Chapter 15

1778 Words
Memasak untuk yang terkasih itu sesuatu sekali. Ini seperti sedang memberikan hadiah kenikmatan tiada tara. *** Sambara diam menatap gedung-gedung tinggi dan langit biru di hadapannya. Disandarkannya tubuh dan diselonjorkannya kaki. Keadaan seperti ini biasanya menjadi sedikit membosankan baginya. Ia sedang tidak terlalu sibuk. Sedang tidak ada janji temu dengan relasi. Entah kenapa hari ini terasa santai. Biasanya ia terlalu sibuk. Kembali Sambara menghela napas panjang. Keadaannya menjadi sangat membosankan karena pikirannya sekarang tertuju pada Kahayang. Menggoda gadis itu kini menjadi kesenangan baru baginya. Tapi ia tak punya inisiatif. Pada dasarnya, ia memang belum pernah mendekati wanita, wanitalah yang selalu mendekatinya dan ia tak pernah susah-susah berpikir untuk bertemu. Kahayang berbeda. Gadis itu membuatnya harus memutar otak untuk bisa bertemu, juga untuk bisa membuat si gadis terpojok. Iangtannya melayang pada saat Kahayang salah memeluk. "Saya sayang kamu." "Sayang? Dia sudah punya kekasih? Cewek sejudes itu punya kekasih? Emang bisa?" Sambara mengernyit dalam. "Apanya yang gak bisa?" Sambara terkejut, ia segera memutar kursinya. Sontak ia berdiri dan tertawa lebar. Sahabat lamanya muncul di kantornya, di ruangannya. Sambara keluar dari kursinya, dengan karib ia memeluk Azka Blenda. "Gila! Perasaan baru kemarin ke Paris. Cepet amat bulan madunya," ujar Sambara sembar mempersilakan Azka duduk di sofa. "Elle hamil." "Wahhh.... Tokcer juga kau, Bung." Tawa menggelegar. "Tapi, berarti kalian di Paris cuma tiga harian?" Azka mengangguk. Setelah menikah, keduanya menunda bulan madu. Ini karena Elle yang perfeksionis ingin menyelesaikan semua pekerjaannya dulu. Tak dinyana, saat bulan madu ternyata Elle hamil lima minggu yang artinya, Elle sudah hamil sejak di Jakarta. "Kenapa gak di sana dulu sampai hamil besar? Biar di akte kelahiran tersebut kelahirannya di Paris," goda Sambara. "Mau saya begitu. Elle muntah terus sejak tiba di Paris. Ia tidak bisa menikmati makanan di sana. Bahkan makanan Asia pun tak bisa ditelannya. Ia ingin cepat-cepat pulang dan ingin masakan di Indonesia." "Patriotis sekali bayimu." Kembali tawa menggema. "Tadi kamu lagi mikirin apa? Sampai saya masuk aja gak sadar. Gak biasanya. Kamu kan sama Elle setali tiga uang, serba sempurna dan awas." Sambara tak menjawab hanya tertawa kecil dan mengelus tengkuknya dengan malu. "Cewek siapa yang judes?" Sambara melotot. "Kamu dengar?" Azka mengedarkan pandangan ke sekeliling, bukan untuk menilai, melainkan untuk menyindir. "Ruangan begini kosong, bahkan semut bergunjing pun akan terdengar." "Halah.... Berlebihan. Hahaha...." "Jadi..., siapa cewek judes itu? Apa yang dia gak bisa memangnya?" buru Azka. "Dia penjual bunga." Sambara melihat jam tangannya dan tersenyum senang. "Sudah makan siang?" "Heh? Belum. Ini saya datang mau bilang sorry karena tidak sempat keluar buat oleh-oleh." "Good. Saya ajak kamu ke tempat makan enak." Sambara berdiri dengan semangat. Sedangkan Azka mengikuti dengan mengernyit kebingungan. "Jadi, kita ngomongin si penjual bunga ini di tempat makan?" tanya Azka. Tak ada jawaban, Sambara terus melangkah ringan dengan wajah sumringah. Setelah sekian waktu memikirkan cara untuk bertemu, ternyata Tuhan memberi jalan dengan kemunculan Azka. *** Senandung lagu cinta mengalir lembut di bibir Kahayang yang sedang menuangkan cah kangkung saur tiram ke dalam wadah rantang. Ia mengedip pada seorang pegawai restoran yang bertugas mencuci. Si pegawai tertawa kecil, paham akan maksud Kahayang. Ia mengambil wajan bekas menumis dan mencucinya. Terakhir, Kahayang membawa salah satu wadah rantang ke tempat nasi. Hatinya sedang berbunga-bunga. Gery mau menuruti kemauan Kahayang untuk makan bersama, tetapi Gery bilang tak bisa lama-lama. Kahayang berinisiatif untuk makan di toko bunga dan dia yang memasak makanannya. Gery setuju. "Sudah selesai?" tanya Lia yang masuk ke dapur. Ia memandangi dua wadah rantang yang berisi cumi asam manis dengan kuah dan cah kangkung. "Tinggal nasinya," jawab Kahayang. "Kenapa, sih, kalau makan di sini. Toh, gak akan ditarik bayaran." Ada nada tidak suka pada kalimat Lia. Kahayang memilih diam tak menyahuti. Hatinya sedang senang dan ia ingin mempertahankan perasaan itu. Setelah beberapa lam jalinan cintanya dengan Gery, ibunya perlahan menunjukkan sikap tidak sukanya. Tidak pernah terang-terangan, hanya sindiran saja. Kahayang tidak tahu kenapa ibunya berubah. Setiap kali ditanya, ibunya akan melengos pergi. Kahayang mulai menata rantangnya. "Gery sekarang agak sibuk, Ma. Kalau makan ke sini kan harus nunggu dulu. Lagi pula restorannya ramai begini kalau siang. Kalau begini kan praktis." Kahayang mendekati ibunya dengan senyum manis. "Dan juga, Mama gak kehilangan satu meja rejeki karena digratiskan untuk Gery." "Mama gak pernah perhitungan dengan anak-anak Mama." Lia keluar dari dapur dengan wajah kesal. Seketika Kahayang merasa bersalah. Kahayang mengikuti ibunya keluar dapur sembari membawa rantang. Dipeluknya Lia dan diberinya kecupan ringan di pipi. "Ma, saya kembali ke toko, ya." Lia mengangguk saja dan memeriksa uang dalam laci. "Pa...." Kahayang memberikan kecupan jauh yang dibalas anggukan dan senyuman manis Andin. "Hati-hati," pesan Andin. Kahayang mengangguk dan melangkah ringan keluar restoran. "Sudah, jangan cemberut begitu. Kalau dilihat pelanggan, dikiranya kamu sedang uring-uringan. Nanti mereka kabur," goda Andin. Lia melepaskan napas yang terasa sesak di simpan di d**a. "Andai anak itu tau kebenarannya." "Sudahlah. Biarkan mereka menjalani dulu. Ayang bukan gadis bodoh. Hanya saja, saat ini ia sedang dimabuk cinta." "Dimabuk cinta kok tahunan." Andin tertawa kecil. "Saya aja dimabuk cinta sampai sekarang." "Kamu, nih. Malah canda." Wajah Lia merona malu tetapi ia justru memasang wajah cemberut yang membuat suaminya makin menggodanya dengan menowel pipi Lia. Sepasang pelanggan yang hendak membayar, tersenyum geli melihat kemesraan Lia dan Andin, sempat kedua pelanggan itu berpikir, Kenapa orang tua saya gak bisa seperti mereka? *** Dari kejauhan Sambara sudah melihat betapa ramainya parkir. Wilayah itu memang berjejer restoran atau warung-warung makanan dan tentunya ada saja yang makan di tempat hingga memenuhi area parkir. Sambara memarkir mobilnya di bawah pohon. Sedikitnya ia beruntung mobilnya tidak akan kepanasan. Azka tolah-toleh. Ia memang sering lewat sini, tetapi belum pernah makan di wilayah ini. Hanya saja, ia pernah mendengar ada restoran enak yang memasak makanan nusantara yang enak, terutama masakan cuminya. "Jadi..., toko bunganya juga ada yang di sini?" Azka tadi sudah ditunjukkan toko bunga Kahayang, tempat usaha si Penyihir. "Di sini restoran orang tuanya. Masakannya enak." "Wah, dekat, ya. Tinggal jalan aja sampai. Eh...?" Azka menoleh dengan mata cureng. "Gerak cepat sekali kamu. Susah pepetin anaknya, pepetin orang tuanya, dulu." "Apa, sih. Gak ada pepet-pepetan. Ayo, keluar." Sambara keluar dengan wajah sewot karena tawa Azka. "Restorannya mana?" tanya Azka. Sambara menggerakkan kepalanya ke depan. "Tuh. jalan dikit. Lagi ramai." Mereka harus melewati tiga mobil untuk masuk ke restoran. Saat baru melewati satu mobil yang terparkir, Kahayang muncul. Keduanya sama-sama berhenti dan sama-sama terkejut. Kahayang langsung menoleh ke arah restoran dan kemudian bergegas mendekati Sambara dengan mimik wajah panik. Azka yang melihat Kahayang, keheranan sendiri. Seorang gadis mungil mendekat dengan wajah menyeramkan yang justru tidak seram. Kahayang melotot di depan Sambara. "Mau apa?" Angin mengibas rambut pendek Kahayang, menyapu lembut wajah lucu gadis itu. Kahayang sepertinya tak peduli, toh rambut itu kembali ke asalnya, hanya menyisakan beberapa helai yang menempel di wajahnya. Sambara gemas, ia ingin sekali merapikan rambut Kahayang. Tangannya terulur yang langsung ditepis Kahayang dengan ganas. "Mau apa? Gak usah genit!" bentak Kahayang. Sambara melongo dan Azka memalingkan wajah menahan tawa. "Genit!" tanya Sambara tidak percaya ia sudah mendapat julukan dari Kahayang. "Apa namanya tadi? Kamu tadi mau pegang-pegang muka saya, 'kan?" Glek! Sambara menelan air liurnya. Malunya sampai di ubun-ubun karena ketahuan ingin merapikan rambut-rambut halus di wajah Kahayang. Tangan Sambara yang masih melayang karena ditepis, mulai mengepal dan mengeluarkan jari telunjuknya. Dengan gemas, Sambara meletakkan jari telunjukkan di kening Kahayang, di antara kedua mata gadis itu. "Punya pikiran tuh yang lurus. Kamu tadi nanya saya mau apa. Saya mau menunjuk restoran orang tuamu. Saya mau makan." Sambara menoyor pelan kepala Kahayang. Kepala itu sempat mundur ke belakang dan maju dengan emosi. Kahayang sedikit malu karena sikapnya yang terlalu percaya diri. tetapi dia tidak mau kalah. "Gak boleh!" "Apanya gak boleh?" "Gak boleh makan di restoran saya." "Itu restoran orang tuamu. Bukan restoranmu." "Ya..., tetap saja itu restoran keluarga saya. Ah, udahlah. Pokoknya gak boleh!" "Harus ada alasan yang jelas." Sambara melipat kedua tangannya di d**a. Menunduk dan menatap tajam Kahayang. Kahayang sendiri justru salah tingkah dipandangi seperti itu oleh Sambara. Tatapan Sambara seperti tatapan harimau yang bersiap menerkamnya kapan pun ia lengah. Kahayang memang tidak punya alsan kuat. Tapi, seharian kemarin, ibunya terus menerus membahas Sambara. Bahkan ia mencari tahu pria itu melalui internet. Ini mencemaskannya. Karena sudah sangat jelas ibunya sedang mencoba berkubu dengan Sambara ketimbang dengan Gery. "Restorannya penuh." Hanya jawaban itu yang terlintas di pikiran Kahayang. "Saya mau nunggu." "Gak usah ditunggu. Orang makan kok ditunggu." "Pokoknya saya mau makan di situ. Ah, itu Tante Lia." Sambara tersenyum lebar. Kahayang segera menoleh dan melotot. Sigap Kahayang maju, mendorong tubuh Sambara mundur sampai ke belakang mobil orang lain. Sambara sempat protes, tetapi mungkin karena dekatnya tubuh Kahayang ke tubuhnya, pikiran Sambara seketika kacau. Ia bahkan menurut saja saat ditarik kahayang untuk jongkok. Keduanya bersembunyi dari Lia. Meninggalkan Azka yang hanya bisa plonga-plongo tidak tahu harus apa dan tidak tahu ada apa. "Kamu gak boleh makan di restoran pokoknya." Kembali Kahayang menekankan dengan suara berbisik. "Saya lapar." "Sttt...." Kahayang menempelkan telunjuknya ke bibir Sambara. Jemari yang sangat lembut dan sangat kecil. Sambara membayangkan betapa enaknya mungkin mengigit jemari yang sedikit gemuk itu. Sambara menepis jemari Kahayang, khawatir dirinya akan benar-benar menjadi kanibal. "Apa, sih?" Sambara ingin berdiri tetapi ditarik lagi oleh Kahayang. Gadis itu mengintip. Ia melihat langkah ibunya yang semakin mendekat. "Hei..., hei..., kamu.... Tutupi..., tutupi cepat...." Bagai dihipnotis, Azka menurut. Ia berdiri di antara mobil orang lain dan mobil Sambara. Mencoba menghalangi pandangan seorang wanita berumur yang sepertinya sia-saia. Wanita itu berjalan lurus saja. Ia memang sempat menatap Azka dan tersenyum sekilas, tetapi langkahnya tak berhenti. Setelah Lia berlalu, Kahayang berdiri dan menatap punggung ibunya dengan mengernyit. Beruntung langkah Lia tak berhenti di dekat mobil Sambara, ini karena ibunya tidak tahu. Lia jelas melangkah menuju toko bunganya. Ada apa? "Ibumu mau ke toko, ya?" tanya Sambara di dekat Kahayang. "Iya." "Ya, udah. Sudah aman. Saya mau makan." Kahayang menoleh dan memegang lengan Sambara. Rasa panas menjalar di telapak tangan Kahayang. Ia merasakan lengan keras lelaki lain selain Gery. Wajahnya pun merona. "Ada apa?" tanya Sambara. "Masih gak boleh?" Kahayang segera menguasai diri. "Kamu lapar?" "Iya." Kahayang menyorongkan rantang makanan ke d**a Sambara. Awalnya Sambara hanya terkejut dan bingung. Tetapi Kahayang terus menekan rantang makanannya dan Sambara menerima rantang itu. "Itu porsinya untuk dua orang. Makan di kantormu. Sekarang kamu pergi." Kahayang kemudian melangkah cepat hendak mengejar ibunya. Tetapi ia masih sempat berbalik. "Awas sampai kamu masuk ke dalam restoran!" Kahayang mengepalkan tinjunya ke udara. Sambara melongo dengan rantang di tangan. Azka perlahan mendekat sembari memandangi punggung Kahayang yang menjauh. "Benar-benar judes. Kayak cabe. Kecil-kecil pedas." Sambara mengangguk, menyetujui ucapan Azka. "Trus kita bagaimana? Rantang ini bagaimana?" "Kita makan di kantor aja." Sambara melangkah menuju mobilnya. "Hahaha.... Kalau lelaki sudah penurut begini, berarti ada sesuatu." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD