Chapter 17

1188 Words
Aku yang tua ini bertemu juga dengan yang kutetapkan sebagai cinta bagi sang cucu tersayang. *** Anes memandangi wajahnya yang cantik di cermin oval meja rias kamarnya. Ia hanya tinggal menyapukan perona bibir dan ia siap untuk pergi. Siang ini ia ada janji pemotretan sebuah iklan minuman yang dikeluarkan dari anak perusahaan Bimantara Grup. Anes termenung. Meski ia beberapa kali bekerja sama dengan Bimantara Grup, tetapi ia belum pernah dipilih untuk menjadi brand ambasador  produk-produk luxury yang dikeluarkan Bimantara Grup. Deon selalu punya alasan dan berkelit tiap Anes menuntut agar ia dipilih. Punya orang terkasih yang kuat kedudukan ternyata tak membantu karirnya. Anes melepaskan napas kesal. Tiba-tiba tubuhnya dipeluk dari belakang dengan lengan-lengan kuat yang dingin dan lembab akibat selesai mandi. Anes kegelian dan tertawa cekikikan karena telinga dan bagian belakang telinga dicium lembut. "Udah..., udah..., Gery..., jangan godain lagi." Anes menjauhkan kepalanya dari bibir dingin Gery. "Kamunya kayak magnet kalau begini cantik." Gery menempelkan kepalanya di pundah Anes. Ia menatap bayangan Anes yang sempurna di cermin oval. "Ada syuting?" "Pemotretan. Minuman soda punya Bimantara." Gery mengangguk. Ia menjauhi Anes dan mulai berpakaian, sedangkan Anes menatap pantulan Gery di cermin. Ia mengenal Gery karena dulu pernah satu kampus. Lelaki itu cukup menarik dan juga pintar. Dalam waktu singkat, Gery yang awalnya hanya bekerja di anak perusahaan Bimantara Grup, kini bisa melesat masuk ke perusahan inti dan menjadi kepala manajer pemasaran. "Kalau kamu di bagian pemasaran, berarti kamu juga menangani promosi, 'kan?" tanya Anes. "Ya." Gery mengangguk dan mulai memakai celananya. "Kamu apa gak bisa gitu ajuin saya buat jadi ambasador?" Gery menatap Anes. "Memangnya kamu ingin jadi ambasador brand apa?" "Sabun." Anes menjawab cepat dan mantap. Semua model dan artis sangat tahu, jika bisa menjadi ambasador sabun mandi milik Perusahaan Bimantara, dipastikan karir akan melesat lebih cepat lagi dan bisa menjadi Diva. Gery diam. Ia seolah sibuk dengan kemejanya. Padahal ia sedang menyusun kata yang tepat untuk tidak menyinggung Anes. Wanita itu tidak jelek. Bahkan sangat cantik dan memiliki tubuh yang proposional. Masalahnya, untuk menjadi ambasador sabun mandi itu, Anes kurang memiliki kualitas diri. "Gery?!" Anes menyentak dengan sapaannya. Ia sudah memutar duduknya menghadap gery. Kedua tangannya terlipat di d**a. "Saya gak suka ya kalau tidak diacuhkan." "Maaf, maaf." Gery paling gak bisa kalau Anes marah. "Saya bukan tidak mengacuhkanmu, Sayang. Tapi, kamu kan tidak bertanya apa-apa." "Ya, setidaknya tanggapin dong. Apa..., gitu." Gery menghela napas perlahan. Ia kemudian duduk di tepi tempat tidur, berhadapan dengan Anes. Jarak keduanya tidak jauh hingga memudahkan Gery mengambil kedua jemari Anes, menggenggam dan mengelusnya. "Untuk urusan model, ada yang membidangi sendiri. Dan setelah model diseleksi masih ada diskusi panjang untuk menentukan siapa ambasador yang tepat." "Saat diskusi itu, ada kamu, 'kan." "Iya ada, sih, tapi...." "Artinya, kamu bisa dong memprioritaskan saya." Gery menarik napas dalam. Ini tidak semudah penjelasannya. Dan sepertinya Anes tidak terlalu peduli untuk itu. Menjelaskan panjang kali lebar pun pastinya tidak akan ada manfaat. Anes hanya membutuhkan poin singkat dan jawaban 'iya'. "Baiklah. Beri waktu. Lagi pula para ambasador sabun itu masih ada kontrak berjangka." "Saya tahu. Dan dua bulan dari sekarang kontrak mereka habis, 'kan? Ada pilihan perpanjang atau ganti. Berarti ada kesempatan buat saya kali ini. Ya, 'kan?" Gery terdesak. Ia hanya mengangguk saja. Anes melonjak senang. Ia berdiri dan membungkuk. Diciumnya bibir Gery sekilas. "Saya mengandalkanmu, Sayang. Jangan kecewakan saya, ya." Sekali lagi Gery mengangguk. Pikirnya, Toh masih ada dua bulan. Nanti dipikirin aja bagaimananya. Yang penting sekarang senang-senang dulu. *** Kahayang merapikan bunga-bunga sendirian. Elis meninggalkannya untuk mengantar bunga pesanan. Pikirannya berkecamuk dan bersama bunga-bunganya ia bisa menenangkan. Ia tak mengerti kenapa sampai sore begini Gery tidak memberinya pesan atau meneleponnya. Meski begitu, Kahayang juga tidak bertanya. Ini sebagai bagian aksi protesnya sekaligus melihat reaksi Gery jika tidak diacuhkan. Kahayang menatap keluar. Pada lalu-lalang orang yang beberapa di antaranya berjalan dengan pasangannya. Ia iri dan merindukan masa-masa itu. Sejak gery serius meniti karirnya, perlahan Gery berubah dan seolah menjauh. Kahayang mencoba memahami setiap penjelasan Gery yang intinya ia sibuk. Tetapi di lain waktu Kahayang juga ingin Gery memahami kerinduannya. Lonceng pintu berdenting dan seorang pria tua yang masih tegap, masuk. Rambutnya keriting lebar dengan warna yang sepenuhnya putih. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, tetapi tetap lebih tinggi si pria tua itu dibanding Kahayang. "Selamat datang," sapa Kahayang ramah dan segera menghampiri. "Iya." Si pria tua mengangguk-angguk dan tersenyum sembari mengedarkan pandangannya. "Bapak mau beli bunga apa?" tanya Kahayang. Si pria tua tidak langsung menjawab melainkan melangkah perlahan sembari melihat bunga-bunga yang ditata rapi sesuai dengan jenisnya. Sesekali si pria tua berhenti dan membelai lembut setangkai bunga. "Bunganya cantik-cantik." Kahayang tersenyum malu mendapatkan pujian itu. "Terima kasih." "Kamu sendiri yang mengelolanya?" "Iya, Pak." Si pria tua berbalik. Ditelusurinya wajah Kahayang dengan seksama, membuat Kahayang mulai jengah dan berpikiran aneh. "Kenapa memilih membuka toko bunga? Ini kan usaha yang berat." Kahayang merasa sedang diinterogasi, tetapi entah kenapa ia tidak merasa keberatan. Lebih baik ditanya-tanya daripada ditatap saja. "Beratnya hanya di awal, Pak. Karena bunga segar tidak bisa bertahan lama. Dan kenapa saya memilih membuka usaha toko bunga, karena saya suka bunga. Dan dari segi bisnis, di wilayah ini belum ada toko bunga yang menjual bunga segar." "Hahaha...." Si pria tua tertawa lebar, membuat Kahayang mengernyit bertanya-tanya apanya yang lucu. "Kamu benar-benar mirip," ujar si pria tua  sembari berbalik dan kembali melihat-lihat bunga segar. "Mirip siapa, Pak?" "Seorang sahabat lama. Dia punya keteguhan hati dan jeli melihat peluang. Sangat persis dirimu." Si pria tua berbalik dan mengedipkan mata dengan jenaka, membuat Kahayang terseyum geli. "Apakah dia punya usaha yang tidak umum, Pak?" tanya Kahayang. "Tidak. Ia justru punya ide yang umum. Hanya saja ia memiliki ide cemerlang untuk pemasaran dan pengembangannya." "Sekarang beliau pasti sudah menjadi orang sukses. Sama seperti Bapak," puji Kahayang. Dengan melihat penampilan dan gaya bicara pria tua itu, Kahayang tahu kalau orang dihadapannya itu bukan orang sembarangan. Si pria tua terdiam tak menyahut. Ia menatap Bunga Lili putih dengan tatapan sendu. "Dia seperti Dandelion. Sangat kuat dan tegar. Dia adalah seorang yang selalu berjuang dengan semangat penuh. Tetapi di saat bersamaan juga sangat menyedihkan." Kahayang terdiam. Ia bisa merasakan aura kesedihan dari si pria tua itu. Pria yang tadi menurutnya cukup gagah di waktu senjanya, kini benar-benar terlihat sesuai dengan umurnya; renta. Kahayang menduga kalau si sahabat lama ini sudah meninggal. "Ahhh..., kenapa jadi sedih begini," kekeh si pria tua. "Kamu terlihat sangat muda begini, apa mengurus toko ini benar-benar sendiri? Tidak dibantu keluarga?" "Hehehe..., hanya bersama sepupu. Orang tua hanya men-support saja." "Kekasih?" "Hehehe..., tidak ada yang mau sama penjual bunga ini, Pak," dusta Kahayang perihal statusnya. Ini bukan dusta dengan suatu tujuan. Tapi, seperti bentuk rendah diri khas didikan orang timur. Yaitu mengelak. Ini sepertinya ketika orang memuji cantik atau tampan, maka kita akan mengelak tidak cantik atau tidak tampan sebagai bentuk kerendahan diri. Begitu juga jika ditanya pasangan hidup, karena pasangan hidup itu belum tentu jodoh pada pernikahan, maka mengelak tidak memiliki adalah bentuk kerendahan diri. "Cucu saya pasti mau sama kamu." Tawa kecil keluar dari si pria tua itu. Ia kemudian mengulurkan tangan yang segera disambut Kahayang sebagai bentuk kesopanan. "Nama saya, Edwin Bimantara. Panggil saya Opa Edwin." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD