Aca sampai di ruang keluarga. Di sana semua keluarganya berkumpul. Di sana dia juga melihat Pak Penghulu dan Willy. Aca pun duduk di sebelah Willy atas arahan dari mamanya. Aca tidak berani mengangkat pandangannya untuk melihat ke arah Willy. Dia hanya berani menunduk dengan perasaan bersalah dan sedih.
Willy menjabat tangan Malik. Dia menatap kosong ke pria itu. Tak ada kegugupan yang dia rasakan. Dia hanya merasa kehampaan. Sebelum memulai, Willy menoleh melihat wajah Aca. Cewek itu menunduk dan meneteskan air mata. Willy tau Aca tidak menginginkannya namun cewek itu sekedar memanfaatkannya saja demi aibnya tertutupi olehnya. Sungguh jahat.
“Bisa dimulai?” tanya Pak Penghulu.
Willy tidak berkata apapun. Dan yang menjawab hanya Malik. “Bisa Pak,” jawab pria itu.
Willy menatap Malik kembali. Sekarang dia membayangkan akan sesakit apa Melea
jika mengetahui dirinya telah menikah dengan Aca. Mungkin pernikahan ini akan disembunyikan tapi yang namanya bangkai biarpun disembunyikan dengan rapi pasti akan tercium juga. Dia pasti akan dibenci mantan kekasihnya itu. Mau menjelaskan yang sebenarnya pun susah. Dia betul-betul serba salah.
Malik menarik napas sebelum berucap. Dia menjabat tangan Willy dengan erat. “Saya nikahkan engkau ananda Willy Juna Anggara bin Anggara Putra dengan putri saya Aca Zafira Malik binti Malik Irawan dengan mas kawin berupa cincin berlian dibayar tunai.”
Willy terdiam membuat orang-orang menunggu. Namun tidak lama setelah itu dia pun mengucapkan ijab kabulnya. “Saya terima nikahnya Aca Zafira Malik binti Malik Irawan dengan mas kawin berupa cincin berlian dibayar tunai,” ucap Willy dengan perasaan campur aduk yang menjadi satu. Perasaan sedih karena menikah tanpa didampingi oleh orang tuanya dan sedih karena harus meninggalkan wanita yang dicintainya serta perasaan kecewa karena wanita yang dia nikahi rela memanfaatkannya hanya demi sebuah rasa malu dan takut mengakui sebuah kesalahannya.
“Bagaimana para saksi, sah?” tanya penghulu pada 2 orang saksi yaitu Damar dan satunya lagi saudara dari Malik yang bernama Munkas.
“Sah,” jawab Damar dan Munkas.
“Alhamdulillah…” ucap Pak Penghulu sendirian karena yang lain tidak suka dengan pernikahan yang terjadi maka tak ada yang perlu mereka syukuri.
Willy menghadap Aca dan cewek itu juga menghadapnya. Aca meraih tangannya lalu mencium punggung tangannya. Willy pun lalu mencium kening Aca sambil meneteskan air mata. Selesai memberi ciuman singkat dia pun menghapus air matanya dan kemudian memasang cincin di jari manis Aca dan begitu juga sebaliknya.
Aca menatap Willy. Dia melihat kehancuran di mata pria itu. Dia pun menunduk merasa bersalah.
Pernikahan yang terjadi secara sederhana itupun selesai. Pak penghulu diantar pulang oleh Munkas dan sekalian Munkas pun pamit pulang. Pria berjakun itu memberikan ucapan selamat pada ponakannya dan dia juga berjanji tidak akan menyebarkan soal pernikahan Aca. Dia janji akan menutupinya dari keluarga yang lain demi menjaga nama baik saudaranya.
Sepeninggalan Pak penghulu, Willy segera beranjak ke kamarnya meninggalkan orang-orang. Di kamar Willy berteriak frustasi. Dia marah dengan keadaannya saat ini. Dia betul-betul capek dengan kehidupannya.
Ponsel Willy tiba-tiba berdering. Willy beranjak mengambil ponselnya yang di atas nakas. Willy cek ponselnya ternyata bundanya menelepon. Dia angkat sambil menundukkan diri di pinggir ranjang.
“Halo Will,” sapa Seli dibalik telpon.
Willy hanya diam tidak membalas sapaan bundanya itu.
“Gimana pernikahan kamu? Lancar?”
Willy tetap diam saja.
“Will,” panggil Seli berkali-kali.
Di kediaman Seli. Anggara langsung mengambil ponsel Seli karena dia geram sebab Willy tidak kunjung bicara padahal istrinya sedang berbicara pada anaknya itu.
“Will,” panggil Anggara.
Willy mendengar suara ayahnya. Bukannya dia bicara tapi malah meletakkan ponselnnya dan mengabaikan ayahnya yang sedang memanggil-manggilnya.
“Will, kamu sengaja ya,” bentak Anggara di telpon.
“Willy!”
“Willy jawab omongan saya!” tegas Anggara.
Willy meraih ponselnya. "Aku benci Ayah dan Bunda," ucapnya lalu dia memutuskan panggilan telponnya.
Dia merasa lebih tenang sekarang. Willy menatap jendela kamarnya yang menembus pemandangan di luar sana. Tiba-tiba rintik-rintik hujan turun dari langit. Semakin lama hujan itu semakin deras. Willy beranjak, dia berdiri di depan jendela itu.
Perlahan mata Willy mengeluarkan bulir-bulir air bening. Dia merenung lama meratapi hidupnya yang melelahkan. Sejak kecil dia menderita dan sampai dewasa pun masih sama.
Sampai saat ini masih belum terpecahkan kenapa ayah dan bunda meninggalkannya di sini. Dulu tempat ini aman dan nyaman untuknya. Tetapi saat ini tidak lagi. Kehadirannya di sini dibenci dan dimanfaatkan oleh seseorang yang dia pikir akan selalu ada di sisinya.
***
Willy ke dapur untuk mengambil air dingin. Sampai di sana dia melihat orang-orang sedang makan malam dengan lahapnya tanpa mengajaknya. Willy bertingkah pura-pura tidak peduli. Dia buka kulkas dan mengambil yang dia inginkan lalu dia mau menyelonong pergi.
“Tunggu,” ucap Malik menghentihkan langkah Willy.
Willy berbalik dan memandang Malik.
“Sini kamu.”
Willy melangkah menghampiri Malik.
“Duduk.”
Willy duduk sesuai yang diperintahkan.
“Sudah makan?”
Willy menggeleng.
“Lapar?”
Willy mengangguk.
“Ya udah makan.”
Willy ragu untuk makan karena di wajah Malik tampak tak ikhlas memberikannya makanan.
“Lo disuruh makan, jangan beong. Syukur bokap gue baik. Kalau jahat lo udah di penjara b*****t,” umpat Damar.
“Damar, jaga bicara kamu, ini di meja makan. Jangan berucap yang tak berbobot,” tegur Sita.
“Maaf Ma.”
“Willy ayo makan. Tante perhatikan udah seharian kamu gak makan apa-apa. Tante khawatir aja kamu sakit dan merepotkan kita semua."
Willy pun mengambil makanan karena tidak mau jadi beban di rumah ini. Jujur saat ini dia merasa seperti orang asing di sini. Dia seperti pendatang yang kedatangannya tak diinginkan.
Semua orang selesai makan, termasuk juga Willy. Meja makan pun dibersihkan oleh Bi Surti, pembantu yang sudah bekerja belasan tahun di rumah Malik ini.
“Segera kemasi barang-barang kamu,” ucap Malik tiba-tiba.
Mata Willy membulat, terkejut karena Malik mengusirnya. Lantas dia harus tinggal dimana?
Aca juga ikutan terkejut karena dengan ucapan papanya itu.
“Mulai malam ini kamu sekamar dengan Aca. Kemasi barang kamu dan simpan di kamar Aca,” lanjut Malik.
Willy sedikit lega karena ternyata Malik tidak mengusirnya melainkan memintanya untuk pindah ke kamar Aca. Begitu juga dengan Aca, dia jadi lega karena papanya tidak mengusir Willy.
"Kamar kamu mau saja jadikan ruang kerja. Jadi kamu sekamar aja dengan Aca. Lagian kalau kalian pisah ranjang hukumnya tidak baik dalam pernikahan."
“Dan mulai besok kamu harus cari uang buat memenuhi kebutuhan Aca. Kamu dan Aca sudah suami istri. Aca sudah jadi tanggung jawab kamu. Jadi mulai detik ini juga, segala kebutuhan Aca kamu harus memenuhinya,” tuntut Malik.
“Tapi Pa…” protes Aca. Jelas dia protes karena Willy itu masih berkuliah jadi mana mungkin Willy bisa memenuhi kebutuhannya. Willy belum berpehasilan bahkan cowok itu kuliah dengan beasiswa. Jadi jelas apa yang dikatakan papanya itu sama saja memberikan beban untuk Willy. Aca tidak bisa terima dengan gamblangnya karena dia peduli pada cowok itu. Dia memang jahat pada Willy tapi dia masih orang yang sama. Masih Aca yang sama di saat mereka masih berteman baik. Dia masih sangat peduli pada Willy.
“Diam kamu! Keputusan Papa sudah bulat. Siapa yang sudah berani berbuat maka dia harus siap bertanggung jawab.”
“Tapi Willy masih kuliah Pa, dia belum berpenghasilan. Untuk kuliah saja dia tergantung pada beasiswa. Jadi mana mungkin dia bisa memenuhi kebutuhan aku yang banyak.”
“Papa gak peduli. Dia udah berani menghamili kamu maka dia harus berani juga untuk menghidupi kamu dan anak haram dalam perut kamu itu,” ketus Malik.
Aca bungkam. Dia merasa sakit hati saat papanya bilang anak yang dia kandung ini anak haram. Dia memang hamil di luar nikah tapi anak yang dia kandung dari hasil buah cintanya dengan pria yang dia sayang. Walaupun kehamilannya membuat masa depannya berantakan tapi anak yang dalam rahimnya ini tidaklah bersalah. Dia sayang dengan janin yang di rahimnya. Dan dia tidak terima dengan ucapan kasar papanya itu.
“Dengar ya Willy, mulai sekarang kamu harus cari uang untuk memenuhi segala kebutuhan anak saya. Kamu wajib memberikan apapun yang Aca mau, tanpa terkecuali. Aca itu anak yang saya besarkan dengan susah payah tapi malah kamu hancurkan masa depannya. Saya tidak terima dan saya mau kamu harus bisa memberikan yang terbaik untuk dia!”
Willy tidak berkata apa-apa. Dia dengarkan semua tuntutan orang tua Aca. Dia akan berusaha memberikan yang terbaik meskipun Aca sudah merusak hidupnya. Meski wanita itu membuatnya menikah muda dan menghancurkan apa yang dia cita-citakan. Tapi sudahlah, dia jalani saja dengan apa adanya. Karena sekarang dia sudah berstatus suami Aca dan sebagai laki-laki memang sepantasnya dia mencari nafkah.
“Jangan diam aja, kaya patung. Papa gue lagi ngomong sama lo,” ujar Damar.
“Aku dengar kok Kak. Aku akan lakuin apa yang Om suruh.” Willy melarikan pandangannya pada Aca.
“Agar Aca puas!”
Aca sadar Willy menyindirnya. Hubungannya dengan Willy memang sudah tidak baik. Entah apa yang bakal terjadi kedepannya dengan pernikahan mereka. Hubungannya dengan Willy sepertinya tidak akan baik mengingat Willy yang tampak sangat membenci dirinya.
“Oh ya Pa, apa mereka seterusnya tinggil di sini?” tanya Damar. “Damar takutnya jika mereka gak tinggal di sini nanti hidup Aca bakal susah. Damar gak mau adik Damar ikutan susah kayak Willy.”
Willy mengepal jemarinya. Menahan diri untuk tidak termakan dengan omongan Damar. Dia tidak mau suasana yang tenang ini menjadi penuh keributan karena baku hantam antaranya dengan Damar.
“Orang tuanya aja ngelantarin dia,” tambah Damar. "Kasian banget.”
Sita melihat wajah Willy yang terlihat kesal. Dia pun segera menegur putranya yang berucap keterlaluan itu. “Damar, cukup.”
“Mama apaan sih, ngapain masih baik ke Willy. Orang jelas-jelas dia udah memperkosa anak Mama. Dia tuh gak pantes dibaikin. Liat, hasilnya dia malah ngelunjak dan menghancurkan masa depan Aca. Aku sebagai kakak gak terima adik aku dibuat hamil gara-gara dia! Parahnya lagi dia memperkosa Aca! Emang cowok b******n!”
“Cukup Kak,” protes Aca. “Willy emang salah, tapi gak pantes Kakak ngomong gitu ke dia.” Aca membela Willy karena ingin mendapat empati dari pria itu. Setidaknya Willy tidak terlalu membenci dirinya karena dia tidak seratus persen memanfaatkan Willy. Dia sekedar berlindung di balik pria itu. Caranya memang salah tapi percayalah dia lakukan kejahatan itu karena terpaksa. Tak ada niat sedikitpun untuknya menjebak Willy. Dia hanya kehilangan cara dan gak tau harus melakukan apa selain melakukan langkah jahat itu. Dia sangat takut jika orang tuanya tahu yang sebenarnya karena dia akan diusir dari rumah dan dicoret dari kartu keluarga dan dia pun akan kehilangan segalanya.
“Gak usah belain aku, Ca. Yang dikatakan kak Damar benar kok. Aku memang anak yang ditelantarkan. Dan aku parasit di keluarga kalian. Aku gak punya apa-apa, cuma orang susah yang tambah susah karena menghamili kamu,” ucap Willy yang sudah kepalang tanggung sakit hati jadi dia luruskan saja omongan jahat yang orang-orang bilang. Supaya orang-orang puas dan biarlah dia yang menanggung deritanya.
“Bagus kalau lo sadar diri,” balas Damar.
“Damar cukup. Masuk ke kamar kamu sekarang!” pinta Sita. “Mama dan Papa perlu bicara penting dengan Aca dan Willy. Kamu gak usah ikut campur.”
“Tapi Ma…”
“Masuk!”
Damar menghela napas keberatan. Dengan terpaksa dia pun beranjak ke kamarnya.
“Will, Tante gak berharap banyak sama kamu. Tante hanya ingin kamu menjadi suami yang baik untuk Aca. Jangan sekali-kali nyakitin dia. Cukup sekali aja kamu buat Tante kecewa, jangan coba-coba lagi melakukan kesalahan. Kalau Tante tidak memandang kamu sebagai keponakan Tante, Tante lebih milih melaporkan kamu ke polisi,” ucap Sita dengan penekanan.
Willy tak berkutik, hanya diam dengan tatapan penuh kesedihan.
“Aca,” panggil Malik.
“Iya, Pa.”
“Apa kamu masih mau melanjutkan kuliah kamu?”
Aca bingung menjawab apa. Satu sisi dia masih ingin berkuliah namun di sisi lain dia takut teman-temannya tahu jika dia hamil di luar nikah. Dia takut kehamilannya diketahui teman-teman kampusnya. Dan dia bakalan sangat malu dan kehilangan teman-temannya.
“Kalau kamu gak mau lanjut lagi juga gapapa. Papa akan selalu dukung kamu. Kamu jangan khawatir.”
“Mungkin Aca akan tetap kuliah Pa, selama kehamilan Aca gak ada yang tau.”
Malik agak kecewa dengan jawaban Aca. Tapi dia pura-pura tidak keberatan. “Oke, Papa terima keputusan kamu.”