11. 00 WIB
Willy tiba di rumah. Saat dia baru saja membuka pintu dan di hadapannya ada sosok Malik. Pria itu menatapnya dengan sinis. Willy berusaha bersikap biasa. Dia tersenyum lalu mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan pamannya itu. Namun mirisnya, tangannya malah ditepis oleh sang paman. Sebegitu benci kah, paman padanya?
“Jangan pura-pura baik di depan saya! Kamu itu anak yang gak tau diri! Anak yang gak tau terima kasih! Anak yang gak tau balas budi! Kamu, jelas-jelas saya sayangi seperti anak saya sendiri. Tapi apa balasan kamu, kamu hancurkan masa depan anak saya!” ketus Malik yang tidak dapat menahan diri untuk tidak marah-marah ketika melihat Willy.
Willy cuma bisa diam saat dicaci maki. Dia tidak menyalahkan Malik. Dia tahu, tidak ada satupun orang tua di dunia ini yang tidak akan marah apabila putri mereka dirusak. Malik merupakan orang tua yang baik di mata Willy. Pria itu sosok ayah yang hebat. Sosok ayah yang sangat menyayangi anak-anaknya meski kadang berkisap keras. Dan pria itu juga menyayanginya, kemarin.
“Saya gak habis pikir sama kamu. Kamu kenapa begitu tega merusak anak saya setelah apa yang telah saya kasih untuk kamu. Saya sayang sama kamu, Will. Saya anggap kamu itu anak saya. Tapi kenapa, kenapa kamu tega memperkosa anak saya?!” Malik semakin berapi-api. Dia masih belum bisa menerima putrinya yang hamil di luar nikah. Dia juga belum bisa meredakan rasa amarahnya pada pemuda yang di hadapannya ini. Maaf sulit dia kasih untuk Willy. Mungkin saja tidak ada kata maaf untuk selamanya.
Willy hanya menunduk merasa bersalah. Bukan merasa bersalah atas yang dituduhkan pria itu. Namun merasa bersalah karena dia sudah mengecewakan Malik. Andai dia lebih bisa menjaga Aca dengan baik maka masalah Aca yang hamil di luar nikah mungkin saja tidak akan terjadi. Andai dia lebih keras lagi melarang Aca untuk tidak berhubungan dengan Adi maka masalah tidak sampai seperti ini. Dia benar-benar merasa bersalah karena sudah memberi kekecewaan pada pria yang banyak berjasa dalam hidupnya itu. Ya walaupun Malik keras sikapnya tapi peduli dengannya. Tidak seperti ayah dan bundanya.
Malik mencekram kerah baju Willy hingga anak itu tertarik dan berhadapan lebih dekat dengannya. “Saya benci sama kamu! Sampai kapan pun saya gak akan pernah memaafkan kamu!” Malik kemudian mendorong Willy hingga tubuh anak ikut mundur kebelakang.
Willy merapikan pakaiannya lalu mengakat wajah memandang Malik. "Willy memang salah Om. Tapi Om perlu tau, bukan Willy yang menyentuh Aca. Dia bisa hamil bukan karena Willy. Willy salah atas kegagalan Willy dalam menjaga Aca, bukan karena membuat dia hamil."
"Terus karena siapa dia hamil? Hasil anak kucing?!" ketus Malik lagi.
"Kamu jangan mengada-ada Willy. Kamu lebih baik mengaku. Gak ada yang namanya berbohong demi kebaikan. Jika pikiran kamu kayak gitu, ada yang salah di otak dan di hati kamu."
Willy diam, bungkam bukan karena dia takut tapi karena ingin menghargai pria di depannya. Banyak bicara juga tidak akan membuatnya menang. Saat fitnah sedang berjalan maka sulit untuk dapat dipercaya. Dia juga sudah capek mengatakan yang sebenarnya. Orang-orang pada mengiranya membual padahal yang dikatakannya sebuah kejujuran bukan karena ingin dibenarkan.
"Kenapa kamu diam? Benar, kan yang saya bilang. Kamu memang pria yang buruk! Bisa-bisanya saya ketipu dengan tampang polos kamu ini."
"Makasih Om pujiannya. Aku pamit ke kamar dulu."
Willy melenggang pergi ke kamar dengan membawa rasa perih di hati. Dia mengunci dirinya lalu tersimpuh di belakang pintu. Dia mangacak-acak rambutnya frustasi.
“Kenapa Tuhan?! Kenapa harus aku yang menderita seperti ini?!”
“Kenapa kau biarkan aku lahir ke dunia jika kau hanya bisa memberikan rasa sakit?!”
“Aaarrrgghr!”
“Kenapa harus aku Tuhan…? Kenapa harus aku…?!” pekiknya.
***
11.30 WIB
Aca tiba di rumahnya. Saat sampai di rumah keluarganya sedang makan siang bersama di meja makan. Dia pun di ajak bergabung. Saat duduk dia baru sadar bahwa tidak ada Willy di sini.
“Ma, Willy mana?”
"Dia gak diajak makan?"
Sita tidak menjawab. Wanita itu pura-pura tidak mendengar apa-apa.
“Pa, Willy gak diajak makan bareng sama kita?” tanya Aca pada Papanya.
Malik menghentikan makannya dan menatap Aca dengan tatapan tajam. “Ngapain sih kamu peduli sama dia, jelas-jelas dia itu sudah merusak masa depan kamu!”
"Jangan pedulikan dia lagi!" tambah Malik.
Aca terdiam sambil menundukkan kepala.
“Dia itu sudah memperkosa kamu, masih aja bersikap baik sama dia," ucap Damar. “Liat yang terjadi sama kamu gara-gara dia. Kamu jadi hamil dan masa depan kamu jadi berantakan.”
Aca tidak berkutik. Dia tidak membantah karena takut orang-orang akan mencuriganya.
“Mulai detik ini, jangan sebut nama dia lagi! Papa benci sama dia!” tekan Malik.
“Aku juga benci sama dia!” tambah Damar.
Sedangkan Sita tidak ikut-ikutan. Dia bukannya tidak marah sama Willy. Hanya saja dia malas untuk mengutarakannya. Lagian mana ada seorang ibu yang tidak membenci orang yang sudah merusak darah dagingnya.
Aca melihat wajah keluarganya satu-satu. Dia dapat melihat semua keluarganya membenci Willy. Dia merasa bersalah atas itu. Dia sadar betul akan apa yang dia lakukan. Dia tahu yang dia lakukan ini sangatlah keterlaluan. Dia tahu Willy itu hanya mendapatkan perhatian dari keluarganya. Namun sekarang Willy tidak akan mendapatkan perhatian lagi dari siapapun.
“Willy, aku minta maaf…” Batin Aca.
Aca makan dengan perasaan tidak nyaman. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan meja makan.
"Ca, mau kemana kamu? Habiskan dulu makanan kamu," ujar Malik.
"Aku mau ke kamar, Pa. Aku capek dan masih kenyang."
Aca pun beranjak pergi. Saat melewati kamar Willy, dia berhenti dan berdiri di depan kamar Willy. Dia ingin mengetuk pintu kamar itu tapi tak memiliki keberanian lebih hingga saat dia mau pergi tiba-tiba pintu Willy terbuka dan berdirilah Willy di depannya.
Willy menatapnya.
"Gak makan siang?" tanya Aca.
Willy menghela napas. "Gak lapar."
"Kamu ngapain di sini?"
"Gak ngapa-ngapain. Mau aja. Ini kan, rumahku jadi aku bebas mau kemana."
Willy memegang pundak Aca. "Minggir." Dia lewat dan pergi meninggalkan Aca.
Aca berbalik melihat kepergian Willy.
***
Jam dinding menujukkan pukul 12 malam. Aca diam-diam masuk ke dalam kamar Willy. Kamar cowok itu terkunci tapi dia memiliki kunci cadangan. Dia pun masuk. Aca lihat Willy sudah tidur dengan pulas. Memang sekarang sudah larut malam makanya orang-orang di jam segini pasti sudah pada tidur. Maka dari itu Aca berani menyelinap ke kamar Willy. Dia hanya ingin memastikan keadaan pria itu.
Aca duduk di ranjang Willy. Aca lihat muka cowok itu penuh luka yang tidak terawat. Dia pun mengambil kotak P3K untuk mengobatinyq. Dia dengan gerakan perlahan membersihkan luka Willy lalu setelah itu dia obati dan menempelkan plester ke bagian yang ada luka lecetnya.
Aca tersenyum lalu mengusap kepala Willy. “Sorry ya Will, aku udah buat kamu jadi seperti ini. Aku gak maksud nyakitin kamu. Aku harap kamu memaafkan aku.”
Aca berdiri menatap wajah Willy lalu dia beranjak pergi dari kamar cowok itu. Saat Aca keluar tiba-tiba Damar mendapatinya di depan pintu kamar Willy.
“Ngapain kamu?” tanya Damar curiga.
“A-a-aku…”
“Jawab yang jelas!”
“Aku gak habis ngapa-ngapain kok.”
“Terus kenapa kamu keluar dari kamar Willy? Kamu ngapain di kamar dia? Hah!”
“A-aku habis liat cacatan Willy.”
“Catatan apa? Kamu jangan bohongin kakak ya.”
Aca geleng-geleng kepala. “Aku gak bohong kok. Aku beneran liat catatan Willy.”
“Terus mana buku kamu?”
“Em… aku gak bawa buku. Aku cuma liat catatan Willy aja bukan nyalin catatan dia.”
“Oke, kali ini kakak percaya. Tapi kalau kakak liat kamu keluar lagi dari kamar cowok berengsek itu, kakak gak segan-segan lapor ke papa.”
Aca mengangguk lalu dia buru-buru pergi dan masuk ke kamarnya. Di kamar Aca masih deg-degan. Tapi dia cukup lega karena kakaknya tidak curiga dan kakaknya tidak sempat mendengar ucapan yang dia katakan pada Willy.
***
Willy terbangun dari tidurnya. Dia meraba wajahnya dan merasakan ada sesuatu yang lain. Dia bangkit dan beranjak ke cermin untuk melihat wajahnya. Dia melihat lukanya yang sudah ditutupi dengan plaster bergambar hello kitty. Pantas saja di saat tidur tadi dia merasakan ada yang menyentuh wajahnya tapi dia abaikan karena berpikir itu hanyalah mimpi. Ternyata yang dia kira mimpi adalah nyata. Tidak perlu berpikir jauh dia sudah dapat menebak yang menempelkan plester itu pasti Aca.
Perlahan Willy melepasan plester itu dan membuangnya di tempat sampah.
Dia kembali merebahkan tubuhnya. Dia hanya berbaring dan tidak niat untuk tidur lagi. Jujur hari esok adalah hari yang tidak ingin dia jumpai. Jika saja malam ini adalah waktu kematiannya maka dia jauh lebih senang daripada harus hidup untuk esok hari tapi sepanjang hidupnya akan merasa kesakitan yang tidak kenal henti.
Besok hari pernikahannya. Hari itu akan segera tiba.
***
Pagi ini Sita menyiapkan pakaian yang akan Aca dan Willy kenakan saat ijab kabul nanti. Dia sedih dengan pernikahan yang dijalani putrinya. Hati ibu mana yang tidak sedih melihat putrinya yang hamil di luar nikah. Apalagi pernikahan putrinya nanti hanya akan dilakukan secara sederhana. Hanya mengundang penghulu saja dan saudara dari suaminya. Bukannya tidak ingin dilakukan secara besar-besaran akan tetapi kerena keluarga mereka besar dan terpandang jadi pernikahan putrinya bisa jadi bahan guncingan keluarganya. Jadi memang lebih baik acara pernikahan Aca dilakukan secara tertutup.
Sita beranjak ke kamar Willy. Dia mengetuk pintu kamar keponakannya itu. Selang beberapa menit Willy membukakan pintu. Sita masuk dan memberikan setelan jas kepada Willy.
“Pakai ini. Sebentar lagi penghulu datang,” ucap Sita seraya meletakkan pakaian itu ke atas ranjang.
“Tante, Willy…” ucapan Willy tidak terselesaikan karena wanita itu sudah pergi meninggalkannya. Mungkin tantenya itu tidak ingin bicara dengannya.
Willy menatap jas yang terleta di atas kasurnya. Dia tidak menyangka akan segera menikah di saat usianya baru 19 tahun. Lebih tidak sangkanya lagi dia menikah dengan cara seperti ini. Dimana dia menikah dengan keluarganya sendiri. Selain itu dia menikah dengan wanita yang tubuhnya sudah dinikmati oleh pria lain. Bahkan wanita yang dia nikahi dalam keadaan mengandung. Dia benar-benar tidak habis pikir perjalanan hidupnya sampai pada kondisi ini. Andai saja dia tudak memandang orang tua Aca maka dia sudah melarikan diri. Dia mengingat segala kebaikan orang tua Aca sehingga dia masih berdiri di tempat ini dan menerima pernikahan yang akan terjadi. Dia kasihan pada paman dan tantenya jika tidak ada seorang pun yang mau bertanggung jawab atas kehamilan putrinya.
Willy mengambil setelan jas itu. Dia memakainya lalu bercermin melihat dirinya. Perlahan air matanya menetes jatuh. Dia hapus dan mencoba tersenyum.
“Kamu kuat Will. Kamu pasti bisa lewatin ini semua.”
Dia mencoba berlapang d**a. Anggap saja dia sedang beramal sekarang dan balasan kebaikan yang akan dia dapatkan akan jauh lebih baik.
***
Aca sedang duduk di depan meja hias. Dia sudah berhias dan memakai kebaya putih. Wajahnya terlihat tegar tapi hatinya menjerit. Dia beberapa kali berusaha menghubungi pacarnya agar pernikahannya dengan Willy tidak terjadi. Namun sayang usahanya tidak membuahkan hasil. Padahal dia sudah menghubungi nomor Adi dengan nomor baru tapi tetap saja panggilannya tidak satupun terjawabkan. Dia betul-betul marah pada keadaan. Dia tidak bisa menghindari pernikahannya dengan Willy padahal dia masih berharap besar Adi datang dan pria itulah yang menikahinnya. Dengan begitu dia bisa menyelamatkan Willy dan mengakui semuanya.
“Sayang, apa sudah selesai?” tanya Sita yang baru masuk ke kamar putrinya.
Aca cepat menyembunyikan ponselnya dan memberikan anggukan.
“Kalau gitu kita keluar ya, Pak penghulunya sudah datang.”
“Ma, boleh tunggu sebentar lagi.”
“Memangnya kamu mau ngapain lagi?”
“Aku mau pipis.”
“Ya udah sana. Jangan lama ya, kasian Pak penghulungnya nungguin.”
“Baik Ma.” Aca bergegas ke toilet. Dia tidak buang air kecil. Dia cuma beralasan karena dia ingin mencoba menghubungi Adi lagi. Akan tetapi hasilnya tetap saja panggilannya tak terjawab. Aca benar-benar frustasi. Dia pun keluar toilet dan menyimpan ponselnya di meja hias. Dia keluar kamar bersama mamanya tanpa membawa ponsel. Dia sudah putus asa menghubungi pacarnya.
***