Chapter 14

1222 Words
Dimulai. Sebuah rencana sedang dipersiapkan. *** Sambara keheranan mendapati garasi mobil sudah penuh. Kakeknya cukup pelit untuk barang-barang yang dirasanya kurang sering dimanfaatkan. Baginya mobil satu sudah cukup. Jika kemudian ia memiliki beberapa jenis kendaraan, itu dibeli sesuai kebutuhan. Tapi yang membuat Sambara mengernyit karena bukan mobil-mobil baru yang masuk garasi, melainkan mobil-mobil orang-orang yang ia kenal. Semua adalah mobil-mobil milik keluarga tante tirinya. Mobil Deon bahkan sudah terparkir duluan. Kalau Deon mau ke sini, kenapa tadi di kantor dia tidak bilang apa-apa? batin Sambara yang berjalan perlahan menuju rumah. Perlahan ia menaiki tangga teras rumah. Di ujung tangga sudah ada Supeno, kepala asisten rumah tangga yang sekaligus adalah kaki tangan sang kakek. Ia berdiri tegap dan menatap Sambara dengan senyum tipisnya yang ramah. "Ada acara apa, Pak?" tanya Sambara. Ia melihat ke dalam rumah yang benderang. Biasanyan cukup dengan lampu kecil untuk penerangan, kecuali memang akan ada tamu. "Tidak ada acara apa-apa, Mas. Cuma...." Supeno menoleh ke belakang, ke arah rumah, seolah sedang meyakinkan diri tidak ada yang menguping. "Nyonya Diana sama Tuan Roy dan keluarga akan tinggal di sini, mulai malam ini." "Hah?" Sambara memekik terkejut. Seketika tubuhnya lemas. Bukan ia tidak suka tante dan keluarganya tinggal disini. Bagi keluarga yang normal, mungkin ini akan menyenangkan karena sehari-hari dilingkupi sepi. Hanya Sambara dan kakeknya dan tentunya beberapa pengurus rumah yang menginap. Namun, ini bukan keluarga normal yang bahagia. Yang silahturahminya begitu baik. Diana adalah orang yang paling membenci Sambara. Sikap sinisnya dulu acapkali membuat ibunya menangis. Supeno memahami perasaan sembara. Di antara semua majikan mudanya, Sambara adalah yang paling disayanginya dan sebelumnya Bayu, ayah Sambara. Dalam hati, Supeno harus mengakui, pohon yang baik akan menggulirkan buah yang baik. "Masuklah, Mas." Supeno menumpuk halus pundak Sambara. "Tuan besar sudah nunggu di ruang makan." "Kayaknya ada yang genting?" Supeno terkekeh. "Tidak. Ayo, Mas, masuk." Saat masuk ternyata makan malam sudah selesai. Sambara melihat di depan kakeknya ada cangkir yang isinya ia yakin adalah rempah-rempah obat. Diana dan Lucy memandangi Sambara dengan tatapan kesal yang teramat sangat. Sedangkan Deon memberikan senyum serupa sengiran kuda. Lelaki itu mengedikkan bahu seolah meyampaikan pada Sambara kalau ia sendiri tidak tahu apa-apa. Sedangkan Roy asyik dengan makanan penutupnya. "Malam, Opa," sapa Sambara dan ia mengangguk sopan pada lainnya. "Ha..., duduk, duduk." Edwin mengarahkan kepalanya pada kursi kosong sebelah Deon. Sambara patuh. "Sudah makan?" "Trus, kalau dia belum makan, kita masih nunggu lagi sampai dia selesai makan?" tanya Diana ketus. "Memangnya apa yang kamu tunggu?" Edwin menyeruput minumannya dengan santai. "Ketagasan Papa. Keputusan Papa." Diana tidak mau bsa-basi. Kalau ayahnya tidak bisa dituntut malam ini, ia akan menuntut esok harinya dan esok harinya lagi, seterusnya sampai keinginannya dipenuhhi. "Itu bukan keputusan saya sepenuhnya." "Semua bisa diubah kalau Papa mau. Atau sebenarnya Papa gak mau?" "Begitulah." Jawaban jujur. Edwin benar-benar kesal dengan putrinya. Mengingatkannya pada almarhum istri pertamanya. "Papa gak bisa seenaknya begitu. Deon jelas adalah cucu pertama. Seharusnya ia yang jadi CEO." Sambara yang baru meminum seteguk air mineral, langsung merasakan pahit di tenggorokan. Ia menatap kakeknya, tantenya, dan kemudian Deon yang lagi-lagi hanya mendapatkan jawaban melalui gestur tubuh yang menandakan ia tidak tahu apa-apa. "Itu hanyalah sebutan. Dua-duanya toh pimpinan puncak juga di perusahaan." "Tapi beda!" suara Diana meninggi dan matanya melotot. "Memangnya kamu keberatan Deon?" Edwin menyudutkan posisi Diana dengan memanfaatkan Deon. Edwin tahu, Deon akan sulit berkutik. Jawaban Deon akan bisa menjatuhkan Diana. "Kenapa Papa nanya Deon?" bentak Diana. "Karena dia yang kerja." Seperti dugaan. Deon berada pada posisi yang terjepit. Dia tidak akan bisa memberi jawaban yang jujur juga jawaban tidak jujur. Karena apa pun jawabannya akan menguntungkan satunya dan melukai lainnya. "Kenapa Papa tidak tanya Sambara juga?" "Karena tidak ada yang berkeberatan dari sisinya." Diana menatap tajam Sambara. Di wajahnya terukir senyum tipis yang miring. Kejahatan yang tak disembunyikan. "Sudah sangat jelas tidak akan ada seorang pun yang berkeberatan." Semua terdiam. Kesunyian menghantam. Kata-kata Diana melukai Sambara. Ia sudah tak punya orang tua. Tak ada yang melindunginya. Sambara dan Diana beradu pandang. Sambara tidak suka dilibatkan pada ketidakpuasan Diana. Apalagi melibatkan keadaannya yang seolah-olah miris padahal tidak. "Jika ini perihal kedudukan di perusahaan, saya mundur. Saya tidak suka berdebat untuk hal-hal tidak jelas begini." Sambara yang kecewa dan kesal mulai berdiri. Edwin menggebrak meja. "Duduk!" Tatapan Edwin adalah tuntutan yang tak bisa ditolak Sambara. Perlahan ia kembali duduk. "Dan kamu Diana, mulutmu itu direm. Hormati saya yang ada di sini." Diana komat-kamit sedangkan Lucy mengelus lengan ibunya itu. Berharap emosi Diana mereda. Edwin berdiri dari duduknya. Menatap tajam ke arah Sambara. "Kamu sudah dilimpahi tanggung jawab, bukannya jadi lembek begini. Memalukan." Sambara menunduk. Ia harus akui dirinya memalukan. Karena emosi, ia mengundurkan diri tanpa mempertimbangkan kehormatan kakeknya yang sudah menyetujui dirinya sebagai CEO. Ini seperti mundur sebelum berjuang. "Dan kamu Diana.... Kamu terlalu banyak menuntut tapi tidak bisa memberikan apa-apa. Memalukan." "Papa yang tidak memberikan saya kesempatan untuk memberikan apa-apa yang Papa mau," ujar Diana. "Kesempatan yang mana yang tidak saya berikan?" Edwin melirik pada Roy dan seketika wajah Diana memerah malu. Roy dipilih sebagai suaminya karena ketampanannya, kelembutannya, dan penurutnya. Ia lupa kalau itu tidak cukup membuatnya memenangkan hati sang ayah yang menginginkan mantu lelaki yang handal. Roy sudah berulang kali gagal memenangkan tender. "Saya akan pikirkan perihal kedudukan kedua cucu-cucu saya. Dan selama saya belum punya jalan, gak usah bikin ulah." Edwin keluar dari kursinya. Supeno mengikuti Edwin dari belakang. Suasana meja makan seketika menjadi sangat sunyi. Masing-masing kemudian bingung harus apa. Sambara yang sudah tidak tahan, berdiri lebih dulu. Ia mengangguk hormat pada Diana dan Roy. Diana melengos, sedangkan suaminya, Roy diam saja. "Saya ke kamar dulu." Sambara pamitan dengan Deon yang dibalas senyum manis dan anggukan dari Deon. Diana melempar serbet ke meja. Ia menatap Deon kesal. "Kenapa laki-laki di sini tidak ada yang bisa diharapkan, hah? Kamu Deon. Udah ditanya bukannya jawab malah seperti orang i***t. Bodoh kamu. Ada kesempatan malah dibuang." Diana keluar dari kursinya diikuti Lucy. Jika melihat itu, Deon suka geli sendiri melihat kakaknya yang begitu ketergantungan dengan ibunya. Lucy menempel pada Diana bagai lalat yang menempel di lem kertas. "Menangkan persaingan ini kalau kamu ingin hidup nyaman bersama ibumu itu." Roy mengedipkan sebelah mata dan berdiri. Di ruang makan hanya ada Deon. Lelaki itu diam terpekur menatap piring kosongnya. Di luar memang ia terlihat biasa saja, tetapi di dalam, Deon meradang. Persaingan yang sudah diciptakan oleh ibunya sejak Sambara lahir, membuatnya muak. *** Edwin keluar dari kamar mandi dengan wajah sembab setelah mencuci muka. Supeno sendiri baru selesai merapikan tempat tidur Edwin yang sebenarnya sudah rapi. Hanya kebiasaan saja. "Anak kurang ajar," gerutu Edwin sembari menerima dua butir vitamin yang disodorkan Supeno. Ia menatap Supeno. "Besok kita ke sana." "Baik, Tuan." "Pakai alasan ke makam. Saya gak mau dibuntuti." "Baik, Tuan." Supeno menunduk. Ada satu informasi yang ragu untuk ia sampaikan. Beberapa hari yang lalu, Edwin memintanya menyelidiki seseorang. Saat itu ia melihat hal yang menarik dna ragu untuk disampaikan. "Ada apa?" Edwin melihat raut keraguan di wajah bawahan setianya itu. "Apa ada yang salah." "Tidak, Tuan. Hanya saja.... Ada yang belum saya sampaikan." Edwin mengernyit. "Apa?" "Mas Sambara sudah melihatnya duluan." "Hah? Lalu?" Supeno menggeleng. Ia memang tidak tahu kelanjutannya. Saat itu, ia memilih kembali menjemput tuannya di pemakaman. Edwin tertawa lebar, membuat Supeno yang tadinya khawatir kena sembur, jadi bingung. "Peno, Peno..., Sepertinya memang sudah takdir." Dan Edwin terus tertawa senang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD