenti. Ia menegakkan tubuhnya sedikit, menoleh pada Centia sebentar… lalu perlahan memalingkan wajahnya ke arah tempat aku berdiri. Mata kami nyaris bertemu. Suasana gereja mengabur. Yang tersisa hanya dia—dengan wajah yang belum sepenuhnya menyadari kehadiranku, tapi mulai mencari-cari sumber perhatian kecil yang tiba-tiba muncul di dadanya. Jo baru saja meletakkan sebuah bacaan di meja liturgi ketika tubuhnya tiba-tiba berhenti. Hanya sekejap— setengah detik yang mungkin tak disadari siapa pun… kecuali aku yang memang sedang memperhatikannya. Lalu ia menoleh. Perlahan. Dan saat matanya menemukan diriku—ada sesuatu yang jelas berubah di wajahnya. Alisnya terangkat sangat halus. Sorot matanya agak membesar sedikit. Bukan kaget yang dramatis, tapi seperti seseorang yang melihat sesuatu yang sama sekali tidak ia duga. Seperti tersentak kecil—bukan karena shock, tapi karena pengakuan. Seolah ia baru sadar bahwa aku benar-benar… berbeda pagi ini. Ia berdiri tegak, seolah lupa apa yang sedang ia lakukan. Pandangannya tertahan pada penampilanku lebih lama daripada biasanya. Centia masih bicara di sampingnya, menjelaskan sesuatu tentang tata letak lilin dan kain altar, tetapi Jo tidak langsung menoleh padanya. Aku bahkan bisa melihat bagaimana napasnya berubah— pendek, lalu dalam—seperti ia harus mengatur ulang pikirannya. Untuk sesaat, kami hanya saling menatap dari kejauhan. Dan jantungku berdebar lebih cepat. Karena reaksinya tidak membuatku ingin menutupi diri. Justru membuatku ingin tersenyum kecil, meski hanya dalam hati. Lalu Jo akhirnya berkedip—seperti baru sadar bahwa ia terlalu lama terpaku. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Sangat kecil, sangat singkat… tapi jelas ditujukan padaku. Senyum seseorang yang tidak menyangka bahwa pilihan sederhana yang ia berikan pagi tadi benar-benar menghasilkan sesuatu… seperti ini. Centia menepuk bahunya, memanggil perhatiannya kembali. Jo menoleh, mengangguk, lalu buru-buru melanjutkan pekerjaannya. Namun aku melihatnya. Beberapa kali, ia mencuri pandang lagi ke arahku. Seolah masih memastikan. Masih memproses. Masih… terpesona dalam caranya yang tenang. Dan aku di sana, napasku sedikit bergetar, tetapi dengan kepercayaan diri yang bahkan tidak kumiliki ketika aku bangun tadi. Aku masih berdiri di lorong, mencoba menenangkan deg-degan halus yang mengalir di dadaku setelah tatapan singkat dengan Jo barusan. Baru saja aku menarik napas untuk menata diri, suara familiar memecah fokusku. “Rara?” Aku menoleh. Tian berdiri tidak jauh dariku. Rambutnya rapi, wajahnya cerah seperti biasa—dan matanya menatapku dengan ekspresi yang sulit disembunyikan: kaget, tapi senang. “Wah… kamu hari ini tampil beda banget,” katanya sambil tersenyum lebar. “Jarang banget lihat kamu pakai warna kayak gitu. Berani juga.” Nada suaranya tidak menyinggung—hangat, jujur, dan sedikit kagum. Entah kenapa, mendengarnya membuat pipiku menghangat… dengan cara yang menyenangkan. Aku tertawa kecil, mencoba tidak terlihat terlalu grogi. “Iya ya, agak beda. Lagi pengen coba yang baru saja.” Tian mengangguk cepat. “Bagus, Ra. Kamu kelihatan fresh banget. Cocok.” Ada ketulusan dalam ucapannya yang membuatku sedikit lebih rileks. Mungkin aku memang terlalu tegang soal reaksi orang. Tapi sejauh ini… yang kuterima justru baik. Tian kemudian melirik ke arah Jo dan Centia yang masih sibuk menata perlengkapan liturgi di meja depan. “Mereka masih lama kayaknya. Mau duduk dulu sambil nunggu? Kursi pengawas masih kosong.” Aku mengiyakan. “Boleh.” Kami berjalan berdampingan menuju deretan kursi depan. Suasananya masih penuh persiapan, jadi tidak banyak yang memperhatikan. Aku duduk di ujung kursi, Tian di sampingku. Tian mencondongkan tubuh sedikit, suaranya lebih pelan. “Ra, serius deh… kamu kelihatan beda hari ini. Kayaknya auramu naik satu level.” Aku mengerjap pelan—heran. Tidak biasanya Tian komentar seperti itu. Selama ini, ia memang suka bercanda, tapi bukan yang seperti ini. Bukan komentar yang terdengar serius dan jujur di saat yang sama. Aku terkekeh, mencoba meredakan rasa kikuk kecil yang muncul tiba-tiba. “Aura apa sih?” “Yang… ya gitulah.” Tian menggerakkan tangannya ke arahku, seolah menggambar garis cahaya. “Seksi.” Kata itu membuatku terdiam sepersekian detik. Bukan hanya karena datang dari Tian—yang biasanya tidak selemah-lembut itu dalam memilih kata—tapi karena… itu kata yang sama yang Jo kirimkan di pesan tadi. Sambil menunggu Jo dan Centia menyelesaikan tugas mereka, aku duduk di sana—agak grogi, tapi bahagia. Campuran aneh yang, ternyata, cukup nyaman. Dan dari jauh, aku tahu Jo akan segera mendekat. Pertemuan berikutnya… hanya soal waktu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD