Chapter 16

1251 Words
Keingkaran yang kesekian kalinya. Lepaskan saja. *** "Ma! Mama!" Kahayang berlari cepat mennghampiri ibunya. Napasnya tersengal karena langkah sang ibu yang begitu cepat dan lebar. Wajar saja karena ibunya memiliki postur tubuh tinggi. Dulu ia keheranan kenapa ayah dan ibunya kemudian adik lelakinya memiliki postur tubuh tinggi sedangkan ia begini mungil, hingga untuk mengejar langkah ibunya saja ia kepayahan. Tapi kemudian ayah ibunya menunjukkan foto nenek dari pihak ayah yang juga bertubuh mungil. Lia berhenti dan berbalik. Ia keheranan melihat putrinya justru berada di belakangnya dan berlari sampai wajahnya memerah. Tak lagi dilihatnya rantang di tangan Kahayang. "Lho, rantangnya mana? Kamu abis dari mana? Kok, malah ada di belakang Mama?" Kahayang tak langsung menjawab. Ia perlu mengatur napas. "Mama..., Mama..., mau ke mana?" "Ke tokomu." "Mau apa? Mau ngecek saya ama Gery?" Lia dengan gemas menoyor kening Kahayang, tepat di antara kedua mata dengan ibu jari. "Kamu itu punya pikiran yang bener. Jangan prasangka aja." Kahayang terdiam. Cara Lia menoyor keningnya mengingatkannya akan Sambara. Ia jadi malu sendiri dan menggeleng-gelengkan kepala, mengusir bayangan Sambara. Ia kemudian melihat ibunya sudah melangkah cepat menuju tokonya dan bahkan sudah masuk melalui pintu di samping. Kahayang bergegas. Sebentar lagi Gery datang atau mungkin sudah datang. Ia tak mau ibunya bertemu Gery saat ini. Bukannya ia tak suka ibunya bertemu Gery, hanya saja ibunya suka sedikit menyindir dan membuat suasana antara dirinya dan Gery menjadi kurang nyaman. Padahal ia sudah lama tidak bersama Gery. Sampai di dalam, ia mendapati ibunya memilih bunga. Ia mengedarkan pandangan dan bersyukur Gery belum datang. "Mama butuh bunga?" tanya Kahayang menghampiri. "Iya. Udah banyak yang layu di restoran." "Kenapa gak bilang aja? Kan bisa saya antar." "Di sini enak, bisa milih sendiri." Lia kemudian berjalan menjauh ke rak-rak berisi aneka bunga camomile. "Gery sudah datang?" tanya Kahayang berbisik pada Elis dengan tatapan fokus pada ibunya. "Belum." "Kok, belum, ya. Udah siang begini." "Macet paling. Kan jam sibuk ini." "Iya, kali, ya." Kahayang tidak tahu apakah ia musti lega atau kecewa. "Mama bawa ini, ya." Lia memeluk selusin bunga camomile. Kahayang mengangguk. "Rantangnya mana? Katanya mau makan sama Gery." Elis celingak-celinguk dan memandang ke luar. "Gery belum datang?" "Macet mungkin, Tante," sahut Elis. "Keburu dingin masakan yang dimasak Ayang. Rantangnya mana?" "Di belakanglah, Ma. Kan Gery juga belum datang." Kahayang terlihat mulai jengah. Sebenarnya bukan karena ibunya terlalu cerewet bertanya, melainkan karena Gery tidak muncul juga. Padahal si Siluman saja sudah keluar untuk makan siang. Orang-orang juga sudah pada makan siang. Elis kemudian menawarkan untuk mengantar dengan sepeda motor tetapi ditolak Lia. Sekalian olahraga kata Lia. Setelah kepergian Elis, Kahayang segera memeriksa ponselnya. Dan ia kecewa karena tidak ada pesan dari Gery. Yang ada hanya pesan-pesan dari para customer yang biasa membeli bunganya atau para petani bunga. "Gimana? Jadi datang?" tanya Elis setelah mengantar Lia. Kahayang menggeleng lemah dan memainkan ponselnya."Gak tau. Dia juga gak ada nelpon atau ngirim pesan." "Sesibuk itu ya manajer," ucap Elis dengan nada sarkas. Ia sendiri ikut kesal dengan Gery yang sepertinya tidak terlalu peduli dengan Kahayang. Yang selalu memberikan sejuta alasan akan ketidakpastian. "Entahlah," ujar Kahayang lemas. Ia merebagkan kepalanya miring di atas salah satu tangan yang dilipat. Tatapannya kosong pada layar ponselnya. Tiba-tiba terdengar denting notifikasi pesan masuk. Kahayang langsung ceria dan membuka pesannya. Ini saya makan. Kahayang: Lho, kamu sudah makan? Iya. Kahayang: Kamu gak makan bareng ama saya. Bagaimana bisa? "Kenapa?" tanya Elis yang penasaran karena melihat ekspresi wajah Kahayang yang terlihat seperti menahan kesal. Tapi Kahayang tidak menjawab ia justru menekan-nekan layar dengan kekuatan penuh. Seolah menyalurkan emosi. Kahayang: Ya bisa aja kalau kamu segera datang ke toko bunga. Ke restoran saja kamu tolak apalagi ke toko bunga. Kahayang: Tidak ada yang menolakmu, tidak usah berprasangka! Dan lagi kamu kan janji makan sama saya di toko. Kapan saya janji? "Apa-apaan, sih, Gery ini?" gerutu Kahayang dengan tetap fokus pada ponselnya. "Emang Fery kenapa?" Kahayang: Kamu janji semalam! Semalam kita bahkan tidak saling berkirim pesan. Kahayang menarik napas dalam. Ia meletakkan ponselnya di meja dengan kasar. Salah satu tangannya di pinggang dan satunya menepuk-nepuk d**a. "Sabar.... Sabar.... Sabar, Ayang." Kahayang menggumam pada dirinya sendiri. "Ada apa, sih?" Kahayang merapatkan bibirnya. Dengan gemas ia menunjuk ponselnya, meminta Elis membaca pesan Gery. Elis menurut dan mengambil ponsel Kahayang. "Ini...." Kening Elis mengerut dalam. "Iya itu. Gery kayak lagi mainin saya. Semalam jelas-jelas dia bilang kalau mau makan bareng sama saya di toko dan dia kangen masakan saya. Sekarang malah seperti orang amnesia." Kahayang meremas kertas sisa pembungkus bunga yang tadi dipakai untuk membuat buket. "Tapi, ini...." "Iya. Gemesin, 'kan? Dia itu berubah. Belakangan semakin berubah." Elis menghela napas. "Kalau itu, sih.... Iya. Tapi masalahnya...." Elis menyodorkan ponsel Kahayang tepat di depan wajah gadis mungil itu. "Kamu baca dulu siapa pengirim pesannya." Kahayang mengarahkan kedua mata bulatnya ke ponsel. Membaca perlahan nama yang tertera di atas kotak pembicaraan dan seketika dia terkesiap. "Siluman?!" "Nah! Emang dari tadi kamu gak baca siapa yang kirim pesan?" tanya Elis. Kahayang menggigit bibir bawahnya. Menahan malu. "Sama-sama huruf 'S'." "Enangnya Gery kamu kasih nama apa? Sayang?" Kahayang menggeleng. "Si Ganteng." "Hoekkk...." Elis berlagak seperti orang muntah dan sebenarnya ia memang mual. "Berlebihan amat, sih." "Dih, biarin. Pacar, pacar siapa. Trus ini gimana?" Kahayang bertanya panik. Ia malu dan tidak mau Sambara menduga yang aneh-aneh. Elis mengedikkan bahu. "Ya, gak tau. Lagian kasih nama aneh-aneh. Serba 'Si'. Itu Gery diganti aja, apa gitu." Belum sempat Kahayang mendebat, ponselnya berdering. Bagai orang kesetrum listrik, Kahayang terlonjak dan memberikan ponselnya ke Elis, yang otomatis ditolak Elis. "Terima telponnya," ujar Elis. "Kamu yang terima." Kahayang memohon dengan wajah memelas. "Gak mau. Ponsel, ponselnya kamu." "Ya, tapi.... Arghhh...." Dengan terpaksa Kahayang menerima telepon dari Siluman. "Apa?!" Sambara di ujung telepon sampai menjauhkan ponselnya karena terkejut mendapat penerimaan yang galak dari Kahayang. Sembari mengelus d**a, Sambara menempelkan kembali ponselnya ke telinga. "Kamunya yang, apa? Kenapa bicaramu aneh? Pesan apa? Janji apa?" tanya Sambara. Bibir Kahayang membentuk huruf 'O' kecil, melepaskan napas perlahan-lahan. "Salah kirim pesan." "Kok, bisa?" "Ya, bisa ajalah," jawab Kahayang sewot. "Memannya nama saya sama dengan nama cowok kamu?" "Bedalah! Nama cowok saya keren. Gak seperti nama kamu Si...." Kahayang meringis karena kakinya diinjak Elis yang melotot. Mengingatkan Kahayang untuk tidak keceplosan menyebutkan julukan Sambara. "Si, apa?" "Si Sambara entah siapa." "Ooo.... Tapi, biar nama kamu sekeren nama Dewa sekalipun, tetap saja kelakuannya gak keren," ejek Sambara. "Maksudmu?" "Kayaknya janji makan siang bersama gagal total karena dia tidak kunjung datang." Kahayang mendengar tawa kecil Sambara dan ia merasa asap panas keluar dari kepalanya. "Gak usah sok tau, ya." "Perlu dibaca ulang isi pesanmu? 'Kamu kan janji makan sama saya di toko'. Janjinya gak dipenuhi dan kamu kesal sampai salah baca pengirim pesan." Sambara kembali tertawa mengekek. "Diam! Gak usah sok tau! Itu pesan bukan cowok saya. Itu buat teman perempuan saya. Dan cowok saya, seribu..., tidak..., sejuta kali lebih baik dati kamu." Kahayang mematikan ponselnya dan memasukkan ke dalam saku dengan kasar. "Saya mau keluar beli es krim. Kalau Gery datang, bilang makan siangnya, batal!" Kahayang keluar dengan membanting pintu toko, meninggalkan Elis yang hanya geleng-geleng kepala. Sebuah pesan masuk ke ponselnya yang ternyata dari Sambara. Ada foto rantang yang tertata rapi dengan isi yang sudah kosong, ludes. Tolong sampaikan ke cewek galau tadi, terima kasih makan siangnya. Enak. Besok-besok batal lagi aja makan siangnya sama orang lain. Di akhir pesan ada emotikon tersenyum dan tertawa. Elis tertawa geli. Ia senang Kahayang punya lawan tanding seimbang. Selama ini Kahayang bagai kerbau dicocok hidungnya. Menjadi pribadi berbeda bersama Gery. Pribadi yang tidak punya semangat. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD