"Terima kasih untuk kedatangan Pak Davin da juga Ibu Alana ini semua sangat, sangat membantu kami. Sekali lagi terima kasih."
"Sama-sama, Bu. Kami juga senang bisa membantu anak-anak di sini." Ucap Alana.
Setiap ada acara yang melibatkan mereka berdua, Alana lah yang selalu menjadi juru bicara. Sedangkan tugas Dav, hanya tersenyum dan sesekali mengatakan sesuatu itu pun hanya untuk memastikan kalau keturunan Abraham tidaklah bisu.
Semua anak-anak sudah berkumpul di lapangan dengan berbagai usia, Alana yang notabene nya memang menyukai anak kecil merasa antusias bahkan ada seorang bayi yang berusia enam bulan digendongnya, kata pengurus di sana bayi itu disimpan oleh orang tuanya di depan panti asuhan.
"Dav, lihat nih bayinya gemes bukan?" Tanya Alana.
"Kalau kamu suka tinggal bilang sama ibu pengurusnya."
Alana mengerutkan keningnya tidak percaya, dia pikir bayi ini berupa barang.
"Ini manusia bukan gaun yang kamu bakar dan bisa kamu beli begitu saja. Aku heran sama kamu, kenapa sih akhir-akhir ini sikap kamu semakin menjadi. Apa aku buat salah lagi sama kamu?"
"Enggak!"
"Terus?"
"Kamu tahu apa yang aku tidak suka, apa yang aku suka tapi kenapa bisa-bisanya kamu bohongin aku."
Alana menundukkan kepala dan menghela nafas, ternyata suaminya masih belum melupakan kejadian saat dirinya berbohong ada tugas di kampus. Berdebat juga tidak ada gunanya, apalagi ini di tempat umum.
Selesai membagikan beberapa barang dan juga sejumlah uang, rombongan Dav bersiap akan segera pergi tapi Dion mendapat kabar kalau jalan yang mereka lalui tadi mengalami longsor.
"Kamu telepon Andre, suruh dia untuk menjemput kita menggunakan helikopter biar kalian saja yang menunggu di sini." Titah Dav.
"Baik, Tuan."
Ibu pengurus panti yang meminta maaf pada Dav, karena harus menunggu lama di panti.
"Kenapa bisa longsor ya, Bu? Padahal hari ini tidak hujan?" Tanya Alana.
"Itu pasti gara-gara semalam hujan lebat, Bu. Memang akhir-akhir ini jalan menuju ke sini sering terjadi longsor."
"Oh pantas saja, langit juga sudah mulai gelap, sepertinya hujan juga akan segera turun."
"Iya, Bu. Bagaimana kalau Bu Alana, Pak Dav dan juga rombongan lainnya menginap saja di sini? Kebetulan di sini masih ada beberapa kamar kosong, tapi kami jamin kamar itu bersih dan terurus." Ucap ibu panti meyakinkan bahwa mereka akan betah jika bermalam meski hanya di panti asuhan.
"Sebelumnya terima kasih, Bu."
Alana mendekati suaminya yang sedang berbicara dengan Dion.
"Maaf, Tuan. Andre tidak bisa datang ke sini, karena cuaca buruk, hujan di sana lebat dan sepertinya di sini juga akan segera turun hujan."
"Aku tahu."
"Akan lebih baik jika kita menginap di sini, sambil menunggu tanah yang longsor itu dibersihkan. Dipaksa pulang pun akan percuma, takutnya malah kenapa-kenapa." Timpal Alana.
Dav berfikir sejenak, apa yang dikatakan istrinya memang benar. Lagipula tidak ada masalah juga sih mereka menginap di sani asalkan tidak ada media atau apapun itu yang membuat dirinya tidak nyaman.
"Baiklah, kita akan menginap di sini." Keputusan Dav ditanggapi Alana dengan bahagia, akhirnya Dav bisa berfikir jernih juga. Biasanya dia selalu memaksakan sesuatu untuk mencapai keinginannya.
"Kalau begitu biar kami menyiapkan kamar untuk kalian semua." Ucap ibu panti.
Hujan lebat pun turun, kini Alana dan Dav sudah berada di dalam kamar. Keadaan diluar sungguh menakutkan, hujan yang disertai dengan geludug membuat semua orang takut untuk keluar rumah.
Suasana di kamar Alana masih saja hening, apalagi Dav yang dari tadi sibuk dengan ponselnya padahal di luar terdengar jelas geludug bersahutan. Dari tadi juga Alana sudah mencoba mengingatkan, tapi tidak digubris olehnya.
Terpaksa Alana merebut ponsel milik Dav dan itu membuat Dav menatap Alana dengan geram, bukan Alana namanya jika dirinya memperlihatkan rasa takut di depan suaminya.
"Kembalikan sekarang!"
"Enggak, kamu gak lihat diluar hujan lebat dan juga geludug bersahutan. Kalau ada petir gimana, kamu gak takut?"
Tiba-tiba saja petir benar-benar terdengar dengan kerasnya, membuat Alana refleks memeluk tubuh kekar Dav sambil berteriak histeris ketakutan.
"Makanya kalau bicara jangan sembarangan." Ucap Dav datar.
Alana masih saja bersembunyi dibalik tubuh Dav karena suara petirnya masih terdengar.
Telinganya mendengar detak jantung Dav yang terdengar seirama membuat Alana merasa nyaman. Jujur saja, ia jarang memeluk Dav, karena memang hubungan mereka yang rumit.
Setelah suara petirnya reda, Alana melepaskan pelukannya. Saat itulah Dav menatapnya dengan tatapan yang berbeda dari biasanya, tatapan tidak ada kemarahan, tatapan kelembutan yang seolah itu bukan tatapan Davino Abraham.
"Lebay!" Tiba-tiba Dav mengatakan itu dan membuat suasana hati Alana kembali kesal.
"Dasar cowok arogan, sombong, tidak peka, dingin sedingin kulkas lima pintu dan juga keras kepala."
Dav hanya mengangguk mendengar istrinya mengomel seperti itu dan malah duduk di atas tempat tidur. Ia melupakan ponsel yang masih dipegang Alana, kalau pun dirinya memaksa toh itu tidak ada gunanya lagi. Alana pasti akan menganggu pekerjaannya lagi dan Dav tidak menyukai itu.
Pintu kamar di ketuk, Alana segera membukanya. Ibu panti menyuruh mereka untuk ikut makan bergabung dengan anak-anak yang lain.
"Kamu saja yang ikut makan, aku belum lapar." Ucap Dav setelah ibu panti pergi.
"Baiklah, aku pergi makan dulu. Kamu yakin gak mau makan?
"Enggak."
Alana mengangkat bahu terserah, sepanjang lorong menuju ruang makan panti, ia berfikir gak enak juga kalau Dav tidak ikut makan, semua orang di panti pasti akan berfikir yang bukan-bukan. Tapi apa mungkin dia harus memaksanya?
Saat melewati dapur, Alana melihat ibu panti sedang membawa beberapa lauk untuk teman mereka makan. Menunya memang sederhana hanya ada ikan goreng, tempe, tahu dan juga beberapa tumis sayuran lainnya. Meski Dav ikut ke sini juga belum tentu dia mau makan, bukan karena masakannya tapi karena memang makanannya tidak ada yang dia sukai.
"Bu, maaf apa ada stok daging ayam?" Tanya Alana penuh dengan kehati-hatian.
"Oh ada, Bu. Sebentar saya ambilkan, terus apa yang ibu butuhkan lagi?"
"Emh, kangkung ada?"
"Ada, kebetulan tadi pagi ibu membelinya."
"Terima kasih, Bu. Sebelumnya saya minta maaf karena sudah merepotkan Ibu."
"Tidak, Bu, justru Saya merasa senang karena Bu Alana dan juga pak Dav menginap di sini, saya juga minta maaf jika kamar dan makanannya jauh berbeda dengan di kediaman Bu Alana."
"Bukan berbeda, Bu, cuman suami saya memang hanya menyukai beberapa macam makanan saja."
"Iya, saya mengerti. Lebih baik Bu Alana cepat memasak, sudah waktunya makan malam."
"Sekali lagi terima kasih. Oh iya, ibu dan anak-anak makan saja jangan menunggu saya, cuma nitip tiga orang yang bersama saya tadi."
"Bu Alana tenang saja, Mas Dion dan teman-temannya biar ibu yang urus." Ucap ibu panti lalu menuju ruang makan.
Alana mulai memasak, meski hanya dua menu tapi setidaknya Dav bisa makan. Di rumah juga Alana jarang memasak karena suaminya lebih sering makan oatmeal dan juga salad katanya biar sehat.
Ponselnya berdering, ternyata Bebi yang menghubunginya.
"Halo, Beb. Ada apa?"
"Kamu dimana? Kata yang lain tadi kamu datang ke kampus hanya sebentar, kenapa?"
"Di panti asuhan."
"Mau ngapain?"
"Biasa kunjungan rutin tiap bulan, tadi aku hanya mengantarkan tugas setelah itu balik lagi."
"Oh, pantas saja."
"Memangnya kenapa sih? Kayak baru kenal aja, bukannya kamu tahu aku jarang masuk kampus karena begitu banyaknya jadwal ini itu."
"Tuh si Pras, selalu saja bikin onar."
"Dia kenapa lagi?" Tanya Alana sedikit malas.
"Biasalah dia bikin rusuh sekampus, dia bilang kalau kamu itu menikah dengan Dav bukan karena cintalah, itulah bikin emosi aja."
"Udahlah, Beb gak usah di gubris. Lagipula orang-orang gak akan percaya juga sama omongan dia, mereka juga tahu siapa yang sedang dibicarakan Pras saat ini adalah orang yang bisa membuat hidup mereka susah."
"Justru itu, tiap hari ada aja selentingan orang-orang yang mengatakan buruk tentang kamu. Kamu matrelah, munafik dan lain-lain pokoknya masih banyak lagi." Keluh Bebi dengan nafas yang ngos-ngosan.
Alana hanya bisa tertawa, semenjak dirinya menikah dengan Dav begitu banyak orang yang membicarakan kehidupan pribadinya seolah mereka lebih tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Kamu lagi ngapain sih? Masak?" Tanya Bebi lagi.
"Iya, biasa Tuan muda tidak boleh makan sembarangan."
"Widih, mulai perhatian nih nyonya muda."
Gelak tawa pun tak terelakan lagi, Alana tidak menyadari ada sepasang mata yang sedang memperhatikannya. Bahkan ia mendengar jelas setiap perkataan dengan temannya itu, ya, dia Dav.
Entah kenapa hati Dav merasa sedikit bersalah saat mendengar orang-orang mengatakan hal buruk tentang istrinya. Ia akui jika menikahi Alana bukan karena hubungan layaknya kebanyakan orang, tapi sampai saat ini Alana tidak pernah membuatnya bangkrut.
"Udah ya, aku mau nganterin makanan dulu buat Dav. Kasihan dia kalau lama nunggu."
"Baik Tuan putri, aku doain semoga makanannya gak dilepeh sama suamimu itu." Canda Bebi seraya mematikan sambungan teleponnya.
Baru saja Dav melangkah hendak kembali ke kamarnya, tapi Alana sudah memergokinya.
"Dav, kamu mau kemana?"
"Tadi aku mau ke toilet." Jawab Dav dengan nadanya yang dibuat sedatar mungkin.
"Bukannya dikamar kita juga ada toiletnya?"
Dav mati kutu, ia memilih berjalan terlebih dulu kembali ke kamar dibanding harus berdebat dengan Alana.
"Makan dulu, kamu tenang saja aku yang masak kok." Alana menyodorkan nampan ke depan Dav.
"Nanti saja, aku belum lapar kok."
Alana menarik kembali nampannya, mengambil satu sendok nasi dan juga tumis kangkung lalu menyodorkannya pada Dav.
"Ayo, aaaaaaaa buka dulu mulutnya." Paksa Alana karena Dav masih saja diam tanpa menyentuh makanannya.
"Iya nanti."
"Aku gak mau tahu, sekarang kamu makan. Ayo buka mulutnya, aaaaaaaaa."
Terpaksa Dav membuka mulutnya lalu mengunyahnya, tak berselang lama Dav meminta sendok yang dipegang istrinya. Kini giliran Dav yang mengambil nasi lengkap dengan lauknya, setelah itu meminta Alana membuka mulutnya.
Jelas saja Alana merasa terkejut dan heran, ini pertama kalinya dia disuapi oleh Dav.
"Kamu gak mau makan? Tanganku udah pegal nih kalau harus nungguin kamu berfikir." Buru-buru Alana membuka mulut dan langsung memakannya.
Selesai makan, tubuh Alana merasa lengket tapi sayangnya ia tidak membawa baju ganti karena memang tidak ada niatan untuk menginap di sini. Berbeda dengan Dav, ia selalu membawa baju ganti beberapa pasang di dalam mobilnya untuk berjaga-jaga.
Sebenarnya bisa saja meminjam salah satu kemeja suaminya, tapi ia urungkan karena takut dia akan marah.
Dav yang melihat Alana kebingungan ia segera pergi ke luar kamar, mengambil satu kemeja hitam miliknya.
"Sekarang mandi, ganti bajumu pakai ini. Aku gak mau tidur dengan perempuan yang bau." Ucap Dav datar. Alana mengambilnya dengan wajah cemberut.
Air dingin mulai membasahi tubuh Alana, apalagi diluar cuacanya sangat dingin membuat Alana bertambah kedinginan, tapi kalau dirinya tidak mandi takut tubuhnya gatal-gatal. Selesai mandi, Alana mencari handuk, tapi sayang dia tidak menemukannya.
Ah sial, handuknya pasti tertinggal di tempat tidur.
Perlahan Alana membuka pintu kamar mandi, matanya mengintip keberadaan Dav. Suaminya sedang duduk ditempat tidur dengan melihat beberapa buku usang yang kebetulan ada di kamarnya.
"Dav, aku boleh minta tolong!" Ucap Alana pelan.
"Ada apa?"
"Aku minta tolong, tolong ambilkan handuk itu." Tunjuk Alana.
Dav bergeser ia mengambil handuk yang dimaksud istrinya, entah memang sengaja atau apa Dav menarik daun pintu tempat Alana bersembunyi dan saat itulah untuk pertama kalinya Dav melihat tubuh Alana tanpa sehelai benang. Sedangkan Alana segera membalikkan tubuhnya, tapi sayangnya ia terpeleset dan dengan sigap Dav menangkap tubuh polos istrinya.
Ada desir aneh yang dirasakan oleh Dav saat memegang tubuh polos Alana, apalagi tangannya memegang tepat di dekat gunung kembar yang terlihat kencang.