bab 2

1234 Words
"Kapan kalian akan memberi kami cucu?" Cucu? Yang benar saja, kita berdua saja bahkan tidak pernah saling bersentuhan. "Mah, kita sudah pernah membahasnya bukan? Jadi tolonglah jangan membuat Alana tidak enak." Ucap Dav. Aku? Hey, ini bukan hanya aku saja tapi kamu juga, alias kita berdua. Alana terus saja memaki dalam hatinya. "Mamah dan Papah sudah membuat keputusan, tahun depan Alana harus sudah melahirkan. Paham kalian berdua?" Tanya Jihan, ibunya Dav. "Sudahlah, Mah jangan membuat mereka tertekan. Lagipula, mereka itu sedang menikmati masa-masa pacaran mereka, Mamah 'kan tahu gimana susahnya Dav punya kekasih dulu." Marko, ayahnya Dav mencoba menenangkan ketegangan diantara istri dan anak-anaknya. Jihan masih saja cemberut, ia merasa kesal pada suaminya karena lebih membela anak dan menantunya. "Mah, doain aja biar tahun depan Alana bisa ngasih mamah cucu kembar." Jujur saja perkataan Alana barusan hanya sebagai penenang untuk mertuanya, raut wajah Dav sedikit berubah, entah dia merasa jengkel atau apapun itu Alana tidak peduli satu yang pasti ia harus menjadi menantu yang baik. "Lain kali kalau mamah mengatakan hal semacam tadi, gak usah di gubris." "Lagian siapa juga yang mau punya anak dari pria arogan, sombong terus diktator kayak kamu." "Baguslah, itu berarti aku tidak perlu mengingatkan kamu lagi. Cuma, satu hal yang pasti jangan pernah mengatakan sesuatu yang bahkan kamu sendiripun tidak tahu apakah akan terwujud atau tidak, sama saja dengan berbohong." "Dav, sudahlah lagian aku mengatakan hal itu hanya untuk membuat mamah kamu tenang gak lebih dari itu. Kalau saja aku tidak bisa memberikan mereka cucu, ya itu sudah takdir mereka." Untung saja kedua orang tua, Dav memilih pulang. Mereka hanya berkunjung karena ketidakhadiran Dav dan Alana ke acara rutin keluarga besar mereka. Dav membawa kotak yang berisi baju, tanpa sepengetahuan Alana. Ia menuruni tangga menuju lantai satu, tangan kanannya memainkan korek api. "Tuan, mau pergi kemana?" Tanya Dion. "Membakar ini." Tangan Dav mengacungkan kotak hitam yang dibelinya tadi. "Tuan serius?" Dav hanya mengangguk, ia kembali melangkah melalui pintu belakang. Dion hanya bisa diam saat api mulai membakar gaun itu, mau heran tapi ini tuannya. Kalau di hitung harga satu gaun itu bisa membayar gaji Dion selama satu tahun. Dari dalam kamar, Alana mencari kotak hitam tadi. Ia berniat menyimpan gaun yang dibeli suaminya, namun nihil ia tidak menemukannya. "Kemana perginya kotak tadi? Masa bisa jalan sendiri!" Oceh Alana. Alana turun menuju dapur, berniat mencari Dion dan mengambil minum. Matanya tak sengaja melihat sosok suaminya di depan sebuah tong pembakaran, karena penasaran akhirnya ia berjalan mendekati Dav. "Apa yang di bakar?" Tidak ada jawaban baik dari Dav maupun dari Dion. "Dion, apa yang dibakar tuanmu?" Kali ini Alana bertanya secara spesifik. "Maaf, Non. Itu gaun yang tadi diantar saya ke kamar." Sontak saja Alana menyemburkan kembali Ari yang diminumnya. "Dav, kamu gila?" Ucap Alana lalu refleks mencoba memadamkan api, menyiramnya dengan sisa air minumnya. Percuma saja Alana mencoba memadamkan, gaun yang indah itu kini sudah menjadi abu. Suaminya memang gila. "Dav, kamu benar-benar gila. Aku tidak habis pikir kenapa kamu sampai membakar gaun itu, hah?" Dion yang mengerti dengan keadaan majikannya, lebih memilih pergi menjauh. Memang bukan hal baru baginya jika mendengar pertengkaran mereka berdua, tapi terkadang mereka butuh waktu yang lebih leluasa lagi untuk mengutarakan ego masing-masing. "Aku membelinya untuk di pakai pas acara kemarin, jadi sekarang tidak ada gunanya lagi." "Ya Tuhan, Dav. Hanya karena kita tidak pergi dan aku tidak memakainya bukan berarti kamu bisa seenaknya main bakar aja. Kamu sendiri juga tahu, harga gaun itu mahal." Alana tak habis pikir, kenapa suaminya bisa semudah itu membeli bahkan membuangnya seperti sampah. "Kamu gak usah khawatir, aku beli pakai uangku sendiri, bukan uang kamu. Kamu lupa siapa aku? Meski seratus gaun seperti tadi pun, aku masih sanggup membelinya. Jadi, jangan merasa menyesal seperti itu." "Ah iya, aku lupa kalau kamu ini adalah seorang Davino Abraham, yang tajir melintir, punya perusahaan dimana-mana dan tentunya bisa membeli apa saja sesuai keinginannya. Tapi setidaknya hargailah sesuatu yang sudah kamu dapatkan, apa pernah kamu meminta pendapat dariku? Apa pernah kamu bertanya padaku?" Dav menghela nafas sedikit lama, ia melihat ke arah Alana dengan kedua tangannya dimasukan ke dalam saku celana. "Jangan mengajarkan apa itu artinya menghargai, kalau tubuhmu saja masih bisa aku beli." Jleb, perkataan Dav membuat jantung Alana serasa berhenti. Ia melupakan satu hal, memang benar dirinya menikah dengan Dav karena jual beli dengan syarat tertentu. Matanya mengembun, baru kali ini suaminya mengatakan hal seperti itu. "Kenapa diam? Kamu tidak terima aku mengatakan hal itu? Lantas diantara kita siapa yang tidak menghargai, kamu atau aku? Aku hanya meminta kamu untuk pergi menemaniku saja kamu berbohong padaku dan lebih memilih pergi ke kampus sialan itu, kamu sengaja datang ke sana pura-pura mau belajar padahal bertemu dengan pria b******k itu, hah?" Alana bukan tak ingin menjawab, tapi seketika dunianya seakan hancur saat dirinya menyadari bahwa Dav telah membeli dirinya. "Satu hal lagi, aku juga sudah merobek surat percerai yang kemarin aku kasih ke kamu. Rasa-rasanya aku akan rugi besar jika melepasmu begitu saja, setelah apa yang kamu lakukan padaku." Tuturnya lalu pergi masuk ke dalam rumah. *** Keesokan paginya, seperti biasa Alana menyiapkan sarapan sebelum pergi ke kampus. Sejak pembakaran gaun semalam, baik dirinya maupun Dav tidak ada yang memulai percakapan. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing, seperti sekarang ini Dav duduk dengan membaca majalah bisnis tanpa menghiraukan keberadaan Alana. "Hari ini, ada jadwal kita berkunjung ke panti asuhan. Sebelum pergi ke sana, aku ke kampus dulu menyerahkan tugas setelah itu langsung pulang." Ucap Alana. Tidak ada respon dari Dav, seolah perkataan Alana masuk telinga kiri keluar kanan. "Oh iya aku lupa, aku meminta Dion untuk mengantarku ke kampus. Kamu tidak keberatan, bukan?" "Hem." Gumam Dav. "Ini jam untuk sarapan bukan untuk membaca majalah." Tukas Alana seraya menyodorkan roti lapis panggang dan segelas s**u murni lalu pergi menaiki tangga. Dav hanya melihatnya sekilas, lalu sibuk kembali membaca majalah tadi. "Tuan, sarapannya nanti keburu dingin." Ucap Bi Sari, salah satu asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja dengan Dav. "Terima kasih, Bi." "Tapi, itu yang buat Nona muda." Ucap Bi Sari merasa tidak enak karena tuannya malah berterima kasih padanya. "Tahu." Dav menyantap sarapannya dengan lahap, dari kejauhan Alana memperhatikan suaminya yang sedang makan. Entah kenapa tiba-tiba dia merindukan sosok suaminya yang selalu mengajaknya bertengkar, ah perasaan macam apa ini tepis Alana. Mobil sedan yang akan ditumpangi Alana sudah terparkir, Dion juga sudah berada di sana menunggu kedatangan Alana. Dari dalam rumah Dav menghampiri asisitennya itu dengan wajah datar. "Biar saya yang mengantar Alana, kamu urus saja semua barang yang akan di bawa ke panti asuhan dan pastikan tidak ada media yang meliput, saya tidak suka dengan jepretan kamera mereka." "Baik, Tuan." Jawab Dion dengan membungkuk lalu pergi ke bangunan yang ada di samping rumah utama tuannya. Dav segera masuk dan duduk di belakang kemudi, tak lama kemudian Alana terlihat keluar rumah dan langsung membuka pintu penumpang. "Dion, tuanmu belum berangkat?" Tanya Alana tanpa melihat ke arah pengemudi. "Pindah ke depan!" Alana terkejut mendengar suara suaminya, ah sial kenapa jadi ada dia? Apa dia gak salah masuk mobil? "Kamu ngapain di sini?" Tanya Alana heran. "Kamu pindah ke depan atau kita tidak jadi pergi?" "Bawel." Omel Alana seraya membuka pintu dan pindah duduk di depan. Mobilpun melaju, suasana hening menemani perjalanan mereka. Alana sendiri lebih memilih melihat ke arah luar melalui kaca jendela mobilnya, jujur ia juga bingung harus mengatakan apa pada Dav, hubungannya terlalu rumit tapi ia punya alasan untuk bertahan dengan situasi ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD