bab 1
"Alana, pergi kemana?" Tanya seorang pria dengan suara yang sedikit serak.
"Maaf, Tuan. Tadi Nona muda pergi ke kampus dijemput oleh temannya."
Kerutan di keningnya menandakan ketidaksukaan dari tuannya yang membuat si asisten menunduk.
"Siapkan mobil. Apa wanita itu lupa ini hari apa?" Gerutunya seraya merapikan jas yang dikenakannya.
Ia berjalan melewati beberapa pengawal yang menunduk hormat padanya, tak seorang pun berani mengangkat wajahnya sebelum tuannya itu benar-benar pergi. Sebuah mobil sedan hitam keluaran terbaru sudah terparkir di halaman rumahnya yang luas, beberapa pengawal berdiri di belakang tubuhnya menunggu tugas yang akan diberikannya.
Seorang supir membuka pintu belakang, memastikan tuannya segera masuk ke dalam mobil.
"Kita mampir ke butiknya Tante Maya, setelah itu jemput sang tuan putri!" Titahnya dengan senyuman yang membuat siapa saja takut.
Alana sudah tiba di kampus setengah jam yang lalu, ia sedang berada di kantin menunggu temannya yang sedang sarapan.
"Tumben suamimu gak telepon?" Tanya Bebi, temannya Alana.
"Mana aku tahu."
Alana menjawab pertanyaan temannya dengan acuh, jujur dia merasa malas saat semua orang membahas suaminya itu.
Dari kejauhan, mata Alana melihat sosok pria yang dibencinya selama ini. Buru-buru ia memalingkan pandangannya, jika membunuh manusia tidaklah berdosa maka saat itu juga ia akan membunuh pria itu.
"Wah, wah istri sang tuan muda rupanya sedang berada di kantin kampus. Apa perutmu tidak sakit, nona saat meminum minuman itu?" Tanyanya dengan di iringi gelak tawa teman-teman pria itu.
"Pras, sudahlah! Lo gak liat gue lagi makan?" Tutur Bebi dengan mulutnya yang penuh bubur ayam.
Pras melirik ke arah Bebi, ia tersenyum sinis bahkan terbilang mengejek.
"Ini gak ada urusannya sama Lo, gue masih punya urusan sama temen Lo yang munafik itu." Tunjuknya pada Alana.
"Sudah cukup Pras! Dari setahun lalu, kamu selalu menyalahkan aku, menyebutku sebagai orang yang munafik, lalu kamu sendiri apa, hah? Apa yang sudah kamu lakukan padaku?
Kamu lupa aku menjadi seperti ini gara-gara siapa?" Perkataan Alana membuat sebagian orang yang ada di kantin menghentikan kegiatannya, sepertinya pertengkaran antara dua manusia itu lebih seru dibanding dengan menyantap makanan yang ada di hadapan mereka.
"Kalau kamu tidak menyetujui syarat yang diajukan pria itu, maka kamu juga tidak akan berada dalam posisi seperti ini, paham?"
Pras mencengkram pipi Alana dengan sedikit kuat, tanpa ia sadari seseorang tengah berada di belakangnya dengan amarah yang sudah memuncak. Tanpa aba-aba, tangannya meraih pundak Pras lalu mendorongnya dengan kuat ke arah samping, tubuh Pras tersungkur bahkan dadanya sedikit sesak karena pendaratan yang tidak sempurna.
"Sekali lagi kamu menyentuh istriku dengan tangan kotormu itu, maka aku tidak segan untuk memotongnya."
Pria yang mengaku Alana adalah istrinya meraih tangannya lalu meninggalkan kantin dalam kesunyian. Siapa yang tidak mengenal sosok suami Alana, pria yang paling berpengaruh di negeri ini bahkan kebaikan dan kekejamannya sudah tersebar di seantero jagat raya.
"Siapa yang menyuruhmu pergi ke kampus?"
"Hari ini aku ada jadwal praktek." Jawab Alana datar.
"Nama dosen kamu siapa?"
"Mau ngapain?"
"Meneleponnya."
"Buat apa?" Tanya Alana lagi.
"Kamu pikir aku menelponnya untuk ngajak dia minum kopi?"
Alana diam, ini bukan kali pertama suaminya melakukan hal itu.
"Cepat katakan siapa dosen kamu itu?"
"Udahlah Dav, jangan membuat aku malu." Jawab Alana ketus, sontak membuat kepala Dav menoleh padanya dengan tatapan elangnya.
"Kamu yang katakan atau aku yang akan turun lalu mencarinya dan menyeretnya ke hadapan kamu?"
Alana diam, sebenarnya dia sudah malas berdebat dengan suaminya itu. Setiap kali mereka bertemu selalu saja bertengkar, memaksa atau apapun itu yang bertolak belakang dengan keinginan Alana.
Karena tidak ada jawaban, Dav membuka pintu mobil lalu keluar.
Buru-buru Alana keluar dari mobil, bisa berabe kalau sampai Dav kembali ke kampusnya.
"Dav, berhenti! Aku bilang berhenti!" Teriak Alana.
Dav seolah tuli, ia terus berjalan tanpa mempedulikan teriakan istrinya.
"Davino Abraham!" Alana berteriak memanggil nama lengkap suaminya dan berhasil membuat langkah Dav terhenti, ia tahu jika istrinya sudah memanggil nama lengkapnya itu berarti dia sudah bersedia melakukan apa yang dia inginkan.
Terdengar langkah Alana semakin mendekati Dav, ia berdiri di hadapan suaminya dengan wajah yang cemberut.
"Aku akui berbohong padamu, hari ini tidak ada jadwal kuliah. Aku sengaja pergi ke kampus untuk menghindari bertemu dengan keluargamu, puas?"
Helaan nafas Dav begitu kentara, membuat jantung Alana semakin berdegup kencang. Bukan karena jatuh cinta, tapi dirinya harus siap-siap menerima kemarahan suaminya.
"Ini sudah ke tiga kalinya kamu berbohong padaku dan kamu sendiri tahu jika aku tidak menyukai kebohongan. Lantas harus dengan apa lagi aku menghukum kamu?"
Alana diam, ia sudah mengetahui hukuman apa yang akan diberikan padanya kini. Palingan di suruh tidur di gudang lagi, kalau tidak, membersihkan setiap inci rumah meski ujung-ujungnya tak pernah selesai juga, atau bisa jadi mengikuti semua kemauan Dav yang tak masuk akal.
Kali ini Dav lebih memilih memutar tubuhnya menuju mobil yang terparkir dan itu membuat Alana bingung, biasanya dia akan langsung mengatakan hukuman yang akan dilalui oleh dirinya. Apa kepalanya kepentok? Itulah yang dipikirkan Alana saat ini.
Tanpa merasa bersalah, Alana mengekor dengan kepala menunduk. Ada apa dengan suaminya?
Setelah Alana dan Dav duduk dengan tenang, mobil mereka melaju membelah jalanan kota. Tidak ada percakapan sama sekali, Dav lebih memilih mengutak-ngatik ponsel pintar miliknya. Entah pada siapa dan dengan siapa ia mengirim pesan, sepertinya pesan yang sangat penting.
"Kita langsung pulang!" Perintah Dav.
"Bukannya hari ini jadwal berkumpul dengan keluarga besar kamu, kenapa kita pulang?"
Sudah menjadi kebiasaan di keluarga besar Dav setiap satu bulan sekali berkumpul, entah itu untuk membahas bisnis baru mereka, atau hanya sekedar makan bersama. Namun, bagi Alana apapun itu ia tetap tidak menyukai suasana di sana.
Ditambah lagi dengan sepupu Dav yang selalu memandangnya rendah karena pernikahannya dengan Dav.
Tiba di rumah mewah berlantai dua, Dav keluar terlebih dahulu melenggang lagi-lagi tanpa mempedulikan Alana.
Sial, si Davin kenapa? Apa dia kesambet?
Ingin rasanya Alana mengoceh mengeluarkan semua uneg-uneg di hatinya, tapi apa boleh buat suaminya tidak memberikan kesempatan untuk itu.
"Non, kenapa bengong?" Tanya Dion, asisten yang begitu dipercaya oleh Dav.
"Tuanmu kesambet? Tumben dia lebih banyak diam saat aku buat kesalahan, biasanya dia selalu ngoceh lalu ngasih hukuman yang gak masuk akal."
Dion tersenyum, "Bukannya itu lebih bagus? Dibanding harus memberikan hukuman pada Nona?"
"Iya juga sih! Udah ah, aku masuk dulu ya." Alana berjalan dengan anggun memasuki istana yang telah dihuninya selama satu tahun terkahir.
Kepalanya celingukan mencari sosok Dav, biasanya dia sudah duduk di ruang tamu dengan angkuh, tapi kali ini dia tidak ada. Alana semakin bingung, apa dia benar suaminya?
Tiba di depan kamarnya, ia berhenti sejenak. Seperti hal sebelumnya, pintu kamarnya pasti dikunci. Karena penasaran ia memegang gagang pintu dan membukanya, dumn! Pintunya terbuka.
"Tumben gak dikunci?" Gumamnya pelan.
Dav, terlihat sedang membuka kemeja putih yang dikenakannya. Meski sudah lama Alana menikah, melihat tubuh suaminya adalah hal tabu baginya. Otot tangannya begitu kekar, kotak-kotak diperutnya terlihat sangat sempurna. Mungkin bagi wanita lain, mereka akan langsung memeluk tubuh seperti itu, berbeda dengan Alana meski tanpa dipungkiri tubuh Dav lebih bagus dibanding dengan tubuh Pras.
"Aku minta maaf!" Ucap Alana pelan.
Dav masih bungkam, ia lebih memilih pergi ke kamar mandi.
"Dasar pria sombong, aku udah minta maaf masih saja diam." Alana jadi kesal sendiri, padahal jelas ini kesalahan dirinya.
Pintu kamarnya diketuk, Dion membawa sebuah kotak besar berwarna hitam.
"Nona, ini gaun milik nona."
"Taruh saja di sana." Tunjuk Alana ke atas tempat tidurnya.
"Kalau begitu saya permisi dulu."
"Terima kasih, Ion."
Setelah Dion pergi, ia penasaran dengan gaun yang disiapkan Dav kali ini. Setiap acara yang diadakan keluarganya, Dav selalu memilih gaun yang menurutnya bagus tanpa meminta pendapat darinya, ya, meski selama ini pilihannya memang tidak pernah salah.
Sebuah gaun berwarna gold polos dengan belahan depan sepaha, membuat Alana jatuh cinta. Hatinya memang memuji kepiawaian Dav dalam memilih gaun untuknya selalu bagus. Pintu Kamari mandi terbuka, tubuh Dav dibalut handuk sebatas lutut. Roti sobeknya bahkan terlihat dengan jelas, aroma sampo menyeruak memenuhi kamar mereka.
Karena terkejut dengan kedatangan suaminya, Alana buru-buru menyimpan kembali gaun itu ke dalam kotak, namun sayang kakinya tersandung ujung tempat tidur dan membuat tubuhnya oleng. Ia pasrah jika tubuhnya kini tersungkur, namun rasa dingin dirasakan tubuhnya.
Benar saja, Dav berhasil menangkap tubuhnya. Mata mereka saling beradu, bahkan butiran air dari rambut Dav mulai berjatuhan pada wajah Alana menambah suasana semakin romantis.
"Lain kali kalau jalan lihat-lihat." Tukasnya seraya membantu Alana berdiri sempurna.
Dav berjalan ke arah lemari, ia mengambil satu buah map lalu memberikannya pada Alana.
"Itu surat perpisahan kita, kalau kamu siap untuk berpisah maka kamu tandatangani dan saat itu juga kamu bebas keluar dari rumah ini."
"Perceraian?"
Tenggorokan Alana mendadak kering, jadi Dav ingin berpisah dengan dirinya?