BAB 3 NIGHT'S OUT

1526 Words
Mohon bantuannya untuk vote cerita ini ya ;) ____________________________________ Alena PoV*    Keesokan harinya, aku berangkat ke rumah sakit seperti biasa. Rumah sakit ini bisalah kusebut selayaknya rumah kedua untuk aku dan adikku. Itu karena saat masih SD, aku dan Abiyan sering kali menghabiskan waktu di rumah sakit sambil menunggu mama dan papa pulang. Karena aku dan adikku paling tidak nyaman bersama orang lain termasuk pengasuh.    Aku bergegas menuju ruanganku untuk mempersiapkan diri. Aku semakin gugup karena hampir terlambat. Semua gara-gara Abiyan yang tiba-tiba mengetuk kamarku saat masih pagi buta untuk curhat.  ***flashback in***   Tok, tok.    “Siapa?” sahutku dengan mata terpejam dan menarik selimut untuk menutupi tubuhku. Jelas saja, ini bahkan belum waktu subuh..    “Aku kak, Aby.” Suara diluar. Aku bangun untuk membuka pintu. Masih sempoyongan karena tubuhku sangat lelah.    Cklek. Menyembullah kepala Abiyan dihadapanku yang juga masih mengenakan pakaian tidurnya.    “Apaan. Masih jam segini. Aku masih ngantuk banget Abi. Hoam” Aku menguap sekenanya.    “Ihh, jorok amat kamu, Kak. Anggun dikit napa.” Abiyan kemudian duduk dikasur milikku.    “Hhh. Mau curhat apa sih? Cewek? Naksir kamu? Atau kamu yang naksir? Semalem nggak bisa tidur gara-gara itu?” Aku menanyainya dengan keadaan mata terpejam sambil memeluk boneka panda kesayanganku.    “Satu-satu kalo nanya. Gimana aku jawabnya.” Abiyan kesal    “Kakak inget Tara?” tanyanya kemudian    “Tara? Adik kelasmu SMA itu? Yang kata kamu tiba-tiba ilang dari peredaran padahal kamu mau membuat pengakuan cinta itu? Kenapa? Kamu ketemu dia? Terus? Masih suka?” Aku memberondong pertanyaan pada Abiyan. Entah kenapa aku sangat suka setiap adikku curhat tentang gadis yang datang dalam hidupnya. Seperti punya peluang mengerjainya. Hhh.    “Katanya masih ngantuk, giliran nanya semangat banget ampun.”    “Iya, semalem aku ketemu dia. Katanya dapat panggilan dirumah sakit papa. Cerita sama aku. Kayaknya sih, aku masih suka sama dia.” aku Abiyan    “Kok kayaknya? Suka beneran nggak? Hoamm.” Kali ini aku menutup mulut saat menguap. Tak mau tiba-tiba Abiyan menampol mulutku, terkadang anak itu bisa sangat menyebalkan.    “Iyadeh, iya masih suka. Tapi nggak tau dianya gimana.” Wajah Abiyan menunduk. Ia sepertinya merasa sangat malu menceritakan perasaannya kepadaku. Aku ingin tertawa mendengar ucapan adikku, tapi aku kasihan. Hatinya sangat lemah jika menyangkut wanita    “Udah deh. Tuh koas-mu beresin dulu. Nanti beres kamu kerja di rumah sakit papa. Biar bisa deket lagi sama dia,” tukasku.    “Nggak usah galau gitu. Kakak nggak bisa nyaranin apapun. Tapi kamu masih punya tanggung jawab yang harus kamu selesaikan. Kakak suka sama Tara. Jadi kakak bakal dukung kamu.”    Abiyan memandangku dengan mata bahagia. “Bener ya kakk. Makasih. Muahh. Sana lanjut tidur lagi. Bye.” Dia keluar kamarku    “Badan doang kekar. Hati lembek amat kena cewek. Hhh,” ucapku. Dia terkekeh dibalik pintu kemudian menutup pintu kamarku. Aku tanpa sadar kembali tertidur hingga jam 7. Alhasil tidak sempatlah aku untuk sarapan. *** flashback out***      Aku menuju kantin rumah sakit untuk sarapan. Begitu sampai dipintu kantin tiba-tiba handphoneku bergetar. Ternyata ayahku memanggil.    “Al, keruangan papa ya. Sekarang,” ucap ayahku dengan nada kediktatorannya yang jelas tidak bisa dibantah kalau sudah seperti ini.    “Aku mau sarapan dulu, Pa. Udah di kantin ini,” aku berbisik karena tidak mau ada yang mendengar percakapanku dengan ayahku.    “Sarapan di ruangan papa. Cepat kesini. Papa tunggu ya.” tut..tut..    “Papa kebiasaan ihh,” aku kemudian balik kanan menuju ruangan papa. Tok, tok    “Masuk,” suara dari dalam    Aku masuk kemudian menutup dan mengunci pintu. Aku merasa papa akan berbicara serius dan tidak formal sama sekali makanya ku unci pintu ruangan papa    “Kenapa di kunci Al?”    “Takut ada yang dengar¸Pa. Ada apa Papa panggil Alena? Minta cepet-cepet pula. Sarapan Alena mana?”    “Satu-satu kalau nanya. Itu sandwich di meja kamu makan. Papa inget tadi kamu pasti nggak sempat sarapan karena kesiangan bangun. Al, Al. Kamu itu gadis, jam segitu baru bangun. Pagi ini kan kamu ada jadwal operasi sama Papa. Jangan-jangan nggak subuhan juga tadi kamu?”    Aku hanya terkekeh mendengar ucapan ayahku. “Lagi lampu merah, Papa. Habisnya, Abi pagi-pagi udah bangunin aku buat curhat. Jadi kenapa papa panggil Alena. Kayaknya penting?” Aku memakan sandwich, rasanya tidak asing. Yah, pasti ini papa bawa dari rumah. Hhh.    “Papa serius saat berkata kamu harus mempersiapkan diri melanjutkan kepemimpinan Papa di rumah sakit ini. Papa dan Mama mungkin akan istirahat, entah kapan. Kami ingin sekali menikmati masa-masa berdua karena kamu dan Abiyan sudah dewasa.”    “Ciee, mau pacaran nihh ceritanya. Ini semua orang pada mabuk cinta apa gimana ya. Papa, Mama, Abi juga. Hhh.” Aku tertawa mendengar ucapan ayahku    “Abiyan lagi jatuh cinta? Pagi-pagi curhat sama kamu soal itu?” kernyit papa    “Biasa Pa, cinta lama belum kelar. Wkwk.” Papa tersenyum    “Memang sudah saatnya, Al.”    Aku tahu arah pembicaraan papa, langsung berdiri ingin keluar. Tapi papa menahan.    “Al, papa nggak maksa atau nyindir kamu lho. Papa juga nggak minta kamu segera menikah. Asal kamu bahagia, kamu boleh lakukan apa yang kamu suka.” Aku tersenyum, bahagia sekali karena ayahku sangat demokratis. Beliau sangat memahami aku    “Tapi apa kuping kamu tahan sama ledekan Ibu dan Adikmu. Hhh.” Beliau terkekeh.    “Ah, Papa sama aja. Alena ke ruangan dulu. Sampai ketemu di meja operasi, Pa.” Aku mencium pipi ayahku kemudian keluar dari ruangan beliau yang hanya tersenyum ****    Setelah 7 jam berjuang, aku akhirnya keluar dari ruang operasi berjalan setelah ayahku dengan tersenyum. Operasi kali ini aku nyaris tidak merasa gugup sama sekali. Padahal biasanya menjalani operasi dengan ayahku adalah hal yang paling menyeramkan. Saking semangatnya aku, hampir saja aku keceplosan memanggil papa    “Dokter Alena.”    Aku menoleh, “Ada apa sus?”    “Saya mau tanya. Apa dokter Alena putrinya dokter Zaf….” Aku buru-buru menutup mulut suster Lina.    “Ssstt, jangan keras-keras sus. Nanti ada yang dengar.”    “Maaf, dok.    “Al, Al. Mau sampai kapan disembunyikan. Pada akhirnya juga semua pasti tahu.” Yoga muncul bersama Ratih. Mereka adalah teman seangkatanku saat koas meskipun berbeda universitas. Aku bertemu mereka ketika menempuh pendidikan dokter di Yogyakarta. Sekarang Yoga bertugas di poli umum sedangkan Ratih di IGD. Dilihat dari pakaiannya, sepertinya mereka bersiap keluar sore ini. Kencan, lebih tepatnya.    “Lo bisa diem atau gue lempar dari sini.” Aku sebal pada dua sahabatku ini karena mulutnya sedikit ember. Pantaslah kalau mereka bisa bersama. Tapi untunglah selama bertugas disini semuanya aman. Yoga dan Ratih hanya tersenyum    “Saya permisi dulu dok,” pamit suster Lina.    “Tolong jangan bilang siapa-siapa ya sus.” Aku meminta pada suster Lina dengan tatapan memohon. Dia tersenyum menyanggupi.    “Sama saya beres dok. Asalkan besok saat ada dokter dari Korea itu saya di comblangin ya. Hhh.” Aku menepuk dahiku sendiri.    “Saya aja masih sendiri disuruh nyomblangin orang.” Suster Lina terkekeh kemudian berlalu meninggalkan gerombolan kami.    “Al, keluar yuk. Kita nonton,” ajak Ratih dengan mata sok imutnya.    “Kita yang nonton apa lo berdua trus gue jadi obat nyamuk,” sindirku.    “Hhh. Ampun bos. Bertiga deh beneran. Kali ini biar gue yang jadi obat nyamuk antara lo dan Ratih.” Yoga terkekeh.    “Yaudah tunggu diparkiran. Gue ganti baju dulu.”    “Bye Al.” Ratih dan Yoga menuju pakiran. Aku sedikit berlari keruangan. Nonton? Siapa yang nolak. 2 minggu ini jadwal operasi lumayan gila-gilaan. Belum lagi di IGD. Butuhlah refrreshing. Setelah berganti pakaian yang memang selalu ku siapkan, aku berjalan menuju parkiran. Tak lupa mengabari ibuku untuk berpamitan.  Saat memencet tombol dial, ada yang memelukku dari belakang. Ternyata ibuku, digandeng ayahku.    “Ma, Alena keluar ya. nonton sama Yoga sama Ratih.” Aku berbisik. Tak mau ada yang mendengar.    “Oke sayang. Kalau gitu mama sama papa juga mau pacaran dulu.” Ayahku tersenyum genit. “Yuk, Ma. Kapan lagi kan mumpung anak-anak udah gede kita balik ke masa muda lagi.” Mamaku hanya tersenyum. Aku hanya memutar bola mata malas melihat tingkah orang tuaku.    “Yoga, titip Alena ya. Kalau ada yang mau mendekati, kamu bilang sama Om biar bisa langsung ACC.” Aku melotot.    “Dikata bikin skripsi,” sergahku    “Beres, Om. Sama Yoga, aman. Temen cowoknya Ratih banyak. Alena aja yang jual mahal. Hhh.”    “Alena nggak pa-pa Ratih jadi obat nyamuk kamu sama Yoga. Hhh.” Ibuku memang serese ayahku. Aku hanya memutar bola mata. Malas.    “Ini jadi keluar kaga nih? Jomblo high quality ini masih sanggup nonton sendiri.” Aku akan akan berjalan menuju mobilku.    Ratih menahan tanganku, “Uluhh, jangan ngambek dong. Ratih jagain kok, Tante. Anak tante ini kalau ngambek serem. Wkwk.”    Aku menginjak kaki Ratih, “Itu mulut bisa di kontrol buk. Ambyar kaya speaker,” ketusku. Ratih hanya meringis.Yoga dan orang tuaku tertawa.    “Mobil kamu gimana, Sayang?” tanya ayahku.    “Biar mobilnya di ambil Abiyan, Pa. Katanya lagi dirumah temennya deket sini. Al udah bilang kok.” Untung suasana parkiran sangat sepi sehingga aku bisa berbicara santai dengan orang tuaku.    “Oke. Kamu hati-hati, Sayang. Yoga jangan ngebut.” Ibuku mengingatkan.    “Siap.” Yoga hormat ala tentara Korea magang wamil. Hhh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD