Seperti yang sudah kujanjikan kepada orang tuaku, aku pulang ke rumah setiap weekend. Selain karena janji, aku pulang ke rumah karena memiliki rutinitas setiap hari Minggu.
“Tytyyyy.”
“Halooo sayaang.” balasku sambil memeluk Keisha, keponakan pertamaku. Ya, hari Minggu adalah hari khusus yang aku luangkan untuk bocah itu.
“Kata Oma Tyty pergi lagi.” sahut Keisha mengulangi apa yang dia dengar dari Mama.
Aku tersenyum sambil mengusap kepalanya menenangkan, “Tyty cuma pergi sebentar, kok. Lagian kan yang penting Tyty pulang sekarang, kan mau jalan jalan sama Keisha.”
“Yeiiii. Ayo Tytyyy, Keisha mau beli boneka unicorn yang besaaaar.”
“Hayo, kamu udah punya banyak boneka unicorn ya, Kei. Nggak usah dibeliin, Tha. Awas kamu sampe beliin. Minggu depan Keisha nggak Mbak ajak ke sini lagi.” ancam Mbak Rely, kakak perempuanku satu-satunya.
“Yaaaah.” ujarku dan Keisha kompak dengan wajah sedih.
“Nggak usah pasang tampang kayak gitu, ya. Nggak ngaruh. Udah ah, Bunda mau masuk dulu makan rujak buat adek.” kata Mbak Rely sambil mengelus perut buncitnya lalu langsung berbalik dan memasuki rumah.
Aku dan Keisha berpandangan sesaat lalu mengedikan bahu dengan sedih.
“Masuk dulu, yuk. Tyty mau nyapa Oma sama Opa.” ajakku sambil menggandeng keponakanku itu.
~~~~~~~~~~
“Abaaang! Buruan, ah! Mallnya keburu rame ntar, nggak dapet parkir.”
“Iya iyaaa, Ibuku yang cantiik.” teriak gue sambil berlari menuruni tangga.
“Kamu itu makanya buruan cari istri. Jangan gombalin cewek Ayah, dong.” protes Ayah yang berdiri di samping Ibu. Gue terkekeh sesaat lalu mencium cepat pipi Ibu untuk menggoda Ayah.
“DAFA GAJENDRA PUTRA! Ayah nikahin sama anaknya Tante Leni lama lama.” protes Ayah yang membuat keluarga gue tertawa.
“Waduh, Ayah udah bayangin belum cucunya ntar kayak apa? Rela?” balas gue yang membuat Ayah menggeram dan hendak menabok gue.
“Jangan ditabok dong, Val. Masak anak kita cakep cakep begini kamu tabok.” ucap Ibu melindungi gue. Gue tersenyum penuh kemenangan dan membuat Ayah semakin geram.
“Weeek, dibelain Ibu.” kata gue sambil mengecup pipi Ibu sekali lagi. Ayah kembali memelototi gue dan sebelum kali ini benar benar merasakan tabokan, gue pun segera berlari keluar menuju garasi.
~~~~~~~~~~
“Tyyy, Keisha kebelet pipis.” ucap Keisha sambil menarik-narik celanaku. Aku menunduk ke arahnya lalu berkata, “Ya udah, ayo buruan ke kamar mandi.” ajakku sambil menggandeng Keisha dan mempercepat langkah kami.
Begitu selesai dengan urusan pipis, kami berdua langsung keluar dari kamar mandi. Seperti biasa, weekend membuat mall padat pengunjung, begitu pula dengan toiletnya.
Ketika aku dan Keisha hendak berbelok, aku melihat seorang ibu ibu yang ditabrak oleh gerombolan abg dan mengakibatkan semua barang belanjaannya terjatuh. Aku segera mempercepat langkahku menuju ibu ibu itu.
“Saya bantu ya, Bu.” ucapku sambil membantu memunguti belanjaan wanita itu.
“Aduh, malah ngerepotin, Mbak.”
“Nggakpapa, Bu. Ngebantuin orang nggak pernah ngerepotin, kok.”
Setelah tidak ada lagi barang yang berada di lantai, aku menyodorkan barang tersebut ke pemiliknya. Namun, begitu melihat bawaan si ibu, aku mengurungkan tindakanku itu.
“Bawaannya banyak, Bu. Saya antar saja ya. Ibu mau kemana?” tanyaku kepada wanita tersebut.
“Aduh, nggak usah, Mbak. Saya nungguin anak saya, kok. Dia lagi ke toilet. Terima kasih ya, Mbak. Emang sekarang anak anak muda pada kurang sopan.” keluh si Ibu.
“Sama sama, Bu. Yah, zaman emang udah berubah ya, Bu.”
“Aduh ngomongin zaman malah bikin saya sadar umur.” balas Ibu itu yang membuat kami berdua terkekeh.
“Ini anaknya Mbak? Lucu sekali, siapa namanya sayang?” tanya si Ibu sambil mencubit pipi Keisha gemas.
“Ini ponakan saya, Bu. Anaknya kakak. Kenalan dulu, Kei.”
“Keisha, Bu.” ucap Keisha sambil mengulurkan tangannya mengajak salaman.
“Pinter sekali. Nama Ibu, Eva.” balas si Ibu yang membalas uluran tangan Keisha.
“Ibu, Dafa cariin kemana-mana, di sini ternyata.” ucap seseorang yang tiba-tiba muncul dan berdiri di samping wanita tersebut.
“Lagian kamu pipis lama banget, Daf. Pipis apa boker nih?”
“Hehe, Ibu tahu aja.”
“Lho, Karet?!” aku terkejut saat menyadari orang itu adalah Dafa.
“Dafa? Lo siapanya Ibu ini?” tanyaku dengan wajah bingung.
“Simpenannya.”
“Heh ! Ampe didenger Ayah, ditabok beneran kamu.” balas Ibu Dafa setelah menepuk lengan kanan Dafa pelan.
“Hehee. Kenalin ini Ibu gue, Bu ini Aretha. Dulu kita sempet satu kelompok waktu kuliah.” kami berdua pun berkenalan dan saling bersalaman.
“Oooh. Pasti sebel ya dulu sekelompok sama anak Ibu. Yang sabar ya, untung semua udah berlalu.”
“Ya Allah, anak sendiri dijelek-jelekin.”
“Ya gimana, kan emang bener.” aku terkekeh saat mendengarkan Ibu dan anak di depanku ini saling berdebat. Sepertinya, keluarga Dafa keluarga yang menyenangkan.
“Keluarga Ibu mau makan siang ini, Aretha sama Keisha ikut sekalian, yuk.” ajak Ibu Dafa.
“Yah, kita barusan aja selesai makan, Bu.” tolakku.
“Sayang banget. Ya udah, kapan kapan makan bareng, ya. Nanti biar Dafa yang bilang ke kamu.”
“Sip, Bu.”
Ibu Dafa tersenyum dan mengelus lenganku pelan sebelum berbalik.
“Astaga, Karet, ini anak siapa lo culik? Masih aja pada job yang sama.” ucap Dafa tiba-tiba yang membuat Ibunya berbalik lagi.
“Sembarangan lo! Ponakan gue ini.” balasku sambil memelototi Dafa.
“Duuh, syukur deh ya. Adek namanya siapa?” kata Dafa yang sudah berjongkok dan mengulurkan tangan kepada Keisha.
“Keisha.” ucap Keisha sambil membalas uluran tangan Dafa.
“Nama om Dafa cakep.” aku terperangah dan berdecak sebal.
“Duh, maafin anak Ibu ya, pd nya emang overdosis gini. Nama anak Ibu cuma Dafa kok, Keisha.” ucap Ibu Dafa sambil mencubit lengan Dafa.
“Aduuuh, sakit, Bu.” keluh Dafa yang sudah kembali berdiri dan mengelus lengannya.
“Makanya, dikurang-kurangin tuh pdnya. Ya udah, pamit dulu ya Aretha, Keisha. Kapan kapan kita makan bareng, jangan ditolak lho ya undangannya.” ucap Ibu Dafa berpamitan. Aku mengangguk sambil tersenyum sebagai balasan.
Kemudian Dafa dan Ibunya kali ini benar-benar berbalik lalu berjalan menembus keramaian.
~~~~~~~~~~
“Abang kapan ngenalin calon istri ke kita?” tanya Ayah saat makan malam. Gue tersedak dan meminum air putih yang berada di samping piring.
“Belum nemu, Yah.”
“Bukannya Abang lagi pacaran sama Audrya ya, si super model yang lagi naik daun itu?” tanya Andromeda, adek cewek gue yang sekarang berumur 20 tahun.
“Yaelah, An, malah nyeplos.” sungut gue kepada Andromeda yang sekarang hanya nyengir tak berdosa.
“Wuih mantab, Bang. Dapet kakak ipar kayak Audrya, Gendra betah di rumah.” kali ini Nagendra, adek cowok gue yang berumur 22 tahun menyahut.
“Terooos, kobarin aja api di rumah ini, adek-adek Abang tercinta.”
“Kamu serius nggak sama si Audrya? Ibu tunggu kamu ajak dia kalau emang serius.”
Gue meringis sesaat lalu menggeleng pelan, “Dafa belum nemu yang sreg, Bu.”
“Kamu udah umur 2 tahun lho waktu Ayah seumuran kamu.”
“Zaman sudah berganti, Yah.” balas gue yang hanya dibalas gelengan oleh Ayah.
“Kenapa nggak sama Aretha aja, Bang?” tanya Ibu yang kembali membuat gue tersedak ludah sendiri. “Aretha? Kenapa Ibu nyambungnya ke dia?”
“Abis tadi dia baik nolongin Ibu. Jadi, tadi ada gerombolan abg gitu nabrak Ibu sampe belanjaan jatuh semua. Terus dia nolongin Ibu, sekarang jarang anak muda yang mau ngelakuin hal kayak gitu.”
“Itu cewek yang tadi kamu ceritain ke aku, Va?” tanya Ayah ke Ibu. Ibu mengangguk dengan semangat sebagai jawaban.
“Boleh juga tuh, Daf. Sapa tahu jodoh.” sahut Ayah yang membuat gue menghela napas sambil mengelus d**a.
“Udah, ah. Ntar kalo Dafa nemu yang sreg, Dafa bawa ke rumah secepatnya.” ucap gue untuk mengakhiri pembicaraan mengenai istri.
“Awas Bang, ntar jadi perjaka tua.” ejek Gendra yang membuat gue melemparnya dengan serbet. Namun, Gendra berhasil menghindar dan memeletkan lidahnya.
“Buruan makan, ntar Ayah bahas lagi tahu rasa, Bang.” ucap Ayah yang membuat gue kicep dan langsung menyantap kembali makanan gue.
~~~~~~~~~~
Aku kembali lagi ke rutinitasku. Awal tahun, belum membuatku untuk berhenti lembur. Proyek-proyek baru yang hendak diajukan ke jejeran eksekutif, membuat harapanku untuk kembali pulang ke rumah harus pupus.
Waktu sudah menunjukan pukul 8 malam saat akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke apartment. Aku memejamkan mata sambil memijat leher saat sudah berada di dalam lift.
“Udah punya ponakan berapa?” tanya sebuah suara yang membuatku terlonjak kaget. Mataku langsung terbuka dan orang yang berada di sebelahku hanya tersenyum nyengir.
“Nggak usah ngagetin orang napa, sih.” sungutku sebal.
“Lah kan salah lo yang malah merem nggak liat sekitar. Untung yang masuk gue, coba kalo bukan orang terus ngajak lo ngomong, kan mampus.”
“Astaga, serah lo dah.” balasku sesaat setelah pintu lift terbuka.
“Lo belum jawab pertanyaan gue, Karet.” kata Dafa yang kini berjalan di sampingku.
“Baru satu. Kenapa? Lo sekarang naksir anak anak?”
“Naksir anak anak rambut lo panjang, Ret. Yakali.”jawab Dafa yang membuatku terkekeh geli.
“Omongan lo, Daf. Bikin ngakak.”
“Btw, lo udah makan malem?” tanya Dafa saat kami sudah keluar dari gedung kantor. Aku lalu menoleh ke arah Dafa dan menggeleng dengan wajah lelah.
“Yodah, makan yok.” ajak Dafa dengan semangat. Aku pun membalasnya dengan anggukan riang.
“Makan apaan, Daf?”
“Astaga, selalu ya, cowok yang nentuin makan ke mana.” keluh Dafa yang membuatku menahan tawa.
“Ketawa aja kali, nggak usah ditahan, ntar malah kentut yang keluar.” dan tawaku pun meledak sambil memukul bahu Dafa berkali-kali.
“Sialan lo! Ampe nih ya, karyawan cewek pada tahu kelakuan lo, bubar dah club fans Dafa.”
“Bodo dah. Yang penting gue mau makan, laper. Eh itu ada abang nasgor, mau?” tanya Dafa sambil menunjuk gerobak nasi goreng di pinggir jalan. Tanpa menjawab Dafa, aku segera berjalan cepat meninggalkan Dafa di belakang.
“Baaah, sialan lo yaa!” teriak Dafa yang tak lama kemudian berlari mendahuluiku dan dengan cepat sudah berada di samping abang nasi goreng.
Aku tertawa dan membuat langkahku otomatis memelan akibat menyadari kelakuan kami yang seperti anak kecil.
“Nasgornya pedes nggak, Ret?” tanya Dafa agak berteriak karena jarak kami yang masih agak jauh.
“Pedes.” teriakku sambil kembali berlari dan akhirnya sampai di samping Dafa.
“Lemot amat, neng, jalannya.” ejek Dafa yang tidak ku gubris karena lelah. Aku langsung menduduki salah satu kursi plastik yang disediakan.
“Makanya nggak usah aneh aneh. Nih, minum.” ucap Dafa sambil menyodorkan segelas es teh yang baru saja disajikan. Aku menerima gelas itu dan langsung menyedot isinya dengan cepat.
Aku dan Dafa kembali asik mengobrol sampai akhirnya makan malam kami habis.
~~~~~~~~~~
Setelah makan malam selesai, kami berdua kembali berjalan menuju gedung apartment.
“Kaki lo kenapa, Ret? Jalan lo aneh.” ucap Dafa saat kami sudah memasuki gedung.
“Nggakpapa kok, cuma tali belakang sepatu gue lepas.”
“Yaelah, benerin napa.”
“Bawaan gue banyak, nih. Nggak usah, deh, bentar lagi juga nyampe apart.” balasku saat kami memasuki lift.
Dafa berdecak sebal lalu berkata, “Diem ya.”
Aku mengerutkan dahi karena bingung. Dan saat hendak bertanya, Dafa sudah berjongkok. Aku lalu menengok ke bawah untuk mencari tahu apa yang hendak pria itu lakukan. Namun, belum sempat aku menemukan jawabannya, napasku tercekat ketika merasakan kehangat jemari Dafa yang menyentuh kulit kakiku.
“Ngapain, Daf?!” ucapku saat kesadaranku kembali.
“Gue nyuruh lo diem kan?” sahut Dafa yang masih fokus dengan kegiatannya. Aku pun memilih untuk menurutinya.
“Nah, selesai.” aku langsung menghembuskan napasku dengan pelan saat sentuhan Dafa sudah tidak lagi terasa.
“Nggak mau bilang apa gitu?” tanya Dafa saat sudah kembali berdiri. Aku menoleh ke arahnya dan terdiam sesaat untuk menormalkan napasku.
“Thankyou.” ucapku kepada Dafa yang membuatnya tersenyum dan mengangguk puas.
Ting
Pintu lift terbuka dan menyadarkanku dari keterpanaan senyuman Dafa. Dafa segera keluar dan aku pun mengikutinya.
“Masuk gih.” ujar Dafa yang langsung kuturuti karena masih gugup.
“Sleep tight, Karet.” aku berbalik saat mendengarnya lalu membalas, “You too, Daf.”
Dafa kembali tersenyum.
Shit, kenapa dia jadi suka tersenyum, sih. Tenanglah jantung, keep calm, please.
Aku langsung berbalik dan buru-buru membuka pintuku lalu masuk ke dalam. Begitu pintu tertutup, aku langsung luruh sambil memegang d**a kananku dan berjongkok bersandarkan pintu.
Sial, sentuhan pria itu di tumitku serasa membekas. Dan seolah belum cukup, jantungku berdetak begitu cepat karena senyumannya tadi.
Dafa, kamu sudah melakukan kesalahan besar. Karena tindakanmu hari ini, perasaanku dulu kembali lagi.
~~~~~~~~~~