bab 4

1919 Words
Diluar hujan sudah reda hanya menyisakan dingin yang menusuk tulang, Alana memilih membaringkan tubuhnya dibalut dengan selimut berwarna maroon polos. Setelah kejadian di kamar mandi, mereka berdua menjadi canggung terutama Alana yang merasa malu. Ponsel Dav berdering beberapa kali, ia hanya melihat layar ponselnya lalu mengabaikannya dan itu membuat Alana terganggu. "Kenapa teleponnya gak diangkat?" "Enggak." Baru saja Dav menjawab pertanyaan Alana, ponselnya kembali berdering. Alana merebutnya, seketika matanya mendelik kesal. Nama seorang perempuan yang sudah lama ia kenal. "Dav, kenapa kamu gak angkat telepon aku?" Tanya suara wanita di seberang telepon. Alana diam, ia sengaja menggunakan mode loudspeaker agar Dav juga bisa mendengarnya. Namun, Dav sama sekali tidak bergeming, terkesan tidak peduli dengan wanita itu. "Dav, ayolah jangan seperti anak kecil. Bukan 'kah Minggu lalu kita habis bertemu, kenapa sekarang kamu mendiamkan aku seperti ini?" Mata Alana melirik Dav dengan sinis, ah pantas saja akhir-akhir ini dia sering terlambat pulang. Jadi mereka masih bertemu secara diam-diam, sungguh terlalu. Panggilan diakhiri oleh Alana, karena ia merasa muak dengan situasi ini. "Ah, jadi akhir-akhir ini kamu sering telat pulang gara-gara bertemu dengan dia?" Tanya Alana seraya mengembalikan ponsel milik Dav. Dav hanya diam, ia malah menatap ke arah Alana tanpa merasa bersalah. "Kamu masih mencintainya?" Tanya Alana lagi memastikan kali ini pria yang ada di hadapannya bisa menjawab. "Enggak!" "Lantas kenapa kalian masih bertemu?" "Itu bukan urusan kamu." "Bukan urusan aku? Lalu selama ini kamu mengatakan ini-itu, melarangku ini, melarangku itu maksudnya apa? Kalau pun kamu masih mencintai dia, menginginkan dia aku tidak peduli, satu hal yang harus kamu tahu, setidaknya kamu mengatakannya padaku. Kamu juga tahu siapa keluarga kamu, kamu itu siapa?Lantas bagaimana jika media memergoki kalian sedang berdua dan mereka menanyakannya padaku, aku harus jawab apa? Sedangkan aku sendiri pun tidak tahu kamu masih berhubungan dengan dia. Aku tahu, tidak seharusnya aku marah atau apapun itu tapi setidaknya beritahu aku dulu. Bagaimana kalau mamah dan papah mu tahu?" Alana mengutarakan kekecewaannya meski tidak semuanya, dari awal mereka menikah kejadian seperti ini pasti akan terjadi, ditambah lagi dengan hubungan Dav dan wanita itu sudah terjalin lama dibanding dengan dirinya. Dav memilih diam, ia hanya menatap Alana dengan datar. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini, apapun yang Alana ucapkan ia mencernanya dengan baik. "Kamu masih tidak mau bicara?" Tanya Alana lagi. "Sudah selesai bicaranya?" Alana menautkan kedua alisnya tidak percaya, bukan kalimat seperti itu yang Alana inginkan, tapi apalah daya perilaku suaminya memang sulit ditebak. "Ayolah, Dav jangan membuatku semakin kesal. Meski aku tahu, aku ini hanya istri yang kamu beli, tapi setidaknya untuk masalah besar seperti ini aku harus tahu." Ungkap Alana lirih, lalu memilih keluar dari kamarnya meski hanya menggunakan kemeja milik Dav saja. Lagipula anak-anak di panti juga mungkin sudah pergi tidur, jadi tidak masalah jika dirinya memakai pakaian seperti itu. Ia pergi ke belakang panti hanya ditemani rintik hujan, hawa dingin menerpa wajahnya bahkan hidungnya sedikit pengap. Matanya mengembun, bahkan pandangannya mulai mengabur. Pernikahan macam apa ini? Alana tersenyum sinis, mengingat dulu ia sering membayangkan pernikahan yang bahagia, mempunyai anak yang lucu-lucu, suami yang setia, baik dan juga perhatian. Sedangkan sekarang? Semua yang dipikirkan Alana hanya khayalan semata, kehidupannya berubah bahkan dirinya sendiripun sudah tidak mengenal siapa dirinya lagi. 'Tuhan, apa ini ujian atau memang balasan untukku?' tanyanya dalam hati, mengingat banyak orang yang sudah ia lukai karena pernikahan ini. Terdengar suara langkah sendal yang semakin mendekati Alana, ia buru-buru mengusap air matanya. Satu orangpun tidak boleh ada yang tahu bagaimana perasaannya saat ini, biarkan saja semua kesedihan ini ia telan sendiri. "Masuk, ini sudah malam." Titah Dav dengan santainya. Alana melewati Dav begitu saja di susul dengan Dav yang berjalan di belakangnya, suasana di panti serasa mencekam karena keadaan mereka berdua. Hanya suara langkah yang mengiringi dinginnya malam, pintu kamar dibuka dan Alana langsung membaringkan tubuhnya dan dibalut dengan selimut untuk mengurangi rasa dingin yang menerpanya. Tempat tidur yang bergerak menandakan Dav juga naik ke tempat tidur, ia juga membaringkan tubuhnya dengan matanya yang masih terbuka, menatap lurus ke atas langit-langit kamar. Apa perlu ia menjelaskan semuanya pada Alana? Sepertinya tidak usah, toh dari dulu juga Alana sudah tahu tentang hubungannya dengan wanita itu. Keesokan paginya, Dion sudah mendapat kabar kalau longsornya sudah dibersihkan dan mereka bisa kembali pulang. Setelah berpamitan, Alana memilih menunggu di dalam mobil seraya mengoperasikan ponsel pintarnya. Ia masih mengenakan kemeja bekas semalam, tatanan rambutnyapun hanya di Cepol seadanya. Sebuah pesan masuk dari Bebi kalau siang nanti ada ujian tulis dari dosen killernya. [Tadinya aku malas pergi ke kampus] balas Alana. [Kenapa? Ada masalah 'kah] Bebi tahu Alana bukan tipe orang yang bisa mengabaikan sebuah ujian begitu saja, kecuali memang ada kepentingan yang benar-benar penting baru ia akan meminta Dav untuk meminta izin pada dosennya. [Lagi gak enak badan] [Serius?] Tanya Bebi. [Enggak, aku bercanda. Nanti gak usah jemput, aku bawa mobil sendiri.] [Yakin? Memangnya tuanmu itu mengizinkan] [Persetan dengan dia] [Baiklah, kita bertemu di kampus saja.] Balasan terkahir Bebi. Pintu mobil terbuka, Dav masuk dan duduk dengan tenang di samping Alana. Mobilpun perlahan melaju meninggalkan panti yang mulai sepi karena sebagian anak-anak pergi ke sekolah. Selama perjalanan, baik Dav maupun Alana seperti biasa mereka diam. Sesekali Dion melirik ke arah mereka berdua mastikan mereka baik-baik saja, ini bukan pertama kalinya Dion berada di dalam situasi seperti ini. Jantungnya ikut berdebar, bahkan ia merasa canggung dengan keadaan yang diciptakan Alana dan Dav. Tiba di rumah, Alana keluar terlebih dahulu ia melenggang keluar tanpa menunggu Dav keluar terlebih dahulu. Ia harus bergegas bersiap untuk pergi ke kampus, Dav hanya bisa menatapnya dalam diam. "Tuan, apa hari ini akan pergi ke kantor?" Tanya Dion memastikan. "Tidak. Kamu pergi istirahat saja." Dav pergi setelah memberikan perintah pada Dion, badannya terasa lelah karena semalam ia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Pikirannya sangat terganggu dengan keadaan yang menimpanya, ia memilih menuju ruang kerjanya berniat untuk beristirahat sejenak di sana. Berbeda dengan Alana yang sudah bersiap untuk pergi ke kampus, di rumah juga ia merasa dadanya semakin sesak. Matanya mencari keberadaan Dion dihalaman rumah, tapi tidak menemukannya. Alana mencarinya ke bangunan sebelah, nampak Dion sedang tertidur dengan posisi duduk di kursinya. Untung saja kunci mobil tergelatak di atas meja, perlahan Alana mengambilnya lalu pergi dengan langkah pelan. Biasanya Dav selalu melarangnya untuk membawa mobil sendiri, tapi kali ini dia tidak perduli dengan larangan itu. Alana menyalakan musik kesukaannya, saat ini hidupnya terasa bebas karena bisa melakukan sesuatu tanpa ada larangan dari Dav. Tiba di kampus, ia memarkirkan mobilnya dengan santai. Tak lupa ia menghubungi Bebi agar menunggunya di depan kampus, mata Alana melihat tubuh seksi Bebi dan melambaikan tangannya. "Yakin gak diikutin suruhan suami kamu?" Tanya Bebi seraya melihat ke arah parkiran. "Bodo amat, satu yang pasti mulai hari ini apapun peraturan dari dia, aku akan melanggarnya, bukan 'kah peraturan dibuat untuk di langgar?" Gelak tawa Alana terdengar begitu lepas. Mereka berdua masuk ke dalam kampus, untung saja hari ini hanya dua mata pelajaran itu berarti Alana dan Bebi bisa menghabiskan banyak waktu untuk bermain. Rencananya mereka akan pergi ke rumah orang tua Alana, di sana mereka bisa melakukan apa saja tanpa takut pengawasan Dav dan orang-orangnya. Selesai kuliah, merek berdua tidak langsung pulang. Perut Alana terasa lapar, tadi pagi dia hanya sarapan sedikit. Ponsel Bebi berdering, ia melihat layar ponselnya dan merasa heran. Nomer baru muncul di sana. "Halo, ini siapa ya?" Tanya Bebi. "Saya Dion, apa Nona Alana sedang bersama kamu?" Bebi memberikan ponsel miliknya pada Alana. "Siapa?" Tanya Alana pelan. "Dion." Alana mengambil Bebi, ia sudah tahu apa yang akan dibahas Dion kali ini. "Ada apa?" "Nona dimana?" "Di kampus." "Baiklah, tunggu saya di sana. Saya akan segera menjemput Nona." "Katakan pada Dav, aku akan pergi ke rumah ibu dan rencananya menginap di sana." "Tapi, Nona ...." Alana memutuskan panggilan sepihak. Mobil Alana keluar dari kampus, sesekali ia melihat ke belakang melalui kaca spion mobilnya. Ia sangat yakin jika orang-orang suruhan Dav akan membuntutinya, tapi kali ini sedikit berbeda. Tidak ada mobil yang mengikutinya, Alana sedikit lega karena pada akhirnya dia bisa bebas untuk pergi kemana saja. "Bu, aku pulang." Teriak Alana setelah tiba di rumah orang tuanya. Suara langkah terdengar tergesa-gesa menuju pintu utama, Kamila tersenyum penuh kebahagiaan karena melihat putri kesayangannya datang. "Anak ibu, kemana saja? Kenapa baru datang, Hem?" Kamila memberondong anaknya dengan pertanyaan sampai melupakan keberadaan Bebi. "Tante, aku di sini loh!" Ucap Bebi dengan wajah cemberut. "Ah, Bebi. Apa kabar, Nak?" Kali ini memeluk Bebi. Mereka bertiga masuk ke dalam rumah, gelak tawa bahkan candaan receh pun mereka lontarkan. Beginilah kalau datang ke rumah orang tua Alana, mereka bebas mengatakan apa saja tanpa takut dengan pandangan orang lain. Bebi pergi ke dapur untuk mengambil makanan, matanya tak sengaja melihat sebuah mobil Van hitam yang terparkir tak jauh dari rumah ibu Alana. "Al, sejak kapan orang-orangnya Dav memakai mobil Van?" Tanya Bebi saat kembali dari dapur. Alana heran, setahunya Dav tidak memiliki mobil Van. Alana mengintip lewat tirai jendela rumahnya, benar saja mobil Van itu terparkir di sana hanya berjarak beberapa meter saja. Ibunya Alana juga ikut nimbrung, ia merasa cemas dengan keselamatan putrinya. "Coba hubungi Dav saja, siapa tahu mereka adalah suruhan suamimu itu." Saran Bebi. "Gak usahlah, kamu kayak gak kenal Dav aja. Dia bisa membeli apapun di dunia ini dengan uangnya. Jadi, Ibu tidak perlu khawatir oke?" "Kamu yakin, Nak?" Kamila memastikan. "Ibu, jangan terlalu parno deh." Alana memilih untuk duduk kembali, ia melihat ponselnya yang begitu banyak panggilan dan pesan dari Dion dan juga Dav. Ia sengaja mengaktifkan mode hening agar tidak bisa diganggu Dav. Malampun tiba, mobil Van itu masih saja di sana seolah tidak ada penumpangnya. Alana mulai sedikit cemas, apalagi di rumah ini hanya ada tiga perempuan saja. Zaki, adik laki-laki Alana sedang menginap di rumah adik ibunya. Ia mengumpulkan keberanian untuk menghubungi Dav, tapi sayang nyalinya terlalu ciut. Ia melihat ke arah mobil Van dari jendela kamarnya di lantai dua rumahnya, kali ini ada seseorang yang berdiri di samping mobil, tubuhnya kurus dan memakai pakaian serba hitam lengkap dengan penutup kepala. "Dion, kenapa kamu gak masuk ke rumah ibu?" Tanya Alana dari seberang telepon. "Saya di rumah, Non. Awalnya saya di suruh tuan untuk menjemput Nona, tapi setelah mendengar Nona akan berkunjung ke rumah Ibu, tuan melarang saya untuk pergi." "Ah, begitu ya! Aku pikir itu kamu, baiklah aku mau istirahat dulu." Sambungan telepon berkahir. Alana masih berdiri di depan jendela kamarnya, kali ini ia yakin bahwa orang yang berada di diluar itu bukan suruhan suaminya, layar ponselnya menyala Dav meneleponnya. "Kamu dimana?" Tanya Dav langsung. "Di kamar." "Ibu dimana?" "Ada di kamarku juga, aku, ibu dan juga Bebi tidur satu kamar." "Apa mobil itu masih diluar?" "Masih, aku pikir mobil itu milik Dion. Barusan aku telepon, katanya dia lagi di rumah. Dav, aku takut." Lirih Alana pelan. "Tetaplah di dalam kamar, aku segera ke sana." Dav mematikan teleponnya, ia bergegas memacu mobilnya menuju ke rumah Kamila. Satu orang yang berada di mobil Van tadi mulai berjalan mendekati pagar rumah Kamila, jantung Alana berdegup kencang bahkan keringat dingin mulai menjalar dari tulang punggungnya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Alana membangunkan ibu dan juga Bebi, untung saja mereka segera bangun. Mereka bertiga duduk dengan perasaan cemas, suara langkah kaki terdengar begitu jelas. Bahkan gagang pintu dipaksa dibuka, Alana, Bebi dan juga Kamila bersembunyi di balik tempat tidur. Brukk! Pintu kamar Alana terbuka dalam keadaan rusak, sosok pria bersenjata berdiri di sana menodongkan pistol ke arah mereka bertiga lebih tepatnya ke arah Alana. Dor ... Dor ... Dor ... Suara tembakan bergema di dalam kamar Alana bersamaan dengan suara teriakan-teriakan histeris.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD