Chapter 13

1061 Words
Persaingan pada hal yang dianggap tidak adil *** Mobil Sambara dan mobil Deon masuk ke perusahaan hampir bersamaan. Mobil Sambara berhenti di depan pelataran perusahaan. Ia langsung disambut sopir pribadinya yang langsung mengambil alih kemudi setelah Sambara turun. Sambara menunnggu Deon yang juga berhenti di pelataran perusahaan dan juga mobilnya diambil alih oleh sopir pribadi Deon. "Makan siang?" tanya Deon dengan senyum lebar. Ia menepuk lengan atas Sambara, isyarat agar mereka melanjutkan masuk ke dalam. "Iya." "Sendiri?" Sambara tak menjawab hanya mengedikkan bahu dan tersenyum rahasia. Pada dasarnya ia tidak terlalu akrab dengan Deon dan ia tipikal yang susah terbuka. "Kamu makan dengan siapa?" tanya Sambara. Kini keduanya berada di dalam lift. "Kekasih?" "Hahaha.... Tidak ada yang mau sama saya. Bedalah denganmu yang CEO." Sambara memilih diam. Meski disampaikan dengan santai, Sambara dapat merasakan sindiran halus. Sebenarnya Sambara sendiri tidak tahu bagaimana perasaan Deon dengan keputusan para pemegang saham dan kakeknya perihal kedudukannya sebagai CMO dan dirinya sebagai CEO, tetapi Sambara sangat tahu bagaimana kecewa dan kesalnya Diana, sang tante. Smabara dan Deon berada di lantai yang sama cuma beda sayap. Sebelum berpisah, kembali Deon menepuk ringan lengan Sambara. "Jangan merasa tidak enak hati dengan posisimu sekarang. Tapi, jaga yang baik, sewaktu-waktu saya bisa mengambilnya." Deon tertawa seolah yang ia ucapkan hanya kejenakaan biasa. Sambara tersenyum tipis. "Saya tidak pernah meminta atau mengajukan diri. So, jika kedudukan ini berpindah, nothing to lose. Saya tidak serakah. Oke, selamat bekerja." Sambara melangkah santai menuju ruangannya. Dia masih bisa merasakan tatapan tajam Deon di punggungnya, tetapi Sambara tidak peduli. Deon sendiri sudah hilang senyum manisnya. Ia menatap tajam kepergian sepupu tirinya itu. Pesaingnya sejak masih kehadirannya. Ini sering kali membuat Deon merasa tidak adil. Ia yang dulu lahir, tapi di kemudian hari, ia seperti dipaksa harus sejajar dengan Sambara atau melampui jauh. Segala-galanya selalu dibanding-bandingkan Sambara. Sialnya, Sambara selalu bisa melampaui pencapaian Deon. *** Diana melangkah cepat dan mantap sejak ia turun dari mobil. Ia bertekat untuk menyerang ayahnya lagi. Menuntut apa yang dirasanya menjadi haknya dan anak-anaknya. Meski kalau mau jujur, ada hak lain yang harus dibagi karena sudah jelas ketentuan hukumnya. Tapi tetap saja ia tak rela. "Ma, kali ini Mama mau omong apa?" tanya Lucy penasaran. Dia sendiri sebenarnya tidak terlalu ambil pusing dengan urusan t***k bengek warisan. Pada dasarnya ia menerima saja semua yang penting segala kebutuhannya tersedia dan segala apa yang dia mau, selalu ada. Ia tak suka berpikir rumit. Kata ibunya, Lucy mirip Roy, ayahnya. Setiap kali Diana uring-uringan dan Lucy kena imbasnya, padahal tidak tahu apa-apa, Lucy akan tertawa sinis dalam hati dan membatin, Mama selalu bilang saya mirip Papa, tapi sebenarnya mungkin saya justru mirip Mama. Dalam hal memilih pasangan, saya juga sama payahnya seperti Mama. Bisa kejang-kejang kalau Mama tahu. "Minta opamu untuk mengubah ketetapan." "Tapi kan Opa sudah bilang kalau itu keputusan terbesar dari para pemegang saham." Diana berhenti, mendelik menatap putri sulungnya itu. "Perusahaan itu masih atas nama opamu. Masih milik opamu. Bukan milik para orang-orang t***l yang menanam duitnya di Bimantara. Kalau mereka tidak suka, mereka bisa mencabut kepemilikan investasi dan out. Kita tidak akan rugi." "Tapi kan kata Opa...." "Arghhh...! Diam kamu! Kamu itu memang persis papamu. Bodoh dan tidak berkembang." Diana berbalik cepat dan kembali melangkah menuju taman belakang. Ia yakin ayahnya ada di rumah kaca. Sedangkan Lucy, menatap punggung ibunya dengan dingin. Karena kesal, ia berbalik dan kembali keluar dari rumah. Ia punya kesenangan lain di luar daripada terlibat keruwetan harta ibunya. Seperti dugaan, ayahnya memang ada di rumah kaca, kali ini sibuk dengan bunga Juliete Rose. Bunga yang sangat cantik dan istimewa dengan warna persiknya yang indah. Diana dulu sangat menganguminya. Selain karena cantiknya tapi juga mahalnya yang tak terkira, bisa mencapai milyaran rupiah untuk satu tangkainya. Kini ia sangat membencinya. Karena saat ia meminta beberapa tangkai untuk buket tangan di pernikahannya, sang ayah tak mengijinkan. "Pa. Saya mau bicara." "Mau bicara ya bicara saja." Edwin mencampur tanah dengan pupuk khusus. Sedikit pun ia tak menatap ke arah putri sulungnya itu, ini karena ia sudah menduga apa yang akan dibicarakan dan itu menjenuhkannya. Diana menjadi sangat dongkol. Pengabaian ayahnya jelas menunjukkan sikap ayahnya yang tidak peduli. "Saya mau ayah meregulasi ulang kedudukan pemimpin di Bimantara Grup." "Memangnya ada masalah serius?" Dengan sikap santainya Edwin memasukkan pelan-pelan bibit mawar mahalnya. "Apa Papa menunggu ada masalah serius baru ada perombakan?" "Tak harus serius, tapi harus ada yang mendasari dan jelas." "Ini sudah jelas. Harusnya Deon sebagai cucu pertama ayah yang menjadi CEO bukan anak...." Diana lekas-lekas melipat erat bibirnya. Kata 'Dajjal' hampir terlepas dari bibirnya. Ia memang ribut tapi ia tak mau membuat keadaannya makin terpuruk karena melakukan makian terhadap yang lain. Keributan dengan ayahnya yang terakhir saja, sudah cukup baginya sebagai pelajaran. "Anak apa?" tanya Edwin dingin. Intonasinya jelas kalau ia tidak suka. Gawat. g****k ini bibir. Asal nyerocos aja, batin Diana gemas dengan dirinya sendiri. "Anak Bayu, 'kan?" Edwin tertawa lebar sembari menepuk-nepuk tanah di pot mawar mahalnya. "Bodoh tetap saja bodoh. Saya nanya apa bukan siapa." Diana mengepalkan tangannya erat. Sepanjang hidupnya ia membenci ayahnya. Termasuk hari ini. "Papa! Bisa-bisanya Papa menghina saya!" "Bisa-bisanya kamu membodohi ayahmu sendiri!" bentak Edwin dengan mata marah. Seketika Diana paham situasinya sudah sulit. Bukan saatnya lagi merayu sang ayah. Ia akan membuat keputusan tanpa meminta persetujuan. "Saya akan kembali ke rumah ini." Edwin yang baru meletakkan pot bunga mawarnya, sontak diam. Ia berdiri dan menatap tajam Diana. "Untuk apa?" "Apanya untuk apa? Ini kan rumah saya juga." "Apa kamu masih mau membodohi ayahmu lagi?" Diana diam sejenak, menyusun kata agar tak salah lagi. Meski begitu, tetap saja ia tak yakin ayahnya tidak marah. "Saya akan tinggal di sini sampai Papa memikirkan ulang mengenai posisi Deon dan Sambara di perusahaan." "Maksud kamu apa?" "Anggap ini aksi demo." Diana tersenyum manis dan mendekati ayahnya. "Anak perempuan Papa ini sedang meminta sesuatu. Bukankah sebagai ayah, harusnya Papa bisa mewujudkan mau putri satu-satumu ini." "Saya penuhi semua maumu yang masuk di akal. Jika permintaanmu itu gila dan merugikan, kamu baiknya jangan capek-capek berdemo." Diana melotot. Kemarahan sudah di puncak. "Saya akan tinggal di sini bersama keluarga saya dan kita lihat sampai di mana kekuatan Papa." Diana berbalik, melangkah cepat dan membanting pintu rumah kaca. Edwin sendiri justru kembali pada sekumpulan bunga mawar mahalnya dan membelai pelan. "Akan selalu ada badai sejak hari ini. Tapi kali ini tak akan saya biarkan hancur." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD